“Itu Aruna, kamu tidak mau menjelaskan atau bertanya kepadanya?” Ansel bicara sambil menyenggol lengan Bumi.Bumi hanya menatap Aruna yang sedang membawa buku ke arah gedung perkuliahan. Jika Aruna masih berada di semester 4, Bumi sedang menjalani skripsi.“Tidak perlu, kalau dia tidak mau bicara, ya sudah.” Bumi tak acuh karena yang memulai perdebatan Aruna.Ansel mencebik mendengar ucapan Bumi, hingga kemudian membalas, “Kalau kata papaku, wanita itu makhluk paling benar. Dia bicara salah pun, ya benar. Kalau kamu ga mau ngomong dan bujuk dia. Ya, lihat saja, dia akan terus seperti itu. Paling-paling parah, dia akan kembali mengamuk.”Bumi hanya memandang sahabatnya itu, hingga kemudian memalingkan muka.“Biarkan saja, kalau nantinya dia mau bicara, dia pasti akan bicara,” balas Bumi pada akhirnya.Ansel menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Bumi. Dia pun akhirnya mengedikkan bahu karena temannya itu juga tak acuh.Meski Bumi bilang tak peduli, tapi kenyataannya ekor matanya me
“Kalian datang kenapa tidak kasih kabar dulu? Kalau kasih kabar ‘kan Mommy bisa masak makanan kesukaan kalian dulu.”Bintang terkejut tapi juga senang karena melihat Sashi datang berkunjung.“Sebenarnya ga ada rencana, Mom. Nanda pulang kerja ngajak keluar, jadi kupikir pengen sekalian ke sini saja,” ujar Sashi menjelaskan.Nanda hanya tersenyum mendengar ucapan Sashi ke Bintang.“Oh … begitu. Daddy-mu di ruang kerja, biar mommy panggilin, kalian ke ruang keluarga saja dulu.” Bintang pergi memanggil suaminya setelah mengatakan hal itu.Sashi menggandeng Nanda, tentu saja sikap keduanya sangat berbeda dengan sebelumnya. Dulu Sashi tak peduli, sekarang tentunya sangat perhatian satu sama lain.Saat Sashi dan Nanda berjalan ke ruang keluarga, Aruna terlihat menuruni anak tangga. Gadis itu memperlambat langkah saat melihat Sashi dan Nanda.“Kamu mau ke mana?” tanya Sashi tetap bersikap baik ke sang adik, meski Aruna tak pernah bersikap baik kepadanya.Aruna membetulkan letak tali tas di p
“Melamun terus. Lama-lama kesambet setan.” Hanzel duduk di depan Aruna setelah selesai tampil. Dia menatap sepupunya itu sedang melamun sambil menyangga dagu. “Biar saja kesetanan, daripada waras tapi aku stres.” Aruna mengambil jus yang ada di hadapannya, kemudian mengaduknya sebelum meminumnya. “Kenapa lagi? Bumi lagi? Kalau ada masalah, bukankah sebaiknya dibicarakan. Ajak dia bicara, siapa tahu dapat solusi,” ujar Hanzel yang pusing sendiri melihat Aruna melamun dan sedih seperti itu. “Malas, ngomong sama pria itu kudu pakai otak, ga bisa pakai hati,” gerutu Aruna sebal. Hanzel tertawa mendengar Aruna yang sebal, lantas mengusap kepala adik sepupunya itu sambil berkata, “Ngomong itu pakai mulut, Runa. Mana ada pakai hati, ga bakal paham, ‘kan ga bisa telepati.” Hanzel gemas sampai mengusap kasar rambut Aruna hingga berantakan. “Hanz!” teriak Aruna sambil menepis tangan Hanzel. Di saat bersamaan, Clara masuk ke kafe itu hingga melihat Hanzel yang sedang mengusap kasar rambut
“Mommy lihat, Nanda sangat mencintaimu. Sikapnya juga manis kepadamu,” ujar Bintang ketika berada di meja makan menyiapkan makan malam.Sashi terkejut mendengar ucapan Bintang. Dia menoleh ke sang mommy, lantas tersenyum malu.“Begitulah,” balas Sashi. Dia tidak mungkin mengatakan kalau Nanda baru saja menyukainya.Bintang mendekat ke Sashi, lantas mengusap rambut putrinya itu dengan lembut.“Mommy senang melihatmu bahagia seperti ini. Kami juga lega saat tahu kalau kamu tidak salah pilih suami,” ujar Bintang sambil menatap penuh bahagia ke putrinya itu.Sashi menatap Bintang yang terus tersenyum, hingga kemudian bertanya, “Mommy bahagiakan melihatku bersama pria yang mencintaiku?”“Tentu saja mommy bahagia,” jawab Bintang, “padahal sebelumnya mommy sangat takut kamu tidak bahagia.”Sashi tersenyum lebar mendengar jawaban Bintang, hingga kemudian berkata, “Aku akan terus bahagia, karena itu Mommy juga harus selalu bahagia.”“Pasti. Kebahagiaan mommy ada pada kalian,” balas Bintang sam
“Baru pulang?”Clara terkejut mendengar suara ayahnya saat baru saja masuk rumah. Dia melihat Melvin yang duduk di ruang keluarga menatap dirinya.“Iya, Pa.” Clara menundukkan kepala melihat ayahnya itu.“Duduklah, papa mau bicara.” Melvin menggerakkan bola mata sebagai isyarat agar Clara duduk di sofa yang ada di sampingnya.Clara pun mengikuti perintah Melvin. Dia duduk di singel sofa, tapi berusaha bersikap biasa.“Papa pulang kapan?” tanya Clara sambil menatap ayahnya itu.“Kalau papa tidak pulang, kamu bisa bertingkah seenaknya, begitu?” tanya balik Melvin sambil memandang putrinya itu.Clara menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Melvin, tak berani bersuara karena tatapan sang ayah membuat nyalinya menciut.“Apa yang diceritakan mamamu benar?” tanya Melvin setelah beberapa saat hanya melakukan kontak mata dengan putrinya itu.Clara meremas jemari mendengar pertanyaan Melvin, hingga kemudian memberanikan diri memandang ayahnya itu.“Tentang apa?” Clara berpura tak tahu maksud
“Apa?”Sashi mendadak merinding dengan pertanyaan Nanda yang terasa horor.Nanda melihat ekspresi wajah Sashi yang panik, hingga akhirnya mulai menggoda istrinya itu.“Kenapa ekspresi wajahmu begitu? Memangnya aku mau menelanmu?” tanya Nanda sambil memasang ekspresi wajah serius.“Bu-bukan,” jawab Sashi, “aku hanya bingung, kenapa kamu tanya aku capek atau ga.”Nanda menahan agar tidak tersenyum, lantas menyisir rambut Sashi dengan jemarinya.“Memangnya tanya karena perhatian ke istri tidak boleh?” Nanda semakin berusaha menggoda istrinya karena menggemaskan ketika panik.Sashi terlihat kikuk dan salah tingkah karena ucapan Nanda, hingga kemudian mencoba tersenyum agar tak semakin canggung.“Boleh, aku hanya sedang blank saja tadi,” ujar Sashi sambil memperlihatkan senyum yang dipaksakan.Nanda masih terus menahan tawa, sungguh tingkah Sashi saat ini begitu menggemaskan.“Blank, hm? Kenapa tiba-tiba blank? Apa yang sebenarnya sedang kamu pikirkan?” tanya Nanda sambil menekan pinggang
“Iya, Oma. Nanti beritahu Bibi saat pagi saja agar dia tak terlalu cemas. Hanz sekarang bersamaku di rumah, sementara dia akan menginap di sini dulu,” ujar Sashi saat bicara dengan neneknya.“Tapi dia baik-baik saja, kan?” tanya sang oma dari seberang panggilan.“Iya baik, Oma. Hanya sedikit lecet, takutnya kalau pulang, Bibi akan sangat syok,” jawab Sashi mendengar suara sang oma yang cemas.“Baiklah, jaga Hanzel, ya. Oma baru akan bilang ke maminya besok.”Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan sang oma, hingga akhirnya panggilan itu berakhir.Hanzel sejak tadi memperhatikan Sashi yang sedang bicara dengan sang oma, hingga kemudian bertanya, “Bagaimana, Kak?”“Oma akan menyampaikan ke mamimu besok, setidaknya malam ini dia tidak akan panik,” jawab Sashi, “kamu bisa tidur di kamar ini.”Hanzel meminta Sashi untuk tak memberitahukan masalah dirinya yang terluka, tapi itu mustahil karena bekas luka pasti akan terlihat.“Meski pagi, Mami pasti akan tetap histeris,” ujar Hanzel sambil
“Kamu benar-benar marah?”Nanda mendengar suara Sashi yang kesekian kalinya menanyakan hal yang sama. Dia memang sedang kesal sendiri, jadi memilih diam daripada berdebat dengan istrinya.“Nanda, yakin mau marah terus?”Nanda mengusap kasar wajahnya mendengar Sashi bicara. Dia lantas bangun dengan cepat, hingga terkejut melihat istrinya.Sashi memakai pakaian tipis, entah dari mana wanita itu mendapatkan pakaian seperti itu. Dia berdiri di depan ranjang sambil mengibaskan rambutnya untuk menggoda.Nanda malah menahan tawa, melihat istrinya seperti sekarang malah membuatnya merasa aneh.“Dari mana kamu mendapatkan pakaian itu?” tanya Nanda keheranan tapi juga gemas.Sashi naik ranjang, lantas duduk tepat di depan suaminya.“Tidak usah dipertanyakan dari mana aku mendapatkan ini. Yang terpenting itu, niatku membujuk suamiku agar tidak marah,” jawab Sashi.Sungguh Nanda tak pernah membayangkan Sashi akan memakai pakaian seperti itu, tapi seharusnya dia senang karena kecemburuan dan rasa