“Apa masih belum ada kabar dari rumah sakit?”Nanda berjalan mendekat ke ranjang di mana Sashi berada.Sashi meletakkan ponsel yang dipegangnya karena Nanda mengajak bicara.“Belum, ini memang sedikit lama. Tapi ya memang kadang ada yang butuh waktu lama,” jawab Sashi menjelaskan.Nanda mengangguk mendengar jawaban Sashi, lantas naik ranjang dan langsung merebahkan tubuh sambil menjadikan paha Sashi sebagai bantal.Sashi terkejut melihat kelakuan Nanda, tapi kemudian tersenyum dan membiarkan saja suaminya berbaring berbantal paha.“Besok Sabtu, kamu mau melakukan apa? Mau jalan-jalan?” tanya Nanda sambil memandang Sashi.“Aku ingin menghabiskan seharian melukis. Tidak apa ‘kan kalau ga keluar? Kita bisa keluar di hari Minggu, bagaimana?” tanya balik Sashi setelah menjawab.Sashi memang menolak, tapi juga memberi tawaran lain agar suaminya tak marah.Nanda memahami keinginan Sashi, hingga kemudian menjawab, “Tentu, tidak masalah.”Pria itu bangun, lantas duduk berhadapan dengan Sashi.
Sashi berada di ruang lukisnya. Kini ruangan itu tidak lagi dikunci rapat karena Nanda sudah tahu. Bahkan Rina dan pembantu lain pun tahu, tapi tentunya mereka sudah diminta untuk tak memberitahukan soal hobinya itu ke orang lain.Sashi masih sibuk memoleskan cat dengan sentuhan halus di kanvas. Dia masih melanjutkan misi melukis suaminya saat mereka honeymoon. Hingga ponsel Sashi berdering, membuat fokus wanita itu tertuju ke layar ponselnya.Sashi buru-buru menjawab panggilan dari dokter yang bekerja di laboratorium.“Halo, Dok. Hasil tesnya sudah keluar semua?” tanya Sashi cepat begitu menjawab panggilan itu.“Sudah, Dok. Hasil tesnya sudah keluar semua, Dokter Sashi bisa ambil hasilnya di rumah sakit hari ini,” ujar dokter dari seberang panggilan.“Apa ada masalah serius dengan sampel darah yang aku berikan?” tanya Sashi memastikan agar tidak penasaran.“Tidak ada, Dok. Semuanya baik, hanya saja ….”Suara dokter dari seberang panggilan terjeda, membuat Sashi langsung menegakkan ba
“Nana, jadi itu benar?” tanya Sashi dengan ekspresi wajah syok. Nana melipat bibir dalam-dalam, lantas mengguyar rambut ke belakang sambil mengalihkan pandangan dari Sashi. “Aku sudah merasakannya, tapi aku tidak tahu harus bagaimana?” Nana memeluk kedua lengannya sambil menunduk. Dia tertekan bukan hanya karena ucapan Rihana ke Clara, tapi juga karena sudah merasa jika hamil sebab terlambat datang bulan. “Aku harus bagaimana? Mama ingin menjodohkanku dengan pria lain, sedangkan aku tidak bisa menolak. Aku juga tidak bisa jika harus berpisah dari Bas.” Nana menangis setelah mengatakan itu. Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Nana. Dia langsung berdiri kemudian memeluk adik iparnya itu. Bulir kristal bening terus luruh dari kelopak mata. Nana lantas menyandarkan kepala dalam pelukan kakak iparnya itu untuk menyembunyikan wajahnya. “Aku harus bagaimana? Aku tidak bisa menyakiti siapa pun,” ucap Nana di sela isak tangis.
“Nana mau menginap di sana? Baiklah, iya Mama tidak masalah. Biasa kalau dia sesekali ingin bersama Nanda.”Sashi sedang bicara dengan Rihana melalui panggilan telepon untuk memberitahu soal Nana yang ingin menginap di rumahnya.“Baik, Ma. Nana sedang mandi dan belum sempat memberitahu Mama, jadi kupikir lebih baik minta izin dulu,” ujar Sashi sambil menoleh Nana yang berada di sampingnya. Dia tahu Nana takkan berani meminta izin, sehingga dialah yang menghubungi Nana.“Iya tidak apa. Dia kalau sudah sama Nanda, pasti lupa semuanya,” ujar Rihana dari seberang panggilan.Sashi tersenyum mendengar ucapan snag mama, hingga kemudian pamit lalu mengakhiri panggilan.“Bagaimana? Apa Mama curiga?” tanya Nana yang cemas.“Tidak, Mama tidak masalah kamu menginap,” jawab Sashi.Nana menghela napas kasar, setidaknya dia bisa menenangkan diri dulu, sampai siap membicarakan soal kehamilan
“Apa ada masalah?” Ssahi terkejut mendengar pertanyaan dari Nanda. Dia sedang ganti baju, lantas menoleh ke Nanda yang sudah berdiri di belakangnya. “Tidak, kenapa?” tanya Sashi balik. “Tidak ada, hanya saja merasa aneh karena Nana tiba-tiba ikut ke sini untuk menginap. Aku tahu betul jika dia tidak terbiasa tidur selain di kamarnya. Bahkan jika sedang keluar kota saja, dia akan berusaha menyelesaikan pekerjaan, agar bisa segera pulang dan tidur di kasurnya,” ungkap Nanda mengungkap kebiasaan aneh Nana. Bahkan saat pertama kali pindah, Nana sampai harus tidur ditemani sang kakak agar bisa tidur pulas sebelum akhirnya terbiasa dengan kamar barunya. “Ah … sebenarnya dia ingin mengatakan sesuatu kepadamu, hanya saja dia ingin juga menginap untuk sedikit menenangkan pikiran. Ingat, Nana sedang dalam kondisi tertekan, jadi mungkin dia menginap hanya untuk sedikit melepas bebannya dari rumah,” ujar Sashi menjelaskan agar Nanda tak curiga lebih dulu. Nanda mengangguk-angguk mendengar uc
Sesaat sebelumnya. “Kamu mau ke mana, Bas?” tanya Rihana saat melihat Bastian menuruni anak tangga dengan cepat. Bastian menghentikan langkah sebentar, lantas menoleh sang mama. “Mama tidak bisa memperlakukan kami seperti ini. Tidak akan ada yang dijodohkan, jika memang harus menikah maka aku yang akan menikahi Nana.” Setelah mengucapkan itu, Bastian kembali melanjutkan langkah. Rihana sangat terkejut mendengar ucapan Bastian, jadi dugaannya kini benar kalau Bastian dan Nana memang menjalin hubungan di luar status mereka sebagai kakak beradik. “Bas! Berhenti!” Rihana mencoba mengejar Bastian. Bastian tidak mendengarkan teriakan Rihana. Dia masuk mobil, lantas melajukan mobil dengan cepat. ** Saat ini, Nanda dan Sashi pergi ke rumah Rihana setelah wanita itu menghubungi. Keduanya lantas mendengar cerita dari sang mama sebelum Bastian pergi. “Kamu tahu kalau mereka pacaran, Nan? Katakan ke mama, kamu tahu Nana dan Bas menjalin hubungan?” tanya Rihana dengan nada penuh penekana
“Na.” Bastian menatap Nana masih dengan rasa tak percaya. Nana terduduk di jalanan. Dia menangis lagi setelah mengungkap kehamilannya. “Aku hanya sedang bingung, aku butuh mempersiapkan diri untuk mengatakan ini ke semua orang,” ucap Nana di sela isak tangis. Bastian benar-benar tak menyangka akan hal ini. Dia pun merasa salah karena sudah berpikiran buruk soal Nana. Bastian pun lantas memeluk Nana untuk menenangkan. “Maaf kalau sudah membentakmu. Jujur aku benar-benar takut jika kita dipisahkan,” ujar Bastian sambil mengusap punggung Nana dengan lembut. Nana menangis sesenggukan, menyembunyikan wajah dalam dekapan Bastian dengan air mata yang membanjiri wajah. Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu, hingga akhirnya Bastian mengajak Nana untuk bangun. “Sudah lebih baik?” tanya Bastian sambil mengusap wajah Nana yang basah. Nana hanya mengangguk sambil mengatur emosinya agar tidak terus menangis. “Kita pergi,” ajak Bastian sambil menggandeng tangan Nana karena hari yang su
Nanda masih belum beristirahat meski waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Dia masih terus memikirkan serta mencemaskan kondisi Nana, apalagi sekarang sang adik sedang dalam kondisi hamil. “Kalian pergi ke mana?” Nanda benar-benar frustasi karena belum mengetahui keberadaan adiknya. Hingga ponsel Nanda berdering, pesan dari Lukas terpampang di layar. [Terpantau Bas dan Nana baru saja menarik uang di salah satu anjungan tunai mandiri di luar kota.] Nanda langsung menegakkan badan membaca pesan itu. “Luar kota? Mereka benar-benar berniat kabur?” Nanda benar-benar tak habis pikir dengan keputusan Nana dan Bastian. [Pastikan mereka di mana, atau menginap di mana. Lalu biarkan saja, selama mereka tak bergerak pergi.] Nanda pun mengirimkan pesan lagi, lantas mendapat balasan dari Lukas. Nanda menghela napas kasar, hingga sedikit lega karena setidaknya tahu di mana posisi Bastian dan Nana sekarang. Dia pun akhirnya bisa beristirahat dengan tenang. Nanda kembali ke kamar, melihat