“Nana mau menginap di sana? Baiklah, iya Mama tidak masalah. Biasa kalau dia sesekali ingin bersama Nanda.”
Sashi sedang bicara dengan Rihana melalui panggilan telepon untuk memberitahu soal Nana yang ingin menginap di rumahnya.
“Baik, Ma. Nana sedang mandi dan belum sempat memberitahu Mama, jadi kupikir lebih baik minta izin dulu,” ujar Sashi sambil menoleh Nana yang berada di sampingnya. Dia tahu Nana takkan berani meminta izin, sehingga dialah yang menghubungi Nana.
“Iya tidak apa. Dia kalau sudah sama Nanda, pasti lupa semuanya,” ujar Rihana dari seberang panggilan.
Sashi tersenyum mendengar ucapan snag mama, hingga kemudian pamit lalu mengakhiri panggilan.
“Bagaimana? Apa Mama curiga?” tanya Nana yang cemas.
“Tidak, Mama tidak masalah kamu menginap,” jawab Sashi.
Nana menghela napas kasar, setidaknya dia bisa menenangkan diri dulu, sampai siap membicarakan soal kehamilan
“Apa ada masalah?” Ssahi terkejut mendengar pertanyaan dari Nanda. Dia sedang ganti baju, lantas menoleh ke Nanda yang sudah berdiri di belakangnya. “Tidak, kenapa?” tanya Sashi balik. “Tidak ada, hanya saja merasa aneh karena Nana tiba-tiba ikut ke sini untuk menginap. Aku tahu betul jika dia tidak terbiasa tidur selain di kamarnya. Bahkan jika sedang keluar kota saja, dia akan berusaha menyelesaikan pekerjaan, agar bisa segera pulang dan tidur di kasurnya,” ungkap Nanda mengungkap kebiasaan aneh Nana. Bahkan saat pertama kali pindah, Nana sampai harus tidur ditemani sang kakak agar bisa tidur pulas sebelum akhirnya terbiasa dengan kamar barunya. “Ah … sebenarnya dia ingin mengatakan sesuatu kepadamu, hanya saja dia ingin juga menginap untuk sedikit menenangkan pikiran. Ingat, Nana sedang dalam kondisi tertekan, jadi mungkin dia menginap hanya untuk sedikit melepas bebannya dari rumah,” ujar Sashi menjelaskan agar Nanda tak curiga lebih dulu. Nanda mengangguk-angguk mendengar uc
Sesaat sebelumnya. “Kamu mau ke mana, Bas?” tanya Rihana saat melihat Bastian menuruni anak tangga dengan cepat. Bastian menghentikan langkah sebentar, lantas menoleh sang mama. “Mama tidak bisa memperlakukan kami seperti ini. Tidak akan ada yang dijodohkan, jika memang harus menikah maka aku yang akan menikahi Nana.” Setelah mengucapkan itu, Bastian kembali melanjutkan langkah. Rihana sangat terkejut mendengar ucapan Bastian, jadi dugaannya kini benar kalau Bastian dan Nana memang menjalin hubungan di luar status mereka sebagai kakak beradik. “Bas! Berhenti!” Rihana mencoba mengejar Bastian. Bastian tidak mendengarkan teriakan Rihana. Dia masuk mobil, lantas melajukan mobil dengan cepat. ** Saat ini, Nanda dan Sashi pergi ke rumah Rihana setelah wanita itu menghubungi. Keduanya lantas mendengar cerita dari sang mama sebelum Bastian pergi. “Kamu tahu kalau mereka pacaran, Nan? Katakan ke mama, kamu tahu Nana dan Bas menjalin hubungan?” tanya Rihana dengan nada penuh penekana
“Na.” Bastian menatap Nana masih dengan rasa tak percaya. Nana terduduk di jalanan. Dia menangis lagi setelah mengungkap kehamilannya. “Aku hanya sedang bingung, aku butuh mempersiapkan diri untuk mengatakan ini ke semua orang,” ucap Nana di sela isak tangis. Bastian benar-benar tak menyangka akan hal ini. Dia pun merasa salah karena sudah berpikiran buruk soal Nana. Bastian pun lantas memeluk Nana untuk menenangkan. “Maaf kalau sudah membentakmu. Jujur aku benar-benar takut jika kita dipisahkan,” ujar Bastian sambil mengusap punggung Nana dengan lembut. Nana menangis sesenggukan, menyembunyikan wajah dalam dekapan Bastian dengan air mata yang membanjiri wajah. Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu, hingga akhirnya Bastian mengajak Nana untuk bangun. “Sudah lebih baik?” tanya Bastian sambil mengusap wajah Nana yang basah. Nana hanya mengangguk sambil mengatur emosinya agar tidak terus menangis. “Kita pergi,” ajak Bastian sambil menggandeng tangan Nana karena hari yang su
Nanda masih belum beristirahat meski waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Dia masih terus memikirkan serta mencemaskan kondisi Nana, apalagi sekarang sang adik sedang dalam kondisi hamil. “Kalian pergi ke mana?” Nanda benar-benar frustasi karena belum mengetahui keberadaan adiknya. Hingga ponsel Nanda berdering, pesan dari Lukas terpampang di layar. [Terpantau Bas dan Nana baru saja menarik uang di salah satu anjungan tunai mandiri di luar kota.] Nanda langsung menegakkan badan membaca pesan itu. “Luar kota? Mereka benar-benar berniat kabur?” Nanda benar-benar tak habis pikir dengan keputusan Nana dan Bastian. [Pastikan mereka di mana, atau menginap di mana. Lalu biarkan saja, selama mereka tak bergerak pergi.] Nanda pun mengirimkan pesan lagi, lantas mendapat balasan dari Lukas. Nanda menghela napas kasar, hingga sedikit lega karena setidaknya tahu di mana posisi Bastian dan Nana sekarang. Dia pun akhirnya bisa beristirahat dengan tenang. Nanda kembali ke kamar, melihat
“Aku akan segera ke sana.” Nanda mengakhiri panggilan dan bangun dengan ekspresi wajah panik. Sashi pun bingung dengan apa yang terjadi hingga membuat suaminya buru-buru bangun seperti itu. “Apa yang terjadi?” tanya Sashi. Nanda menoleh Sashi, hingga kemudian menjawab, “Mama dibawa ke rumah sakit karena tak sadarkan diri dan sempat jatuh.” Sashi sangat terkejut mendengar jawaban Nanda. Dia pun segera mengganti pakaian untuk ikut Nanda melihat keadaan Rihana di rumah sakit. Mereka pergi ke rumah sakit secepatnya, lantas pergi ke IGD karena Rihana masih di sana. “Dokter Sashi.” Zidan langsung menyapa saat melihat Sashi di sana. Sashi langsung membalas sapaan Zidan, sedangkan Nanda memasang wajah tak senang. “Kenapa datang ke IGD, apa ada yang sakit?” tanya Zidan. “Mamaku dibawa ke sini karena jatuh dan pingsan, apa kamu yang memeriksanya?” tanya Sashi menjelaskan. Zidan langsung bisa menangkap maksud ucapan Sashi, lantas melirik Nanda yang terus menggenggam telapak tangan Sas
“Maaf, apa kalian tidak bisa duduk di meja lain?” tanya Bastian sopan. Dia tidak ingin ada masalah di sana. Dua pria itu menoleh, lantas salah satunya berkata, “Makan saja, kami tidak akan menganggu kalian.” Bastian dan Nana saling pandang, hingga keduanya seolah memiliki pemikiran yang sama. “Ada yang menyuruh kalian mengawasi kami?” tanya Bastian hati-hati. Dia hanya merasa aneh jika tiba-tiba ada dua pria tampang preman mendekati mereka, tapi keduanya terlihat sopan. Dua pria itu saling tatap, hingga salah satunya mengangguk seperti memberi isyarat. “Pak Nanda yang menyuruh kami. Beliau akan datang, jadi meminta kami memastikan kalian tidak pergi lebih jauh lagi,” jawab salah satu pria itu jujur. Bastian dan Nana sangat terkejut, tidak menyangka Nanda bisa menemukan mereka secepat ini. Bastian hendak bergerak, tapi pria yang duduk di sampingnya langsung menahan sandaran kursinya, membuat Bastian akhirnya memilih diam. “Kami tidak akan menyakiti kalian, tugas kami hanya menj
“Non, mau ke rumah sakit?” tanya pembantu ketika melihat Clara yang menuruni anak tangga. “Iya,” jawab Clara singkat. “Kalau gitu nitip makanan buat Tuan. Tadi Tuan bilang suruh kirim makanan ke rumah sakit, kalau Non Clara mau ke sana, minta tolong bawakan sekalian,” ujar pembantu itu hati-hati. Dia tahu betul bagaimana temperamen Clara, sehingga takut jika Clara malah menganggapnya sedang mengatur dan memerintah karena minta tolong. “Mana makanannya, aku bawakan,” kata Clara. Pembantu itu tersenyum mengangguk, lantas berkata jika akan menyiapkannya dengan cepat. “Mbok, aku mau tanya.” Pembantu itu berhenti melangkah karena mendengar ucapan Clara. “Ada apa, Non?” tanya pembantu. “Apa benar Kak Bas dan Nana kabur? Berdua?” tanya Clara yang tak tahu kejadian di rumah, hanya mendengar secara tak sengaja beberapa pembantu mengatakan itu. Pembantu itu kebingungan, tapi akhirnya jujur dengan menjawab sambil menganggukkan kepala. Clara benar-benar tak menyangka, selain dirinya yan
Bastian dan Nana saling lirik, keduanya benar-benar tak bisa kabur karena dijaga dua pria yang sejak tadi menahannya. “Sampai kapan kalian akan menahan kami duduk di sini? Apa kalian merasa tidak sungkan dengan pemilik warung karena sudah duduk di sini hampir berjam-jam,” ujar Bastian karena mulai lelah hanya duduk saja di sana. “Kami sudah membayar kursi ini, jadi bebas mau duduk di sini sampai berjam-jam tak masalah. Kalian tidak akan ke mana-mana, sampai Tuan Nanda datang,” ujar pria yang menjaga Bastian dan Nana. Bastian mendengkus frustasi karena ditahan di sana, hingga melirik Nana yang terlihat gusar. “Ada apa, Na?” tanya Bastian yang membuat dua orang pria bersama mereka langsung menoleh bersamaan ke Nana. “Aku merasa mual,” jawab Nana sambil membungkam mulut. Bastian membulatkan bola mata lebar mendengar jawaban Nana, lantas menoleh ke pria yang ada di samping mereka. “Nana butuh ke kamar kecil karena mual, apa kalian tetap akan menahannya di sini?” Bastian mulai panik
“Dia tampan sekali. Pipinya juga menggemaskan.” Rihana langsung menggendong cucu keduanya itu. Rihana, Bintang, dan para suami datang ke sana setelah satu minggu Sashi melahirkan. Mereka begitu bahagia mengetahui Sashi melahirkan dengan lancar. “Aku mau menggendongnya,” kata Bintang mengambil Archie dari gendongan Rihana. Sashi dan Nanda menatap para orang tua yang sangat bahagia. Mereka begitu bahagia melihat semuanya berkumpul di sana. “Siapa namanya?” tanya Bintang sambil menimang bayi Archie. “Archie Abimand Mahendra. Nanda ingin nama keluarga tersemat di namanya,” jawab Sashi. “Nama yang bagus,” puji Rihana sambil mengelus pipi Archie menggunakan telunjuk, membuat bayi mungil itu menggeliat geli. Bintang menatap cucu pertamanya itu. Melihat Archie yang sangat menggemaskan, membuat Bintang malah sedih. “Apa kamu akan balik ke Indonesia?” tanya Bintang sambil menatap Sashi. Semua orang pun terkejut hingga menatap Bintang, kemudian ke Sashi secara bergantian. Sashi bingung
Sashi baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tiba-tiba merasakan perutnya sakit, membuat Sashi langsung berpegangan pada kusen pintu. “Agh, kenapa sakit?” Sashi memegangi perutnya yang besar. Kehamilan Sashi baru memasuki usia sembilan bulan. Dia menjalani hari dalam masa kehamilan dengan baik meski Nanda tak selalu ada di sampingnya. Pagi itu dia baru saja mencuci wajah, tapi perutnya tiba-tiba terasa mulas bahkan panas juga pinggangnya pegal. “Apa kamu mau keluar sekarang?” Sashi menahan sakit sambil mengusap perutnya. Sashi mengalami kontraksi, membuatnya tak sanggup berjalan hingga memilih langsung duduk di ranjang. Dia berulang kali mengatur napas karena kontraksi yang terjadi. “Anda sudah bangun?” Suara perawat pribadi yang selama beberapa bulan ini merawat dan menjaga Sashi masuk kamar. Dia terkejut karena melihat Sashi kesakitan. “Anda baik-baik saja?” tanya wanita itu langsung berlari menghampiri Sashi. “Sepertinya bayinya mau lahir,” jawab Sashi sambil menahan sakit
“Kenapa kamu ke sini lagi?” Bumi melotot ke Winnie yang kembali datang ke kafenya. Dia sepertinya sedikit tak senang dengan Winnie yang sangat cerewet. “Apa? Aku mau jajan, kenapa kamu galak sekali? Ingat, Om. Tidak boleh galak-galak, nanti cepat tua,” balas Winnie tak takut sama sekali meski Bumi memasang wajah garang. “Kalau mau beli makanan atau minuman di sini, take away jangan makan di sini,” ucap Bumi karena sebelumnya Winnie begitu cerewet bertanya soal seseorang yang menemuinya waktu itu. Padahal jika dipikir, Winnie tak ada hubungan dengan Bumi, tapi kenapa gadis itu bertanya seolah sedang menginterogasi. Selama beberapa bulan ini, Winnie memang sering datang ke kafe Bumi meski tidak tiap hari. Bukannya senang mendapat pelanggan tetap, Bumi malah kesal karena sikap Winnie cerewet dan penasaran dengan apa pun yang dilihat di kafe itu.Baru saja Winnie ingin membalas ucapan Bumi. Tiba-tiba beberapa anak berseragam masuk ke kafe dan langsung menatap Winnie. “Eh, kamu di sin
“Kamu benar-benar tidak apa-apa jika aku balik ke indo?” tanya Nanda sambil membelai rambut Sashi dengan lembut. Nanda sudah beberapa hari di sana. Dia harus kembali ke Indonesia untuk mengurus pekerjaan, tapi Nanda juga masih berat jika harus meninggalkan Sashi. “Iya, tidak apa-apa. Lagian aku juga baik-baik saja, bahkan tidak mengalami morning sickness. Jadi kamu jangan cemas,” jawab Sashi. Sebenarnya bukan masalah takut Sashi sakit atau mengalami kendala saat menjaga kesehatan. Dia hanya tak bisa jauh dari istrinya yang sedang hamil, Nanda seperti perlu terus berada di sisi istrinya itu. Saat keduanya masih berbincang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Nanda pun memilih membuka pintu, hingga melihat pelayan rumah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya Nanda. “Nyonya besar datang bersama yang lain, Tuan.” Pelayan itu menyampaikan kedatangan Rihana. “Mama datang? Baiklah, aku akan segera turun,” kata Nanda lantas kembali masuk menghampiri Sashi. “Ada apa?” t
“Kamu benar-benar tidak apa?” tanya Sashi saat melihat Nanda sedang berganti pakaian.Nanda menoleh saat mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mendekat ke Sashi yang duduk di ranjang.“Apanya tidak apa, hm?” tanya balik Nanda lantas duduk di samping Sashi.Sashi sepertinya masih takut jika Nanda belum bisa menerima jika dirinya hamil, meski tadi sudah berkata tidak apa-apa.“Kamu tidak apa-apa kalai aku hamil?” tanya Sashi memastikan.Nanda memulas senyum mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Tentu saja tidak apa-apa. Aku malah bahagia karena akhirnya kamu bisa hamil. Mungkin dulu aku belum siap karena takut kamu sakit, tapi sekarang berbeda karena yang terpenting bagiku sekarang kamu bahagia,” jawab Nanda sambil tersenyum begitu tulus dan penuh kasih sayang.Sashi menautkan jemari mereka, lantas menyandarkan kepala di pundak Nanda.“Aku janji akan selalu sehat dan menjaga bayi kita dengan baik,” ucap Sashi agar Nanda tak perlu cemas.Nanda ters
Nanda masuk ke ruang USG, hingga melihat Sashi yang berbaring dan kini sedang diperiksa.“Bagaimana kondisi istri saya?” tanya Nanda saat sudah masuk ke ruangan itu.Sashi terkejut hingga tatapannya tertuju ke Nanda yang baru saja datang.“Kamu datang.” Sashi terlihat senang melihat Nanda di sana.Nanda mendekat dengan ekspresi wajah cemas, lantas memandang ke monitor yang baru saja diperhatikan oleh dokter.“Sebenarnya istri saya kenapa, Dok?” tanya Nanda.Dokter itu tersenyum sambil meletakkan alat USG, hingga kemudian menjawab, “Selamat, istri Anda hamil.”Nanda tertegun tak percaya mendengar ucapan selamat dari dokter itu. Dia sampai memandang Sashi dengan rasa tak percaya.Sashi sendiri hanya tersenyum karena tadi sudah memberitahu kalau dirinya hamil, kini usia kandungan Sashi pun baru enam minggu.“Hamil? Serius hamil? Bukan penyakit?” tanya Nanda memastikan dengan sedikit rasa tidak percaya.Sashi meraih tangan Nanda yang dekat dengannya, lantas menautkan jemari mereka.“Iya,
Satu tahun berlalu. Sashi masih setia menemani Aruna di luar negeri, Nanda sendiri datang setiap seminggu sekali, lantas tinggal beberapa hari sebelum kembali ke Indonesia.Sashi sendiri mulai lega karena akhirnya Aruna bisa menyesuaikan diri dan kini sudah memiliki beberapa teman di kampus barunya.“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya Sashi saat melihat Aruna baru saja pulang.“Menyenangkan,” jawab Aruna sambil melebarkan senyum.“Mommy tadi telepon, tanya apa kamu masih suka murung-murungan, kujawab tidak karena kamu sudah baik-baik saja,” ucap Sashi.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Sashi. Meski dia terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja sudah satu tahun belum bisa melupakan Ansel.“Jika nanti sudah lulus, aku ingin kerja di sini saja. Di sini lebih enak, meski pergaulan di sini berbeda dengan di Indonesia, tapi aku sudah berusaha menjaga batasan,” ujar Aruna.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Aruna. Dia lantas membalas, “Apa kamu tidak ingin meneruskan perusahaan Dadd
“Bagaimana dengan Runa?” tanya Nanda saat menemui Sashi di kamar. Mereka sudah ada di sana sebulan. Aruna sendiri belum keluar dari rumah sama sekali sejak sebulan ini. “Masih sama. Hanya di kamar, duduk di teras, atau jalan-jalan,” jawab Sashi yang sedih mengetahui Aruna tak seperti dulu dan lebih banyak murungnya. Nanda menghela napas, mereka sudah berusaha membuat Aruna bersemangat, soal Aruna mau bangkit atau tidak, semua harus dari diri sendirinya. “Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal? Aku tidak tega melihatmu sedih melihat Aruna seperti itu,” ucap Nanda sambil mengusap rambut Sashi. Nanda masih harus bolak-balik mengurus pekerjaan, sehingga dia pun tidak bisa setiap saat ada di sana. “Kamu tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Soal Runa, aku akan berusaha mengajaknya jalan-jalan mencari suasana baru. Dia juga seharusnya sudah mulai mengurus perpindahan kuliahnya, tapi dia belum bersemangat,” balas Sashi. Sashi mencoba memahami posisi suaminya yang tak bisa terus berad
Aruna memandangi kamar yang akan ditinggalkannya. Dia sudah memantapkan hati untuk pergi karena benar-benar tak bisa melupakan Ansel begitu saja jika masih di kota itu. Baginya Ansel adalah cinta pertama yang tak bisa dilupakan. Meski dulu awalnya dia menyukai Bumi, tapi kenyataannya Ansellah yang menduduki hatinya pertama kali. “Kamu sudah siap?” tanya Sashi yang menghampiri Aruna di kamar. Aruna menatap Sashi, lantas menganggukkan kepala. Dia mengambil tas dan jaketnya, lantas menarik koper yang ada di dekat ranjang. Setelah mengurus visa tinggal terbatas dan pasport, akhirnya Aruna akan pergi ke Amerika untuk belajar sekalian menenangkan diri. Namun, tentunya Aruna akan pergi bersama keluarga, lalu nantinya akan tinggal bersama Sashi dan Nanda sesuai kesepakatan, meski Nanda akan bolak-balik karena urusan pekerjaan. Bintang menatap Aruna yang baru saja menuruni anak tangga bersama Sashi. Bintang tak kuasa melihat kedua putrinya akan pergi dan tinggal jauh darinya. Sopir yang