“Ke mana Mama? Kenapa sepagi ini tidak terlihat?” tanya Nana saat tak melihat Rihana di ruang makan. Melvin sedang di luar kota, karena itu Rihana berani pergi di pagi hari. “Entah, tidak biasanya juga Mama tidak ada di rumah di pagi hari,” balas Bastian. Clara terlihat santai saat melihat kedua kakaknya mencari orang tua mereka. Dia memilih duduk di kursi untuk bersiap sarapan. “Kamu ga lihat Mama?” tanya Nana ke Clara. “Tidak,” jawab Clara tanpa menoleh sang kakak. Bastian melihat sikap adiknya itu semakin keterlaluan, tak hanya kepada Nanda kini kepada Nana pun Clara tak sopan. “Kenapa sikapmu berubah?” tanya Bastian. Clara memutar bola mata malas mendengar pertanyaan Bastian, lantas memandang sang kakak yang duduk berhadapan dengannya. “Apanya yang berubah? Biasanya juga gini,” jawab Clara tak acuh, kemudian memilih memakan rotinya. Bastian ingin kembali bicara, tapi Nana buru-buru menggenggam telapak tangan Bastian untuk memberi isyarat agar tak bicara lagi. Bastian me
“Minum dulu, Ma.” Nanda dan Bastian membawa Rihana ke kamar karena sang mama hampir pingsan akibat mengamuk. Kini Nanda berusaha membujuk Rihana agar mau minum. Rihana menggelengkan kepala menolak tawaran air dari Nanda. “Ma, minumlah sedikit. Kumohon.” Nanda bicara dengan lembut ke Rihana. Bastian sangat mencemaskan sang mama. Dia duduk di tepian ranjang sambil memijat kaki sang mama. Rihana akhirnya mau minum setelah Nanda membujuk, lantas duduk bersandar dengan mata terpejam. “Berbaringlah kalau pusing. Aku panggilan dokter untuk mengecek tekanan darah Mama,” kata Nanda yang siap mengeluarkan ponsel untuk menghubungi dokter pribadi keluarga. Rihana menahan tangan Nanda, menggelengkan kepala sebagai isyarat agar tak perlu memanggil dokter. Nanda dan Bastian pun hanya diam memandang Rihana, menunggu sampai sang mama mau bicara. “Kenapa kamu tidak bilang sejak awal, Nan. Setidaknya kalau mama tahu sejak awal, mama bisa menasihatinya,” ujar Rihana sambil membuka mata lantas me
“Kamu sudah memastikannya?” Sashi bicara dengan tatapan tak percaya. Bahkan cara duduknya pun terlihat lemas sampai menyandarkan punggung. “Sudah. Bahkan dia memberikan buktinya. Saya akan kirim fotonya, biar Anda yang memutuskan.” Suara seseorang bicara dengan Sashi. Sashi diam sejenak, kemudian mengangguk sambil mengatakan agar dikirimi foto sebagai bukti. Sashi pun menerima sebuah foto, hingga terdiam melihat foto itu. “Bagaimana sekarang? Apa Anda mau menemuinya?” tanya seorang wanita dari seberang panggilan. “Setelah sekian lama, haruskah? Kupikir dia pun lupa denganku. Berikan saja, tidak perlu bertemu. Aku masih sibuk di sini,” jawab Sashi memberikan sebuah keputusan meski sangat berat. “Baik, saya mengerti.” Panggilan itu pun berakhir, Sashi memandang nama di layar yang baru saja menghubunginya. “Dok, Anda baik-baik saja?” tanya asisten Sashi karena melihat dokternya itu melamun. Sashi terkejut mendengar pertanyaan asisten, hingga kemudian menganggukkan kepala. “Aku
“Ini ….”Bola mata Sashi terus memandang lukisan yang terpajang di dinding. Lukisan yang dipajangnya di galeri, hingga siang tadi ada yang mengaku memilikinya, kini berada di depan matanya.“Indah bukan?”Sashi sangat terkejut mendengar suara Nanda. Dia menoleh hingga mundur dengan cepat karena pria itu berada tepat di hadapannya.“Ak-aku tak sengaja masuk sini,” ucap Sashi tergagap antara panik dan syok melihat Nanda memergoki dirinya di sana.“Tak masalah, aku yang salah karena membuka lebar pintu,” balas Nanda lantas mengalihkan pandangan dari lukisan ke Sashi.Sashi hanya mengangguk pelan mendengar ucapan Nanda. Jujur dia bingung, ingin menanyakan sesuatu tapi kata demi kata yang siap meluncur terasa tersekat di tenggorokan.“Bagaimana menurutmu lukisan itu?” tanya Nanda memancing reaksi Sashi, meski tahu jika istrinya itu sedang syok berat.“Ak-aku … lukisan itu indah,” jawab Sashi tergagap.Nanda memulas senyum mendengar jawaban Sashi, lantas maju satu langkah hingga berdiri tep
“Kenapa wajahmu masam begitu?” tanya Nanda saat melihat Sashi hanya diam sejak mereka berangkat hingga kini sampai di tempat acara.“Siapa yang berwajah masam? Itu perasaanmu saja,” balas Sashi sambil melepas seat belt.Nanda mengulum senyum, berpikir jika Sashi kesal karena percakapan mereka tadi.“Kalau tidak ikhlas dan tak mengizinkan aku menyukai wanita lain, bilang saja. Aku takkan menoleh kanan-kiri kalau kamu tak mengizinkan,” ujar Nanda menggoda istrinya itu.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Nanda, hingga menoleh suaminya dengan ekspresi wajah tak percaya.“Enak saja, siapa yang bilang tidak ikhlas?” Sashi mengelak, meski perasaan itu benar singgah di hatinya.“Sikapmu,” balas Nanda sambil menatap Sashi dengan seulas senyum. Dia melepas seat belt kemudian turun dari mobil.Sashi menggelembungkan pipi, kesal karena semua ucapan pria itu. Seharusnya dia bahagia menghadiri pameran itu, tapi kini moodnya buruk karena ulang Nanda.“Ayo.” Nanda membuka pintu agar Sashi tinggal
“Maaf?” Wanita pemilik acara langsung memastikan apakah yang didengarnya memang benar.Pria itu tersenyum kemudian mendekat, lantas memperjelas, “Saya suka lukisannya. Saya ingin membelinya.”Wanita itu dan Sashi terkejut, bahkan tak menyangka jika sudah ada yang ingin membeli padahal acara lelangnya belum dimulai.Pria itu menoleh ke Sashi yang terdiam karena masih tak percaya.“Ah … apa lukisan ini sudah dipesan Nona ini?” tanya pria itu kemudian.Sashi tersadar dari keterkejutannya, hingga kemudian membalas, “Tidak, saya hanya sedang melihatnya saja.”“Seperti itu. Kalau begitu, bisa saya membelinya. Saya suka lukisan dan memiliki banyak koleksi di rumah,” ujar pria itu penuh harap ke pemilik lukisan.Sashi memperhatikan pria itu, jika dilihat juga dinilai dari sikap serta aura yang terpancar dari tubuh pria itu, sangat aneh jika pria berwajah tegas dengan aura penuh wibawa itu menyukai lukisan yang Sashi buat.“Maaf, kenapa Anda suka lukisan ini? Itu padahal lukisan biasa, bahkan
Sashi begitu terkejut dengan permintaan Nanda, tapi berusaha tenang agar Nanda tak curiga.“Ya, jangan mengada-ada kalau itu. Lagi pula, orangnya siapa, seperti apa, aku juga tidak tahu di mana orangnya, bagaimana bisa kamu memintaku mempertemukanmu dengan SEA itu. Minta yang lain, pasti aku turuti,” ujar Sashi mencoba mengalihkan keinginan Nanda ke hal lain.Nanda terus memperhatikan Sashi yang sedang bicara, tatapannya jelas berbeda dari sebelum-belumnya.“Pasti akan kamu turuti? Apa pun itu?” tanya Nanda memastikan.“Ya, apa pun. Asal bukan memintaku mempertemukanmu dengan SEA,” jawab Sashi tanpa memikirkan luasnya makna jawaban yang mungkin dimaksud Nanda.Nanda maju satu langkah, hingga membuat keduanya berdiri begitu dekat.“Kenapa harus sedekat ini kalau hanya untuk bicara?” tanya Sashi sambil mundur satu langkah.“Apa pun bukan? Kalau begitu tidur denganku,” ujar Nanda menyampaikan permintaannya.Sashi membulatkan bola mata lebar mendengar ucapan Nanda, tapi dia mencoba menepi
“Masih sakit?” tanya Nanda saat mereka sudah sampai rumah.“Tidak,” jawab Sashi yang duduk di tepian ranjang.Nanda berdiri di hadapan Sashi. Dia langsung melipat kedua tangan di dada setelah mendengar jawaban istrinya itu.“Aku tidak menuntut lebih, hanya saja kenapa kamu tidak mengakui kalau kamu adalah gadis itu? Kenapa harus tetap menyembunyikannya, sedangkan aku sudah membahasnya secara gamblang?” tanya Nanda penasaran dengan alasan Sashi.Sashi mengusap tengkuk, hingga kemudian menjawab pertanyaan Nanda. Dia juga tidak punya alasan untuk mengelak.“Bukannya tak ingin mengakui atau jujur, hanya saja aku tidak mudah percaya ke orang kecuali keluargaku. Aku hanya takut profesiku sebagai dokter terganggu, sedangkan melukis sebenarnya hanya hobi, aku menjual karyaku pun untuk lelang amal, bukan kepentingan pribadiku,” ujar Sashi mencoba menjelaskan.Nanda mendengarkan setiap kata yang meluncur dari bibir Sashi. Dia kemudian mengurai kedua tangan yang terlipat di dada, lantas berjongk
“Dia tampan sekali. Pipinya juga menggemaskan.” Rihana langsung menggendong cucu keduanya itu. Rihana, Bintang, dan para suami datang ke sana setelah satu minggu Sashi melahirkan. Mereka begitu bahagia mengetahui Sashi melahirkan dengan lancar. “Aku mau menggendongnya,” kata Bintang mengambil Archie dari gendongan Rihana. Sashi dan Nanda menatap para orang tua yang sangat bahagia. Mereka begitu bahagia melihat semuanya berkumpul di sana. “Siapa namanya?” tanya Bintang sambil menimang bayi Archie. “Archie Abimand Mahendra. Nanda ingin nama keluarga tersemat di namanya,” jawab Sashi. “Nama yang bagus,” puji Rihana sambil mengelus pipi Archie menggunakan telunjuk, membuat bayi mungil itu menggeliat geli. Bintang menatap cucu pertamanya itu. Melihat Archie yang sangat menggemaskan, membuat Bintang malah sedih. “Apa kamu akan balik ke Indonesia?” tanya Bintang sambil menatap Sashi. Semua orang pun terkejut hingga menatap Bintang, kemudian ke Sashi secara bergantian. Sashi bingung
Sashi baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tiba-tiba merasakan perutnya sakit, membuat Sashi langsung berpegangan pada kusen pintu. “Agh, kenapa sakit?” Sashi memegangi perutnya yang besar. Kehamilan Sashi baru memasuki usia sembilan bulan. Dia menjalani hari dalam masa kehamilan dengan baik meski Nanda tak selalu ada di sampingnya. Pagi itu dia baru saja mencuci wajah, tapi perutnya tiba-tiba terasa mulas bahkan panas juga pinggangnya pegal. “Apa kamu mau keluar sekarang?” Sashi menahan sakit sambil mengusap perutnya. Sashi mengalami kontraksi, membuatnya tak sanggup berjalan hingga memilih langsung duduk di ranjang. Dia berulang kali mengatur napas karena kontraksi yang terjadi. “Anda sudah bangun?” Suara perawat pribadi yang selama beberapa bulan ini merawat dan menjaga Sashi masuk kamar. Dia terkejut karena melihat Sashi kesakitan. “Anda baik-baik saja?” tanya wanita itu langsung berlari menghampiri Sashi. “Sepertinya bayinya mau lahir,” jawab Sashi sambil menahan sakit
“Kenapa kamu ke sini lagi?” Bumi melotot ke Winnie yang kembali datang ke kafenya. Dia sepertinya sedikit tak senang dengan Winnie yang sangat cerewet. “Apa? Aku mau jajan, kenapa kamu galak sekali? Ingat, Om. Tidak boleh galak-galak, nanti cepat tua,” balas Winnie tak takut sama sekali meski Bumi memasang wajah garang. “Kalau mau beli makanan atau minuman di sini, take away jangan makan di sini,” ucap Bumi karena sebelumnya Winnie begitu cerewet bertanya soal seseorang yang menemuinya waktu itu. Padahal jika dipikir, Winnie tak ada hubungan dengan Bumi, tapi kenapa gadis itu bertanya seolah sedang menginterogasi. Selama beberapa bulan ini, Winnie memang sering datang ke kafe Bumi meski tidak tiap hari. Bukannya senang mendapat pelanggan tetap, Bumi malah kesal karena sikap Winnie cerewet dan penasaran dengan apa pun yang dilihat di kafe itu.Baru saja Winnie ingin membalas ucapan Bumi. Tiba-tiba beberapa anak berseragam masuk ke kafe dan langsung menatap Winnie. “Eh, kamu di sin
“Kamu benar-benar tidak apa-apa jika aku balik ke indo?” tanya Nanda sambil membelai rambut Sashi dengan lembut. Nanda sudah beberapa hari di sana. Dia harus kembali ke Indonesia untuk mengurus pekerjaan, tapi Nanda juga masih berat jika harus meninggalkan Sashi. “Iya, tidak apa-apa. Lagian aku juga baik-baik saja, bahkan tidak mengalami morning sickness. Jadi kamu jangan cemas,” jawab Sashi. Sebenarnya bukan masalah takut Sashi sakit atau mengalami kendala saat menjaga kesehatan. Dia hanya tak bisa jauh dari istrinya yang sedang hamil, Nanda seperti perlu terus berada di sisi istrinya itu. Saat keduanya masih berbincang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Nanda pun memilih membuka pintu, hingga melihat pelayan rumah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya Nanda. “Nyonya besar datang bersama yang lain, Tuan.” Pelayan itu menyampaikan kedatangan Rihana. “Mama datang? Baiklah, aku akan segera turun,” kata Nanda lantas kembali masuk menghampiri Sashi. “Ada apa?” t
“Kamu benar-benar tidak apa?” tanya Sashi saat melihat Nanda sedang berganti pakaian.Nanda menoleh saat mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mendekat ke Sashi yang duduk di ranjang.“Apanya tidak apa, hm?” tanya balik Nanda lantas duduk di samping Sashi.Sashi sepertinya masih takut jika Nanda belum bisa menerima jika dirinya hamil, meski tadi sudah berkata tidak apa-apa.“Kamu tidak apa-apa kalai aku hamil?” tanya Sashi memastikan.Nanda memulas senyum mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Tentu saja tidak apa-apa. Aku malah bahagia karena akhirnya kamu bisa hamil. Mungkin dulu aku belum siap karena takut kamu sakit, tapi sekarang berbeda karena yang terpenting bagiku sekarang kamu bahagia,” jawab Nanda sambil tersenyum begitu tulus dan penuh kasih sayang.Sashi menautkan jemari mereka, lantas menyandarkan kepala di pundak Nanda.“Aku janji akan selalu sehat dan menjaga bayi kita dengan baik,” ucap Sashi agar Nanda tak perlu cemas.Nanda ters
Nanda masuk ke ruang USG, hingga melihat Sashi yang berbaring dan kini sedang diperiksa.“Bagaimana kondisi istri saya?” tanya Nanda saat sudah masuk ke ruangan itu.Sashi terkejut hingga tatapannya tertuju ke Nanda yang baru saja datang.“Kamu datang.” Sashi terlihat senang melihat Nanda di sana.Nanda mendekat dengan ekspresi wajah cemas, lantas memandang ke monitor yang baru saja diperhatikan oleh dokter.“Sebenarnya istri saya kenapa, Dok?” tanya Nanda.Dokter itu tersenyum sambil meletakkan alat USG, hingga kemudian menjawab, “Selamat, istri Anda hamil.”Nanda tertegun tak percaya mendengar ucapan selamat dari dokter itu. Dia sampai memandang Sashi dengan rasa tak percaya.Sashi sendiri hanya tersenyum karena tadi sudah memberitahu kalau dirinya hamil, kini usia kandungan Sashi pun baru enam minggu.“Hamil? Serius hamil? Bukan penyakit?” tanya Nanda memastikan dengan sedikit rasa tidak percaya.Sashi meraih tangan Nanda yang dekat dengannya, lantas menautkan jemari mereka.“Iya,
Satu tahun berlalu. Sashi masih setia menemani Aruna di luar negeri, Nanda sendiri datang setiap seminggu sekali, lantas tinggal beberapa hari sebelum kembali ke Indonesia.Sashi sendiri mulai lega karena akhirnya Aruna bisa menyesuaikan diri dan kini sudah memiliki beberapa teman di kampus barunya.“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya Sashi saat melihat Aruna baru saja pulang.“Menyenangkan,” jawab Aruna sambil melebarkan senyum.“Mommy tadi telepon, tanya apa kamu masih suka murung-murungan, kujawab tidak karena kamu sudah baik-baik saja,” ucap Sashi.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Sashi. Meski dia terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja sudah satu tahun belum bisa melupakan Ansel.“Jika nanti sudah lulus, aku ingin kerja di sini saja. Di sini lebih enak, meski pergaulan di sini berbeda dengan di Indonesia, tapi aku sudah berusaha menjaga batasan,” ujar Aruna.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Aruna. Dia lantas membalas, “Apa kamu tidak ingin meneruskan perusahaan Dadd
“Bagaimana dengan Runa?” tanya Nanda saat menemui Sashi di kamar. Mereka sudah ada di sana sebulan. Aruna sendiri belum keluar dari rumah sama sekali sejak sebulan ini. “Masih sama. Hanya di kamar, duduk di teras, atau jalan-jalan,” jawab Sashi yang sedih mengetahui Aruna tak seperti dulu dan lebih banyak murungnya. Nanda menghela napas, mereka sudah berusaha membuat Aruna bersemangat, soal Aruna mau bangkit atau tidak, semua harus dari diri sendirinya. “Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal? Aku tidak tega melihatmu sedih melihat Aruna seperti itu,” ucap Nanda sambil mengusap rambut Sashi. Nanda masih harus bolak-balik mengurus pekerjaan, sehingga dia pun tidak bisa setiap saat ada di sana. “Kamu tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Soal Runa, aku akan berusaha mengajaknya jalan-jalan mencari suasana baru. Dia juga seharusnya sudah mulai mengurus perpindahan kuliahnya, tapi dia belum bersemangat,” balas Sashi. Sashi mencoba memahami posisi suaminya yang tak bisa terus berad
Aruna memandangi kamar yang akan ditinggalkannya. Dia sudah memantapkan hati untuk pergi karena benar-benar tak bisa melupakan Ansel begitu saja jika masih di kota itu. Baginya Ansel adalah cinta pertama yang tak bisa dilupakan. Meski dulu awalnya dia menyukai Bumi, tapi kenyataannya Ansellah yang menduduki hatinya pertama kali. “Kamu sudah siap?” tanya Sashi yang menghampiri Aruna di kamar. Aruna menatap Sashi, lantas menganggukkan kepala. Dia mengambil tas dan jaketnya, lantas menarik koper yang ada di dekat ranjang. Setelah mengurus visa tinggal terbatas dan pasport, akhirnya Aruna akan pergi ke Amerika untuk belajar sekalian menenangkan diri. Namun, tentunya Aruna akan pergi bersama keluarga, lalu nantinya akan tinggal bersama Sashi dan Nanda sesuai kesepakatan, meski Nanda akan bolak-balik karena urusan pekerjaan. Bintang menatap Aruna yang baru saja menuruni anak tangga bersama Sashi. Bintang tak kuasa melihat kedua putrinya akan pergi dan tinggal jauh darinya. Sopir yang