"Ini juga barang-barangmu yang lainnya, Anne Sayang."
"Setelah memfitnahku mengorupsi, terus berselingkuh di belakangku, sekarang kamu juga mengambil apartemen-" "Mengambil apartemen apa maksudmu? Ayolah, Anne. Jangan pura-pura lupa. Coba kamu ingat baik-baik siapa pemilik apartemen ini?" Anastasia langsung termenung mendengar penuturan Marselino yang memotong perkataannya. Otaknya langsung terputar mengingat ke saat dia pertama membeli hunian itu. Saat sudah menemukan jawaban itu, pupil matanya langsung terbuka lebar. Marselino yang melihat itu langsung menarik salah satu sudut bibirnya. "Sudah ingat apartemen ini milik siapa?" tanya Marselino si laki-laki berwajah licik yang satu tangannya sedang digandeng manja oleh sosok Nathalia. "Sialan! Sialan! Sialan! Aku ngerasa ingin gantung diri saja sekarang!" Anastasia menjerit kesal saat mengingat perdebatannya pagi tadi. Saat ini, dia sedang meletakkan es batu yang terbungkus kain di atas kepalanya. Entahlah itu fungsinya apa, tapi yang jelas, tadi dia mengatakan otaknya sedang mendidih dan butuh sesuatu untuk mendinginkannya. Jadilah dia membuat terobosan baru mendinginkan otaknya dengan es batu. "Kenapa kesialan terus-terusan menimpaku begini sih, Karli?" tanyanya dengan nada merengek sedih. Satu tangannya masih setia terangkat memegangi kain agar tidak jatuh dari atas kepalanya. Karlina yang sedari tadi menutup kuping terlihat mendongakkan kepalanya setengah. Jemarinya bergerak meremas udara di sekeliling wajahnya, "Salahmu sendiri. Kenapa dulu kamu bisa sebodoh itu membeli sesuatu dan memakai nama seseorang dengan polos." Karlina yang dadi siang tadi mendengar kisah sang saudari satu panti asuhannya itu, langsung berubah kesal. Dia kasihan, tapi dia juga kesal di waktu bersamaan. "Saat itu aku sedang jatuh cinta. Jadi, aku tidak ada kepikiran kalau semuanya akan menjadi begini. Dulu, si bangsat Marselino itu berjanji ingin menikah denganku juga. Makanya-" "Itu kamu tolol namanya, Anne. Sumpah mendengar ceritamu membuat aku tidak habis pikir. Bisa-bisanya seorang Veronica Anastasia yang terkenal cerdas dan lulusan-" "Sudah, hentikan! Kamu bukannya membelaku malah menyalahkan aku segala sih? Seharusnya, kamu itu salahkan Marselino. Dia yang berkhianat, dia yang menjebakku. Aku bercerita kepadamu itu untuk mencari seseorang yang seharusnya bisa mendukungku." Anastasia merengek dan mengeluarkan wajah yang ingin menangis. Karlina menghela napas. Wanita itu sudah tidak tahu lagi harus menjawab dengan kata-kata bagaimana. Dia sudah lelah mendengar semua cerita yang keluar dari mulut saudarinya itu. "Sekarang aku sudah benar-benar jatuh miskin. Aku juga sudah tidak punya pekerjaan, mobil kesayanganku, dan semua tabunganku yang berjumlah jutaan euro disita perusahaan. Aku sungguh benar-benar menjadi wanita menyedihkan lagi, Karli," adu Anastasia yang mengulang kata-kata itu untuk kesekian kalinya. Anastasia bergerak menurunkan kain yang berisikan es batu itu dari kepalanya, lalu kemudian meletakkan benda buatan itu dengan kasar di atas meja. "Setelah ini kamu akan pergi ke mana, Anne?" tanya Karlina memilih mengalihkan obrolannya. Anastasia menghela napas, lalu kemudian bergerak menopang dagunya, "Tadi kelar mandi,.aku sudah berpikir akan kembali saja ke panti asuhan. Biar aku tinggal di sana dulu sambil nunggu info-info pekerja-" "Tidak boleh, kamu tidak boleh balik ke panti asuhan!" potong Karlina dengan raut wajah yang berubah panik. Anastasia yang mendapati hal itu menaikkan satu alisnya, "Kenapa tidak boleh? Bukannya lebih baik kembali dengan Mom Stefani dari pada tidur di jalan-" "Baiklah, kalau begitu aku berubah pikiran. Kamu lebih baik tinggal di sini bersamaku. Terus untuk pekerjaan, nanti aku akan coba mencarikanmu posisi di perusahaan tempat aku sekarang bekerja." Karlina kembali memotong perkataan Anastasia, membuat wanita cantik berkulit putih terkesan gelap kecoklatan itu, mengeluarkan raut wajah sumringah. "Serius?" Dengan raut wajah yang terlihat mencoba pasrah, Karlina menganggukkan kepalanya, "Iya, anggap saja rumah ini juga rumahmu, Anne. Aku akan mencoba ikhlas meski sepertinya pengeluaranku akan melonjak-" "Aku terima. Terima kasih, Karli." Anastasia langsung berhamburan memeluk Karlina. Membuat raut wajah wanita 23 tahun itu terlihat meringis. 'iya, begini kau lebih baik. Dari pada dia kembali ke panti asuhan dan membuat masalah di sana tambah rumit, akan jauh lebih baik kalau dia tinggal di sini saja,' batin Karlina dengan kedua tangan bergerak membalas pelukan Anastasia. "Oh iya, Karli. Tadi pagi bukannya kamu ingin membahas tentang panti asuhan denganku?" tanya Anastasia dengan wajah yang kembali ceria. Karlina menggelengkan kepalanya, "Lupakan. Sebenarnya itu bukanlah hal yang penting. Sekarang, yang jauh lebih penting itu adalah nasibmu. Semoga saja di perusahaanku nanti masih tersisa lowongan untukmu." Anastasia menganggukkan kepalanya antusias, "Aku akan berdoa siang malam untuk itu." *** Dua hari kemudian..... "Karlina, tunggu!" Anastasia berlari kecil sembari bergerak memasukkan bedaknya ke dalam tas. Wanita itu terlihat panik. Tatapan matanya memancarkan cahaya khawatir yang terlihat jelas. Sementara di sisi Karlina, wanita cantik itu sudah jauh lebih dulu berjalan masuk ke perusahaannya. Dia terlihat tidak peduli dengan sosok Anastasia yang sedari tadi tidak bosan berdandan. Dia tahu kalau kesan pertama itu penting, tapi Anastasia terkesan berlebihan sekali saat melakukan itu dalam jeda waktu sepuluh menit. "Wah, gaun-gaun di sini indah sekali, Karli." Saat sudah masuk ke lantai satu perusahaan, Anastasia langsung dibuat berdecak kagum. Wanita itu terlihat memandangi gaun-gaun yang terpasang di manekin terlihat begitu elegan, berkelas, dan tentu saja menawan. "Kamu gunakan lift khusus itu untuk langsung ke lantai lima." Karlina memberitahukan dengan nada bicara yang sedikit ketus. Satu tangannya juga terlihat ogah-ogahan saat menunjuk ke arah lift ekslusif yang ada di sebelah kanan lift umum tempat saat ini mereka berdua mengantri dengan beberapa orang pegawai lainnya. Anastasia yang sedari tadi memindai suasana di lantai satu langsung menoleh dengan bingung ke arah Karlina, "Lah, kenapa begitu? Memangnya tujuan liftnya beda?" tanya wanita itu kebingungan. "Tidak juga, tapi batas naiknya saja yang berbeda. Jika kamu naik menggundulkan lift yang ada di depan kita ini, kamu hanya bisa akses sampai lantai empat. Nah, untuk lift sebelah, kamu akan bisa langsung naik ke lantai lima tempat ruang CEO berada. Jadi, buruan pergi sana!" Karlina mendorong Anastasia dengan raut wajah sinis. Dia begitu bukan karena apa-apa ya, tapi hanya saja saat ini Karlina kesal lantaran sudah dibuat datang bekerja agak terlambat. Jadi ya, begitulah. Dia kesal karena hal itu. "Kenapa aku harus pergi ke ruang CEO? Bukankah aku ke sini untuk-" "Oh maaf, Anne. Sepertinya aku lupa memberitahukan itu kepadamu. Sebenarnya yang akan mewawancaraimu adalah pimpinan perusahaan ini langsung," potong Karlina dengan nada malas yang terdengar sangat jelas. "Ha, seriusan? Kenapa bisa?" tanya Anastasia yang tentu langsung terpaku diam di tempat. Setelah dua hari berlalu, akhirnya dia mendapatkan panggilan interview kerja. Semua berkat Karlina yang terus membantunya. "Aku juga tidak tahu, tapi yang jelas kamu lebih baik cepat pergi sana. Kita ini benar-benar sudah terlambat." Karlina kembali mendorong-dorong tubuh Anastasia, membuat wanita itu bergerak dengan raut wajah yang masih terlihat belum mengerti. Namun, biar pun dia terlihat kebingungan, Anastasia tetap menganggukkan kepalanya seolah paham, "Karli, aku butuh doa darimu. Tolong do'akan aku, Teman," katanya dengan hanya menggunakan gerak bibir saja. Karlina yang tahu maksud itu menganggukkan kepalanya. Dia juga bergerak mengangkat tangan untuk memberikan sebuah acungan jari jempol. *** Ting! Bunyi khas lift itu terdengar, membuat adrenalin Anastasia semakin tidak terkontrol. Degup jantungnya berpacu dengan begitu hebat. Bahkan sorot mata wanita itu terlihat masih memancarkan ketakutan, "Ayo, semua akan baik-baik saja. Semuanya akan berjalan baik-baik saja saat aku memberikan kesan pertama yang bagus," gumamnya dan setelah menarik napas untuk menenangkan diri, barulah dia berjalan keluar dari dalam lift. Langkah kaki yang terbalut sepatu hak tinggi itu terdengar tegas. Tidak ada keraguan lagi yang terasa di setiap ketukan hak sepatunya dengan lantai. Anastasia berhenti bergerak tepat saat dia sampai di depan sebuah pintu kaca besar. Sebuah _tag name_ bertuliskan _"Chief Executive Officer"_ terpampang jelas di atas pintu. Degup jantung wanita itu tiba-tiba kembali berdetak kencang. Kedua tangannya terlihat ragu-ragu untuk terangkat meriah satu pegangan pintu itu. Pada akhirnya Anastasia memilih untuk memejamkan matanya, perempuan itu terlihat mulai menarik napas untuk memantapkan hatinya. Saat dirasa sudah benar-benar mantap, dia mengeluarkannya kembali bersamaan dengan satu tangannya yang bergerak terangkat untuk membuat sebuah ketukan di permukaan pintu, "Permisi, Sir!" katanya dengan suara yang tegas dan ketukan pintu yang agak keras. "Masuklah!" Suara serak seorang laki-laki yang nadanya terdengar tegas mengintrupsi. Anastasia yang mendengar itu bahkan sampai menganggukkan kepalanya. "Ayo, kamu pasti bisa, Anne!" Setelah membisikkan itu, Anastasia langsung bergerak mendorong masuk salah satu sisi pintu itu. Dengan tersenyum lebar, wanita itu mulai mengayunkan langkah ke dalam ruangan itu. Namun, senyum lebar yang tercipta di bibir indah wanita itu memudar. Kebahagiaan di wajahnya juga langsung tergantikan oleh raut wajah yang kaget. Semua itu terjadi karena kedua mata hijau gelap kecoklatannya melihat sebuah wajah yang sangat dia kenali. Wajah yang tiga hari terkahir ini bisa dikatakan sering menganggu tidurnya. "Straniero?" kata wanita itu spontan dengan kedua mata terbelalak. Sementara di depan sana, sosok laki-laki tampan dengan balutan kemeja kerja yang gagah terlihat memancarkan sebuah tatapan mata mengintimidasi. Kedua sudut bibirnya terlihat membentuk sebuah senyuman iblis yang menyeramkan."Eh, Maaf, Sir. Maksud Saya, he ... he ... he, lupakan." Anastasia yang masih berdiri di garis pintu bicara dengan blak-blakan. Kedua matanya terlihat bergerak bingung. Dan saat dia kembali bersitatap dengan netra abu-abu milik laki-laki yang duduk di belakang kursi bername tag "Daniel Alex Maximillan" itu, dia tersenyum. Wanita itu saat ini sedang merutuki dirinya sendiri di dalam hati karena keceplosan yang dia lakukan tadi. "Masuklah!" Anastasia meneguk salivanya saat dia mendapati perintah masuk bernada serak mengintimidasi itu. Dengan langkah gugup dibarengi doa di dalam hati, dia mengayunkan langkah memasuki ruangan yang di dominasi warna putih itu. 'semoga dia tidak ingat, semoga dia tidak ingat,' batinnya berdoa dengan terus mengulas sebuah senyum canggung yang terlihat cukup lebar. "Tuan-" Anastasia melongo saat kedua matanya melihat laki-laki yang sedang duduk di kursi kebesaran itu menggelengkan kepalanya. Wanita itu mengernyitkan keningnya karena dia mendapati si
Siangnya di sebuah restoran terkenal di pusat kota Milan...."Duduklah!" Anastasia dengan raut wajah yang gugup menganggukkan kepalanya. Dia dengan anggukan kepala sungkan bergerak menarik kursi dengan perlahan, lalu kemudian mendudukkan pantatnya di permukaan tempat duduk tersebut. Cara duduknya yang terlihat gusar dan gerakan tangannya yang pura-pura merapikan anak rambutnya, menandakan kalau saat ini suasana hati wanita itu sedang tidak karu-karuan.Mendapati tatapan tajam dan mengintimidasi, membuat ketakutannya mencuat naik kepermukaan. Padahal, bisa dikatakan Anastasia itu wanita yang tidak terlalu takut jika berhadapan dengan seseorang, tapi entah kenapa saat bersitatap dengan netra abu-abu milik Daniel, dia serasa menciut "Ohh, baiklah, Nona Anastasia. Kita langsung saja ke intinya." Anastasia menganggukkan kepalanya. Dia bergerak membenahi posisi duduknya yang dirasa agak miring, 'ini aku harus diam saja sampai dia memintaku bicara, gitu? Dari tadi lidahku sudah gatal ing
Pinggiran kota Milan, Panti Asuhan La Nostra Famiglia.....Setelah menempuh beberapa menit dan mengganti trem dengan menaiki sebuah metro, akhirnya Anastasia tiba di lokasi tujuan. Sebuah kawasan asri pinggiran kota Milan. Di depan mata Anastasi, terlihat sebuah gerbang tua berkarat yang sepertinya sudah tidak terurus lagi. Di tralis gerbang, tergantung sebuah papan bertuliskan "Akan segera di ratakan!" Melihat tulisan itu, Anastasia terlihat semakin lesu. Dengan masih menggunakan baju kerja lengkap, wanita itu berjalan masuk dengan langkah pelan. "Ya tahun, aku tidak menyangka kalau kondisinya akan separah ini?" Kedua mata Anastasia langsung menatap tidak percaya saat mendapati keadaan bangunan yang benar-benar tidak layak huni lagi. "Saat aku, Karlina, dan teman-teman lain masih tinggal di sini, semua bangunannya masih bagus. Tetapi, apa ini? Kenapa-" "Anne?" Anastasia yang masih kaget melihat keadaan b
Tepat jam 08.25pm, Anastasia kembali ke pusat kota Milan. Saat ini, dia sudah berada di dalam kamar dan sedang mengeluarkan barang-barangnya dari dalam lemari. "Dari pada kamu hanya menonton begitu, bukankah lebih baik kamu membantuku berkemas?" Anastasia melirik ke arah Karlina yang sedang duduk di ranjang empuk miliknya. "Ini aku masih kaget loh. Padahal kamu baru kerja hari ini, tapi kamu sudah dapat gaji di muka. Itu pun jumlahnya sampai kamu bisa beli apartemen baru lagi, Anne. Gila, sungguh, gil-" "Berisik!" Anastasia memutar bola matanya malas, "kamu kayak tidak mengenal aku saja, Karli. Aku ini, Veronica Anastasia, wanita yang lahir dengan penuh bakat. Jadi, sudah jelas kalau mendapatkan uang bagiku adalah soal yang mudah," imbuhnya membanggakan diri, membuat Karlina yang duduk santai di ranjang bergerak bangkit untuk membantu. Anastasia tahu kalau Karlina sedang berjalan mendekat ke arahnya, tapi karena saat ini pikirannya dipenuhi oleh cerita-cerita yang tadi sore
"Julio, sebenarnya kita akan pergi ke mana ini? Bukankah pertemuannya ada di restoran tadi? Tapi, kenapa hanya Tuan Maximillan saj-" "Kita memang hari ini tidak akan ikut pertemuan, Nona Anastasia." Julio yang duduk tepat di sebelah kanan sopir pribadi milik Daniel bersuara. Laki-laki itu berkata tanpa menoleh pun melihat ke arah Anastasia yang sedang duduk di jok belakang. Sementara di sisi Anastasia. Mendengar penuturan itu, dahinya langsung dibuat sedikit mengkerut. Jujur, dari awal dia menandatangani perjanjian kontrak menjadi wanita simpanan itu, Anastasia langsung dibuat bingung. Dia merasa begitu karena setelah menandatangani perjanjian itu, Anastasia merasa tidak ada yang berubah. Semuanya masih normal-normal saja dan keadaan ini tidak seperti apa yang sedang dia pikirkan. "Lah, lalu tujuan kita ke mana, Julio?" tanya Anastasia dengan menatap penuh kebingungan ke arah laki-laki itu. "Aku diperintahkan oleh Tuan Maximillan untuk mengantarmu ke mansion yang akan Anda tempat
"Di Mansion Maximillan ini, Tuan Maximillan adalah aturannya. Dia bisa mengubah aturan sesuai keinginannya. Tapi, ada beberapa aturan yang akan tetap sama. Yaitu, pertama, dia tidak mengizinkan siapa pun mandi di malam hari di sini. Kedua, dia tidak mengizinkan makanan yang dihidangkan di meja makan tidak sesuai dengan jadwal. Ketiga, dia benci kamar mandinya dipenuhi oleh busa-busa sabun." Anastasia mendesah, mengumumkan rasa nikmat yang didapatkan tubuhnya yang malam ini sedang berendam air hangat di dalam bathub. Tubuhnya yang polos, terlihat ditutupi busa. "Aku tidak peduli dengan aturannya. Persetan dengan itu semua karena malam ini aku membutuhkan ini. Toh, kedatangannya juga sudah terjadwal dan malam ini bukanlah malam di mana dia akan datang berkunjung." Iya, malam ini Anastasia memang butuh merendam dirinya untuk menghilangkan rasa penat setelah berkeliling mengenal Mansion tempat tinggalnya. Ini adalah hidup yang selalu dia bayang-bayangkan. Tinggal di rumah bak istana in
Flashback on....Setelah melihat tingkah wanita teman mainnya secara sembunyi-sembunyi, Daniel langsung membuka matanya dengan sempurna, memperlihatkan manik abu-abunya yang indah dan menawan."Wanita yang begitu sangat liar." Laki-laki itu bergerak bangun dari tidurnya dengan sedikit menggeliat, menanggalkan kelelahan karena aktivitas semalam. Raut wajahnya yang tampan, dengan garis muka tegas, terlihat berseri-seri. "Sungguh, semalam adalah permainan paling menggairahkan. Aku tidak pernah merasa bernafsu sekali seperti semalam." Dengan tersenyum, Daniel meraba tengkuknya yang sedikit agak pegal. Di dada bidang laki-laki itu, bekas-bekas cakaran terlihat masih merah di sana. Terdapat banyak sekali kiss mark tertinggal di leher laki-laki itu. Lebih dari itu, di kedua pundaknya, terdapat banyak sekali bekas-bekas gigitan yang bekasnya terlihat lumayan dalam. "Namanya Nona Anastasia ya?" Daniel bergerak menyingkap selimut, lalu kemudian turun dari ranjang dengan telanjang, "aku akan
Tiga hari kemudian, Mansion Maximillan "Anne, Anakku. Terima kasih banyak, Sayang. Panti asuhannya tidak jadi digusur. Pihak bank kembali menyerahkan surat tanahnya kepada Mom." "Ah, sungguh? Anne ikut senang, Mom." Anastasia menahan tangisannya. Setelah mengatakan itu, dia langsung membekap mulutnya rapat-rapat agar suara pilu itu tidak terdengar oleh orang yang saat ini jadi teman teleponannya. "Iya, Mom dan adik-adikmu sangat-sangat senang. Terima kasih juga karena kamu sudah meminta beberapa orang konstruksi bangunan datang untuk memperbaiki kondisi panti. Mom yakin semua ini juga pasti darimu, 'kan?" Anastasia yang mendengar itu sedikit mengernyit bingung. Matanya yang saat ini terlihat berkaca-kaca terlihat tidak mengerti, tapi biar begitu dia tetap menyunggingkan senyum. Wanita itu mengangguk sembari bergerak melepas bekapan di mulutnya, "I ... iya, aku meminta beberapa orang datang untuk membenahi bangunan yang sudah rusak, Mom." Anastasia kembali ingin menangis. Dia terh
"Saya masih belum menemukan wanita yang cocok, Tuan Maximillan." Suara mendayu-dayu yang seringkali dia keluarkan untuk bicara dengan seseorang, terdengar berubah tegas. Laki-laki itu pun berdiri dengan tegap. "Klise sekali," ujar Daniel dengan senyum meremehkan. Arly tidak sanggup menegakkan pandangan. Dia lebih memilih untuk menunduk. Sungguh, ini kali pertama dia dipanggil dan ditanyakan tentang perihal kinerja, "apa segini saja kinerja yang bisa kau berikan kepada perusahaan ini, Arly?" imbuhnya dan Arly masih diam. Dia geming dengan butiran-butiran keringat yang mengucur deras."Tuan, maaf karena mungkin saya akan terdengar lancang, tapi bisa tidak Anda memberikan gambaran tentang seseorang yang ingin Anda jadikan model yang mengenakan gaun rancangan Anda, Tuan." Dengan membisikkan sebuah kata-kata bermakna berani di dalam dirinya, Arly langsung mengutarakan keinginan yang dari dua Minggu lalu sudah muncul. Sementara di sisi Daniel, laki-laki itu langsung berpikir sejenak. Soro
"Nona Anastasia, kamu pergi ke lantai tiga dan minta Arly untuk datang ke ruanganku segera!" Daniel langsung memberikan perintah kepada Anastasia. Anastasia yang mendengar itu menganggukkan kepalanya, "Siap, Tuan!" Wanita itu berjalan ke depan untuk memencet tombol lift ekslusif agar pintu terbelah. Daniel menganggukkan kepalanya, "Minta dia ke ruanganku. Ada sesuatu hal yang harus aku bahas dengannya." Setelah mengatakan itu, laki-laki itu langsung pergi masuk ke dalam lift, "aku akan menunggu lima menit," imbuhnya dengan tersenyum. Daniel bergerak memencet tombol lift di dalam, membuat pintu bening itu kembali tertutup rapat.Anastasia merapikan rambutnya dan dia tanpa berlama-lama langsung berpindah ke lift umum yang di mana, di sana ada banyak sekali jenis orangnya. ***Lantai tiga, area pemotretan "Mentang-mentang mereka model, terus mereka seenaknya melihatku dengan sebelah mata. Aku Jambak tahu rasa mereka. Begini-begini aku itu juga tidak kalah cantik juga kok dari mereka.
Kembali beberapa hari yang lalu, tepatnya saat malam di mana Anastasia dicampakkan begitu saja oleh Daniel. Setelah laki-laki itu menurunkan sang asisten pribadi, dia langsung melajukan mobilnya membelah jalan pinggir kota Milan. "Kamu kenapa tega begitu kepada Anastasia, Daniel?" Suara imut Melinda langsung terdengar berkomentar. Ekspresi wajah tidak percaya bercampur dengan kesal langsung terlihat di wajah wanita itu. Daniel yang mendengar itu terlihat tidak terlalu acuh. Dia memilih untuk terus melajukan mobilnya dengan raut wajah yang serius. "Dia seorang wanita loh. Kenapa sikapmu selalu saja begitu?" Daniel masih bungkam dan dia memilih untuk memutar stir mobilnya untuk berbelok ke kanan. Bahkan wajahnya terlihat berpaling dari pandangan tajam mata biru Melinda. "Pantas saja kamu tidak pernah bisa punya-punya pacar. Sikapmu aja terlihat tidak begitu peduli kepada orang lain begitu." Melinda memilih mengakhiri omelannya. Kepalanya yang tadi menoleh melihat ke arah Daniel mem
Tepat di jam 11 siang, Anastasia dan Daniel kembali ke Mansion. Saat ini mereka berdua sedang duduk lesehan di depan perapian yang ada di sebelah ruang televisi. Ada begitu banyak tumpukan barang di depan mereka dan Anastasia terlihat sedang mengecek semua barang-barang yang beberapa jam lalu dia borong di pusat belanja. Sementara Daniel, laki-laki itu hanya duduk bersila di atas karpet kulit harimau. Kedua matanya sedari tadi memperhatikan gerak gerik Anastasia.Di pandangannya, ekspresi wanita itu tidak punya perubahan sama sekali. Dia dari awal membeli barang-barang itu selalu terlihat ceria. Bisa Daniel bilang kalau tadi pagi adalah hari paling ceria yang Anastasia perlihatkan setelah pindah dan tinggal dengannya di sini. "Apa barang segitu cukup dengan adik-adikmu?" tanya Daniel menyeletuk, membuat Anastasia mengangkat pandangan ke arahnya. Wanita itu menyunggingkan senyum, "Ini lebih dari cukup, Daniel. Malahan aku lihat-lihat ini terlalu banyak tahu." Daniel mengernyitkan k
Terhitung sudah masuk hari kedua Anastasia sakit di pergelangan kaki. Saat ini dia dan Daniel sedang berjalan dengan dirinya yang duduk di kursi roda di koridor rumah sakit.Mereka ke sana untuk bertemu dengan dokter yang menangani kaki Anastasia tempo hari yang lalu. Kata dokter, kondisi pergelangan kaki wanita itu sudah lumayan membaik. Bahkan tadi Daniel disanjung di dalam sana. "Kalau begitu aku nanti akan mengantarmu pulang dulu, lalu kemudian aku pergi untuk belanja Mingguan sendiri." Di tengah-tengah perjalanan menuju pintu utama rumah sakit. Anastasia yang mendengar itu jelas langsung mendongak, "aku ikut boleh?" tanya Anastasia dengan sorot mata yang penuh dengan harapan. Padahal, dia belum mendapatkan perintah untuk bicara, tapi wanita itu sudah berani mengambil suara. "Kakimu masih dalam masa pemulihan, Anne. Aku tidak mau nanti terjadi apa-apa dan justru membuat keadaanmu semakin parah. Besok Senin tumpukan pekerjaan sudah menunggu kita. Aku akan usahakan kamu bisa puli
"Kenapa tiba-tiba berhenti?" tanya Anastasia saat melihat tatapan mata Daniel terpaku melihat ke wajahnya. Anastasia tersenyum, wanita itu menghadap ke depan, "Ternyata Melinda seseorang yang berbakat. Padahal, kesan pertamaku kepadanya itu, dia seperti gadis manja yang malas bekerja dan lebih memilih menjadi penikmat-" "Lupakan, lebih baik kita segera ke danau buatan sebelum telat."Daniel menyudahi obrolan tentang wanita bernama Melinda itu. Ekspresi wajahnya pun terlihat kembali datar. Dia mendorong kursi roda Anastasia melewati jalanan setapak berpavling blok yang sisi-sisinya dihiasi semak-semak belukar yang terpotong berbentuk kotak rapi. Tidak memerlukan waktu lama, di sebuah kursi panjang yang menghadap jauh ke depan, ke arah danau buatan yang berair tenang. Ukuran danau itu lumayan luas, dia dibentuk melingkar dengan sisi kiri yang dihias sebuah pohon pinus yang daunnya sudah tidak terlihat lagi. Di ujung depan danau, terdapat sebuah jembatan kayu kecil dengan di ujung je
"Katakan! Kau bicara dengan siapa tadi? Terdengar sangat seru." Daniel yang berjalan mendekat ke arah ranjang bertanya. Setelah tiba di sana, laki-laki itu langsung memposisikan dirinya untuk duduk di sebelah Anastasia."Karli. Aku tadi bicara dengannya," jawab Anastasia dengan ekspresi wajah yang gugup, "kamu yang buat, kah?" imbuhnya pura-pura bertanya untuk mengalihkan obrolan saat melihat isi nampan yang di mana, di sana ada sepiring Pomodori col riso. Makanan yang terbuat dari campuran tomat, minyak zaitun, nasi, garam, dan merica. Cara pembuatan makanan ini sederhana. Kita hanya perlu memotong bagian atas tomat, mengeluarkan isi di dalamnya, lalu kemudian kita isi kembali dengan mencampurkan isi tomat yang dikeluarkan tadi dengan nasi, garam, merica, dan minyak zaitun. Setelah itu bagian atasnya kita tempel kembali, lalu kemudian masukkan ke dalam oven. Selain makanan itu, di nampan itu juga ada segelas air, sebutir obat, dan juga segulung perban steril, "Apa perban bisa di m
Anastasia menggeliat nikmat, merentangkan kedua tangannya ke udara dengan mata yang masih setengah terpejam. Akan tetapi, kenikmatan itu lenyap saat dia tidak senagaja menggerakkan kaki kanannya, membuat kedua matanya melotot dan mulutnya menjerit. "Anne, ada apa?" Daniel keluar dari dalam kamar mandi dengan gerak cepat dan eskpresi wajah yang panik. Rambutnya yang basah, terlihat menjatuhkan tetesan air, "semuanya baik?" tanyanya lagi sembari bergerak mendekat dengan hanya mengenakan handuk yang menutup area pinggang ke bawah. Anastasia yang mendapati itu langsung menganggukkan kepalanya, "Tidak apa-apa kok. Aku tadi tidak senagaja menggerakkannya dan membuat sedikit ngilu." cicit Anastasia dengan ekspresi wajah yang kesakitan. Daniel yang mendengar itu langsung menatap Anastasia dengan datar. Laki-laki itu bergerak membenarkan ikatan handuknya, lalu kemudian dia memposisikan dirinya untuk duduk di sebelah Anastasia yang sedang berbaring. "Aku bantu kamu duduk." Daniel merangkul
"Kau memang bisa diandalkan, Julio. Terima kasih atas kabar baik yang kau bawa." Daniel memberikan sebuah pujian. Laki-laki itu terlihat mengulas sebuah senyum kecil untuk Julio yang menunduk."Senang bisa mendapatkan pujian dari Anda, Tuan. Tapi, keberhasilan saya juga didukung oleh bahan presentasi yang dibuat oleh, Nona Anastasia. Tanpa itu, Saya tidak mungkin membuat semua orang terkesan." Julio mengangkat pandangannya. Pertama-tama laki-laki itu melihat bangga kepada Daniel, lalu kemudian dia melihat ke arah Anastasia yang saat ini sedang duduk di kursi roda. Iya, setelah banyak melakukan pertimbangan, Daniel menyarankan untuk Anastasia menggunakan kursi roda saja. Hal itu dia lakukan untuk meminimalisir cedera yang di alami si wanita itu. "Memang kinerja Anda sangat bagus, Nona. Setelah Anda bergabung dengan perusahaan, peluang kita mendapatkan tanda tangan kerja sama semakin meningkat. Bukan begitu, Tuan Maximillan." Julio menoleh melihat ke arah Daniel. Laki-laki itu menyu