“Kamu dan Runa masih menjalin hubungan?” Ansel terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia baru saja turun dari mobil ketika sampai di kampus, tapi sudah mendapat todongan pertanyaan seperti itu dari Bumi. Sejak pembicaraan tempo hari dengan Aruna. Ansel memang sama sekali tak dihubungi atau bertemu dengan gadis itu. Ansel sendiri berpikir jika Aruna pasti tak mungkin menyukainya, meski dia sudah mengungkap perasaannya. Namun, saat menghadapi Bumi, Ansel takkan jujur sampai Aruna sendiri yang jujur. “Tentu saja, kenapa?” tanya Ansel balik dengan santai sambil menutup pintu mobil. “Kamu benar-benar menyukainya?” tanya Bumi lagi. Ansel menaikkan satu sudut alis mendengar pertanyaan Bumi, hingga tersenyum miring ke sahabatnya itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu pikir hubunganku dengan Aruna sebuah sandiwara?” tanya Ansel sambil menatap Bumi, “apa karena Aruna sebelumnya menyukaimu, lalu sekarang kamu merasa bahwa aneh jika aku dan Aruna menjalin hubungan?” Ansel menembak pe
“Mama dan Papa sudah memutuskan untuk menikahkan Bas dan Nana secepatnya, bagaimana menurut kalian?” tanya Rihana saat Nanda dan Sashi datang mengunjungi saat siang hari. “Itu keputusan terbaik, Ma. Mengingat kita juga tidak bisa menunda-nunda lagi karena perut Nana pastinya akan semakin besar setiap bulannya,” jawab Nanda yang tentu saja senang jika memang itu keputusan Rihana. “Tapi Nana bilang tak ingin diadakan pesta,” ujar Rihana lagi. Nanda diam mencerna ucapan Rihana, hingga kemudian membalas, “Kalau saranku lebih baik tetap adakan meski tak mewah, Ma. Hanya untuk menghindari pikiran negatif orang-orang. Ya, meski kita tak bisa membuat semua orang berpikiran positif, tapi tetap saja setidaknya kita sudah berusaha memberikan citra yang baik.” Melvin mengangguk-angguk setuju mendengar pendapat Nanda. “Benar yang dikatakan Nanda. Kita buat pesta untuk saudara juga rekan bisnis saja,” timpal Melvin. Rihana merasa ide itu juga bagus, hingga kemudian mengangguk setuju. “Nanti k
“Kenapa?” Nanda sangat terkejut saat Sashi menarik tangan yang hendak digenggamnya. “Kita di perusahaan, jangan menggandengku di perusahaan,” ucap Sashi sambil menyembunyikan tangan dari Nanda. Nanda menyipitkan mata mendengar ucapan Sashi, hingga kemudian berkata, “Kamu masih takut kena bully kalau orang tahu kamu itu istriku?” Sashi menoleh Nanda, lantas melebarkan senyum. “Iya,” jawab Sashi tanpa dosa. Nanda mengembuskan napas kasar. Sepertinya memang lebih baik umumkan saja kalau Sashi istrinya, agar semua staff tidak ada yang berani macam-macam. Nanda meraih tangan Sashi paksa, membuat wanita itu kebingungan dibuatnya. “Apa yang kamu lakukan? Sudah kubilang jangan menggenggam tangan di perusahaan,” ucap Sashi yang terlihat panik. “Aku melihatmu selalu saja takut dibully juga statusmu dibongkar. Padahal aku yakin jika tidak akan ada yang berani membullymu. Jadi, mari buktikan, jika ada yang membullymu, kupastikan karyawan itu kena SP atau pecat.” Sashi sangat terkejut me
“Clara mengamuk lagi di rumah, Pa. Aku tidak tahu lagi, bagaimana mengatasinya,” ujar Bastian mengadukan sikap Clara. Bastian tidak ingin mengadu, tapi jika Clara terus dibiarkan takutnya akan terjadi masalah besar di kemudian hari. “Memangnya kenapa lagi sampai dia mengamuk?” tanya Melvin tak habis pikir, bahkan ikut bingung menghadapi Clara. Bastian pun menceritakan semua yang terjadi, hingga membuat Melvin benar-benar pusing dibuatnya. “Kenapa Clara menjadi seperti ini? Jujur, papa pun tak menyangka jika Clara akan seegois ini sekarang,” ujar Melvin setelah mendengar cerita Bastian. “Jika menurutku. Clara hanya iri, Pa. Dia menyukai Nanda, tapi ternyata tidak. Sedangkan aku dan Nana saling menyukai, sehingga dia berpikir Papa dan Mama tidak adil karena mengizinkan kami bersama, tapi dia tidak. Hanya saja yang aku bingungkan, kenapa dia tidak bisa menerima jika Nanda sudah menikah dan mencintai Sashi,” balas Bastian mengemukakan pendapatnya. Melvin menghela napas kasar mendeng
“Kenapa kamu jadi diam?” tanya Sashi karena Nanda tak menanggapi ucapannya. “Tidak ada,” jawab Nanda sambil tetap menatap lurus ke depan. Sashi terus memperhatikan Nanda, hingga kemudian bertanya, “Apa benar jika sebenarnya ada sesuatu yang kamu sembunyikan soal Clara?” Nanda menoleh Sashi sekilas, sebelum kembali menatap ke depan. “Tidak ada apa pun yang aku sembunyikan,” jawab Nanda. Sashi terus memandang suaminya itu, hingga kemudian berkata, “Lalu, kenapa kamu tak membalas apa yang sedang aku bicarakan.” “Kita tidak perlu membahas hal itu sekarang, Sashi.” Nanda bicara sambil menoleh Sashi. “Berarti memang ada yang kamu sembunyikan, serta harusnya kamu bahas karena ini menyangkut semua orang. Sikap Clara tidak hanya tertuju kepadamu, tapi semua terkena imbasnya,” ujar Sashi menuntut penjelasan. Nanda memalingkan muka sambil meremas stir, hingga kemudian menoleh Sashi lagi. “Kita bicarakan saat sampai di rumah.” Sashi menatap Nanda yang fokus menyetir, jadi benar kalau me
Sashi memilih pergi ke ruang melukis untuk menenangkan diri. Dia duduk di lantai dengan pencahayaan yang minim, tatapannya tertuju ke lukisan yang belum selesai dibuatnya. Sashi duduk sambil memeluk kedua kaki yang tekuk, menyembunyikan setengah wajahnya hingga hanya kedua mata terlihat menatap lurus ke depan. Kecewa? Apa benar Sashi kecewa jika memang benar Nanda pernah menyukai Clara. Namun, apa pemikirannya itu benar, sedangkan Nanda mengelak meski tak meyakinkan. Sashi hanya terkejut atas semua yang didengarnya. Dia tidak menyangka jika rasa penasarannya, malah membuatnya masuk ke dalam sebuah lubang fakta yang begitu mencengangkan. Tanpa Sashi sadari, bulir kristal bening mulai luruh dari kelopak mata. Dia benar-benar sakit jika Nanda memang menjadikannya pelampiasan. Kedua pundaknya pun kini bergetar, dadanya terasa sesak membayangkan segala yang berkecamuk dalam pikirannya saat ini. Hingga tanpa Sashi sadari, pintu kamar sedikit terbuka, Nanda masuk dan melihat Sashi yang
Sashi dan Nanda masih larut dalam ciuman mereka yang semakin dalam. Keduanya masuk dalam gelora asmara setelah perdebatan yang membuat gairah mereka membara.Sashi melepas pagutan bibir mereka. Dia meraup udara sebanyak-banyaknya saat napas tersengal karena kekurangan oksigen yang masuk ke paru-paru.Nanda memandang wajah Sashi yang memerah. Dia membelai lembut pipi istrinya itu, membuat gairah yang sudah terpancing semakin berhasrat untuk menuntut lebih.“Pindah kamar?” tanya Nanda malah menggoda istrinya itu.“Di sini bisa.” Sashi melirik sofa besar yang memang ada di ruangan itu.Nanda tersenyum nakal, bisa-bisanya Sashi langsung menangkap maksud ucapannya.Mereka beralih ke sofa. Kembali memagutkan bibir, hingga Nanda berada di atas tubuh Sashi yang ada di bawahnya. Keduanya benar-benar bergairah, pertengkaran sesaat ternyata membawa keduanya ke hubungan yang semakin dalam.Suara desahan mulai lolos dari bibir Sashi saat Nanda beralih mengecup dagu, leher, hingga turun ke dada. Ba
“Kamu ingin seperti ini terus? Tidak mau bangun? Kita harus ke rumah sakit melihat Mama, atau dia akan cemas menanyakan kita,” bisik Nanda karena Sashi masih terus memeluk. Meski siang tadi mereka sudah menemani Rihana, tapi Nanda yakin jika sang mama berharap mereka menemani di malam hari juga. “Aku ngantuk,” bisik Sashi masih tak mau melepas pelukan. Nanda tersenyum sambil mengelus rambut istrinya itu. Dia melirik ke bawah, melihat Sashi yang memejamkan mata. “Sudah sore, tidak baik tidur sore,” ucap Nanda mengingatkan. Sashi mengerucutkan bibir mendengar ucapan Nanda. Lantas mendongak sambil memasang wajah memelas. “Ayo bangun! Apa perlu aku gendong?” tanya Nanda dengan nada candaan. “Boleh kalau kuat,” jawab Sashi menanggapi candaan suaminya itu. Padahal dia tahu kalau suaminya beberapa kali menggendongnya pindah dari sofa ke kasur saat sudah tidur. Namun, ternyata itu tak hanya sebuah candaan. Nanda bangun lantas meraup tubuh Sashi. “Kamu serius mau menggendong?” Sashi be