"Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam, sampai harus menjadi pengasuh pria berandalan itu!" batin Bunga kesal.
"Bi, apa ada yang boleh saya bantu?" tanya Bunga pada pelayan di rumah itu.
Pelayan itu pun tersenyum menatap ke arah Bunga, hatinya terenyuh ketika mengetahui bahwa Bunga sejak kecil sudah tidak bisa merasakan kasih sayang ibunya, sebab sang Ibu meninggal saat melahirkannya, dan Bunga sempat menyalahkan dirinya sendiri karena takdir kelam dalam hidupnya tersebut.
"Tidak usah, Non. Biar Bibi saja, dan Non Bunga bersiap dulu karena sebentar lagi jam makan malam tiba," ucap sang pelayan.
"Bunga makan malam nanti saja, Bi. Oh iya, biasanya di mana pelayan di sini makan?" tanyanya polos.
Pelayan itu pun menatap ke arah Bunga sambil tersenyum, "Di rumah ini, Non Bunga akan diperlakukan sama seperti pemilik rumah, karena tugas Non Bunga adalah untuk membantu Tuan Muda menyelesaikan semua urusan Tuan Muda," ucap sang pelayan. "Bunga juga harus membiasakan diri untuk melakukan apapun yang majikan kita lakukan," imbuh sang pelayan.
Bunga kaget, dan ia lebih memilih diam. Entah apa yang harus ia komentari, ia sendiri pun tidak tahu. Yang jelas, Bunga tidak akan mau diperlakukan spesial seperti itu.
"Tidak, Bi! Saya hanya pelayan di sini, saya tidak mau diperlakukan spesial," ucapnya.
"Saya tidak pernah meminta pendapatmu, Bunga, karena di sini yang berhak memutuskan adalah saya dan suami saya. Jadi, kalau kami minta kamu untuk ikut bergabung dengan kami, kamu harus mau. Tapi yang perlu kamu ingat adalah anak kami, Aldo, memang bahasanya kadang-kadang bikin hati nyelekit, dan kami berharap nanti kamu akan terbiasa dengan sifatnya. Besar harapan saya ingin kamu mampu merubah sifat anak saya tersebut, itu adalah tantangan untukmu selama bekerja dengan kami."
Tiba-tiba saja Yunita, istri Nathan Wijaya, memeluk bahu Bunga, mengusap lembut di lengan kanan Bunga yang kecil, seakan memberikan kesan kalau Bunga tidak perlu canggung di rumah ini.
"Tapi, Nyonya-"
"Sudah, kamu tenang saja. Ikuti apa yang saya bilang, dan nanti saya akan berikan jadwal yang harus kamu lakukan untuk anak saya," ucapnya.
"Baik, Nyonya," ucap Bunga.
Yunita pun tersenyum karena Bunga sangat penurut. Lalu, wanita cantik tersebut kini menatap ke arah sang pelayan, "Apa makan malamnya sudah siap, Bibi? Kami akan makan malam lebih awal, karena nanti mau ke rumah Mama dan Papa, ada pertemuan di sana," ucap Yunita.
"Sudah, Nyonya. Segera saya siapkan di meja makan," jawabnya.
Sepuluh menit berikutnya, mereka pun melakukan makan malam bersama. Wajah Aldo ditekuk melihat gadis kampung ini ikut duduk di satu meja dengan dirinya.
"Ngapain pelayan makan di sini, Ma?" tanya Aldo.
"Dia bukan pelayan, tapi dia adalah orang yang akan membantu semua kebutuhanmu. Jangan pernah berbicara kasar, apalagi berbuat kasar terhadapnya, karena Papa tidak akan memaafkan Aldo," sang Papa mengancam anak semata wayangnya, membuat Aldo memberengut kesal.
"Sialan, siapa sih orang ini? Kenapa dia bisa ada di rumah gue? Brengsek! Gue akan bikin dia nggak betah menjadi pengasuh gue," gumam Aldo di dalam hati.
Setelah makan malam selesai, Bunga pun menerima jadwal yang harus ia lakukan selama bekerja menjadi pengasuh Aldo. Semua kegiatan Bunga akan berakhir saat Bunga sedang berada di dalam kelas. Namun, ketika Bunga sedang beristirahat di sekolah, Bunga diminta untuk tetap mengawasi Aldo meski dari jarak jauh. Bunga juga berkewajiban mengajarkan Aldo materi yang tidak dikuasai oleh Aldo, karena menurut kedua orang tua Aldo, Bunga memiliki tingkat kejeniusan di atas rata-rata, hanya saja nasibnya yang kurang beruntung.
Bahkan pelajaran mahasiswa pun sudah ditangkap dengan baik oleh Bunga, apalagi pelajaran kelas 3 SMA seperti Aldo.
Besok adalah hari pertama Aldo menjadi siswa kelas 3 SMA, dan Bunga hari pertama menjadi siswa baru di sekolah yang sama dengan Aldo. Pintu kamar Bunga dibuka keras oleh Aldo, lalu pria tersebut tanpa perasaan melempar beberapa buku di meja belajar Bunga.
"Lu kerjain semua tugas gue! Karena di hari pertama gue menjadi kelas 3 SMA, pekerjaan rumah ini harus gue setor besok. Lu harus selesaikan, dan gue nggak mau tahu, besok pagi lu harus mampu menyelesaikannya dengan benar," ucap Aldo.
"Tapi Kak Aldo, kata Nyonya, Bunga harus mengajarkan Kak Aldo, bukan Bunga yang harus menyelesaikan tugas ini," tolaknya secara halus.
"Panggil gue Tuan Muda! Enak saja lu panggil kakak! Dan lu harus mau ikutin perintah gue. Kalau lu menolak, lu akan tahu sendiri akibatnya, atau lu mau gue fitnah agar Mama sama Papa gue segera mengusir lu dari rumah ini!" ancam Aldo.
Bunga pun akhirnya mengerjakan tugas yang diberikan oleh Aldo, hingga membuat pria itu tersenyum puas. Setidaknya kehadiran Bunga bisa ia manfaatkan untuk mendapatkan nilai bagus di sekolah.
Besok paginya, setelah sarapan, Aldo bersiap untuk berangkat ke sekolah. Aldo pun berpamitan dengan kedua orang tuanya.
"Aldo berangkat dulu ya, Ma, Pa," pamitnya.
"Kamu berangkat diantar Pak Dimas, dan Bunga ikut di dalamnya. Kalian tidak boleh lagi berpisah, harus selalu berangkat dan pulang secara bersama-sama," ucap sang Mama.
"Apa, Ma? Aldo harus satu mobil dengan gadis kampung ini? Astaga, Ma, Aldo tidak mau. Aldo mau naik motor saja," bantahnya.
"Kamu mau uang jajanmu dihentikan oleh Papa. Kalau tidak nurut pada Mama dan Papa!" ancam Yunita kepada sang anak.
Aldo terlihat kesal dan mengepalkan tangannya di samping. Sejak kemarin hingga detik ini, Aldo benar-benar dibuat emosi oleh kehadiran Bunga.
"Ayo, kalian berangkat bersama-sama. Pak Dimas sudah menunggu di halaman depan," ucap Nathan.
Bunga pun berpamitan pada kedua orang tua Aldo, dengan mengecup punggung tangan kedua majikannya tersebut, tapi tidak dengan Aldo.
Kedua orang tuanya merasa telah salah memanjakan Aldo selama ini, hingga membuat anak itu tumbuh menjadi anak yang kurang memiliki tata krama, meski terhadap orang tuanya sendiri.
Aldo pun masuk ke dalam mobil, lalu menutup mobil itu dengan kencang, sedangkan Bunga memilih untuk duduk di samping kemudi. Mobil pun melaju keluar dari rumah keluarga Wijaya, membelah keramaian kota Jakarta untuk segera tiba di salah satu sekolah terfavorit di Jakarta, sekolah yang bertaraf internasional.
Bunga juga sudah menggunakan seragam, karena semuanya memang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh kedua orang tua Aldo. Meski batinnya tersiksa menjadi seorang pengasuh pria bad boy seperti Aldo, tapi Bunga tetap harus bersyukur bisa ada dan bersekolah di sekolah impiannya selama ini.
Di tengah jalan, tiba-tiba suara Aldo mengalihkan fokus Bunga dan juga sang sopir.
"Turunkan dia di sini, Pak!" seru Aldo memberi perintah pada sopirnya.
"Tapi Tuan, ini masih sangat jauh dari sekolah kalian. Bunga bisa terlambat sampai di sekolah, Tuan," jawab sopir tersebut.
"Justru itu yang aku mau!" ucapnya memberi perintah. "Turun, lo!" bentaknya lagi.
"Gua bilang turun!" teriaknya pada Bunga."Tapi..." ucapan Pak Dimas terjeda."Enggak apa, Pak. Bunga turun di sini saja ya," jawab Bunga.Bunga pun turun dari dalam mobil, membuat Aldo tersenyum miring.Bunga hanya enggan sopir mendapat masalah dengan Aldo, dan ia memilih untuk berjalan sepanjang 1 km sampai akhirnya tiba di sekolah yang dimaksud.Pak Dimas sudah memberitahu Bunga bahwa Bunga hanya perlu berjalan lurus saja, nanti di sebelah kiri jalan akan ada bangunan sekolah yang sangat besar, dan di sanalah tempat yang akan dituju oleh Bunga."Ini belum seberapa, gadis kampung. Ini baru permulaan!" Aldo Wijaya membatin. Seringai licik terbit di wajah tampannya.Bunga terus berlari agar tidak sampai terlambat di sekolah, keringat sudah mulai membasahi tubuhnya, tapi beruntung dia membawa parfum di dalam tasnya, jadi nanti akan dimanfaatkan untuk mencegah bau badan."Dia benar-benar mengerjaiku! Fiuuuuh. Apa mungkin aku kuat menjadi pengasuhnya," gumam Bunga. Nafasnya tersengal. Be
"Anak baru saja lu belagu!" Alma menimpali."Saya akan melakukan yang terbaik, Naya," sahut Bunga."Jangan panggil gue dengan sebutan Kak, lu pikir gue tua apa!" sentak Naya. "Panggil gue, Naya!" imbuhnya."Baik, Naya," jawab Bunga.Setelah bertemu dan berbincang dengan kepala sekolah, akhirnya Bunga, Naya, dan Alma diajak ke perpustakaan untuk mempersiapkan segala sesuatu demi meraih juara nasional cerdas cermat tingkat SMA."Kenapa sih harus anak ingusan ini yang dipakai, Pak?" Alma tampak kesal atas keputusan pihak sekolah. Ia saat ini melakukan protes pada guru pembimbingnya."Jangan menyepelekan Bunga, dia itu juara nasional Olimpiade se-SMP," pujinya atas prestasi yang Bunga raih."Awas saja lu ya, anak ingusan, gue akan buat perhitungan kalau sampai lu nggak bisa bikin kami jadi juara!" ancam Naya di dalam hati."Tapi ini lomba cerdas cermat tingkat SMA, Pak. Dia bahkan belum menerima pelajaran apapun di sekolah ini. Apa pihak sekolah ingin membuat kami kalah di final nanti!" g
"Kepanasan deh lu, Bunga!" gumam Aldo.Aldo pun mulai mengoles tempat tidur Bunga dengan balsem, lalu juga tempat duduk di meja belajar Bunga. Sungguh, ia akan sangat bahagia jika Bunga terkena jebakannya ini."'Selamat berpanas ria, gadis bodoh!" serunya, lalu kembali keluar dari kamar Bunga menuju ke kamar pribadinya.Aldo harus istirahat yang cukup, karena dua hari lagi dia akan mengadakan balap liar bersama teman-temannya, dan taruhannya tak main-main.Tiga puluh menit berikutnya, Bunga pun tiba di kediaman sang majikan. Ternyata, benar tebakan Bunga, sang majikan sedang berada di dapur."Bunga! Kenapa kamu berkeringatan?" tanya sang nyonya."Tadi Bunga pulang jalan kaki, Nyonya. Soalnya teman-teman Bunga semuanya jalan kaki," ucapnya bohong."Jangan bohong kamu! Ini pasti ulah Aldo kan?" tanya sang nyonya."Tidak, Nyonya. Saya memang ingin jalan kaki pulang dengan teman-teman baru saya," Bunga masih kekeh dengan jawabannya sendiri, tapi sang majikan tidak akan mempercayainya."Ka
"Apaaa Pak? Menjadi pengasuh anak SMA? Apa Bapak tidak salah mencarikan Bunga pekerjaan?" tanya Bunga kaget."Tuan muda itu sangat sulit diatur oleh kedua orang tuanya, Nak. Beliau ingin di sekolah Tuan muda ada yang memantau. Bapak yakin kamu bisa, sayang. Demi cita-citamu, setidaknya sampai kamu lulus SMA," pinta Pak Iwan."Tapi Pak-" Bunga tampak akan protes."Sayang, kamu mau bikin almarhum Ibu bangga sama kamu, kan, Nak?" tanya Pak Iwan. Bunga tampak berpikir keras atas tawaran dari atasan Bapaknya itu. "Kalau belum dicoba, kamu tak akan tahu bisa melakukannya atau tidak, sayang. Bapak minta maaf, kamu yang masih belia harus ada di posisi seberat ini," imbuh Pak Iwan lagi."Baiklah Pak, demi Bapak dan Ibu, demi cita-citaku, Bunga mau mencobanya Pak," ucap sang anak, membuat Pak Iwan tersenyum bangga.Satu minggu berikutnya.Di sebuah rumah kecil yang ada di pinggir kota, kini seorang anak yang beranjak remaja sedang bersiap untuk bekerja menjadi pengasuh di kediaman keluarga Wija
"Kepanasan deh lu, Bunga!" gumam Aldo.Aldo pun mulai mengoles tempat tidur Bunga dengan balsem, lalu juga tempat duduk di meja belajar Bunga. Sungguh, ia akan sangat bahagia jika Bunga terkena jebakannya ini."'Selamat berpanas ria, gadis bodoh!" serunya, lalu kembali keluar dari kamar Bunga menuju ke kamar pribadinya.Aldo harus istirahat yang cukup, karena dua hari lagi dia akan mengadakan balap liar bersama teman-temannya, dan taruhannya tak main-main.Tiga puluh menit berikutnya, Bunga pun tiba di kediaman sang majikan. Ternyata, benar tebakan Bunga, sang majikan sedang berada di dapur."Bunga! Kenapa kamu berkeringatan?" tanya sang nyonya."Tadi Bunga pulang jalan kaki, Nyonya. Soalnya teman-teman Bunga semuanya jalan kaki," ucapnya bohong."Jangan bohong kamu! Ini pasti ulah Aldo kan?" tanya sang nyonya."Tidak, Nyonya. Saya memang ingin jalan kaki pulang dengan teman-teman baru saya," Bunga masih kekeh dengan jawabannya sendiri, tapi sang majikan tidak akan mempercayainya."Ka
"Anak baru saja lu belagu!" Alma menimpali."Saya akan melakukan yang terbaik, Naya," sahut Bunga."Jangan panggil gue dengan sebutan Kak, lu pikir gue tua apa!" sentak Naya. "Panggil gue, Naya!" imbuhnya."Baik, Naya," jawab Bunga.Setelah bertemu dan berbincang dengan kepala sekolah, akhirnya Bunga, Naya, dan Alma diajak ke perpustakaan untuk mempersiapkan segala sesuatu demi meraih juara nasional cerdas cermat tingkat SMA."Kenapa sih harus anak ingusan ini yang dipakai, Pak?" Alma tampak kesal atas keputusan pihak sekolah. Ia saat ini melakukan protes pada guru pembimbingnya."Jangan menyepelekan Bunga, dia itu juara nasional Olimpiade se-SMP," pujinya atas prestasi yang Bunga raih."Awas saja lu ya, anak ingusan, gue akan buat perhitungan kalau sampai lu nggak bisa bikin kami jadi juara!" ancam Naya di dalam hati."Tapi ini lomba cerdas cermat tingkat SMA, Pak. Dia bahkan belum menerima pelajaran apapun di sekolah ini. Apa pihak sekolah ingin membuat kami kalah di final nanti!" g
"Gua bilang turun!" teriaknya pada Bunga."Tapi..." ucapan Pak Dimas terjeda."Enggak apa, Pak. Bunga turun di sini saja ya," jawab Bunga.Bunga pun turun dari dalam mobil, membuat Aldo tersenyum miring.Bunga hanya enggan sopir mendapat masalah dengan Aldo, dan ia memilih untuk berjalan sepanjang 1 km sampai akhirnya tiba di sekolah yang dimaksud.Pak Dimas sudah memberitahu Bunga bahwa Bunga hanya perlu berjalan lurus saja, nanti di sebelah kiri jalan akan ada bangunan sekolah yang sangat besar, dan di sanalah tempat yang akan dituju oleh Bunga."Ini belum seberapa, gadis kampung. Ini baru permulaan!" Aldo Wijaya membatin. Seringai licik terbit di wajah tampannya.Bunga terus berlari agar tidak sampai terlambat di sekolah, keringat sudah mulai membasahi tubuhnya, tapi beruntung dia membawa parfum di dalam tasnya, jadi nanti akan dimanfaatkan untuk mencegah bau badan."Dia benar-benar mengerjaiku! Fiuuuuh. Apa mungkin aku kuat menjadi pengasuhnya," gumam Bunga. Nafasnya tersengal. Be
"Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam, sampai harus menjadi pengasuh pria berandalan itu!" batin Bunga kesal."Bi, apa ada yang boleh saya bantu?" tanya Bunga pada pelayan di rumah itu.Pelayan itu pun tersenyum menatap ke arah Bunga, hatinya terenyuh ketika mengetahui bahwa Bunga sejak kecil sudah tidak bisa merasakan kasih sayang ibunya, sebab sang Ibu meninggal saat melahirkannya, dan Bunga sempat menyalahkan dirinya sendiri karena takdir kelam dalam hidupnya tersebut."Tidak usah, Non. Biar Bibi saja, dan Non Bunga bersiap dulu karena sebentar lagi jam makan malam tiba," ucap sang pelayan."Bunga makan malam nanti saja, Bi. Oh iya, biasanya di mana pelayan di sini makan?" tanyanya polos.Pelayan itu pun menatap ke arah Bunga sambil tersenyum, "Di rumah ini, Non Bunga akan diperlakukan sama seperti pemilik rumah, karena tugas Non Bunga adalah untuk membantu Tuan Muda menyelesaikan semua urusan Tuan Muda," ucap sang pelayan. "Bunga juga harus membiasakan diri untuk melakukan apapun yang
"Apaaa Pak? Menjadi pengasuh anak SMA? Apa Bapak tidak salah mencarikan Bunga pekerjaan?" tanya Bunga kaget."Tuan muda itu sangat sulit diatur oleh kedua orang tuanya, Nak. Beliau ingin di sekolah Tuan muda ada yang memantau. Bapak yakin kamu bisa, sayang. Demi cita-citamu, setidaknya sampai kamu lulus SMA," pinta Pak Iwan."Tapi Pak-" Bunga tampak akan protes."Sayang, kamu mau bikin almarhum Ibu bangga sama kamu, kan, Nak?" tanya Pak Iwan. Bunga tampak berpikir keras atas tawaran dari atasan Bapaknya itu. "Kalau belum dicoba, kamu tak akan tahu bisa melakukannya atau tidak, sayang. Bapak minta maaf, kamu yang masih belia harus ada di posisi seberat ini," imbuh Pak Iwan lagi."Baiklah Pak, demi Bapak dan Ibu, demi cita-citaku, Bunga mau mencobanya Pak," ucap sang anak, membuat Pak Iwan tersenyum bangga.Satu minggu berikutnya.Di sebuah rumah kecil yang ada di pinggir kota, kini seorang anak yang beranjak remaja sedang bersiap untuk bekerja menjadi pengasuh di kediaman keluarga Wija