“Maaf, apa kalian tidak bisa duduk di meja lain?” tanya Bastian sopan. Dia tidak ingin ada masalah di sana. Dua pria itu menoleh, lantas salah satunya berkata, “Makan saja, kami tidak akan menganggu kalian.” Bastian dan Nana saling pandang, hingga keduanya seolah memiliki pemikiran yang sama. “Ada yang menyuruh kalian mengawasi kami?” tanya Bastian hati-hati. Dia hanya merasa aneh jika tiba-tiba ada dua pria tampang preman mendekati mereka, tapi keduanya terlihat sopan. Dua pria itu saling tatap, hingga salah satunya mengangguk seperti memberi isyarat. “Pak Nanda yang menyuruh kami. Beliau akan datang, jadi meminta kami memastikan kalian tidak pergi lebih jauh lagi,” jawab salah satu pria itu jujur. Bastian dan Nana sangat terkejut, tidak menyangka Nanda bisa menemukan mereka secepat ini. Bastian hendak bergerak, tapi pria yang duduk di sampingnya langsung menahan sandaran kursinya, membuat Bastian akhirnya memilih diam. “Kami tidak akan menyakiti kalian, tugas kami hanya menj
“Non, mau ke rumah sakit?” tanya pembantu ketika melihat Clara yang menuruni anak tangga. “Iya,” jawab Clara singkat. “Kalau gitu nitip makanan buat Tuan. Tadi Tuan bilang suruh kirim makanan ke rumah sakit, kalau Non Clara mau ke sana, minta tolong bawakan sekalian,” ujar pembantu itu hati-hati. Dia tahu betul bagaimana temperamen Clara, sehingga takut jika Clara malah menganggapnya sedang mengatur dan memerintah karena minta tolong. “Mana makanannya, aku bawakan,” kata Clara. Pembantu itu tersenyum mengangguk, lantas berkata jika akan menyiapkannya dengan cepat. “Mbok, aku mau tanya.” Pembantu itu berhenti melangkah karena mendengar ucapan Clara. “Ada apa, Non?” tanya pembantu. “Apa benar Kak Bas dan Nana kabur? Berdua?” tanya Clara yang tak tahu kejadian di rumah, hanya mendengar secara tak sengaja beberapa pembantu mengatakan itu. Pembantu itu kebingungan, tapi akhirnya jujur dengan menjawab sambil menganggukkan kepala. Clara benar-benar tak menyangka, selain dirinya yan
Bastian dan Nana saling lirik, keduanya benar-benar tak bisa kabur karena dijaga dua pria yang sejak tadi menahannya. “Sampai kapan kalian akan menahan kami duduk di sini? Apa kalian merasa tidak sungkan dengan pemilik warung karena sudah duduk di sini hampir berjam-jam,” ujar Bastian karena mulai lelah hanya duduk saja di sana. “Kami sudah membayar kursi ini, jadi bebas mau duduk di sini sampai berjam-jam tak masalah. Kalian tidak akan ke mana-mana, sampai Tuan Nanda datang,” ujar pria yang menjaga Bastian dan Nana. Bastian mendengkus frustasi karena ditahan di sana, hingga melirik Nana yang terlihat gusar. “Ada apa, Na?” tanya Bastian yang membuat dua orang pria bersama mereka langsung menoleh bersamaan ke Nana. “Aku merasa mual,” jawab Nana sambil membungkam mulut. Bastian membulatkan bola mata lebar mendengar jawaban Nana, lantas menoleh ke pria yang ada di samping mereka. “Nana butuh ke kamar kecil karena mual, apa kalian tetap akan menahannya di sini?” Bastian mulai panik
“Sekeras-kerasnya Mama, dia tetap sangat menyayangi kalian, terutama kamu Na. Kenapa kamu malah membuat Mama seperti ini, hanya karena kamu takut kepadanya. Apa Mama pernah memukul atau membentakmu saat kamu melakukan kesalahan, tidak bukan? Lalu kenapa kalian harus seperti ini?” Bastian dan Nana sangat terkejut mendengar ucapan Nanda. Mereka benar-benar tak menyangka jika Rihana sampai sakit. Nanda menatap bergantian Bastian dan Nana untuk melihat reaksi keduanya. Nana meremas jemari, hingga bulir kristal bening mulai luruh dari kelopak mata. “Aku tidak bermaksud membuat Mama seperti ini, aku hanya takut dia kecewa. Sedangkan Mama tidak mau di antara kita ada yang saling suka. Aku benar-benar hanya takut dia kecewa dengan hubungan kami,” ucap Nana sambil terisak. Bastian langsung menggenggam telapak tangan Nana yang gemetar. “Kecewa itu pasti, Na. Tapi dengan sikap kalian yang begini, apa Mama tidak akan tambah kecewa? Setidaknya, bisakah kalian membicarakan masalah ini dengank
“Nanda belum menemukan Nana dan Bas?” tanya Rihana sambil menatap Melvin yang duduk di kursi samping ranjang. Melvin menghela napas kasar mendengar pertanyaan istrinya itu, lantas menjawab, “Sudah, mereka sedang dalam perjalanan pulang.” Hari sudah malam, tapi Nanda belum muncul di sana membuat Rihana mulai cemas. “Kalau mereka datang, jangan terlalu keras kepada mereka. Aku tahu kamu kesal dan marah, tapi juga tetap pikirkan perasaan mereka juga. Aku pun kecewa, tapi semua sudah terjadi,” ujar Melvin mengingatkan. Rihana hanya diam mendengarkan ucapan Melvin tanpa membalas. Saat keduanya baru saja membahas soal anak mereka, pintu ruangan terbuka dan terlihat Nanda yang masuk ke sana. Rihana hanya diam tanpa ekspresi, sedangkan Melvin langsung berdiri, begitu juga dengan Sashi yang langsung menyambut suaminya. “Masuklah!” perintah Nanda sambil membuka lebar pintu. Nana dan Bastian pun melangkahkan kaki masuk ruangan itu. Terlihat jelas Bastian yang menggenggam erat telapak tan
“Ma.” Nana sangat takut dan cemas melihat Rihana pingsan lagi. Sashi sendiri langsung mengecek kondisi mertuanya itu, yang ternyata pingsan hanya karena terkejut dan tidak ada indikasi penyakit lainnya. Bastian pun sangat panik. Dia tidak pernah menyangka sang mama akan sampai seperti ini. Rihana akhirnya sadar. Dia membuka kelopak mata perlahan, tapi jelas wajahnya begitu pucat dengan raut wajah penuh kepanikan. “Ana, mana yang sakit lagi?” tanya Melvin yang langsung mengusap lembut kening istrinya itu. Nana awalnya menggenggam telapak tangan Rihana, tapi langsung dilepas ketika wanita itu sadar sebab takut membuat sang mama marah lagi. “Ma.” Bastian pun mencoba bicara saat melihat Rihana sadar. Rihana memandang anak-anaknya yang begitu cemas, hingga kemudian menatap Melvin yang berdiri tepat di dekatnya. “Kenapa anakmu jadi begini?” Rihana langsung mengamuk Melvin, bahkan memukul lengan suaminya meski tangannya masih lemas. “Ana, tenang dulu,” ucap Melvin agar tekanan darah
“Ma, masih marah kepadaku?” tanya Bastian membujuk Rihana yang mengabaikannya. “Ya! Mama akan menghukummu, tunggu saja!” Rihana memberikan tatapan tajam ke Bastian. Nana hanya mengulum bibir melihat Bastian masih terkena marah. Dia selamat karena sedang hamil dan mungkin Rihana pun takkan tega terus memarahinya. “Mama tidak adil. Kami sama-sama salah, kenapa Nana dimaafkan sedangkan aku belum?” tanya Bastian memprotes sikap Rihana. “Karena kamu salah! Kamu yang mulai!” jawab Rihana sambil melotot. “Sebenarnya, yang anak Mama ini aku atau Nana?” tanya Bastian tak habis pikir karena sang mama lebih menyayangi Nana. “Nana anakku, kamu anak pungut!” jawab Rihana lantas mengalihkan pandangan dari Bastian. Bastian memberikan mimik wajah sedih mendengar jawaban Rihana, lantas menoleh ke Nanda, Sashi, dan Melvin yang menahan tawa sambil memalingkan muka. Rihana benar-benar mengabaikan Bastian untuk memberi hukuman ke putranya itu. Dia kembali fokus ke Nana yang diminta duduk di sampin
“Kamu dan Runa masih menjalin hubungan?” Ansel terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia baru saja turun dari mobil ketika sampai di kampus, tapi sudah mendapat todongan pertanyaan seperti itu dari Bumi. Sejak pembicaraan tempo hari dengan Aruna. Ansel memang sama sekali tak dihubungi atau bertemu dengan gadis itu. Ansel sendiri berpikir jika Aruna pasti tak mungkin menyukainya, meski dia sudah mengungkap perasaannya. Namun, saat menghadapi Bumi, Ansel takkan jujur sampai Aruna sendiri yang jujur. “Tentu saja, kenapa?” tanya Ansel balik dengan santai sambil menutup pintu mobil. “Kamu benar-benar menyukainya?” tanya Bumi lagi. Ansel menaikkan satu sudut alis mendengar pertanyaan Bumi, hingga tersenyum miring ke sahabatnya itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu pikir hubunganku dengan Aruna sebuah sandiwara?” tanya Ansel sambil menatap Bumi, “apa karena Aruna sebelumnya menyukaimu, lalu sekarang kamu merasa bahwa aneh jika aku dan Aruna menjalin hubungan?” Ansel menembak pe