Ehem ... hayo, sudah berapa level senyum kalian muncul saat baca bab ini? Wkwkwkwkwk drop di kolom komentar
“Nanti sore aku jemput.”Sashi langsung menoleh begitu mendengar ucapan Nanda. Dia baru saja melepas seat belt dan mendengar suaminya berkata akan menjemputnya. Nanda mengantar Sashi ke rumah sakit karena mobilnya masih tertinggal di sana.“Kenapa dijemput? Mobilku masih di sini?” tanya Sashi dengan ekspresi wajah keheranan.Nanda menoleh Sashi yang sudah memandangnya, hingga kemudian menjawab, “Ya, tinggal saja lagi. Atau mungkin nanti biarkan orang rumah yang ambil.”Sashi menaikkan satu sudut alis mendengar jawaban Nanda. Pria itu benar-benar bersikap aneh sejak pagi, membuat Sashi merasa curiga.Bagaimana tidak, Nanda lumayan perhatian ke Sashi, bahkan hal kecil seperti mengambil lauk untuk Sashi pun dilakukan oleh Nanda.“Tidak usah, nanti aku bawa mobilnya pulang sendiri.” Sashi menolak lantas membuka pintu mobil. Namun, sebelum keluar, Sashi kembali menoleh ke Nanda.“Oh ya satu lagi,” ujar Sashi sambil memandang Nanda yang masih menatapnya.“Aku sudah memikirkan ini semalaman,
“Sudah mau pulang?”Sashi terkejut begitu mendengar suara Zidan saat dirinya baru saja keluar dari ruangannya. Dia menoleh dan langsung tersenyum ke pria itu.“Iya,” jawab Sashi sambil membetulkan letak tali tas di pundak.“Mau kuantar? Kulihat tadi kamu diantar suamimu,” ujar Zidan menawari.Sashi tampak terkejut mendengar tawaran Zidan, hingga ingat bagaimana Nanda kesal karena dirinya terlalu dekat dengan seniornya itu.“Tidak usah. Suamiku sudah dalam perjalanan ke sini,” ucap Sashi menolak tawaran Zidan.“Ah … begitu.” Zidan hanya bisa mengangguk-angguk.“Oh ya, apa besok kamu jadi bertukar shift denganku?” tanya Sashi memastikan karena takut Zidan berubah pikiran.“Tentu,” jawab Zidan dengan seulas senyum manis di wajah.Sashi begitu lega mendengar jawaban Zidan. Dia pun berterima kasih ke pria itu.“Aku pergi dulu.” Sashi pamit lebih dulu pergi meninggalkan Zidan.Zidan hanya diam tak bisa mencegah, memandang punggung Sashi yang berjalan menjauh darinya.Sashi sendiri bernapas
“Kalian memintaku datang hanya untuk memperlihatkan ini sambil menekanku. Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu mengatakan soal perasaanku kepadanya?”Clara begitu emosi hingga bicara sambil menunjuk ke Sashi sedangkan tatapan tertuju ke Nanda.“Kamu tidak bisa sopan, memanggil kakakmu sendiri dengan kamu apa tidak bisa pakai kak? Bukan kakakmu yang mengatakan itu, tapi sikapmu yang membuatku menyadari, bagaimana perasaanmu yang tak wajar kepada suamiku!” hardik Sashi meski dengan suara yang tak lantang.Nanda memilih diam karena ingin melihat sampai mana Sashi meluruskan masalah ini.Clara semakin kesal mendengar ucapan Sashi, hingga kemudian membalas, “Suka-suka aku mau menyebutnya bagaimana. Kamu tidak berhak mengaturku! Bahkan termasuk perasaanku!”“Aku tidak mengaturmu, tapi aku melindungi suamiku. Aku tidak bisa melihatmu tak sopan ke suamiku yang jauh lebih tua darimu, juga aku tidak bisa melihatmu menyukai pria yang tak seharusnya kamu sukai!” balas Sashi sengit. Bahkan dia m
Nanda dan Sashi terlihat canggung sejak kejadian tadi. Bahkan keduanya saling diam padahal tak ada masalah di antara keduanya. Kini mereka sudah di kamar. Nanda baru saja mandi karena pakaiannya lengket terkena jus. “Soal--” “Besok--” Sashi dan Nanda ingin bicara, tapi keduanya bicara secara bersamaan, hingga mereka pun sama-sama menghentikan apa yang hendak diucapkan. Sashi tersenyum tipis saat menyadari keduanya hendak bicara bersamaan, hingga kemudian berkata, “Kamu saja dulu. Mau bicara apa?” “Tidak, kamu saja dulu,” balas Nanda mempersilakan istrinya bicara lebih dulu. “Soal Runa, aku tidak tahu apakah benar jika harus kamu yang bicara ke dia. Urusan kami denganmu dan Clara jelas berbeda. Aku hanya tidak yakin, apakah dengan dirimu yang bicara dengannya, akan menyelesaikan masalah atau menambah masalah,” ujar Sashi. Nanda berdiri mendengarkan Sashi bicara, hingga kemudian membalas, “Kalau tidak dicoba, bagaimana bisa tahu? Memangnya kamu ingin terus salah paham dengan Runa
“Besok lagi, kasih tembok di tengah kasur.”“Bagaimana caranya membangun tembok di tengah kasur?” tanya Nanda sambil memandang Sashi yang berdiri dengan kedua pipi menggelembung, sangat lucu tapi Nanda mencoba menahan senyumnya.“Gara-gara kamu, tanganku kesemutan,” ujar Sashi membalas pertanyaan Nanda.“Kenapa tanganmu kesemutan, aku yang disalahkan?” Nanda menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Sashi, padahal sebenarnya dia paham maksud dari istrinya itu.Sashi menggelembungkan pipi, mana mungkin dia bicara terus terang semalam lelah dipeluk pria itu. Entah sempat dilepas atau tidak, saat bangun Sashi pun masih menempel ke pria itu.“Sudahlah.” Sashi memilih pergi ke ruang ganti karena harus bersiap ke rumah sakit.Nanda hanya mengulum bibir menahan tawa, sungguh kini dirinya menyadari betapa lucu dan menggemaskan istrinya itu.Saat Nanda ingin ke kamar mandi, terdengar suara ketukan pintu hingga membuat Nanda memandang ke pintu, bahkan Sashi yang berada di kamar ganti pun ikut
“Ke mana Mama? Kenapa sepagi ini tidak terlihat?” tanya Nana saat tak melihat Rihana di ruang makan. Melvin sedang di luar kota, karena itu Rihana berani pergi di pagi hari. “Entah, tidak biasanya juga Mama tidak ada di rumah di pagi hari,” balas Bastian. Clara terlihat santai saat melihat kedua kakaknya mencari orang tua mereka. Dia memilih duduk di kursi untuk bersiap sarapan. “Kamu ga lihat Mama?” tanya Nana ke Clara. “Tidak,” jawab Clara tanpa menoleh sang kakak. Bastian melihat sikap adiknya itu semakin keterlaluan, tak hanya kepada Nanda kini kepada Nana pun Clara tak sopan. “Kenapa sikapmu berubah?” tanya Bastian. Clara memutar bola mata malas mendengar pertanyaan Bastian, lantas memandang sang kakak yang duduk berhadapan dengannya. “Apanya yang berubah? Biasanya juga gini,” jawab Clara tak acuh, kemudian memilih memakan rotinya. Bastian ingin kembali bicara, tapi Nana buru-buru menggenggam telapak tangan Bastian untuk memberi isyarat agar tak bicara lagi. Bastian me
“Minum dulu, Ma.” Nanda dan Bastian membawa Rihana ke kamar karena sang mama hampir pingsan akibat mengamuk. Kini Nanda berusaha membujuk Rihana agar mau minum. Rihana menggelengkan kepala menolak tawaran air dari Nanda. “Ma, minumlah sedikit. Kumohon.” Nanda bicara dengan lembut ke Rihana. Bastian sangat mencemaskan sang mama. Dia duduk di tepian ranjang sambil memijat kaki sang mama. Rihana akhirnya mau minum setelah Nanda membujuk, lantas duduk bersandar dengan mata terpejam. “Berbaringlah kalau pusing. Aku panggilan dokter untuk mengecek tekanan darah Mama,” kata Nanda yang siap mengeluarkan ponsel untuk menghubungi dokter pribadi keluarga. Rihana menahan tangan Nanda, menggelengkan kepala sebagai isyarat agar tak perlu memanggil dokter. Nanda dan Bastian pun hanya diam memandang Rihana, menunggu sampai sang mama mau bicara. “Kenapa kamu tidak bilang sejak awal, Nan. Setidaknya kalau mama tahu sejak awal, mama bisa menasihatinya,” ujar Rihana sambil membuka mata lantas me
“Kamu sudah memastikannya?” Sashi bicara dengan tatapan tak percaya. Bahkan cara duduknya pun terlihat lemas sampai menyandarkan punggung. “Sudah. Bahkan dia memberikan buktinya. Saya akan kirim fotonya, biar Anda yang memutuskan.” Suara seseorang bicara dengan Sashi. Sashi diam sejenak, kemudian mengangguk sambil mengatakan agar dikirimi foto sebagai bukti. Sashi pun menerima sebuah foto, hingga terdiam melihat foto itu. “Bagaimana sekarang? Apa Anda mau menemuinya?” tanya seorang wanita dari seberang panggilan. “Setelah sekian lama, haruskah? Kupikir dia pun lupa denganku. Berikan saja, tidak perlu bertemu. Aku masih sibuk di sini,” jawab Sashi memberikan sebuah keputusan meski sangat berat. “Baik, saya mengerti.” Panggilan itu pun berakhir, Sashi memandang nama di layar yang baru saja menghubunginya. “Dok, Anda baik-baik saja?” tanya asisten Sashi karena melihat dokternya itu melamun. Sashi terkejut mendengar pertanyaan asisten, hingga kemudian menganggukkan kepala. “Aku
“Dia tampan sekali. Pipinya juga menggemaskan.” Rihana langsung menggendong cucu keduanya itu. Rihana, Bintang, dan para suami datang ke sana setelah satu minggu Sashi melahirkan. Mereka begitu bahagia mengetahui Sashi melahirkan dengan lancar. “Aku mau menggendongnya,” kata Bintang mengambil Archie dari gendongan Rihana. Sashi dan Nanda menatap para orang tua yang sangat bahagia. Mereka begitu bahagia melihat semuanya berkumpul di sana. “Siapa namanya?” tanya Bintang sambil menimang bayi Archie. “Archie Abimand Mahendra. Nanda ingin nama keluarga tersemat di namanya,” jawab Sashi. “Nama yang bagus,” puji Rihana sambil mengelus pipi Archie menggunakan telunjuk, membuat bayi mungil itu menggeliat geli. Bintang menatap cucu pertamanya itu. Melihat Archie yang sangat menggemaskan, membuat Bintang malah sedih. “Apa kamu akan balik ke Indonesia?” tanya Bintang sambil menatap Sashi. Semua orang pun terkejut hingga menatap Bintang, kemudian ke Sashi secara bergantian. Sashi bingung
Sashi baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tiba-tiba merasakan perutnya sakit, membuat Sashi langsung berpegangan pada kusen pintu. “Agh, kenapa sakit?” Sashi memegangi perutnya yang besar. Kehamilan Sashi baru memasuki usia sembilan bulan. Dia menjalani hari dalam masa kehamilan dengan baik meski Nanda tak selalu ada di sampingnya. Pagi itu dia baru saja mencuci wajah, tapi perutnya tiba-tiba terasa mulas bahkan panas juga pinggangnya pegal. “Apa kamu mau keluar sekarang?” Sashi menahan sakit sambil mengusap perutnya. Sashi mengalami kontraksi, membuatnya tak sanggup berjalan hingga memilih langsung duduk di ranjang. Dia berulang kali mengatur napas karena kontraksi yang terjadi. “Anda sudah bangun?” Suara perawat pribadi yang selama beberapa bulan ini merawat dan menjaga Sashi masuk kamar. Dia terkejut karena melihat Sashi kesakitan. “Anda baik-baik saja?” tanya wanita itu langsung berlari menghampiri Sashi. “Sepertinya bayinya mau lahir,” jawab Sashi sambil menahan sakit
“Kenapa kamu ke sini lagi?” Bumi melotot ke Winnie yang kembali datang ke kafenya. Dia sepertinya sedikit tak senang dengan Winnie yang sangat cerewet. “Apa? Aku mau jajan, kenapa kamu galak sekali? Ingat, Om. Tidak boleh galak-galak, nanti cepat tua,” balas Winnie tak takut sama sekali meski Bumi memasang wajah garang. “Kalau mau beli makanan atau minuman di sini, take away jangan makan di sini,” ucap Bumi karena sebelumnya Winnie begitu cerewet bertanya soal seseorang yang menemuinya waktu itu. Padahal jika dipikir, Winnie tak ada hubungan dengan Bumi, tapi kenapa gadis itu bertanya seolah sedang menginterogasi. Selama beberapa bulan ini, Winnie memang sering datang ke kafe Bumi meski tidak tiap hari. Bukannya senang mendapat pelanggan tetap, Bumi malah kesal karena sikap Winnie cerewet dan penasaran dengan apa pun yang dilihat di kafe itu.Baru saja Winnie ingin membalas ucapan Bumi. Tiba-tiba beberapa anak berseragam masuk ke kafe dan langsung menatap Winnie. “Eh, kamu di sin
“Kamu benar-benar tidak apa-apa jika aku balik ke indo?” tanya Nanda sambil membelai rambut Sashi dengan lembut. Nanda sudah beberapa hari di sana. Dia harus kembali ke Indonesia untuk mengurus pekerjaan, tapi Nanda juga masih berat jika harus meninggalkan Sashi. “Iya, tidak apa-apa. Lagian aku juga baik-baik saja, bahkan tidak mengalami morning sickness. Jadi kamu jangan cemas,” jawab Sashi. Sebenarnya bukan masalah takut Sashi sakit atau mengalami kendala saat menjaga kesehatan. Dia hanya tak bisa jauh dari istrinya yang sedang hamil, Nanda seperti perlu terus berada di sisi istrinya itu. Saat keduanya masih berbincang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Nanda pun memilih membuka pintu, hingga melihat pelayan rumah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya Nanda. “Nyonya besar datang bersama yang lain, Tuan.” Pelayan itu menyampaikan kedatangan Rihana. “Mama datang? Baiklah, aku akan segera turun,” kata Nanda lantas kembali masuk menghampiri Sashi. “Ada apa?” t
“Kamu benar-benar tidak apa?” tanya Sashi saat melihat Nanda sedang berganti pakaian.Nanda menoleh saat mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mendekat ke Sashi yang duduk di ranjang.“Apanya tidak apa, hm?” tanya balik Nanda lantas duduk di samping Sashi.Sashi sepertinya masih takut jika Nanda belum bisa menerima jika dirinya hamil, meski tadi sudah berkata tidak apa-apa.“Kamu tidak apa-apa kalai aku hamil?” tanya Sashi memastikan.Nanda memulas senyum mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Tentu saja tidak apa-apa. Aku malah bahagia karena akhirnya kamu bisa hamil. Mungkin dulu aku belum siap karena takut kamu sakit, tapi sekarang berbeda karena yang terpenting bagiku sekarang kamu bahagia,” jawab Nanda sambil tersenyum begitu tulus dan penuh kasih sayang.Sashi menautkan jemari mereka, lantas menyandarkan kepala di pundak Nanda.“Aku janji akan selalu sehat dan menjaga bayi kita dengan baik,” ucap Sashi agar Nanda tak perlu cemas.Nanda ters
Nanda masuk ke ruang USG, hingga melihat Sashi yang berbaring dan kini sedang diperiksa.“Bagaimana kondisi istri saya?” tanya Nanda saat sudah masuk ke ruangan itu.Sashi terkejut hingga tatapannya tertuju ke Nanda yang baru saja datang.“Kamu datang.” Sashi terlihat senang melihat Nanda di sana.Nanda mendekat dengan ekspresi wajah cemas, lantas memandang ke monitor yang baru saja diperhatikan oleh dokter.“Sebenarnya istri saya kenapa, Dok?” tanya Nanda.Dokter itu tersenyum sambil meletakkan alat USG, hingga kemudian menjawab, “Selamat, istri Anda hamil.”Nanda tertegun tak percaya mendengar ucapan selamat dari dokter itu. Dia sampai memandang Sashi dengan rasa tak percaya.Sashi sendiri hanya tersenyum karena tadi sudah memberitahu kalau dirinya hamil, kini usia kandungan Sashi pun baru enam minggu.“Hamil? Serius hamil? Bukan penyakit?” tanya Nanda memastikan dengan sedikit rasa tidak percaya.Sashi meraih tangan Nanda yang dekat dengannya, lantas menautkan jemari mereka.“Iya,
Satu tahun berlalu. Sashi masih setia menemani Aruna di luar negeri, Nanda sendiri datang setiap seminggu sekali, lantas tinggal beberapa hari sebelum kembali ke Indonesia.Sashi sendiri mulai lega karena akhirnya Aruna bisa menyesuaikan diri dan kini sudah memiliki beberapa teman di kampus barunya.“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya Sashi saat melihat Aruna baru saja pulang.“Menyenangkan,” jawab Aruna sambil melebarkan senyum.“Mommy tadi telepon, tanya apa kamu masih suka murung-murungan, kujawab tidak karena kamu sudah baik-baik saja,” ucap Sashi.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Sashi. Meski dia terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja sudah satu tahun belum bisa melupakan Ansel.“Jika nanti sudah lulus, aku ingin kerja di sini saja. Di sini lebih enak, meski pergaulan di sini berbeda dengan di Indonesia, tapi aku sudah berusaha menjaga batasan,” ujar Aruna.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Aruna. Dia lantas membalas, “Apa kamu tidak ingin meneruskan perusahaan Dadd
“Bagaimana dengan Runa?” tanya Nanda saat menemui Sashi di kamar. Mereka sudah ada di sana sebulan. Aruna sendiri belum keluar dari rumah sama sekali sejak sebulan ini. “Masih sama. Hanya di kamar, duduk di teras, atau jalan-jalan,” jawab Sashi yang sedih mengetahui Aruna tak seperti dulu dan lebih banyak murungnya. Nanda menghela napas, mereka sudah berusaha membuat Aruna bersemangat, soal Aruna mau bangkit atau tidak, semua harus dari diri sendirinya. “Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal? Aku tidak tega melihatmu sedih melihat Aruna seperti itu,” ucap Nanda sambil mengusap rambut Sashi. Nanda masih harus bolak-balik mengurus pekerjaan, sehingga dia pun tidak bisa setiap saat ada di sana. “Kamu tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Soal Runa, aku akan berusaha mengajaknya jalan-jalan mencari suasana baru. Dia juga seharusnya sudah mulai mengurus perpindahan kuliahnya, tapi dia belum bersemangat,” balas Sashi. Sashi mencoba memahami posisi suaminya yang tak bisa terus berad
Aruna memandangi kamar yang akan ditinggalkannya. Dia sudah memantapkan hati untuk pergi karena benar-benar tak bisa melupakan Ansel begitu saja jika masih di kota itu. Baginya Ansel adalah cinta pertama yang tak bisa dilupakan. Meski dulu awalnya dia menyukai Bumi, tapi kenyataannya Ansellah yang menduduki hatinya pertama kali. “Kamu sudah siap?” tanya Sashi yang menghampiri Aruna di kamar. Aruna menatap Sashi, lantas menganggukkan kepala. Dia mengambil tas dan jaketnya, lantas menarik koper yang ada di dekat ranjang. Setelah mengurus visa tinggal terbatas dan pasport, akhirnya Aruna akan pergi ke Amerika untuk belajar sekalian menenangkan diri. Namun, tentunya Aruna akan pergi bersama keluarga, lalu nantinya akan tinggal bersama Sashi dan Nanda sesuai kesepakatan, meski Nanda akan bolak-balik karena urusan pekerjaan. Bintang menatap Aruna yang baru saja menuruni anak tangga bersama Sashi. Bintang tak kuasa melihat kedua putrinya akan pergi dan tinggal jauh darinya. Sopir yang