“Ada apa? Kenapa kamu murung? Bertemu pasien yang judes?” tanya Zidan saat melihat Sashi yang terlihat tak bersemangat seperti biasanya.Sashi mengajak Zidan minum kopi saat siang hari untuk memenuji janji mentraktir pria itu, tapi sayangnya Sashi malah tidak fokus karena memikirkan panggilan telepon yang diterimanya tadi.Sashi terkejut mendengar pertanyaan Zidan, lantas menggelengkan kepala sambil tersenyum untuk menyanggah tebakan temannya itu.“Bukan,” jawab Sashi, “hanya sedang memikirkan sesuatu.”Sashi menyesap kopi yang masih mengepulkan uap panas setelah menjawab pertanyaan Zidan.Zidan memperhatikan Sashi. Dia ingin membuka mulut untuk bicara tapi ponsel wanita itu berdering lebih dulu.“Ini suamiku, aku jawab dulu,” ujar Sashi saat melihat nama Nanda terpampang di layar.Zidan akhirnya memilih diam, memperhatikan Sashi yang sedang menerima telepon.“Ya, ada apa?” tanya Sashi membalas sapaan suaminya itu.“Kamu di mana?” tanya Nanda balik dari seberang panggilan.“Sedang di
“Aruna berjalan ke arah kita.”Ansel berbisik di telinga Bumi yang duduk di sebelahnya. Dia melihat sepupu sahabatnya itu sedang berjalan memeluk buku ke arah mereka.Bumi mengarahkan pandangan ke depan, hingga melihat Aruna yang sedang berjalan ke arah mereka.“Jangan menghindar, nanti dia nangis karena sudah kamu abaikan,” bisik Ansel menggoda Bumi.Bumi langsung menoleh sahabatnya yang sangat berisik itu, tapi kemudian kembali memandang Aruna yang kini hampir sampai.“Hai, Runa. Mau bicara dengan Bumi?” tanya Ansel sambil berdiri seolah ingin memberikan tempat dan waktu untuk Aruna bicara.Aruna sama sekali tak menatap Bumi. Dia memilih memandang Ansel.“Aku tidak ada urusan dengannya, sebenarnya ada urusan denganmu,” ujar Aruna mengabaikan Bumi.Bumi terkejut mendengar ucapan Aruna. Padahal dia berpikir Aruna hendak menemuinya untuk memperbaiki hubungan mereka.Ansel sendiri sangat terkejut mendengar ucaoan Aruna. Mulutnya sampai terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu tapi bingun
“Bagaimana kabar Nana?” tanya Sashi saat sedang makan malam bersama Nanda di sebuah restoran. Ini sudah sejak dua hari lukisan Sashi dibeli seorang pria. Sashi sendiri tidak mencari tahu seperti apa wajah pembelinya, karena dia pun tak ingin tahu sebab takut identitasnya terbongkar. “Baik, dia sudah mulai masuk kerja meski masih terlihat pucat,” jawab Nanda, “kapan kamu pindah ke klinik?” tanya Nanda balik. “Em … besok sudah pindah. Surat pindahnya sudah selesai diurus bersamaan dengan surat prakteknya. Besok aku harus ke perusahaan itu untuk memberikan berkas-berkas yang dibutuhkan,” jawab Sashi kemudian memasukkan makanan ke mulut. Nanda mengangguk sambil tersenyum tipis, tampaknya sampai saat ini Sashi masih belum tahu kalau perusahaannya yang merekrut wanita itu. “Baiklah, biar besok aku yang mengantarmu,” ujar Nanda memberi tawaran, padahal sebenarnya dia sekalian berangkat kerja. “Tentu,” jawab Sashi langsung melebarkan senyum. Nanda membalas senyum Sashi, lantas mereka pu
“Na.”Nana yang hendak menaiki berhenti melangkah ketika mendengar suara Rihana memanggil.“Ya, Ma.”Nana menghampiri Rihana yang duduk di ruang keluarga.“Duduklah.” Rihana menepuk pelan sofa yang ada di sampingnya.“Ada apa, Ma?” tanya Nana sambil menatap Rihana.“Apa Sabtu besok kamu bisa menyempatkan pergi bersama mama?” tanya Rihana sambil mengusap rambut Nana.“Sabtu?” tanya Nana memastikan lantas mendapat jawaban sebuah anggukan dari Rihana.“Bisa, Ma.” Nana mengiakan ajak sang mama.“Baguslah. Mama pikir kamu akan sibuk jadi tidak bisa pergi. Sabtu besok mama mau mengajakmu sesekali keluar bersama, kita juga sudah lama ga keluar bareng,” ujar Rihana sambil terus mengulas senyum ke putri angkatnya itu.Nana mengangguk sambil memulas senyum mendengar ucapan Rihana.“Ya sudah, sana istirahat. Besok kamu harus ke kantor, kan?” Rihana mengusap pelan pipi Nana, kemudian meminta putrinya itu buru-buru beristirahat.Nana pun beranjak dari ruangan itu, lantas menaiki anak tangga menuju
“Selamat bergabung di perusahaan ini. Kami senang Anda bersedia menjaga kesehatan karyawan perusahaan kami.”Bagian HRD baru saja mengecek berkas Sashi, lantas menyambut wanita itu sebagai dokter perusahaan.“Saya juga senang bisa bergabung di perusahaan ini,” balas Sashi sopan sambil sedikit membungkukan badan.Kepala HRD sebenarnya agak sungkan karena Sashi adalah istri pemilik perusahaan, tapi demi profesionalisme dalam bekerja, dia harus menganggap Sashi pekerja biasa.“Saya akan bekerja sungguh-sungguh merawat dan mengobati karyawan yang sakit juga membutuhkan,” ucap Sashi lagi.Di luar ruangan, Nanda berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada. Dia bak bodyguard yang sedang menunggu tuannya menyelesaikan urusan.Lukas pun ikutan bingung, kenapa Nanda harus menunggu di sana, hingga mengundang curiga para staff yang melihat mereka.“Anda tak mau ke ruang kerja dulu, Pak?” tanya Lukas hati-hati.“Aku hanya ingin memastikan Sashi tak berubah pikiran,” jawab Nanda.Setelah meng
“Kamu gila?”Bumi begitu syok hingga menatap tak percaya ke Ansel yang pacaran dengan Aruna.“Kenapa kamu mengataiku gila? Apa salahnya kalau kami jadian?” Ansel malah keheranan dengan sikap Bumi.Bumi ingin membalas ucapan Ansel, tapi urung karena Aruna sudah sampai di hadapan mereka.“Ans.” Aruna langsung menyapa Ansel dan mengabaikan Bumi.Bumi benar-benar tak habis pikir, kenapa Aruna bisa bersama Ansel.“Aku tadi belum sempat sarapan karena terburu-buru. Bisa temani aku ke kantin sebentar?” tanya Aruna sambil menatap Ansel.“Tentu, ayo!” Ansel mengiakan permintaan Aruna.“Runa, tunggu!” Bumi ingin meminta penjelasan. Dia menahan lengan Aruna.Aruna melirik tak senang ke tangan Bumi yang memegang lengannya, hingga membuat Bumi langsung melepas.“Kenapa kalian jadian? Maksudku, sejak kapan?” tanya Bumi.Aruna menaikkan satu sudut alis mendengar pertanyaan Bumi. Dia bahkan menatap Ansel, sebelum kemudian memandang Bumi lagi.“Kenapa? Sudah jelas karena aku menyukai Ansel. Untuk seja
Nanda memasang muka masam melihat Sashi sedang memeriksa staff laki-laki. Lani sendiri tidak tahu kalau Sashi adalah istri Nanda. Dia merasa sedikit aneh saat Nanda terus menatap dengan wajah kesal. “Tekanan darahnya sedikit rendah. Meski pekerjaan banyak, usahakan tetap istirahat malam yang cukup. Saya akan merekomendasikan vitamin juga tambah darah,” ujar Sashi setelah selesai memeriksa. “Terima kasih banyak, Dok.” Staff itu tersenyum ramah ke Sashi. Sashi hanya mengangguk lantas meminta Lani memberikan vitamin yang disebutkannya. Sashi melihat Nanda, tapi pria itu sudah berwajah masam. Dia pun memilih tak menatap lagi, meski sudah mempunyai firasat buruk akan hal itu. Staff tadi pamit setelah mendapatkan vitamin, hingga terkejut saat melihat lirikan tajam dari Nanda. “Anda punya keluhan, Pak?” tanya Lani sopan ke Nanda. Nanda ingin menjawab pertanyaan Lani, tapi lebih dulu terkejut mendengar suara Bastian yang memanggilnya. Nanda menoleh, hingga melihat Bastian yang sedang
“Dok.” “Ya.” Sashi menoleh ketika Lani yang memanggilnya. Dia sedang membereskan meja karena sudah waktunya pulang. “Dari tadi saya penasaran, tapi mau tanya agak takut,” ujar Lani. Sashi mengulas senyum, hingga kemudian membalas, “Tanya saja, tidak apa.” Lani mendekat ke Sashi. Dia berdiri di depan meja, siap untuk bertanya. “Dokter kelihatan sangat akrab sekali dengan Pak Nanda dan adik-adiknya. Memangnya kenal?” tanya Lani memberanikan diri setelah menahan tak bertanya seharian. Sashi langsung mengulum bibir mendengar pertanyaan Lani, hingga menoleh ke pintu sebelum kembali menatap Lani. Lani sendiri sangat penasaran, kenapa Sashi terlihat begitu misterius. “Jika aku cerita, kamu bisa merahasiakannya dulu?” tanya Sashi balik. Lani penuh semangat menganggukan kepala, lantas membuat gerakan mengunci mulut. “Nanda suamiku, tentunya Bas dan Nana adik iparku,” ujar Sashi memberitahu. Lani sangat terkejut mendengar ucapan Sashi. Dia sampai menutup mulut dengan telapak tangan.