“Baru pulang?”Clara terkejut mendengar suara ayahnya saat baru saja masuk rumah. Dia melihat Melvin yang duduk di ruang keluarga menatap dirinya.“Iya, Pa.” Clara menundukkan kepala melihat ayahnya itu.“Duduklah, papa mau bicara.” Melvin menggerakkan bola mata sebagai isyarat agar Clara duduk di sofa yang ada di sampingnya.Clara pun mengikuti perintah Melvin. Dia duduk di singel sofa, tapi berusaha bersikap biasa.“Papa pulang kapan?” tanya Clara sambil menatap ayahnya itu.“Kalau papa tidak pulang, kamu bisa bertingkah seenaknya, begitu?” tanya balik Melvin sambil memandang putrinya itu.Clara menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Melvin, tak berani bersuara karena tatapan sang ayah membuat nyalinya menciut.“Apa yang diceritakan mamamu benar?” tanya Melvin setelah beberapa saat hanya melakukan kontak mata dengan putrinya itu.Clara meremas jemari mendengar pertanyaan Melvin, hingga kemudian memberanikan diri memandang ayahnya itu.“Tentang apa?” Clara berpura tak tahu maksud
“Apa?”Sashi mendadak merinding dengan pertanyaan Nanda yang terasa horor.Nanda melihat ekspresi wajah Sashi yang panik, hingga akhirnya mulai menggoda istrinya itu.“Kenapa ekspresi wajahmu begitu? Memangnya aku mau menelanmu?” tanya Nanda sambil memasang ekspresi wajah serius.“Bu-bukan,” jawab Sashi, “aku hanya bingung, kenapa kamu tanya aku capek atau ga.”Nanda menahan agar tidak tersenyum, lantas menyisir rambut Sashi dengan jemarinya.“Memangnya tanya karena perhatian ke istri tidak boleh?” Nanda semakin berusaha menggoda istrinya karena menggemaskan ketika panik.Sashi terlihat kikuk dan salah tingkah karena ucapan Nanda, hingga kemudian mencoba tersenyum agar tak semakin canggung.“Boleh, aku hanya sedang blank saja tadi,” ujar Sashi sambil memperlihatkan senyum yang dipaksakan.Nanda masih terus menahan tawa, sungguh tingkah Sashi saat ini begitu menggemaskan.“Blank, hm? Kenapa tiba-tiba blank? Apa yang sebenarnya sedang kamu pikirkan?” tanya Nanda sambil menekan pinggang
“Iya, Oma. Nanti beritahu Bibi saat pagi saja agar dia tak terlalu cemas. Hanz sekarang bersamaku di rumah, sementara dia akan menginap di sini dulu,” ujar Sashi saat bicara dengan neneknya.“Tapi dia baik-baik saja, kan?” tanya sang oma dari seberang panggilan.“Iya baik, Oma. Hanya sedikit lecet, takutnya kalau pulang, Bibi akan sangat syok,” jawab Sashi mendengar suara sang oma yang cemas.“Baiklah, jaga Hanzel, ya. Oma baru akan bilang ke maminya besok.”Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan sang oma, hingga akhirnya panggilan itu berakhir.Hanzel sejak tadi memperhatikan Sashi yang sedang bicara dengan sang oma, hingga kemudian bertanya, “Bagaimana, Kak?”“Oma akan menyampaikan ke mamimu besok, setidaknya malam ini dia tidak akan panik,” jawab Sashi, “kamu bisa tidur di kamar ini.”Hanzel meminta Sashi untuk tak memberitahukan masalah dirinya yang terluka, tapi itu mustahil karena bekas luka pasti akan terlihat.“Meski pagi, Mami pasti akan tetap histeris,” ujar Hanzel sambil
“Kamu benar-benar marah?”Nanda mendengar suara Sashi yang kesekian kalinya menanyakan hal yang sama. Dia memang sedang kesal sendiri, jadi memilih diam daripada berdebat dengan istrinya.“Nanda, yakin mau marah terus?”Nanda mengusap kasar wajahnya mendengar Sashi bicara. Dia lantas bangun dengan cepat, hingga terkejut melihat istrinya.Sashi memakai pakaian tipis, entah dari mana wanita itu mendapatkan pakaian seperti itu. Dia berdiri di depan ranjang sambil mengibaskan rambutnya untuk menggoda.Nanda malah menahan tawa, melihat istrinya seperti sekarang malah membuatnya merasa aneh.“Dari mana kamu mendapatkan pakaian itu?” tanya Nanda keheranan tapi juga gemas.Sashi naik ranjang, lantas duduk tepat di depan suaminya.“Tidak usah dipertanyakan dari mana aku mendapatkan ini. Yang terpenting itu, niatku membujuk suamiku agar tidak marah,” jawab Sashi.Sungguh Nanda tak pernah membayangkan Sashi akan memakai pakaian seperti itu, tapi seharusnya dia senang karena kecemburuan dan rasa
Nanda dan Sashi pergi ke depan untuk melihat siapa yang datang, hingga Sashi langsung tersenyum sungkan melihat dua orang yang berdiri di depan pintu.“Bibi, Uncle.” Sashi menyapa adik dari ibunya itu.“Di mana, Hanz?” tanya Cheryl masih terlihat tenang dengan senyum merekah.“Di dalam, Bi. Baru mau sarapan, kalian sarapan juga sekalian, yuk!” ajak Sashi setelah menjawab pertanyaan sang bibi. Dia terkejut karena Cheryl dan Orion akan datang sepagi ini mencari Hanzel.Cheryl tersenyum ramah, begitu juga dengan suaminya yang mengangguk menerima tawaran Sashi. Mereka pun ikut masuk untuk sarapan sekalian melihat kondisi putra mereka.Saat sampai di ruang makan, Cheryl melihat putranya duduk dengan lengan dan pelipis yang terluka, tentu saja wanita itu langsung murka luar biasa melihat putranya seperti itu.Wanita satu anak itu langsung menghampiri cepat putranya, membuat Sashi dan yang lain terkejut.“Mami sudah bilang, kan. Jangan naik motor, jangan naik motor, nekat naik motor sembunyi
“Ada apa? Kenapa kamu murung? Bertemu pasien yang judes?” tanya Zidan saat melihat Sashi yang terlihat tak bersemangat seperti biasanya.Sashi mengajak Zidan minum kopi saat siang hari untuk memenuji janji mentraktir pria itu, tapi sayangnya Sashi malah tidak fokus karena memikirkan panggilan telepon yang diterimanya tadi.Sashi terkejut mendengar pertanyaan Zidan, lantas menggelengkan kepala sambil tersenyum untuk menyanggah tebakan temannya itu.“Bukan,” jawab Sashi, “hanya sedang memikirkan sesuatu.”Sashi menyesap kopi yang masih mengepulkan uap panas setelah menjawab pertanyaan Zidan.Zidan memperhatikan Sashi. Dia ingin membuka mulut untuk bicara tapi ponsel wanita itu berdering lebih dulu.“Ini suamiku, aku jawab dulu,” ujar Sashi saat melihat nama Nanda terpampang di layar.Zidan akhirnya memilih diam, memperhatikan Sashi yang sedang menerima telepon.“Ya, ada apa?” tanya Sashi membalas sapaan suaminya itu.“Kamu di mana?” tanya Nanda balik dari seberang panggilan.“Sedang di
“Aruna berjalan ke arah kita.”Ansel berbisik di telinga Bumi yang duduk di sebelahnya. Dia melihat sepupu sahabatnya itu sedang berjalan memeluk buku ke arah mereka.Bumi mengarahkan pandangan ke depan, hingga melihat Aruna yang sedang berjalan ke arah mereka.“Jangan menghindar, nanti dia nangis karena sudah kamu abaikan,” bisik Ansel menggoda Bumi.Bumi langsung menoleh sahabatnya yang sangat berisik itu, tapi kemudian kembali memandang Aruna yang kini hampir sampai.“Hai, Runa. Mau bicara dengan Bumi?” tanya Ansel sambil berdiri seolah ingin memberikan tempat dan waktu untuk Aruna bicara.Aruna sama sekali tak menatap Bumi. Dia memilih memandang Ansel.“Aku tidak ada urusan dengannya, sebenarnya ada urusan denganmu,” ujar Aruna mengabaikan Bumi.Bumi terkejut mendengar ucapan Aruna. Padahal dia berpikir Aruna hendak menemuinya untuk memperbaiki hubungan mereka.Ansel sendiri sangat terkejut mendengar ucaoan Aruna. Mulutnya sampai terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu tapi bingun
“Bagaimana kabar Nana?” tanya Sashi saat sedang makan malam bersama Nanda di sebuah restoran. Ini sudah sejak dua hari lukisan Sashi dibeli seorang pria. Sashi sendiri tidak mencari tahu seperti apa wajah pembelinya, karena dia pun tak ingin tahu sebab takut identitasnya terbongkar. “Baik, dia sudah mulai masuk kerja meski masih terlihat pucat,” jawab Nanda, “kapan kamu pindah ke klinik?” tanya Nanda balik. “Em … besok sudah pindah. Surat pindahnya sudah selesai diurus bersamaan dengan surat prakteknya. Besok aku harus ke perusahaan itu untuk memberikan berkas-berkas yang dibutuhkan,” jawab Sashi kemudian memasukkan makanan ke mulut. Nanda mengangguk sambil tersenyum tipis, tampaknya sampai saat ini Sashi masih belum tahu kalau perusahaannya yang merekrut wanita itu. “Baiklah, biar besok aku yang mengantarmu,” ujar Nanda memberi tawaran, padahal sebenarnya dia sekalian berangkat kerja. “Tentu,” jawab Sashi langsung melebarkan senyum. Nanda membalas senyum Sashi, lantas mereka pu