“Ma.” Nana sangat takut dan cemas melihat Rihana pingsan lagi. Sashi sendiri langsung mengecek kondisi mertuanya itu, yang ternyata pingsan hanya karena terkejut dan tidak ada indikasi penyakit lainnya. Bastian pun sangat panik. Dia tidak pernah menyangka sang mama akan sampai seperti ini. Rihana akhirnya sadar. Dia membuka kelopak mata perlahan, tapi jelas wajahnya begitu pucat dengan raut wajah penuh kepanikan. “Ana, mana yang sakit lagi?” tanya Melvin yang langsung mengusap lembut kening istrinya itu. Nana awalnya menggenggam telapak tangan Rihana, tapi langsung dilepas ketika wanita itu sadar sebab takut membuat sang mama marah lagi. “Ma.” Bastian pun mencoba bicara saat melihat Rihana sadar. Rihana memandang anak-anaknya yang begitu cemas, hingga kemudian menatap Melvin yang berdiri tepat di dekatnya. “Kenapa anakmu jadi begini?” Rihana langsung mengamuk Melvin, bahkan memukul lengan suaminya meski tangannya masih lemas. “Ana, tenang dulu,” ucap Melvin agar tekanan darah
“Ma, masih marah kepadaku?” tanya Bastian membujuk Rihana yang mengabaikannya. “Ya! Mama akan menghukummu, tunggu saja!” Rihana memberikan tatapan tajam ke Bastian. Nana hanya mengulum bibir melihat Bastian masih terkena marah. Dia selamat karena sedang hamil dan mungkin Rihana pun takkan tega terus memarahinya. “Mama tidak adil. Kami sama-sama salah, kenapa Nana dimaafkan sedangkan aku belum?” tanya Bastian memprotes sikap Rihana. “Karena kamu salah! Kamu yang mulai!” jawab Rihana sambil melotot. “Sebenarnya, yang anak Mama ini aku atau Nana?” tanya Bastian tak habis pikir karena sang mama lebih menyayangi Nana. “Nana anakku, kamu anak pungut!” jawab Rihana lantas mengalihkan pandangan dari Bastian. Bastian memberikan mimik wajah sedih mendengar jawaban Rihana, lantas menoleh ke Nanda, Sashi, dan Melvin yang menahan tawa sambil memalingkan muka. Rihana benar-benar mengabaikan Bastian untuk memberi hukuman ke putranya itu. Dia kembali fokus ke Nana yang diminta duduk di sampin
“Kamu dan Runa masih menjalin hubungan?” Ansel terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia baru saja turun dari mobil ketika sampai di kampus, tapi sudah mendapat todongan pertanyaan seperti itu dari Bumi. Sejak pembicaraan tempo hari dengan Aruna. Ansel memang sama sekali tak dihubungi atau bertemu dengan gadis itu. Ansel sendiri berpikir jika Aruna pasti tak mungkin menyukainya, meski dia sudah mengungkap perasaannya. Namun, saat menghadapi Bumi, Ansel takkan jujur sampai Aruna sendiri yang jujur. “Tentu saja, kenapa?” tanya Ansel balik dengan santai sambil menutup pintu mobil. “Kamu benar-benar menyukainya?” tanya Bumi lagi. Ansel menaikkan satu sudut alis mendengar pertanyaan Bumi, hingga tersenyum miring ke sahabatnya itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu pikir hubunganku dengan Aruna sebuah sandiwara?” tanya Ansel sambil menatap Bumi, “apa karena Aruna sebelumnya menyukaimu, lalu sekarang kamu merasa bahwa aneh jika aku dan Aruna menjalin hubungan?” Ansel menembak pe
“Mama dan Papa sudah memutuskan untuk menikahkan Bas dan Nana secepatnya, bagaimana menurut kalian?” tanya Rihana saat Nanda dan Sashi datang mengunjungi saat siang hari. “Itu keputusan terbaik, Ma. Mengingat kita juga tidak bisa menunda-nunda lagi karena perut Nana pastinya akan semakin besar setiap bulannya,” jawab Nanda yang tentu saja senang jika memang itu keputusan Rihana. “Tapi Nana bilang tak ingin diadakan pesta,” ujar Rihana lagi. Nanda diam mencerna ucapan Rihana, hingga kemudian membalas, “Kalau saranku lebih baik tetap adakan meski tak mewah, Ma. Hanya untuk menghindari pikiran negatif orang-orang. Ya, meski kita tak bisa membuat semua orang berpikiran positif, tapi tetap saja setidaknya kita sudah berusaha memberikan citra yang baik.” Melvin mengangguk-angguk setuju mendengar pendapat Nanda. “Benar yang dikatakan Nanda. Kita buat pesta untuk saudara juga rekan bisnis saja,” timpal Melvin. Rihana merasa ide itu juga bagus, hingga kemudian mengangguk setuju. “Nanti k
“Kenapa?” Nanda sangat terkejut saat Sashi menarik tangan yang hendak digenggamnya. “Kita di perusahaan, jangan menggandengku di perusahaan,” ucap Sashi sambil menyembunyikan tangan dari Nanda. Nanda menyipitkan mata mendengar ucapan Sashi, hingga kemudian berkata, “Kamu masih takut kena bully kalau orang tahu kamu itu istriku?” Sashi menoleh Nanda, lantas melebarkan senyum. “Iya,” jawab Sashi tanpa dosa. Nanda mengembuskan napas kasar. Sepertinya memang lebih baik umumkan saja kalau Sashi istrinya, agar semua staff tidak ada yang berani macam-macam. Nanda meraih tangan Sashi paksa, membuat wanita itu kebingungan dibuatnya. “Apa yang kamu lakukan? Sudah kubilang jangan menggenggam tangan di perusahaan,” ucap Sashi yang terlihat panik. “Aku melihatmu selalu saja takut dibully juga statusmu dibongkar. Padahal aku yakin jika tidak akan ada yang berani membullymu. Jadi, mari buktikan, jika ada yang membullymu, kupastikan karyawan itu kena SP atau pecat.” Sashi sangat terkejut me
“Clara mengamuk lagi di rumah, Pa. Aku tidak tahu lagi, bagaimana mengatasinya,” ujar Bastian mengadukan sikap Clara. Bastian tidak ingin mengadu, tapi jika Clara terus dibiarkan takutnya akan terjadi masalah besar di kemudian hari. “Memangnya kenapa lagi sampai dia mengamuk?” tanya Melvin tak habis pikir, bahkan ikut bingung menghadapi Clara. Bastian pun menceritakan semua yang terjadi, hingga membuat Melvin benar-benar pusing dibuatnya. “Kenapa Clara menjadi seperti ini? Jujur, papa pun tak menyangka jika Clara akan seegois ini sekarang,” ujar Melvin setelah mendengar cerita Bastian. “Jika menurutku. Clara hanya iri, Pa. Dia menyukai Nanda, tapi ternyata tidak. Sedangkan aku dan Nana saling menyukai, sehingga dia berpikir Papa dan Mama tidak adil karena mengizinkan kami bersama, tapi dia tidak. Hanya saja yang aku bingungkan, kenapa dia tidak bisa menerima jika Nanda sudah menikah dan mencintai Sashi,” balas Bastian mengemukakan pendapatnya. Melvin menghela napas kasar mendeng
“Kenapa kamu jadi diam?” tanya Sashi karena Nanda tak menanggapi ucapannya. “Tidak ada,” jawab Nanda sambil tetap menatap lurus ke depan. Sashi terus memperhatikan Nanda, hingga kemudian bertanya, “Apa benar jika sebenarnya ada sesuatu yang kamu sembunyikan soal Clara?” Nanda menoleh Sashi sekilas, sebelum kembali menatap ke depan. “Tidak ada apa pun yang aku sembunyikan,” jawab Nanda. Sashi terus memandang suaminya itu, hingga kemudian berkata, “Lalu, kenapa kamu tak membalas apa yang sedang aku bicarakan.” “Kita tidak perlu membahas hal itu sekarang, Sashi.” Nanda bicara sambil menoleh Sashi. “Berarti memang ada yang kamu sembunyikan, serta harusnya kamu bahas karena ini menyangkut semua orang. Sikap Clara tidak hanya tertuju kepadamu, tapi semua terkena imbasnya,” ujar Sashi menuntut penjelasan. Nanda memalingkan muka sambil meremas stir, hingga kemudian menoleh Sashi lagi. “Kita bicarakan saat sampai di rumah.” Sashi menatap Nanda yang fokus menyetir, jadi benar kalau me
Sashi memilih pergi ke ruang melukis untuk menenangkan diri. Dia duduk di lantai dengan pencahayaan yang minim, tatapannya tertuju ke lukisan yang belum selesai dibuatnya. Sashi duduk sambil memeluk kedua kaki yang tekuk, menyembunyikan setengah wajahnya hingga hanya kedua mata terlihat menatap lurus ke depan. Kecewa? Apa benar Sashi kecewa jika memang benar Nanda pernah menyukai Clara. Namun, apa pemikirannya itu benar, sedangkan Nanda mengelak meski tak meyakinkan. Sashi hanya terkejut atas semua yang didengarnya. Dia tidak menyangka jika rasa penasarannya, malah membuatnya masuk ke dalam sebuah lubang fakta yang begitu mencengangkan. Tanpa Sashi sadari, bulir kristal bening mulai luruh dari kelopak mata. Dia benar-benar sakit jika Nanda memang menjadikannya pelampiasan. Kedua pundaknya pun kini bergetar, dadanya terasa sesak membayangkan segala yang berkecamuk dalam pikirannya saat ini. Hingga tanpa Sashi sadari, pintu kamar sedikit terbuka, Nanda masuk dan melihat Sashi yang