“Nanti jangan bilang ke Mama kalau aku pingsan,” ucap Nana sambil menoleh Bastian. Nana dan Bastian pulang bersama, mobil mereka kini sudah sampai di depan garasi. “Kenapa?” tanya Bastian keheranan. “Aku hanya tidak ingin Mama cemas, apalagi aku janji mau menemaninya pergi dan dia sudah senang. Kalau tahu aku sakit atau dalam kondisi kurang baik, dia pasti sedih.” Nana bicara sambil menatap nanar. Nana sangat peduli akan kebahagiaan Rihana, membuatnya tak tega jika harus membuat wanita itu cemas. “Baiklah, aku tidak akan bicara ke Mama soal kondisimu,” ujar Bastian menuruti permintaan Nana. Nana mengangguk lega, lantas keduanya pun turun dari mobil. Saat keduanya baru saja turun dari mobil, ternyata Rihana sudah berada di teras. “Ma.” Nana langsung menyapa sambil berjalan mendekat ke Rihana. Rihana memulas senyum melihat Nana. Dia lantas mengusap kedua pipi Nana penuh kasih sayang. “Kok pulangnya sore banget?” tanya Rihana. “Iya, tadi ada beberapa pekerjaan yang harus seles
“Tapi apa? Kenapa kamu tidak melanjutkan ucapanmu?” tanya Nanda yang sudah terlanjur penasaran.Sashi hanya tersenyum melihat Nanda yang penasaran. Dia lantas menjawab, “Tapi bohong. Bukan mantan, hanya teman dekat. Sayangnya umurnya tak panjang, dia meninggal karena kecelakaan.”Setelah mengatakan itu, Sashi merangkul lengan Nanda untuk mengajak suaminya itu melanjutkan langkah.Nanda terkejut mendengar ucapan Sashi. Dia berjalan sambil menatap istrinya itu.“Kamu masih memikirkannya?” tanya Nanda masih saja penasaran.“Tentu saja, ya meski kadang lupa,” jawab Sashi tanpa menatap suaminya.Nanda diam mendengar jawaban Sashi. Melanjutkan langkah dengan ekspresi wajah yang tak bisa dideskripsikan.“Sudah jangan dibahas lagi. Itu hanya masa lalu, misal ingat pun hanya untuk mengenang, apalagi dia selalu baik kepadaku. Dia tahu aku suka melukis, dia juga merahasiakan hobiku itu dari teman lain,” ujar Sashi yang tak ingin Nanda terus penasaran.Nanda akhirnya hanya mengangguk, lantas mene
“Sibuk tidak? Boleh aku masuk?”Suara ketukan pintu terdengar dengan suara yang sangat dikenali. Sashi menoleh ke pintu, dia melihat Nana yang berdiri di sana.“Nana, masuklah!” Sashi langsung mempersilakan.Nana memulas senyum, lantas berjalan masuk menghampiri Sashi.“Ada apa? Kamu merasa tak enak badan lagi? Kalau masih sakit, seharusnya ambil cuti,” ujar Sashi yang mencemaskan kondisi adik iparnya itu.“Sebenarnya masih agak pusing, juga ditambah rasanya mual saat mau makan,” jawab Nana.Sashi menatap iba melihat Nana yang tak seperti awal mereka kenal. Sebelumnya Nana begitu ceria, wajahnya cerah dan sangat segar, tapi akhir-akhir ini semenjak masalah yang terjadi di rumah, Nana jadi murung dan kurang sehat.“Coba berbaring, biar aku periksa,” kata Sashi sambil berdiri.Nana mengangguk, lantas berjalan ke ranjang yang tersedia.Sashi menarik tirai pembatas agar tidak terlihat dari luar. Dia kemudian mulai memeriksa adik iparnya itu.“Bagian mana yang kamu rasa sangat sakit?” tany
[Mommy mengirimkan makan siang untukmu. Sebenarnya mau meminta tolong Pak Andi, tapi ternyata Aruna yang ingin mengantar. Makan yang banyak, ya. Biar kamu selalu sehat.]Sashi terkejut membaca pesan dari sang mommy. Dia hanya tak menyangka Aruna tiba-tiba mau mengantar makanan untuknya.“Kenapa tiba-tiba? Tidak ada masalah lagi, kan?”Sashi mendadak cemas, takut jika sampai Aruna datang dengan dalih mengantar makanan, padahal sebenarnya memiliki maksud lain.Sashi memejamkan mata sekilas, lantas menggelengkan kepala.“Tidak, kamu tidak boleh berpikiran negatif.”Sashi berusaha berpikir positif agar bisa mengatur emosinya dengan baik.Saat Sashi baru saja meyakinkan jika Aruna mau mengantar makanan karena kebetulan, ponselnya berdering karena ada pesan dari Nanda.[Mau makan siang bersama?]Sashi tersenyum membaca pesan dari suaminya itu. Dia pun buru-buru membalas pesan itu.[Mommy mengirim makanan, tapi masih dalam perjalanan. Nanti kalau sudah sampai, bagaimana kalau dimakan bersama
“Kamu mau membantuku?”“Apa?”“Jadi pacarku?”Ansel mengerutkan alis mendengar ucapan Aruna.“Kenapa?” tanya Ansel keheranan karena Aruna mengajaknya bicara untuk meminta hal itu.Aruna menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan.“Aku sebenarnya kesal, kenapa Bumi tak bisa melihatku padahal aku menyukainya. Aku hanya ingin memperlihatkan jika aku bisa mendapatkan yang lebih baik darinya,” jawab Aruna menjelaskan.“Kenapa aku? Kenapa tidak orang lain?” tanya Ansel merasa aneh karena Aruna meminta dirinya untuk menjadi pacar, bukan pemuda lain.Aruna menggigit bibir bawahnya, lantas menjawab, “Karena aku yakin, baru denganmu dia bisa bisa melihat.”Ansel diam sejenak, lantas kembali bicara. “Lalu, apa keuntungannya untukmu sendiri? Kamu hanya ingin membuatnya kesal, atau ingin dia mengejarmu setelah menyadari kalau kamu bersamaku?”Pertanyaan itu cukup menohok, tapi Aruna memang harus menjawabnya untuk melancarkan aksinya.“Aku belum memutuskan hal itu, hanya saja aku memang in
“Apa masih belum ada kabar dari rumah sakit?”Nanda berjalan mendekat ke ranjang di mana Sashi berada.Sashi meletakkan ponsel yang dipegangnya karena Nanda mengajak bicara.“Belum, ini memang sedikit lama. Tapi ya memang kadang ada yang butuh waktu lama,” jawab Sashi menjelaskan.Nanda mengangguk mendengar jawaban Sashi, lantas naik ranjang dan langsung merebahkan tubuh sambil menjadikan paha Sashi sebagai bantal.Sashi terkejut melihat kelakuan Nanda, tapi kemudian tersenyum dan membiarkan saja suaminya berbaring berbantal paha.“Besok Sabtu, kamu mau melakukan apa? Mau jalan-jalan?” tanya Nanda sambil memandang Sashi.“Aku ingin menghabiskan seharian melukis. Tidak apa ‘kan kalau ga keluar? Kita bisa keluar di hari Minggu, bagaimana?” tanya balik Sashi setelah menjawab.Sashi memang menolak, tapi juga memberi tawaran lain agar suaminya tak marah.Nanda memahami keinginan Sashi, hingga kemudian menjawab, “Tentu, tidak masalah.”Pria itu bangun, lantas duduk berhadapan dengan Sashi.
Sashi berada di ruang lukisnya. Kini ruangan itu tidak lagi dikunci rapat karena Nanda sudah tahu. Bahkan Rina dan pembantu lain pun tahu, tapi tentunya mereka sudah diminta untuk tak memberitahukan soal hobinya itu ke orang lain.Sashi masih sibuk memoleskan cat dengan sentuhan halus di kanvas. Dia masih melanjutkan misi melukis suaminya saat mereka honeymoon. Hingga ponsel Sashi berdering, membuat fokus wanita itu tertuju ke layar ponselnya.Sashi buru-buru menjawab panggilan dari dokter yang bekerja di laboratorium.“Halo, Dok. Hasil tesnya sudah keluar semua?” tanya Sashi cepat begitu menjawab panggilan itu.“Sudah, Dok. Hasil tesnya sudah keluar semua, Dokter Sashi bisa ambil hasilnya di rumah sakit hari ini,” ujar dokter dari seberang panggilan.“Apa ada masalah serius dengan sampel darah yang aku berikan?” tanya Sashi memastikan agar tidak penasaran.“Tidak ada, Dok. Semuanya baik, hanya saja ….”Suara dokter dari seberang panggilan terjeda, membuat Sashi langsung menegakkan ba
“Nana, jadi itu benar?” tanya Sashi dengan ekspresi wajah syok. Nana melipat bibir dalam-dalam, lantas mengguyar rambut ke belakang sambil mengalihkan pandangan dari Sashi. “Aku sudah merasakannya, tapi aku tidak tahu harus bagaimana?” Nana memeluk kedua lengannya sambil menunduk. Dia tertekan bukan hanya karena ucapan Rihana ke Clara, tapi juga karena sudah merasa jika hamil sebab terlambat datang bulan. “Aku harus bagaimana? Mama ingin menjodohkanku dengan pria lain, sedangkan aku tidak bisa menolak. Aku juga tidak bisa jika harus berpisah dari Bas.” Nana menangis setelah mengatakan itu. Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Nana. Dia langsung berdiri kemudian memeluk adik iparnya itu. Bulir kristal bening terus luruh dari kelopak mata. Nana lantas menyandarkan kepala dalam pelukan kakak iparnya itu untuk menyembunyikan wajahnya. “Aku harus bagaimana? Aku tidak bisa menyakiti siapa pun,” ucap Nana di sela isak tangis.
“Dia tampan sekali. Pipinya juga menggemaskan.” Rihana langsung menggendong cucu keduanya itu. Rihana, Bintang, dan para suami datang ke sana setelah satu minggu Sashi melahirkan. Mereka begitu bahagia mengetahui Sashi melahirkan dengan lancar. “Aku mau menggendongnya,” kata Bintang mengambil Archie dari gendongan Rihana. Sashi dan Nanda menatap para orang tua yang sangat bahagia. Mereka begitu bahagia melihat semuanya berkumpul di sana. “Siapa namanya?” tanya Bintang sambil menimang bayi Archie. “Archie Abimand Mahendra. Nanda ingin nama keluarga tersemat di namanya,” jawab Sashi. “Nama yang bagus,” puji Rihana sambil mengelus pipi Archie menggunakan telunjuk, membuat bayi mungil itu menggeliat geli. Bintang menatap cucu pertamanya itu. Melihat Archie yang sangat menggemaskan, membuat Bintang malah sedih. “Apa kamu akan balik ke Indonesia?” tanya Bintang sambil menatap Sashi. Semua orang pun terkejut hingga menatap Bintang, kemudian ke Sashi secara bergantian. Sashi bingung
Sashi baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tiba-tiba merasakan perutnya sakit, membuat Sashi langsung berpegangan pada kusen pintu. “Agh, kenapa sakit?” Sashi memegangi perutnya yang besar. Kehamilan Sashi baru memasuki usia sembilan bulan. Dia menjalani hari dalam masa kehamilan dengan baik meski Nanda tak selalu ada di sampingnya. Pagi itu dia baru saja mencuci wajah, tapi perutnya tiba-tiba terasa mulas bahkan panas juga pinggangnya pegal. “Apa kamu mau keluar sekarang?” Sashi menahan sakit sambil mengusap perutnya. Sashi mengalami kontraksi, membuatnya tak sanggup berjalan hingga memilih langsung duduk di ranjang. Dia berulang kali mengatur napas karena kontraksi yang terjadi. “Anda sudah bangun?” Suara perawat pribadi yang selama beberapa bulan ini merawat dan menjaga Sashi masuk kamar. Dia terkejut karena melihat Sashi kesakitan. “Anda baik-baik saja?” tanya wanita itu langsung berlari menghampiri Sashi. “Sepertinya bayinya mau lahir,” jawab Sashi sambil menahan sakit
“Kenapa kamu ke sini lagi?” Bumi melotot ke Winnie yang kembali datang ke kafenya. Dia sepertinya sedikit tak senang dengan Winnie yang sangat cerewet. “Apa? Aku mau jajan, kenapa kamu galak sekali? Ingat, Om. Tidak boleh galak-galak, nanti cepat tua,” balas Winnie tak takut sama sekali meski Bumi memasang wajah garang. “Kalau mau beli makanan atau minuman di sini, take away jangan makan di sini,” ucap Bumi karena sebelumnya Winnie begitu cerewet bertanya soal seseorang yang menemuinya waktu itu. Padahal jika dipikir, Winnie tak ada hubungan dengan Bumi, tapi kenapa gadis itu bertanya seolah sedang menginterogasi. Selama beberapa bulan ini, Winnie memang sering datang ke kafe Bumi meski tidak tiap hari. Bukannya senang mendapat pelanggan tetap, Bumi malah kesal karena sikap Winnie cerewet dan penasaran dengan apa pun yang dilihat di kafe itu.Baru saja Winnie ingin membalas ucapan Bumi. Tiba-tiba beberapa anak berseragam masuk ke kafe dan langsung menatap Winnie. “Eh, kamu di sin
“Kamu benar-benar tidak apa-apa jika aku balik ke indo?” tanya Nanda sambil membelai rambut Sashi dengan lembut. Nanda sudah beberapa hari di sana. Dia harus kembali ke Indonesia untuk mengurus pekerjaan, tapi Nanda juga masih berat jika harus meninggalkan Sashi. “Iya, tidak apa-apa. Lagian aku juga baik-baik saja, bahkan tidak mengalami morning sickness. Jadi kamu jangan cemas,” jawab Sashi. Sebenarnya bukan masalah takut Sashi sakit atau mengalami kendala saat menjaga kesehatan. Dia hanya tak bisa jauh dari istrinya yang sedang hamil, Nanda seperti perlu terus berada di sisi istrinya itu. Saat keduanya masih berbincang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Nanda pun memilih membuka pintu, hingga melihat pelayan rumah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya Nanda. “Nyonya besar datang bersama yang lain, Tuan.” Pelayan itu menyampaikan kedatangan Rihana. “Mama datang? Baiklah, aku akan segera turun,” kata Nanda lantas kembali masuk menghampiri Sashi. “Ada apa?” t
“Kamu benar-benar tidak apa?” tanya Sashi saat melihat Nanda sedang berganti pakaian.Nanda menoleh saat mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mendekat ke Sashi yang duduk di ranjang.“Apanya tidak apa, hm?” tanya balik Nanda lantas duduk di samping Sashi.Sashi sepertinya masih takut jika Nanda belum bisa menerima jika dirinya hamil, meski tadi sudah berkata tidak apa-apa.“Kamu tidak apa-apa kalai aku hamil?” tanya Sashi memastikan.Nanda memulas senyum mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Tentu saja tidak apa-apa. Aku malah bahagia karena akhirnya kamu bisa hamil. Mungkin dulu aku belum siap karena takut kamu sakit, tapi sekarang berbeda karena yang terpenting bagiku sekarang kamu bahagia,” jawab Nanda sambil tersenyum begitu tulus dan penuh kasih sayang.Sashi menautkan jemari mereka, lantas menyandarkan kepala di pundak Nanda.“Aku janji akan selalu sehat dan menjaga bayi kita dengan baik,” ucap Sashi agar Nanda tak perlu cemas.Nanda ters
Nanda masuk ke ruang USG, hingga melihat Sashi yang berbaring dan kini sedang diperiksa.“Bagaimana kondisi istri saya?” tanya Nanda saat sudah masuk ke ruangan itu.Sashi terkejut hingga tatapannya tertuju ke Nanda yang baru saja datang.“Kamu datang.” Sashi terlihat senang melihat Nanda di sana.Nanda mendekat dengan ekspresi wajah cemas, lantas memandang ke monitor yang baru saja diperhatikan oleh dokter.“Sebenarnya istri saya kenapa, Dok?” tanya Nanda.Dokter itu tersenyum sambil meletakkan alat USG, hingga kemudian menjawab, “Selamat, istri Anda hamil.”Nanda tertegun tak percaya mendengar ucapan selamat dari dokter itu. Dia sampai memandang Sashi dengan rasa tak percaya.Sashi sendiri hanya tersenyum karena tadi sudah memberitahu kalau dirinya hamil, kini usia kandungan Sashi pun baru enam minggu.“Hamil? Serius hamil? Bukan penyakit?” tanya Nanda memastikan dengan sedikit rasa tidak percaya.Sashi meraih tangan Nanda yang dekat dengannya, lantas menautkan jemari mereka.“Iya,
Satu tahun berlalu. Sashi masih setia menemani Aruna di luar negeri, Nanda sendiri datang setiap seminggu sekali, lantas tinggal beberapa hari sebelum kembali ke Indonesia.Sashi sendiri mulai lega karena akhirnya Aruna bisa menyesuaikan diri dan kini sudah memiliki beberapa teman di kampus barunya.“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya Sashi saat melihat Aruna baru saja pulang.“Menyenangkan,” jawab Aruna sambil melebarkan senyum.“Mommy tadi telepon, tanya apa kamu masih suka murung-murungan, kujawab tidak karena kamu sudah baik-baik saja,” ucap Sashi.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Sashi. Meski dia terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja sudah satu tahun belum bisa melupakan Ansel.“Jika nanti sudah lulus, aku ingin kerja di sini saja. Di sini lebih enak, meski pergaulan di sini berbeda dengan di Indonesia, tapi aku sudah berusaha menjaga batasan,” ujar Aruna.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Aruna. Dia lantas membalas, “Apa kamu tidak ingin meneruskan perusahaan Dadd
“Bagaimana dengan Runa?” tanya Nanda saat menemui Sashi di kamar. Mereka sudah ada di sana sebulan. Aruna sendiri belum keluar dari rumah sama sekali sejak sebulan ini. “Masih sama. Hanya di kamar, duduk di teras, atau jalan-jalan,” jawab Sashi yang sedih mengetahui Aruna tak seperti dulu dan lebih banyak murungnya. Nanda menghela napas, mereka sudah berusaha membuat Aruna bersemangat, soal Aruna mau bangkit atau tidak, semua harus dari diri sendirinya. “Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal? Aku tidak tega melihatmu sedih melihat Aruna seperti itu,” ucap Nanda sambil mengusap rambut Sashi. Nanda masih harus bolak-balik mengurus pekerjaan, sehingga dia pun tidak bisa setiap saat ada di sana. “Kamu tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Soal Runa, aku akan berusaha mengajaknya jalan-jalan mencari suasana baru. Dia juga seharusnya sudah mulai mengurus perpindahan kuliahnya, tapi dia belum bersemangat,” balas Sashi. Sashi mencoba memahami posisi suaminya yang tak bisa terus berad
Aruna memandangi kamar yang akan ditinggalkannya. Dia sudah memantapkan hati untuk pergi karena benar-benar tak bisa melupakan Ansel begitu saja jika masih di kota itu. Baginya Ansel adalah cinta pertama yang tak bisa dilupakan. Meski dulu awalnya dia menyukai Bumi, tapi kenyataannya Ansellah yang menduduki hatinya pertama kali. “Kamu sudah siap?” tanya Sashi yang menghampiri Aruna di kamar. Aruna menatap Sashi, lantas menganggukkan kepala. Dia mengambil tas dan jaketnya, lantas menarik koper yang ada di dekat ranjang. Setelah mengurus visa tinggal terbatas dan pasport, akhirnya Aruna akan pergi ke Amerika untuk belajar sekalian menenangkan diri. Namun, tentunya Aruna akan pergi bersama keluarga, lalu nantinya akan tinggal bersama Sashi dan Nanda sesuai kesepakatan, meski Nanda akan bolak-balik karena urusan pekerjaan. Bintang menatap Aruna yang baru saja menuruni anak tangga bersama Sashi. Bintang tak kuasa melihat kedua putrinya akan pergi dan tinggal jauh darinya. Sopir yang