"Anak baru saja lu belagu!" Alma menimpali.
"Saya akan melakukan yang terbaik, Naya," sahut Bunga.
"Jangan panggil gue dengan sebutan Kak, lu pikir gue tua apa!" sentak Naya. "Panggil gue, Naya!" imbuhnya.
"Baik, Naya," jawab Bunga.
Setelah bertemu dan berbincang dengan kepala sekolah, akhirnya Bunga, Naya, dan Alma diajak ke perpustakaan untuk mempersiapkan segala sesuatu demi meraih juara nasional cerdas cermat tingkat SMA.
"Kenapa sih harus anak ingusan ini yang dipakai, Pak?" Alma tampak kesal atas keputusan pihak sekolah. Ia saat ini melakukan protes pada guru pembimbingnya.
"Jangan menyepelekan Bunga, dia itu juara nasional Olimpiade se-SMP," pujinya atas prestasi yang Bunga raih.
"Awas saja lu ya, anak ingusan, gue akan buat perhitungan kalau sampai lu nggak bisa bikin kami jadi juara!" ancam Naya di dalam hati.
"Tapi ini lomba cerdas cermat tingkat SMA, Pak. Dia bahkan belum menerima pelajaran apapun di sekolah ini. Apa pihak sekolah ingin membuat kami kalah di final nanti!" giliran Naya yang bersungut-sungut kesal.
Gadis itu merupakan wakil ketua OSIS di sekolahnya, sedangkan ketua OSIS-nya adalah Aldo. Para siswa dan guru sengaja menjatuhkan pilihan pada Aldo untuk mengurangi tingkat kenakalan pria muda tersebut. Tetapi tetap saja Aldo yang merupakan anak motor, ketika di luar jam sekolah, dia masih sering melakukan balap liar tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Aldo juga menjadi incaran para cewek-cewek di sekolahnya. Tampan, kaya raya, atlet basket, dan menjadi ketua OSIS. Namun, dalam pelajaran, Aldo kurang beruntung.
"Sudahlah, kalian jangan banyak protes. Sekolah yakin Bunga bisa membawa nama baik sekolah ini menjadi juara olimpiade cerdas cermat tingkat Nasional," ucap guru itu lagi.
Tampak jelas Naya dan Alma begitu kesal atas keputusan pihak sekolah. Mereka pun akhirnya terpaksa menerima Bunga sebagai peserta yang menggantikan Rachel. Meski mereka tidak yakin Bunga akan bisa menjadi hebat seperti Rachel, mereka tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan sekolah.
Mereka pun mulai mempersiapkan diri. Walaupun Bunga merupakan siswa yang baru pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini dan sudah langsung ditunjuk untuk mewakili sekolahnya, para pembina cerdas cermat meminta izin kepada wali kelas Bunga agar Bunga tetap tidak diabsen kehadirannya. Mereka alkan berjuang untuk nama sekolahnya.
Setelah bel istirahat berbunyi, pembina cerdas cermat itu mengizinkan Bunga, Naya, dan Alma untuk beristirahat selama 15 menit.
"Bunga, apa kamu tidak pergi ke kantin?" tanya guru pembina itu.
"Tidak, Pak. Saya di sini saja," jawabnya.
Setelah waktu istirahat habis, mereka kembali ke perpustakaan. Bunga mendengarkan banyak hal dan trik yang diberikan oleh guru pembina itu dengan seksama. Ia berharap tidak akan pernah mengecewakan pihak sekolah, karena sudah menunjuknya sebagai pengganti Rachel. Bunga berencana akan belajar dengan baik setelah pulang sekolah nanti. Dia akan meminta izin dengan sungguh-sungguh kepada kedua majikannya agar bisa mengikuti lomba cerdas cermat ini.
Setelah 2 jam berkumpul, ketiganya diizinkan pulang lebih awal dari siswa lainnya. Bunga memilih untuk menunggu di depan sekolah karena sang majikan belum pulang dari sekolah.
Dan tepat pukul 14.00 waktu Indonesia bagian barat, bel pulang pun berbunyi. Itu menandakan mereka harus segera pulang. Mobil mewah penjemput siswa sudah berjejer di depan sekolah, termasuk mobil milik orang tua Aldo. Sopir pun membukakan pintu untuk Aldo dan Bunga. Namun, saat Bunga hendak masuk ke dalam mobil, seketika niatnya terhenti setelah mendengar teriakan dari Aldo.
"Gadis bodoh! Siapa yang mengizinkan lu masuk dalam satu mobil yang sama dengan gue, huh? Kalau mau pulang, jalan kaki sana. Jangan buat gue malu di sekolah!" sentak Aldo murka.
"Tapi Tu-" ucapan sopir terjeda.
"Diam, Pak. Ini urusanku. Aku berhak memilih siapa yang boleh masuk dalam mobilku dan siapa yang tidak!" serunya.
Bunga pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam mobil, lalu memilih mengikuti jalan yang tadi pagi ia lewati. Merasa letih, Bunga mengucapkan, "Aku lelah sekali." Keringat mulai bercucuran membasahi tubuhnya. Dia harus berjalan di tengah teriknya sinar matahari.
Sedangkan di kediaman Wijaya, Mama dari Aldo sedikit heran ketika melihat hanya Aldo lah yang masuk ke dalam rumah, sedangkan Bunga tak nampak batang hidungnya.
"Di mana Bunga, sayang?" tanya sang mama pada Aldo.
"Mana Aldo tahu, Ma. Kami sudah menunggu lama di sekolah tapi dia tak kunjung datang, padahal di sekolah sudah sepi. Sepertinya dia keluar lebih dulu dengan teman-teman barunya," ucap Aldo dengan bohong. "Aldo ke kamar dulu ya, Ma," pamitnya.
"Nggak mungkin Bunga seperti itu, Aldo. Mama curiga pasti kamu ada apa-apa ini," tebak sang mama.
Wanita paruh baya itu seketika bisa menebak apa yang dilakukan oleh sang anak. Bukan hanya Bunga yang pertama kali menjadi pengasuh dari anaknya tersebut. Namun, sudah banyak sekali pengasuh-pengasuh lain yang didatangkan untuk mendidik Aldo dan menemani Aldo menjadi lebih baik. Namun, nyatanya sang anak tidak berubah sama sekali.
Hingga akhirnya keluarga memutuskan untuk mencarikan Aldo pengasuh yang usianya tak beda jauh dari anaknya. Siapa tahu dengan kepintaran yang Bunga miliki, setidaknya gadis belia itu akan mampu mempengaruhi Aldo untuk mau menjadi siswa yang baik. Selama ini, berkali-kali kedua orang tuanya selalu datang ke sekolah hanya untuk menyelesaikan masalah anaknya dengan pihak sekolah. Malu sudah pasti mereka rasakan. Mereka memiliki segalanya, tapi tak mampu mendidik Aldo dengan baik.
"Bisa nggak sih, sekali aja mama percaya sama Aldo?" ejek Aldo.
"Kapan Mama tidak pernah percaya padamu, sayang? Kalau memang semua yang kamu katakan masuk akal, Mama dan Papa pasti akan langsung mempercayainya," jawab sang mama.
"Sudahlah, Aldo. Pusing kalau sudah berbicara dengan Mama, apalagi membahas gadis kampung itu, yang seakan seperti anak kandung Mama," ejeknya.
Aldo pun bergegas pergi naik ke lantai 2 menuju kamarnya. Namun, tidaklah mengejutkan jika Aldo memiliki niatan iseng terhadap Bunga. Tiba-tiba, ide jahil terbersit dalam benaknya. Aldo pun mengambil balsem di kamarnya yang sering digunakan ketika sedang berolahraga di ruang Gym rumahnya. Lalu, ia masuk ke dalam kamar Bunga dengan seringai licik, "Sepertinya ini akan menjadi sesuatu yang menyenangkan," gumamnya.
"Kepanasan deh lu, Bunga!" gumam Aldo.Aldo pun mulai mengoles tempat tidur Bunga dengan balsem, lalu juga tempat duduk di meja belajar Bunga. Sungguh, ia akan sangat bahagia jika Bunga terkena jebakannya ini."'Selamat berpanas ria, gadis bodoh!" serunya, lalu kembali keluar dari kamar Bunga menuju ke kamar pribadinya.Aldo harus istirahat yang cukup, karena dua hari lagi dia akan mengadakan balap liar bersama teman-temannya, dan taruhannya tak main-main.Tiga puluh menit berikutnya, Bunga pun tiba di kediaman sang majikan. Ternyata, benar tebakan Bunga, sang majikan sedang berada di dapur."Bunga! Kenapa kamu berkeringatan?" tanya sang nyonya."Tadi Bunga pulang jalan kaki, Nyonya. Soalnya teman-teman Bunga semuanya jalan kaki," ucapnya bohong."Jangan bohong kamu! Ini pasti ulah Aldo kan?" tanya sang nyonya."Tidak, Nyonya. Saya memang ingin jalan kaki pulang dengan teman-teman baru saya," Bunga masih kekeh dengan jawabannya sendiri, tapi sang majikan tidak akan mempercayainya."Ka
"Apaaa Pak? Menjadi pengasuh anak SMA? Apa Bapak tidak salah mencarikan Bunga pekerjaan?" tanya Bunga kaget."Tuan muda itu sangat sulit diatur oleh kedua orang tuanya, Nak. Beliau ingin di sekolah Tuan muda ada yang memantau. Bapak yakin kamu bisa, sayang. Demi cita-citamu, setidaknya sampai kamu lulus SMA," pinta Pak Iwan."Tapi Pak-" Bunga tampak akan protes."Sayang, kamu mau bikin almarhum Ibu bangga sama kamu, kan, Nak?" tanya Pak Iwan. Bunga tampak berpikir keras atas tawaran dari atasan Bapaknya itu. "Kalau belum dicoba, kamu tak akan tahu bisa melakukannya atau tidak, sayang. Bapak minta maaf, kamu yang masih belia harus ada di posisi seberat ini," imbuh Pak Iwan lagi."Baiklah Pak, demi Bapak dan Ibu, demi cita-citaku, Bunga mau mencobanya Pak," ucap sang anak, membuat Pak Iwan tersenyum bangga.Satu minggu berikutnya.Di sebuah rumah kecil yang ada di pinggir kota, kini seorang anak yang beranjak remaja sedang bersiap untuk bekerja menjadi pengasuh di kediaman keluarga Wija
"Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam, sampai harus menjadi pengasuh pria berandalan itu!" batin Bunga kesal."Bi, apa ada yang boleh saya bantu?" tanya Bunga pada pelayan di rumah itu.Pelayan itu pun tersenyum menatap ke arah Bunga, hatinya terenyuh ketika mengetahui bahwa Bunga sejak kecil sudah tidak bisa merasakan kasih sayang ibunya, sebab sang Ibu meninggal saat melahirkannya, dan Bunga sempat menyalahkan dirinya sendiri karena takdir kelam dalam hidupnya tersebut."Tidak usah, Non. Biar Bibi saja, dan Non Bunga bersiap dulu karena sebentar lagi jam makan malam tiba," ucap sang pelayan."Bunga makan malam nanti saja, Bi. Oh iya, biasanya di mana pelayan di sini makan?" tanyanya polos.Pelayan itu pun menatap ke arah Bunga sambil tersenyum, "Di rumah ini, Non Bunga akan diperlakukan sama seperti pemilik rumah, karena tugas Non Bunga adalah untuk membantu Tuan Muda menyelesaikan semua urusan Tuan Muda," ucap sang pelayan. "Bunga juga harus membiasakan diri untuk melakukan apapun yang
"Gua bilang turun!" teriaknya pada Bunga."Tapi..." ucapan Pak Dimas terjeda."Enggak apa, Pak. Bunga turun di sini saja ya," jawab Bunga.Bunga pun turun dari dalam mobil, membuat Aldo tersenyum miring.Bunga hanya enggan sopir mendapat masalah dengan Aldo, dan ia memilih untuk berjalan sepanjang 1 km sampai akhirnya tiba di sekolah yang dimaksud.Pak Dimas sudah memberitahu Bunga bahwa Bunga hanya perlu berjalan lurus saja, nanti di sebelah kiri jalan akan ada bangunan sekolah yang sangat besar, dan di sanalah tempat yang akan dituju oleh Bunga."Ini belum seberapa, gadis kampung. Ini baru permulaan!" Aldo Wijaya membatin. Seringai licik terbit di wajah tampannya.Bunga terus berlari agar tidak sampai terlambat di sekolah, keringat sudah mulai membasahi tubuhnya, tapi beruntung dia membawa parfum di dalam tasnya, jadi nanti akan dimanfaatkan untuk mencegah bau badan."Dia benar-benar mengerjaiku! Fiuuuuh. Apa mungkin aku kuat menjadi pengasuhnya," gumam Bunga. Nafasnya tersengal. Be
"Kepanasan deh lu, Bunga!" gumam Aldo.Aldo pun mulai mengoles tempat tidur Bunga dengan balsem, lalu juga tempat duduk di meja belajar Bunga. Sungguh, ia akan sangat bahagia jika Bunga terkena jebakannya ini."'Selamat berpanas ria, gadis bodoh!" serunya, lalu kembali keluar dari kamar Bunga menuju ke kamar pribadinya.Aldo harus istirahat yang cukup, karena dua hari lagi dia akan mengadakan balap liar bersama teman-temannya, dan taruhannya tak main-main.Tiga puluh menit berikutnya, Bunga pun tiba di kediaman sang majikan. Ternyata, benar tebakan Bunga, sang majikan sedang berada di dapur."Bunga! Kenapa kamu berkeringatan?" tanya sang nyonya."Tadi Bunga pulang jalan kaki, Nyonya. Soalnya teman-teman Bunga semuanya jalan kaki," ucapnya bohong."Jangan bohong kamu! Ini pasti ulah Aldo kan?" tanya sang nyonya."Tidak, Nyonya. Saya memang ingin jalan kaki pulang dengan teman-teman baru saya," Bunga masih kekeh dengan jawabannya sendiri, tapi sang majikan tidak akan mempercayainya."Ka
"Anak baru saja lu belagu!" Alma menimpali."Saya akan melakukan yang terbaik, Naya," sahut Bunga."Jangan panggil gue dengan sebutan Kak, lu pikir gue tua apa!" sentak Naya. "Panggil gue, Naya!" imbuhnya."Baik, Naya," jawab Bunga.Setelah bertemu dan berbincang dengan kepala sekolah, akhirnya Bunga, Naya, dan Alma diajak ke perpustakaan untuk mempersiapkan segala sesuatu demi meraih juara nasional cerdas cermat tingkat SMA."Kenapa sih harus anak ingusan ini yang dipakai, Pak?" Alma tampak kesal atas keputusan pihak sekolah. Ia saat ini melakukan protes pada guru pembimbingnya."Jangan menyepelekan Bunga, dia itu juara nasional Olimpiade se-SMP," pujinya atas prestasi yang Bunga raih."Awas saja lu ya, anak ingusan, gue akan buat perhitungan kalau sampai lu nggak bisa bikin kami jadi juara!" ancam Naya di dalam hati."Tapi ini lomba cerdas cermat tingkat SMA, Pak. Dia bahkan belum menerima pelajaran apapun di sekolah ini. Apa pihak sekolah ingin membuat kami kalah di final nanti!" g
"Gua bilang turun!" teriaknya pada Bunga."Tapi..." ucapan Pak Dimas terjeda."Enggak apa, Pak. Bunga turun di sini saja ya," jawab Bunga.Bunga pun turun dari dalam mobil, membuat Aldo tersenyum miring.Bunga hanya enggan sopir mendapat masalah dengan Aldo, dan ia memilih untuk berjalan sepanjang 1 km sampai akhirnya tiba di sekolah yang dimaksud.Pak Dimas sudah memberitahu Bunga bahwa Bunga hanya perlu berjalan lurus saja, nanti di sebelah kiri jalan akan ada bangunan sekolah yang sangat besar, dan di sanalah tempat yang akan dituju oleh Bunga."Ini belum seberapa, gadis kampung. Ini baru permulaan!" Aldo Wijaya membatin. Seringai licik terbit di wajah tampannya.Bunga terus berlari agar tidak sampai terlambat di sekolah, keringat sudah mulai membasahi tubuhnya, tapi beruntung dia membawa parfum di dalam tasnya, jadi nanti akan dimanfaatkan untuk mencegah bau badan."Dia benar-benar mengerjaiku! Fiuuuuh. Apa mungkin aku kuat menjadi pengasuhnya," gumam Bunga. Nafasnya tersengal. Be
"Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam, sampai harus menjadi pengasuh pria berandalan itu!" batin Bunga kesal."Bi, apa ada yang boleh saya bantu?" tanya Bunga pada pelayan di rumah itu.Pelayan itu pun tersenyum menatap ke arah Bunga, hatinya terenyuh ketika mengetahui bahwa Bunga sejak kecil sudah tidak bisa merasakan kasih sayang ibunya, sebab sang Ibu meninggal saat melahirkannya, dan Bunga sempat menyalahkan dirinya sendiri karena takdir kelam dalam hidupnya tersebut."Tidak usah, Non. Biar Bibi saja, dan Non Bunga bersiap dulu karena sebentar lagi jam makan malam tiba," ucap sang pelayan."Bunga makan malam nanti saja, Bi. Oh iya, biasanya di mana pelayan di sini makan?" tanyanya polos.Pelayan itu pun menatap ke arah Bunga sambil tersenyum, "Di rumah ini, Non Bunga akan diperlakukan sama seperti pemilik rumah, karena tugas Non Bunga adalah untuk membantu Tuan Muda menyelesaikan semua urusan Tuan Muda," ucap sang pelayan. "Bunga juga harus membiasakan diri untuk melakukan apapun yang
"Apaaa Pak? Menjadi pengasuh anak SMA? Apa Bapak tidak salah mencarikan Bunga pekerjaan?" tanya Bunga kaget."Tuan muda itu sangat sulit diatur oleh kedua orang tuanya, Nak. Beliau ingin di sekolah Tuan muda ada yang memantau. Bapak yakin kamu bisa, sayang. Demi cita-citamu, setidaknya sampai kamu lulus SMA," pinta Pak Iwan."Tapi Pak-" Bunga tampak akan protes."Sayang, kamu mau bikin almarhum Ibu bangga sama kamu, kan, Nak?" tanya Pak Iwan. Bunga tampak berpikir keras atas tawaran dari atasan Bapaknya itu. "Kalau belum dicoba, kamu tak akan tahu bisa melakukannya atau tidak, sayang. Bapak minta maaf, kamu yang masih belia harus ada di posisi seberat ini," imbuh Pak Iwan lagi."Baiklah Pak, demi Bapak dan Ibu, demi cita-citaku, Bunga mau mencobanya Pak," ucap sang anak, membuat Pak Iwan tersenyum bangga.Satu minggu berikutnya.Di sebuah rumah kecil yang ada di pinggir kota, kini seorang anak yang beranjak remaja sedang bersiap untuk bekerja menjadi pengasuh di kediaman keluarga Wija