Uhuk ... mendadak batuk. Hayo, kalian mikir apa habis ini? Wkkwkkwkw
Sashi mendorong dada Nanda, membuat pagutan bibir mereka terlepas.“Tunggu, aku kehabisan napas,” ucap Sashi dengan wajah memerah, napasnya tersengal hingga wanita itu meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi stok udara di dada.Nanda memandang Sashi dengan tatapan penuh gairah, ciuman pertama mereka sungguh membuatnya menginginkan sesuatu yang lebih dari istrinya itu.“Sashi,” ucap Nanda dengan suara berat.“Hm ….” Sashi menatap Nanda yang sudah memandangnya.“Boleh aku melakukannya?” tanya Nanda. Dia sadar ini terlalu cepat, tapi terus menahan diri saat bersentuhan dengan wanita itu cukup membuatnya tersiksa.Sashi terkejut mendengar pertanyaan Nanda. Namun, meski menolak sekarang, dia tidak akan bisa menolak di lain waktu. Lagi pula, bukankah mereka pasangan sah secara agama dan hukum, perjanjian mereka pun kini sudah tak berlaku lagi.“Boleh,” jawab Sashi meski sedikit ragu karena takut.Nanda memulas senyum mendapat jawaban dari Sashi. Dia menekan tengkuk istrinya itu, lanta
“Besok aku jemput.”Nanda mengantar Sashi ke rumah sakit karena harus shift malam menggantikan Zidan yang bertukar dengannya kemarin.“Kamu besok masuk kerja. Aku bisa pulang naik taksi,” ujar Sashi sambil merapikan rambut sebelum keluar.Nanda menoleh lantas membalas, “Aku akan menjemputmu.”Sashi berhenti gerakan tangannya mendengar ucapan Nanda.“Baiklah, terserah kamu saja asal tidak menganggu jam kerjamu,” ujar Sashi pada akhirnya.Meski mereka sudah saling memiliki satu sama lain, tetap saja Nanda menerapkan sikap otoriternya ke sang istri.“Aku keluar dulu,” ucap Sashi sambil bersiap membuka pintu mobil.“Tunggu!” Nanda menahan tangan Sashi, hingga membuat Sashi berhenti bergerak.“Ada apa?” tanya Sashi menoleh Nanda.Nanda mendekat dengan cepat, hingga kemudian mengecup bibir Sashi.Sashi melotot dengan yang dilakukan Nanda, bisa-bisanya pria itu menciumnya di depan lobi rumah sakit. Meskipun di mobil, tetap saja Sashi was-was ada yang melihat.“Nanda!” Sashi memberikan tatapa
Sashi di ruang kerjanya mengecek data pasien. Hingga dia terdiam memikirkan keputusannya untuk pindah ke klinik perusahaan.“Sepertinya memang lebih baik di klinik. Selain bisa memiliki waktu untuk sering memperhatikan kesehatan Mommy dan Opa, aku juga memiliki waktu melukis untuk anak-anak.”Sashi memikirkan plus minus bekerja di luar rumah sakit. Sejak awal tujuan utamanya memastikan keluarganya sehat, sedangkan merawat orang lain dianggap bonus. Ini memang tak sesuai dengan prinsip dokter yang sebenarnya, tapi merawat keluarga adalah kewajiban.Saat Sashi masih melamun, terdengar ketukan pintu yang membuatnya langsung menatap ke pintu.“Masuk!”Pintu terbuka, perawat yang bekerja shift malam terlihat di ambang pintu.“Dok, ada yang mencari,” kata perawat itu.Sashi langsung menaikkan satu sudut alis mendengar perkataan perawat. Dia lantas menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Sashi melihat waktu menunjukkan pukul 11 malam.“Siapa yang mencariku malam-malam?” Sash
“Kenapa semalam kamu tidur di kamar Nana?” tanya Rihana saat melihat Bastian baru saja menuruni anak tangga karena harus bersiap berangkat ke kantor.Bastian cukup terkejut mendengar pertanyaan Rihana, hingga dia pun kemudian menjawab, “Nana mengirimiku pesan jika tak bisa tidur, karena itu aku ke kamarnya untuk menemani. Tapi aku malah ikut ketiduran sampai pagi, Ma.”Bastian memberikan alasan yang cukup masuk akal agar sang mama tak curiga.“Benarkah?” Rihana menaikkan satu sudut alis, tak percaya begitu saja karena dia melihat sesuatu yang membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak semalaman.“Hm … benar.” Bastian mengeluarkan ponselnya dari kantong celana, lantas menunjukkan pesan yang dikirimkan Nana semalam.“Semalam badannya panas lagi, jadi aku menemaninya tidur. Aku ingin menghubungi Nanda, tapi takut mengganggunya,” ujar Bastian menjelaskan.Rihana membaca pesan yang dikirimkan Nana, hingga akhirnya percaya dengan jawaban putranya itu.“Ya sudah, kamu sarapan dulu. Mama mau li
“Itu Aruna, kamu tidak mau menjelaskan atau bertanya kepadanya?” Ansel bicara sambil menyenggol lengan Bumi.Bumi hanya menatap Aruna yang sedang membawa buku ke arah gedung perkuliahan. Jika Aruna masih berada di semester 4, Bumi sedang menjalani skripsi.“Tidak perlu, kalau dia tidak mau bicara, ya sudah.” Bumi tak acuh karena yang memulai perdebatan Aruna.Ansel mencebik mendengar ucapan Bumi, hingga kemudian membalas, “Kalau kata papaku, wanita itu makhluk paling benar. Dia bicara salah pun, ya benar. Kalau kamu ga mau ngomong dan bujuk dia. Ya, lihat saja, dia akan terus seperti itu. Paling-paling parah, dia akan kembali mengamuk.”Bumi hanya memandang sahabatnya itu, hingga kemudian memalingkan muka.“Biarkan saja, kalau nantinya dia mau bicara, dia pasti akan bicara,” balas Bumi pada akhirnya.Ansel menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Bumi. Dia pun akhirnya mengedikkan bahu karena temannya itu juga tak acuh.Meski Bumi bilang tak peduli, tapi kenyataannya ekor matanya me
“Kalian datang kenapa tidak kasih kabar dulu? Kalau kasih kabar ‘kan Mommy bisa masak makanan kesukaan kalian dulu.”Bintang terkejut tapi juga senang karena melihat Sashi datang berkunjung.“Sebenarnya ga ada rencana, Mom. Nanda pulang kerja ngajak keluar, jadi kupikir pengen sekalian ke sini saja,” ujar Sashi menjelaskan.Nanda hanya tersenyum mendengar ucapan Sashi ke Bintang.“Oh … begitu. Daddy-mu di ruang kerja, biar mommy panggilin, kalian ke ruang keluarga saja dulu.” Bintang pergi memanggil suaminya setelah mengatakan hal itu.Sashi menggandeng Nanda, tentu saja sikap keduanya sangat berbeda dengan sebelumnya. Dulu Sashi tak peduli, sekarang tentunya sangat perhatian satu sama lain.Saat Sashi dan Nanda berjalan ke ruang keluarga, Aruna terlihat menuruni anak tangga. Gadis itu memperlambat langkah saat melihat Sashi dan Nanda.“Kamu mau ke mana?” tanya Sashi tetap bersikap baik ke sang adik, meski Aruna tak pernah bersikap baik kepadanya.Aruna membetulkan letak tali tas di p
“Melamun terus. Lama-lama kesambet setan.” Hanzel duduk di depan Aruna setelah selesai tampil. Dia menatap sepupunya itu sedang melamun sambil menyangga dagu. “Biar saja kesetanan, daripada waras tapi aku stres.” Aruna mengambil jus yang ada di hadapannya, kemudian mengaduknya sebelum meminumnya. “Kenapa lagi? Bumi lagi? Kalau ada masalah, bukankah sebaiknya dibicarakan. Ajak dia bicara, siapa tahu dapat solusi,” ujar Hanzel yang pusing sendiri melihat Aruna melamun dan sedih seperti itu. “Malas, ngomong sama pria itu kudu pakai otak, ga bisa pakai hati,” gerutu Aruna sebal. Hanzel tertawa mendengar Aruna yang sebal, lantas mengusap kepala adik sepupunya itu sambil berkata, “Ngomong itu pakai mulut, Runa. Mana ada pakai hati, ga bakal paham, ‘kan ga bisa telepati.” Hanzel gemas sampai mengusap kasar rambut Aruna hingga berantakan. “Hanz!” teriak Aruna sambil menepis tangan Hanzel. Di saat bersamaan, Clara masuk ke kafe itu hingga melihat Hanzel yang sedang mengusap kasar rambut
“Mommy lihat, Nanda sangat mencintaimu. Sikapnya juga manis kepadamu,” ujar Bintang ketika berada di meja makan menyiapkan makan malam.Sashi terkejut mendengar ucapan Bintang. Dia menoleh ke sang mommy, lantas tersenyum malu.“Begitulah,” balas Sashi. Dia tidak mungkin mengatakan kalau Nanda baru saja menyukainya.Bintang mendekat ke Sashi, lantas mengusap rambut putrinya itu dengan lembut.“Mommy senang melihatmu bahagia seperti ini. Kami juga lega saat tahu kalau kamu tidak salah pilih suami,” ujar Bintang sambil menatap penuh bahagia ke putrinya itu.Sashi menatap Bintang yang terus tersenyum, hingga kemudian bertanya, “Mommy bahagiakan melihatku bersama pria yang mencintaiku?”“Tentu saja mommy bahagia,” jawab Bintang, “padahal sebelumnya mommy sangat takut kamu tidak bahagia.”Sashi tersenyum lebar mendengar jawaban Bintang, hingga kemudian berkata, “Aku akan terus bahagia, karena itu Mommy juga harus selalu bahagia.”“Pasti. Kebahagiaan mommy ada pada kalian,” balas Bintang sam