Nanda dan Sashi terlihat canggung sejak kejadian tadi. Bahkan keduanya saling diam padahal tak ada masalah di antara keduanya. Kini mereka sudah di kamar. Nanda baru saja mandi karena pakaiannya lengket terkena jus. “Soal--” “Besok--” Sashi dan Nanda ingin bicara, tapi keduanya bicara secara bersamaan, hingga mereka pun sama-sama menghentikan apa yang hendak diucapkan. Sashi tersenyum tipis saat menyadari keduanya hendak bicara bersamaan, hingga kemudian berkata, “Kamu saja dulu. Mau bicara apa?” “Tidak, kamu saja dulu,” balas Nanda mempersilakan istrinya bicara lebih dulu. “Soal Runa, aku tidak tahu apakah benar jika harus kamu yang bicara ke dia. Urusan kami denganmu dan Clara jelas berbeda. Aku hanya tidak yakin, apakah dengan dirimu yang bicara dengannya, akan menyelesaikan masalah atau menambah masalah,” ujar Sashi. Nanda berdiri mendengarkan Sashi bicara, hingga kemudian membalas, “Kalau tidak dicoba, bagaimana bisa tahu? Memangnya kamu ingin terus salah paham dengan Runa
“Besok lagi, kasih tembok di tengah kasur.”“Bagaimana caranya membangun tembok di tengah kasur?” tanya Nanda sambil memandang Sashi yang berdiri dengan kedua pipi menggelembung, sangat lucu tapi Nanda mencoba menahan senyumnya.“Gara-gara kamu, tanganku kesemutan,” ujar Sashi membalas pertanyaan Nanda.“Kenapa tanganmu kesemutan, aku yang disalahkan?” Nanda menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Sashi, padahal sebenarnya dia paham maksud dari istrinya itu.Sashi menggelembungkan pipi, mana mungkin dia bicara terus terang semalam lelah dipeluk pria itu. Entah sempat dilepas atau tidak, saat bangun Sashi pun masih menempel ke pria itu.“Sudahlah.” Sashi memilih pergi ke ruang ganti karena harus bersiap ke rumah sakit.Nanda hanya mengulum bibir menahan tawa, sungguh kini dirinya menyadari betapa lucu dan menggemaskan istrinya itu.Saat Nanda ingin ke kamar mandi, terdengar suara ketukan pintu hingga membuat Nanda memandang ke pintu, bahkan Sashi yang berada di kamar ganti pun ikut
“Ke mana Mama? Kenapa sepagi ini tidak terlihat?” tanya Nana saat tak melihat Rihana di ruang makan. Melvin sedang di luar kota, karena itu Rihana berani pergi di pagi hari. “Entah, tidak biasanya juga Mama tidak ada di rumah di pagi hari,” balas Bastian. Clara terlihat santai saat melihat kedua kakaknya mencari orang tua mereka. Dia memilih duduk di kursi untuk bersiap sarapan. “Kamu ga lihat Mama?” tanya Nana ke Clara. “Tidak,” jawab Clara tanpa menoleh sang kakak. Bastian melihat sikap adiknya itu semakin keterlaluan, tak hanya kepada Nanda kini kepada Nana pun Clara tak sopan. “Kenapa sikapmu berubah?” tanya Bastian. Clara memutar bola mata malas mendengar pertanyaan Bastian, lantas memandang sang kakak yang duduk berhadapan dengannya. “Apanya yang berubah? Biasanya juga gini,” jawab Clara tak acuh, kemudian memilih memakan rotinya. Bastian ingin kembali bicara, tapi Nana buru-buru menggenggam telapak tangan Bastian untuk memberi isyarat agar tak bicara lagi. Bastian me
“Minum dulu, Ma.” Nanda dan Bastian membawa Rihana ke kamar karena sang mama hampir pingsan akibat mengamuk. Kini Nanda berusaha membujuk Rihana agar mau minum. Rihana menggelengkan kepala menolak tawaran air dari Nanda. “Ma, minumlah sedikit. Kumohon.” Nanda bicara dengan lembut ke Rihana. Bastian sangat mencemaskan sang mama. Dia duduk di tepian ranjang sambil memijat kaki sang mama. Rihana akhirnya mau minum setelah Nanda membujuk, lantas duduk bersandar dengan mata terpejam. “Berbaringlah kalau pusing. Aku panggilan dokter untuk mengecek tekanan darah Mama,” kata Nanda yang siap mengeluarkan ponsel untuk menghubungi dokter pribadi keluarga. Rihana menahan tangan Nanda, menggelengkan kepala sebagai isyarat agar tak perlu memanggil dokter. Nanda dan Bastian pun hanya diam memandang Rihana, menunggu sampai sang mama mau bicara. “Kenapa kamu tidak bilang sejak awal, Nan. Setidaknya kalau mama tahu sejak awal, mama bisa menasihatinya,” ujar Rihana sambil membuka mata lantas me
“Kamu sudah memastikannya?” Sashi bicara dengan tatapan tak percaya. Bahkan cara duduknya pun terlihat lemas sampai menyandarkan punggung. “Sudah. Bahkan dia memberikan buktinya. Saya akan kirim fotonya, biar Anda yang memutuskan.” Suara seseorang bicara dengan Sashi. Sashi diam sejenak, kemudian mengangguk sambil mengatakan agar dikirimi foto sebagai bukti. Sashi pun menerima sebuah foto, hingga terdiam melihat foto itu. “Bagaimana sekarang? Apa Anda mau menemuinya?” tanya seorang wanita dari seberang panggilan. “Setelah sekian lama, haruskah? Kupikir dia pun lupa denganku. Berikan saja, tidak perlu bertemu. Aku masih sibuk di sini,” jawab Sashi memberikan sebuah keputusan meski sangat berat. “Baik, saya mengerti.” Panggilan itu pun berakhir, Sashi memandang nama di layar yang baru saja menghubunginya. “Dok, Anda baik-baik saja?” tanya asisten Sashi karena melihat dokternya itu melamun. Sashi terkejut mendengar pertanyaan asisten, hingga kemudian menganggukkan kepala. “Aku
“Ini ….”Bola mata Sashi terus memandang lukisan yang terpajang di dinding. Lukisan yang dipajangnya di galeri, hingga siang tadi ada yang mengaku memilikinya, kini berada di depan matanya.“Indah bukan?”Sashi sangat terkejut mendengar suara Nanda. Dia menoleh hingga mundur dengan cepat karena pria itu berada tepat di hadapannya.“Ak-aku tak sengaja masuk sini,” ucap Sashi tergagap antara panik dan syok melihat Nanda memergoki dirinya di sana.“Tak masalah, aku yang salah karena membuka lebar pintu,” balas Nanda lantas mengalihkan pandangan dari lukisan ke Sashi.Sashi hanya mengangguk pelan mendengar ucapan Nanda. Jujur dia bingung, ingin menanyakan sesuatu tapi kata demi kata yang siap meluncur terasa tersekat di tenggorokan.“Bagaimana menurutmu lukisan itu?” tanya Nanda memancing reaksi Sashi, meski tahu jika istrinya itu sedang syok berat.“Ak-aku … lukisan itu indah,” jawab Sashi tergagap.Nanda memulas senyum mendengar jawaban Sashi, lantas maju satu langkah hingga berdiri tep
“Kenapa wajahmu masam begitu?” tanya Nanda saat melihat Sashi hanya diam sejak mereka berangkat hingga kini sampai di tempat acara.“Siapa yang berwajah masam? Itu perasaanmu saja,” balas Sashi sambil melepas seat belt.Nanda mengulum senyum, berpikir jika Sashi kesal karena percakapan mereka tadi.“Kalau tidak ikhlas dan tak mengizinkan aku menyukai wanita lain, bilang saja. Aku takkan menoleh kanan-kiri kalau kamu tak mengizinkan,” ujar Nanda menggoda istrinya itu.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Nanda, hingga menoleh suaminya dengan ekspresi wajah tak percaya.“Enak saja, siapa yang bilang tidak ikhlas?” Sashi mengelak, meski perasaan itu benar singgah di hatinya.“Sikapmu,” balas Nanda sambil menatap Sashi dengan seulas senyum. Dia melepas seat belt kemudian turun dari mobil.Sashi menggelembungkan pipi, kesal karena semua ucapan pria itu. Seharusnya dia bahagia menghadiri pameran itu, tapi kini moodnya buruk karena ulang Nanda.“Ayo.” Nanda membuka pintu agar Sashi tinggal
“Maaf?” Wanita pemilik acara langsung memastikan apakah yang didengarnya memang benar.Pria itu tersenyum kemudian mendekat, lantas memperjelas, “Saya suka lukisannya. Saya ingin membelinya.”Wanita itu dan Sashi terkejut, bahkan tak menyangka jika sudah ada yang ingin membeli padahal acara lelangnya belum dimulai.Pria itu menoleh ke Sashi yang terdiam karena masih tak percaya.“Ah … apa lukisan ini sudah dipesan Nona ini?” tanya pria itu kemudian.Sashi tersadar dari keterkejutannya, hingga kemudian membalas, “Tidak, saya hanya sedang melihatnya saja.”“Seperti itu. Kalau begitu, bisa saya membelinya. Saya suka lukisan dan memiliki banyak koleksi di rumah,” ujar pria itu penuh harap ke pemilik lukisan.Sashi memperhatikan pria itu, jika dilihat juga dinilai dari sikap serta aura yang terpancar dari tubuh pria itu, sangat aneh jika pria berwajah tegas dengan aura penuh wibawa itu menyukai lukisan yang Sashi buat.“Maaf, kenapa Anda suka lukisan ini? Itu padahal lukisan biasa, bahkan