Cerita Nanda dan Nana saat kecil, ada di buku Presdir Dingin itu, Ayah dari Putraku. Terima kasih
“Kenapa menatapku begitu?” Nanda merasa sangat aneh ditatap iba oleh Sashi.“Tidak ada,” jawab Sashi, “aku hanya sedang melihat pria yang baru kusadari begitu perhatian ke orang tersayangnya,” imbuh Sashi kemudian. “Jangan menatapku iba, seolah aku ini sangat menyedihkan,” ujar Nanda.Semua sikap angkuh, dingin, juga tegas yang dibangunnya, untuk memperlihatkan jika dia tidak memiliki celah dan alasan untuk bisa dihancurkan.“Aku tidak menganggap kamu menyedihkan, aku hanya sedang melihat perjuangan seorang anak yang sedang berusaha menyenangkan orang tua dan sekelilingnya,” balas Sashi lagi tak gentar meski Nanda memperingatkan.Nanda diam menatap Sashi yang tersenyum tipis untuknya.“Aku tahu bagaimana rasanya saat melihat orang yang kamu sayangi pergi. Aku tahu bagaimana rasanya takut kehilangan hingga melakukan segala cara agar tak terbuang. Aku tahu bagaimana rasanya bertahan tetap berdiri tanpa ada yang menggoyahkan. Aku tahu rasanya dipandang sebelah mata, yang membuat terus b
“Suhu tubuhnya sudah normal, tapi tetap harus beristirahat dan jangan kena angin malam lagi,” ucap Sashi dengan senyum manis ke Nana. Nana tersenyum tipis di balik wajah pucatnya. Dia pun menganggukkan kepala mendengar ucapan Sashi. “Siang ini aku harus kerja. Pastikan Nana meminum obatnya, kalau ada apa-apa hubungi aku,” ujar Sashi ke Bastian yang berdiri di samping ranjang. “Iya,” balas Bastian. Nanda mengusap kasar rambut bagian depan adiknya itu. Dia sangat lega melihat Nana sudah membaik. “Jangan sakit-sakit lagi,” ucap Nanda ke Nana. Nana mengangguk-anggukan kepala mendengar ucapan sang kakak. Rihana juga ada di sana. Dia memandang Nana yang tersenyum ke Nanda, hingga tatapannya beralih ke Bastian yang berdiri sambil melihat ke Nana dan Nanda. Sashi, Nanda, dan Rihana turun ke lantai bawah, mereka membiarkan Bastian mengurus Nana. “Kami pulang dulu, Ma.” Nanda pamit ke Rihana. “Ya, hati-hati,” ucap Rihana dengan ekspresi wajah yang tidak seperti biasanya. “Mama sakit?”
Sashi mendorong dada Nanda, membuat pagutan bibir mereka terlepas.“Tunggu, aku kehabisan napas,” ucap Sashi dengan wajah memerah, napasnya tersengal hingga wanita itu meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi stok udara di dada.Nanda memandang Sashi dengan tatapan penuh gairah, ciuman pertama mereka sungguh membuatnya menginginkan sesuatu yang lebih dari istrinya itu.“Sashi,” ucap Nanda dengan suara berat.“Hm ….” Sashi menatap Nanda yang sudah memandangnya.“Boleh aku melakukannya?” tanya Nanda. Dia sadar ini terlalu cepat, tapi terus menahan diri saat bersentuhan dengan wanita itu cukup membuatnya tersiksa.Sashi terkejut mendengar pertanyaan Nanda. Namun, meski menolak sekarang, dia tidak akan bisa menolak di lain waktu. Lagi pula, bukankah mereka pasangan sah secara agama dan hukum, perjanjian mereka pun kini sudah tak berlaku lagi.“Boleh,” jawab Sashi meski sedikit ragu karena takut.Nanda memulas senyum mendapat jawaban dari Sashi. Dia menekan tengkuk istrinya itu, lanta
“Besok aku jemput.”Nanda mengantar Sashi ke rumah sakit karena harus shift malam menggantikan Zidan yang bertukar dengannya kemarin.“Kamu besok masuk kerja. Aku bisa pulang naik taksi,” ujar Sashi sambil merapikan rambut sebelum keluar.Nanda menoleh lantas membalas, “Aku akan menjemputmu.”Sashi berhenti gerakan tangannya mendengar ucapan Nanda.“Baiklah, terserah kamu saja asal tidak menganggu jam kerjamu,” ujar Sashi pada akhirnya.Meski mereka sudah saling memiliki satu sama lain, tetap saja Nanda menerapkan sikap otoriternya ke sang istri.“Aku keluar dulu,” ucap Sashi sambil bersiap membuka pintu mobil.“Tunggu!” Nanda menahan tangan Sashi, hingga membuat Sashi berhenti bergerak.“Ada apa?” tanya Sashi menoleh Nanda.Nanda mendekat dengan cepat, hingga kemudian mengecup bibir Sashi.Sashi melotot dengan yang dilakukan Nanda, bisa-bisanya pria itu menciumnya di depan lobi rumah sakit. Meskipun di mobil, tetap saja Sashi was-was ada yang melihat.“Nanda!” Sashi memberikan tatapa
Sashi di ruang kerjanya mengecek data pasien. Hingga dia terdiam memikirkan keputusannya untuk pindah ke klinik perusahaan.“Sepertinya memang lebih baik di klinik. Selain bisa memiliki waktu untuk sering memperhatikan kesehatan Mommy dan Opa, aku juga memiliki waktu melukis untuk anak-anak.”Sashi memikirkan plus minus bekerja di luar rumah sakit. Sejak awal tujuan utamanya memastikan keluarganya sehat, sedangkan merawat orang lain dianggap bonus. Ini memang tak sesuai dengan prinsip dokter yang sebenarnya, tapi merawat keluarga adalah kewajiban.Saat Sashi masih melamun, terdengar ketukan pintu yang membuatnya langsung menatap ke pintu.“Masuk!”Pintu terbuka, perawat yang bekerja shift malam terlihat di ambang pintu.“Dok, ada yang mencari,” kata perawat itu.Sashi langsung menaikkan satu sudut alis mendengar perkataan perawat. Dia lantas menengok ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Sashi melihat waktu menunjukkan pukul 11 malam.“Siapa yang mencariku malam-malam?” Sash
“Kenapa semalam kamu tidur di kamar Nana?” tanya Rihana saat melihat Bastian baru saja menuruni anak tangga karena harus bersiap berangkat ke kantor.Bastian cukup terkejut mendengar pertanyaan Rihana, hingga dia pun kemudian menjawab, “Nana mengirimiku pesan jika tak bisa tidur, karena itu aku ke kamarnya untuk menemani. Tapi aku malah ikut ketiduran sampai pagi, Ma.”Bastian memberikan alasan yang cukup masuk akal agar sang mama tak curiga.“Benarkah?” Rihana menaikkan satu sudut alis, tak percaya begitu saja karena dia melihat sesuatu yang membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak semalaman.“Hm … benar.” Bastian mengeluarkan ponselnya dari kantong celana, lantas menunjukkan pesan yang dikirimkan Nana semalam.“Semalam badannya panas lagi, jadi aku menemaninya tidur. Aku ingin menghubungi Nanda, tapi takut mengganggunya,” ujar Bastian menjelaskan.Rihana membaca pesan yang dikirimkan Nana, hingga akhirnya percaya dengan jawaban putranya itu.“Ya sudah, kamu sarapan dulu. Mama mau li
“Itu Aruna, kamu tidak mau menjelaskan atau bertanya kepadanya?” Ansel bicara sambil menyenggol lengan Bumi.Bumi hanya menatap Aruna yang sedang membawa buku ke arah gedung perkuliahan. Jika Aruna masih berada di semester 4, Bumi sedang menjalani skripsi.“Tidak perlu, kalau dia tidak mau bicara, ya sudah.” Bumi tak acuh karena yang memulai perdebatan Aruna.Ansel mencebik mendengar ucapan Bumi, hingga kemudian membalas, “Kalau kata papaku, wanita itu makhluk paling benar. Dia bicara salah pun, ya benar. Kalau kamu ga mau ngomong dan bujuk dia. Ya, lihat saja, dia akan terus seperti itu. Paling-paling parah, dia akan kembali mengamuk.”Bumi hanya memandang sahabatnya itu, hingga kemudian memalingkan muka.“Biarkan saja, kalau nantinya dia mau bicara, dia pasti akan bicara,” balas Bumi pada akhirnya.Ansel menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Bumi. Dia pun akhirnya mengedikkan bahu karena temannya itu juga tak acuh.Meski Bumi bilang tak peduli, tapi kenyataannya ekor matanya me
“Kalian datang kenapa tidak kasih kabar dulu? Kalau kasih kabar ‘kan Mommy bisa masak makanan kesukaan kalian dulu.”Bintang terkejut tapi juga senang karena melihat Sashi datang berkunjung.“Sebenarnya ga ada rencana, Mom. Nanda pulang kerja ngajak keluar, jadi kupikir pengen sekalian ke sini saja,” ujar Sashi menjelaskan.Nanda hanya tersenyum mendengar ucapan Sashi ke Bintang.“Oh … begitu. Daddy-mu di ruang kerja, biar mommy panggilin, kalian ke ruang keluarga saja dulu.” Bintang pergi memanggil suaminya setelah mengatakan hal itu.Sashi menggandeng Nanda, tentu saja sikap keduanya sangat berbeda dengan sebelumnya. Dulu Sashi tak peduli, sekarang tentunya sangat perhatian satu sama lain.Saat Sashi dan Nanda berjalan ke ruang keluarga, Aruna terlihat menuruni anak tangga. Gadis itu memperlambat langkah saat melihat Sashi dan Nanda.“Kamu mau ke mana?” tanya Sashi tetap bersikap baik ke sang adik, meski Aruna tak pernah bersikap baik kepadanya.Aruna membetulkan letak tali tas di p