“Tapi apa? Kenapa kamu tidak melanjutkan ucapanmu?” tanya Nanda yang sudah terlanjur penasaran.Sashi hanya tersenyum melihat Nanda yang penasaran. Dia lantas menjawab, “Tapi bohong. Bukan mantan, hanya teman dekat. Sayangnya umurnya tak panjang, dia meninggal karena kecelakaan.”Setelah mengatakan itu, Sashi merangkul lengan Nanda untuk mengajak suaminya itu melanjutkan langkah.Nanda terkejut mendengar ucapan Sashi. Dia berjalan sambil menatap istrinya itu.“Kamu masih memikirkannya?” tanya Nanda masih saja penasaran.“Tentu saja, ya meski kadang lupa,” jawab Sashi tanpa menatap suaminya.Nanda diam mendengar jawaban Sashi. Melanjutkan langkah dengan ekspresi wajah yang tak bisa dideskripsikan.“Sudah jangan dibahas lagi. Itu hanya masa lalu, misal ingat pun hanya untuk mengenang, apalagi dia selalu baik kepadaku. Dia tahu aku suka melukis, dia juga merahasiakan hobiku itu dari teman lain,” ujar Sashi yang tak ingin Nanda terus penasaran.Nanda akhirnya hanya mengangguk, lantas mene
“Sibuk tidak? Boleh aku masuk?”Suara ketukan pintu terdengar dengan suara yang sangat dikenali. Sashi menoleh ke pintu, dia melihat Nana yang berdiri di sana.“Nana, masuklah!” Sashi langsung mempersilakan.Nana memulas senyum, lantas berjalan masuk menghampiri Sashi.“Ada apa? Kamu merasa tak enak badan lagi? Kalau masih sakit, seharusnya ambil cuti,” ujar Sashi yang mencemaskan kondisi adik iparnya itu.“Sebenarnya masih agak pusing, juga ditambah rasanya mual saat mau makan,” jawab Nana.Sashi menatap iba melihat Nana yang tak seperti awal mereka kenal. Sebelumnya Nana begitu ceria, wajahnya cerah dan sangat segar, tapi akhir-akhir ini semenjak masalah yang terjadi di rumah, Nana jadi murung dan kurang sehat.“Coba berbaring, biar aku periksa,” kata Sashi sambil berdiri.Nana mengangguk, lantas berjalan ke ranjang yang tersedia.Sashi menarik tirai pembatas agar tidak terlihat dari luar. Dia kemudian mulai memeriksa adik iparnya itu.“Bagian mana yang kamu rasa sangat sakit?” tany
[Mommy mengirimkan makan siang untukmu. Sebenarnya mau meminta tolong Pak Andi, tapi ternyata Aruna yang ingin mengantar. Makan yang banyak, ya. Biar kamu selalu sehat.]Sashi terkejut membaca pesan dari sang mommy. Dia hanya tak menyangka Aruna tiba-tiba mau mengantar makanan untuknya.“Kenapa tiba-tiba? Tidak ada masalah lagi, kan?”Sashi mendadak cemas, takut jika sampai Aruna datang dengan dalih mengantar makanan, padahal sebenarnya memiliki maksud lain.Sashi memejamkan mata sekilas, lantas menggelengkan kepala.“Tidak, kamu tidak boleh berpikiran negatif.”Sashi berusaha berpikir positif agar bisa mengatur emosinya dengan baik.Saat Sashi baru saja meyakinkan jika Aruna mau mengantar makanan karena kebetulan, ponselnya berdering karena ada pesan dari Nanda.[Mau makan siang bersama?]Sashi tersenyum membaca pesan dari suaminya itu. Dia pun buru-buru membalas pesan itu.[Mommy mengirim makanan, tapi masih dalam perjalanan. Nanti kalau sudah sampai, bagaimana kalau dimakan bersama
“Kamu mau membantuku?”“Apa?”“Jadi pacarku?”Ansel mengerutkan alis mendengar ucapan Aruna.“Kenapa?” tanya Ansel keheranan karena Aruna mengajaknya bicara untuk meminta hal itu.Aruna menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan.“Aku sebenarnya kesal, kenapa Bumi tak bisa melihatku padahal aku menyukainya. Aku hanya ingin memperlihatkan jika aku bisa mendapatkan yang lebih baik darinya,” jawab Aruna menjelaskan.“Kenapa aku? Kenapa tidak orang lain?” tanya Ansel merasa aneh karena Aruna meminta dirinya untuk menjadi pacar, bukan pemuda lain.Aruna menggigit bibir bawahnya, lantas menjawab, “Karena aku yakin, baru denganmu dia bisa bisa melihat.”Ansel diam sejenak, lantas kembali bicara. “Lalu, apa keuntungannya untukmu sendiri? Kamu hanya ingin membuatnya kesal, atau ingin dia mengejarmu setelah menyadari kalau kamu bersamaku?”Pertanyaan itu cukup menohok, tapi Aruna memang harus menjawabnya untuk melancarkan aksinya.“Aku belum memutuskan hal itu, hanya saja aku memang in
“Apa masih belum ada kabar dari rumah sakit?”Nanda berjalan mendekat ke ranjang di mana Sashi berada.Sashi meletakkan ponsel yang dipegangnya karena Nanda mengajak bicara.“Belum, ini memang sedikit lama. Tapi ya memang kadang ada yang butuh waktu lama,” jawab Sashi menjelaskan.Nanda mengangguk mendengar jawaban Sashi, lantas naik ranjang dan langsung merebahkan tubuh sambil menjadikan paha Sashi sebagai bantal.Sashi terkejut melihat kelakuan Nanda, tapi kemudian tersenyum dan membiarkan saja suaminya berbaring berbantal paha.“Besok Sabtu, kamu mau melakukan apa? Mau jalan-jalan?” tanya Nanda sambil memandang Sashi.“Aku ingin menghabiskan seharian melukis. Tidak apa ‘kan kalau ga keluar? Kita bisa keluar di hari Minggu, bagaimana?” tanya balik Sashi setelah menjawab.Sashi memang menolak, tapi juga memberi tawaran lain agar suaminya tak marah.Nanda memahami keinginan Sashi, hingga kemudian menjawab, “Tentu, tidak masalah.”Pria itu bangun, lantas duduk berhadapan dengan Sashi.
Sashi berada di ruang lukisnya. Kini ruangan itu tidak lagi dikunci rapat karena Nanda sudah tahu. Bahkan Rina dan pembantu lain pun tahu, tapi tentunya mereka sudah diminta untuk tak memberitahukan soal hobinya itu ke orang lain.Sashi masih sibuk memoleskan cat dengan sentuhan halus di kanvas. Dia masih melanjutkan misi melukis suaminya saat mereka honeymoon. Hingga ponsel Sashi berdering, membuat fokus wanita itu tertuju ke layar ponselnya.Sashi buru-buru menjawab panggilan dari dokter yang bekerja di laboratorium.“Halo, Dok. Hasil tesnya sudah keluar semua?” tanya Sashi cepat begitu menjawab panggilan itu.“Sudah, Dok. Hasil tesnya sudah keluar semua, Dokter Sashi bisa ambil hasilnya di rumah sakit hari ini,” ujar dokter dari seberang panggilan.“Apa ada masalah serius dengan sampel darah yang aku berikan?” tanya Sashi memastikan agar tidak penasaran.“Tidak ada, Dok. Semuanya baik, hanya saja ….”Suara dokter dari seberang panggilan terjeda, membuat Sashi langsung menegakkan ba
“Nana, jadi itu benar?” tanya Sashi dengan ekspresi wajah syok. Nana melipat bibir dalam-dalam, lantas mengguyar rambut ke belakang sambil mengalihkan pandangan dari Sashi. “Aku sudah merasakannya, tapi aku tidak tahu harus bagaimana?” Nana memeluk kedua lengannya sambil menunduk. Dia tertekan bukan hanya karena ucapan Rihana ke Clara, tapi juga karena sudah merasa jika hamil sebab terlambat datang bulan. “Aku harus bagaimana? Mama ingin menjodohkanku dengan pria lain, sedangkan aku tidak bisa menolak. Aku juga tidak bisa jika harus berpisah dari Bas.” Nana menangis setelah mengatakan itu. Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Nana. Dia langsung berdiri kemudian memeluk adik iparnya itu. Bulir kristal bening terus luruh dari kelopak mata. Nana lantas menyandarkan kepala dalam pelukan kakak iparnya itu untuk menyembunyikan wajahnya. “Aku harus bagaimana? Aku tidak bisa menyakiti siapa pun,” ucap Nana di sela isak tangis.
“Nana mau menginap di sana? Baiklah, iya Mama tidak masalah. Biasa kalau dia sesekali ingin bersama Nanda.”Sashi sedang bicara dengan Rihana melalui panggilan telepon untuk memberitahu soal Nana yang ingin menginap di rumahnya.“Baik, Ma. Nana sedang mandi dan belum sempat memberitahu Mama, jadi kupikir lebih baik minta izin dulu,” ujar Sashi sambil menoleh Nana yang berada di sampingnya. Dia tahu Nana takkan berani meminta izin, sehingga dialah yang menghubungi Nana.“Iya tidak apa. Dia kalau sudah sama Nanda, pasti lupa semuanya,” ujar Rihana dari seberang panggilan.Sashi tersenyum mendengar ucapan snag mama, hingga kemudian pamit lalu mengakhiri panggilan.“Bagaimana? Apa Mama curiga?” tanya Nana yang cemas.“Tidak, Mama tidak masalah kamu menginap,” jawab Sashi.Nana menghela napas kasar, setidaknya dia bisa menenangkan diri dulu, sampai siap membicarakan soal kehamilan