“Masih sakit?” tanya Nanda saat mereka sudah sampai rumah.“Tidak,” jawab Sashi yang duduk di tepian ranjang.Nanda berdiri di hadapan Sashi. Dia langsung melipat kedua tangan di dada setelah mendengar jawaban istrinya itu.“Aku tidak menuntut lebih, hanya saja kenapa kamu tidak mengakui kalau kamu adalah gadis itu? Kenapa harus tetap menyembunyikannya, sedangkan aku sudah membahasnya secara gamblang?” tanya Nanda penasaran dengan alasan Sashi.Sashi mengusap tengkuk, hingga kemudian menjawab pertanyaan Nanda. Dia juga tidak punya alasan untuk mengelak.“Bukannya tak ingin mengakui atau jujur, hanya saja aku tidak mudah percaya ke orang kecuali keluargaku. Aku hanya takut profesiku sebagai dokter terganggu, sedangkan melukis sebenarnya hanya hobi, aku menjual karyaku pun untuk lelang amal, bukan kepentingan pribadiku,” ujar Sashi mencoba menjelaskan.Nanda mendengarkan setiap kata yang meluncur dari bibir Sashi. Dia kemudian mengurai kedua tangan yang terlipat di dada, lantas berjongk
Sashi tak pernah menyangka jika semua sandiwara akan berakhir seperti ini. Dia bisa saja menolak dengan pendiriannya, tapi dia tak mampu menolak karena tanpa disadari mulai tertarik dengan pria dari masa lalu yang kini menjadi suaminya.“Jadi, kenapa kamu pergi tanpa mengambil lukisanmu dulu? Jujur, aku merasa beban serta takut lukisan itu rusak sebelum kamu melihatnya,” ujar Sashi sambil menoleh Nanda yang duduk di sampingnya.Keduanya kini duduk bersama di ranjang, setelah percakapan panjang mereka. Mereka sama-sama sedikit canggung, hingga akhirnya tak bisa tidur dan memilih duduk bersama.Nanda menoleh Sashi, lantas membalas, “Karena Mama dan Papa mendapat kabar kalau Oma kami di Amerika sakit keras dan dalam kondisi kritis.”“Hm … lalu setelah itu, kenapa tidak kembali dan menemuiku, padahal aku masih sekolah di sana sampai umurku 11 tahun?” tanya Sashi penasaran.“Oma sakit keras dan harus dirawat intensif. Keluargaku akhirnya memutuskan untuk pindah ke sana, karena Oma tak bisa
“Ada apa, Na? Kenapa wajahmu pucat?” tanya Bastian ketika bertemu Nana di dapur. Nana menggelengkan kepala kemudian memilih duduk sambil memegang gelas. “Ada apa?” tanya Bastian cemas dengan Nana yang sedikit murung seharian. Nana menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak ada orang, lantas menatap Bastian yang berdiri di dekatnya. “Bicara di samping kolam saja,” ajak Nana. Dia takut jika ada yang mendengar percakapan mereka. Bastian mengangguk, keduanya pun memilih keluar rumah, lantas duduk di kursi ayunan yang ada di dekat kolam, menghadap rumah, sehingga jika ada yang datang, mereka bisa melihat. “Ada apa?” tanya Bastian setelah mereka duduk berdua. Nana mengamati sekitar, hingga kemudian bersiap menjawab pertanyaan Bastian. “Aku sebenarnya cemas, Bas.” Nana menatap Bastian dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Soal?” Bastian menaikkan satu sudut alis. Nana mengembuskan napas kasar, hingga kemudian menjawab, “Tentu saja soal ucapan Mama. Aku tidak bisa mengabaikan itu.” B
“Kenapa bisa panas begini? Bukankah tadi baik-baik saja?” Rihana sangat cemas melihat Nana yang sakit. “Aku juga tidak tahu, Ma. Nana mengirimiku pesan, makanya aku tahu kalau dia sakit,” jawab Bastian yang juga panik karena kondisi Nana. Rihana sangat cemas saat merasakan suhu tubuh Nana yang sangat tinggi. Dia pun meminta Nana minum obat penurun panas, sambil menunggu Sashi datang. “Aku sudah menelepon kakakmu, semoga mereka cepat sampai agar bisa segera memeriksa Nana,” ujar Rihana yang tak mampu menyembunyikan kecemasannya. Nana demam tinggi, wajahnya sampai merah karena panasnya suhu tubuh gadis itu. Bastian begitu cemas, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa sehingga kini hanya berharap Nanda dan Sashi cepat datang. “Ambilkan kompres, air hangat jangan dingin.” Bastian langsung mengangguk kemudian pergi melaksanakan perintah sang mama. Rihana mengompres kening Nana, berharap suhu tubuhnya turun. Nana memejamkan mata, tapi terlihat jelas kelopak matanya yang berkerut menan
“Panasnya sudah turun, biarkan dia istirahat dulu. Kita lihat besok bagaimana,” kata Sashi setelah mengecek kondisi Nana ketika adik iparnya itu sudah tidur. Nanda dan Bastian bernapas lega. Mereka adalah dua pria yang akan selalu mencemaskan Nana. “Aku akan tidur di sini menjaganya, kalian istirahatlah,” ujar Bastian sambil menatap Nanda dan Sashi bergantian. Nanda menoleh Sashi, istrinya itu terlihat lelah sehingga Nanda pun setuju membiarkan Bastian tidur menjaga Nana. “Ya sudah, kalau ada apa-apa bangunkan kami,” kata Nanda. Nanda menggandeng tangan Sashi, mengajak istrinya itu masuk ke kamarnya. “Tidak apa ‘kan jika menginap?” tanya Nanda meminta persetujuan, kali ini dia tidak ingin bersikap gegabah atau sesuka hati mengambil keputusan jika itu menyangkut Sashi. “Tidak apa, aku juga cemas lihat Nana yang sangat panas seperti tadi. Lagian besok aku masuk shift malam untuk menggantikan jatah shift temanku yang menggantikan ‘ku,” jawab Sashi menjelaskan. Nanda mengangguk-ang
“Kenapa menatapku begitu?” Nanda merasa sangat aneh ditatap iba oleh Sashi.“Tidak ada,” jawab Sashi, “aku hanya sedang melihat pria yang baru kusadari begitu perhatian ke orang tersayangnya,” imbuh Sashi kemudian. “Jangan menatapku iba, seolah aku ini sangat menyedihkan,” ujar Nanda.Semua sikap angkuh, dingin, juga tegas yang dibangunnya, untuk memperlihatkan jika dia tidak memiliki celah dan alasan untuk bisa dihancurkan.“Aku tidak menganggap kamu menyedihkan, aku hanya sedang melihat perjuangan seorang anak yang sedang berusaha menyenangkan orang tua dan sekelilingnya,” balas Sashi lagi tak gentar meski Nanda memperingatkan.Nanda diam menatap Sashi yang tersenyum tipis untuknya.“Aku tahu bagaimana rasanya saat melihat orang yang kamu sayangi pergi. Aku tahu bagaimana rasanya takut kehilangan hingga melakukan segala cara agar tak terbuang. Aku tahu bagaimana rasanya bertahan tetap berdiri tanpa ada yang menggoyahkan. Aku tahu rasanya dipandang sebelah mata, yang membuat terus b
“Suhu tubuhnya sudah normal, tapi tetap harus beristirahat dan jangan kena angin malam lagi,” ucap Sashi dengan senyum manis ke Nana. Nana tersenyum tipis di balik wajah pucatnya. Dia pun menganggukkan kepala mendengar ucapan Sashi. “Siang ini aku harus kerja. Pastikan Nana meminum obatnya, kalau ada apa-apa hubungi aku,” ujar Sashi ke Bastian yang berdiri di samping ranjang. “Iya,” balas Bastian. Nanda mengusap kasar rambut bagian depan adiknya itu. Dia sangat lega melihat Nana sudah membaik. “Jangan sakit-sakit lagi,” ucap Nanda ke Nana. Nana mengangguk-anggukan kepala mendengar ucapan sang kakak. Rihana juga ada di sana. Dia memandang Nana yang tersenyum ke Nanda, hingga tatapannya beralih ke Bastian yang berdiri sambil melihat ke Nana dan Nanda. Sashi, Nanda, dan Rihana turun ke lantai bawah, mereka membiarkan Bastian mengurus Nana. “Kami pulang dulu, Ma.” Nanda pamit ke Rihana. “Ya, hati-hati,” ucap Rihana dengan ekspresi wajah yang tidak seperti biasanya. “Mama sakit?”
Sashi mendorong dada Nanda, membuat pagutan bibir mereka terlepas.“Tunggu, aku kehabisan napas,” ucap Sashi dengan wajah memerah, napasnya tersengal hingga wanita itu meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi stok udara di dada.Nanda memandang Sashi dengan tatapan penuh gairah, ciuman pertama mereka sungguh membuatnya menginginkan sesuatu yang lebih dari istrinya itu.“Sashi,” ucap Nanda dengan suara berat.“Hm ….” Sashi menatap Nanda yang sudah memandangnya.“Boleh aku melakukannya?” tanya Nanda. Dia sadar ini terlalu cepat, tapi terus menahan diri saat bersentuhan dengan wanita itu cukup membuatnya tersiksa.Sashi terkejut mendengar pertanyaan Nanda. Namun, meski menolak sekarang, dia tidak akan bisa menolak di lain waktu. Lagi pula, bukankah mereka pasangan sah secara agama dan hukum, perjanjian mereka pun kini sudah tak berlaku lagi.“Boleh,” jawab Sashi meski sedikit ragu karena takut.Nanda memulas senyum mendapat jawaban dari Sashi. Dia menekan tengkuk istrinya itu, lanta
“Dia tampan sekali. Pipinya juga menggemaskan.” Rihana langsung menggendong cucu keduanya itu. Rihana, Bintang, dan para suami datang ke sana setelah satu minggu Sashi melahirkan. Mereka begitu bahagia mengetahui Sashi melahirkan dengan lancar. “Aku mau menggendongnya,” kata Bintang mengambil Archie dari gendongan Rihana. Sashi dan Nanda menatap para orang tua yang sangat bahagia. Mereka begitu bahagia melihat semuanya berkumpul di sana. “Siapa namanya?” tanya Bintang sambil menimang bayi Archie. “Archie Abimand Mahendra. Nanda ingin nama keluarga tersemat di namanya,” jawab Sashi. “Nama yang bagus,” puji Rihana sambil mengelus pipi Archie menggunakan telunjuk, membuat bayi mungil itu menggeliat geli. Bintang menatap cucu pertamanya itu. Melihat Archie yang sangat menggemaskan, membuat Bintang malah sedih. “Apa kamu akan balik ke Indonesia?” tanya Bintang sambil menatap Sashi. Semua orang pun terkejut hingga menatap Bintang, kemudian ke Sashi secara bergantian. Sashi bingung
Sashi baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tiba-tiba merasakan perutnya sakit, membuat Sashi langsung berpegangan pada kusen pintu. “Agh, kenapa sakit?” Sashi memegangi perutnya yang besar. Kehamilan Sashi baru memasuki usia sembilan bulan. Dia menjalani hari dalam masa kehamilan dengan baik meski Nanda tak selalu ada di sampingnya. Pagi itu dia baru saja mencuci wajah, tapi perutnya tiba-tiba terasa mulas bahkan panas juga pinggangnya pegal. “Apa kamu mau keluar sekarang?” Sashi menahan sakit sambil mengusap perutnya. Sashi mengalami kontraksi, membuatnya tak sanggup berjalan hingga memilih langsung duduk di ranjang. Dia berulang kali mengatur napas karena kontraksi yang terjadi. “Anda sudah bangun?” Suara perawat pribadi yang selama beberapa bulan ini merawat dan menjaga Sashi masuk kamar. Dia terkejut karena melihat Sashi kesakitan. “Anda baik-baik saja?” tanya wanita itu langsung berlari menghampiri Sashi. “Sepertinya bayinya mau lahir,” jawab Sashi sambil menahan sakit
“Kenapa kamu ke sini lagi?” Bumi melotot ke Winnie yang kembali datang ke kafenya. Dia sepertinya sedikit tak senang dengan Winnie yang sangat cerewet. “Apa? Aku mau jajan, kenapa kamu galak sekali? Ingat, Om. Tidak boleh galak-galak, nanti cepat tua,” balas Winnie tak takut sama sekali meski Bumi memasang wajah garang. “Kalau mau beli makanan atau minuman di sini, take away jangan makan di sini,” ucap Bumi karena sebelumnya Winnie begitu cerewet bertanya soal seseorang yang menemuinya waktu itu. Padahal jika dipikir, Winnie tak ada hubungan dengan Bumi, tapi kenapa gadis itu bertanya seolah sedang menginterogasi. Selama beberapa bulan ini, Winnie memang sering datang ke kafe Bumi meski tidak tiap hari. Bukannya senang mendapat pelanggan tetap, Bumi malah kesal karena sikap Winnie cerewet dan penasaran dengan apa pun yang dilihat di kafe itu.Baru saja Winnie ingin membalas ucapan Bumi. Tiba-tiba beberapa anak berseragam masuk ke kafe dan langsung menatap Winnie. “Eh, kamu di sin
“Kamu benar-benar tidak apa-apa jika aku balik ke indo?” tanya Nanda sambil membelai rambut Sashi dengan lembut. Nanda sudah beberapa hari di sana. Dia harus kembali ke Indonesia untuk mengurus pekerjaan, tapi Nanda juga masih berat jika harus meninggalkan Sashi. “Iya, tidak apa-apa. Lagian aku juga baik-baik saja, bahkan tidak mengalami morning sickness. Jadi kamu jangan cemas,” jawab Sashi. Sebenarnya bukan masalah takut Sashi sakit atau mengalami kendala saat menjaga kesehatan. Dia hanya tak bisa jauh dari istrinya yang sedang hamil, Nanda seperti perlu terus berada di sisi istrinya itu. Saat keduanya masih berbincang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Nanda pun memilih membuka pintu, hingga melihat pelayan rumah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya Nanda. “Nyonya besar datang bersama yang lain, Tuan.” Pelayan itu menyampaikan kedatangan Rihana. “Mama datang? Baiklah, aku akan segera turun,” kata Nanda lantas kembali masuk menghampiri Sashi. “Ada apa?” t
“Kamu benar-benar tidak apa?” tanya Sashi saat melihat Nanda sedang berganti pakaian.Nanda menoleh saat mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mendekat ke Sashi yang duduk di ranjang.“Apanya tidak apa, hm?” tanya balik Nanda lantas duduk di samping Sashi.Sashi sepertinya masih takut jika Nanda belum bisa menerima jika dirinya hamil, meski tadi sudah berkata tidak apa-apa.“Kamu tidak apa-apa kalai aku hamil?” tanya Sashi memastikan.Nanda memulas senyum mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Tentu saja tidak apa-apa. Aku malah bahagia karena akhirnya kamu bisa hamil. Mungkin dulu aku belum siap karena takut kamu sakit, tapi sekarang berbeda karena yang terpenting bagiku sekarang kamu bahagia,” jawab Nanda sambil tersenyum begitu tulus dan penuh kasih sayang.Sashi menautkan jemari mereka, lantas menyandarkan kepala di pundak Nanda.“Aku janji akan selalu sehat dan menjaga bayi kita dengan baik,” ucap Sashi agar Nanda tak perlu cemas.Nanda ters
Nanda masuk ke ruang USG, hingga melihat Sashi yang berbaring dan kini sedang diperiksa.“Bagaimana kondisi istri saya?” tanya Nanda saat sudah masuk ke ruangan itu.Sashi terkejut hingga tatapannya tertuju ke Nanda yang baru saja datang.“Kamu datang.” Sashi terlihat senang melihat Nanda di sana.Nanda mendekat dengan ekspresi wajah cemas, lantas memandang ke monitor yang baru saja diperhatikan oleh dokter.“Sebenarnya istri saya kenapa, Dok?” tanya Nanda.Dokter itu tersenyum sambil meletakkan alat USG, hingga kemudian menjawab, “Selamat, istri Anda hamil.”Nanda tertegun tak percaya mendengar ucapan selamat dari dokter itu. Dia sampai memandang Sashi dengan rasa tak percaya.Sashi sendiri hanya tersenyum karena tadi sudah memberitahu kalau dirinya hamil, kini usia kandungan Sashi pun baru enam minggu.“Hamil? Serius hamil? Bukan penyakit?” tanya Nanda memastikan dengan sedikit rasa tidak percaya.Sashi meraih tangan Nanda yang dekat dengannya, lantas menautkan jemari mereka.“Iya,
Satu tahun berlalu. Sashi masih setia menemani Aruna di luar negeri, Nanda sendiri datang setiap seminggu sekali, lantas tinggal beberapa hari sebelum kembali ke Indonesia.Sashi sendiri mulai lega karena akhirnya Aruna bisa menyesuaikan diri dan kini sudah memiliki beberapa teman di kampus barunya.“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya Sashi saat melihat Aruna baru saja pulang.“Menyenangkan,” jawab Aruna sambil melebarkan senyum.“Mommy tadi telepon, tanya apa kamu masih suka murung-murungan, kujawab tidak karena kamu sudah baik-baik saja,” ucap Sashi.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Sashi. Meski dia terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja sudah satu tahun belum bisa melupakan Ansel.“Jika nanti sudah lulus, aku ingin kerja di sini saja. Di sini lebih enak, meski pergaulan di sini berbeda dengan di Indonesia, tapi aku sudah berusaha menjaga batasan,” ujar Aruna.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Aruna. Dia lantas membalas, “Apa kamu tidak ingin meneruskan perusahaan Dadd
“Bagaimana dengan Runa?” tanya Nanda saat menemui Sashi di kamar. Mereka sudah ada di sana sebulan. Aruna sendiri belum keluar dari rumah sama sekali sejak sebulan ini. “Masih sama. Hanya di kamar, duduk di teras, atau jalan-jalan,” jawab Sashi yang sedih mengetahui Aruna tak seperti dulu dan lebih banyak murungnya. Nanda menghela napas, mereka sudah berusaha membuat Aruna bersemangat, soal Aruna mau bangkit atau tidak, semua harus dari diri sendirinya. “Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal? Aku tidak tega melihatmu sedih melihat Aruna seperti itu,” ucap Nanda sambil mengusap rambut Sashi. Nanda masih harus bolak-balik mengurus pekerjaan, sehingga dia pun tidak bisa setiap saat ada di sana. “Kamu tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Soal Runa, aku akan berusaha mengajaknya jalan-jalan mencari suasana baru. Dia juga seharusnya sudah mulai mengurus perpindahan kuliahnya, tapi dia belum bersemangat,” balas Sashi. Sashi mencoba memahami posisi suaminya yang tak bisa terus berad
Aruna memandangi kamar yang akan ditinggalkannya. Dia sudah memantapkan hati untuk pergi karena benar-benar tak bisa melupakan Ansel begitu saja jika masih di kota itu. Baginya Ansel adalah cinta pertama yang tak bisa dilupakan. Meski dulu awalnya dia menyukai Bumi, tapi kenyataannya Ansellah yang menduduki hatinya pertama kali. “Kamu sudah siap?” tanya Sashi yang menghampiri Aruna di kamar. Aruna menatap Sashi, lantas menganggukkan kepala. Dia mengambil tas dan jaketnya, lantas menarik koper yang ada di dekat ranjang. Setelah mengurus visa tinggal terbatas dan pasport, akhirnya Aruna akan pergi ke Amerika untuk belajar sekalian menenangkan diri. Namun, tentunya Aruna akan pergi bersama keluarga, lalu nantinya akan tinggal bersama Sashi dan Nanda sesuai kesepakatan, meski Nanda akan bolak-balik karena urusan pekerjaan. Bintang menatap Aruna yang baru saja menuruni anak tangga bersama Sashi. Bintang tak kuasa melihat kedua putrinya akan pergi dan tinggal jauh darinya. Sopir yang