Seorang gadis sedang duduk melamun di pojok sebuah kafe. Dia merenungi kejadian tadi siang saat sang kekasih mengajak bertemu dengan kedua orang tuanya. Begitu jelas penolakan yang dilakukan oleh calon mertuanya tersebut. Mungkin karena dia bukan dari keluarga kaya sehingga membuat mereka merendahkan dirinya. Hal itu membuat Andira 𝘪𝘯𝘴𝘦𝘤𝘶𝘳𝘦 pada dirinya sendiri.
Siang hari. “Memang apa yang gadis ini miliki sehingga pantas bersanding dengan kamu, Rand?” tanya seorang wanita yang berpenampilan elegan di depan Andira. “Mama bicara apa, sih? Andira memang bukan dari kalangan keluarga kaya, tetapi dia adalah wanita yang Randi cintai, Ma.” Randi berusaha membela sangat kekasih yang saat ini hanya diam menundukkan kepalanya. Dia tahu kalau gadis di sebelahnya itu pasti sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. “Mama tidak akan pernah merestui kalian berdua, begitupun dengan papamu.” Wanita itu berdiri dan mengajak sang suami pergi meninggalkan Restoran. "Ma, jangan seperti itu. Mama belum mengenal Andira, dia gadis yang baik." Randi berusaha meyakinkan orang tuanya. Dia menahan lengan sang mama. "Mama bilang tidak ya, tidak, Randi. Keputusan Mama sudah bulat, jangan pernah bawa perempuan itu lagi menemui mama." Perempuan paruh baya berpenampilan glamour itu menghempaskan tangan sang putra yang masih memegang lengannya. "Tapi, Ma—." Randi tidak ingin menyerah dengan mudah. Cintanya sudah tertambat sejak lama pada Andira, tidak mungkin dia bisa melepaskan gadis itu. "Sudah, Randi. Dengarkan perkataan Mamamu. Perempuan itu tidak sebanding dengan keluarga kita." Sang papa menghalangi putranya saat akan mengejar sang istri. Pria paruh baya itu kemudian meninggalkan Randi tanpa menoleh lagi pada putra sulungnya itu. Randi hanya bisa menatap kepergian kedua irang tuanya tanpa bisa membela sang kekasih lagi. Sepertinya hubungan mereka akan sangat sulit tanpa persetujuan dari kedua orang tuanya. "Sudah, Ran. Mungkin benar kata orang tuamu kalau aku ini memang tidak pantas dan tidak sebanding dengan kamu. Aku menyadari itu," ujar Andira setelah dia berjalan mendekati sang kekasih. Dia sedih, tentu saja, lelaki yang sangat dia cintai tidak akan mungkin bisa menjadi pendampingnya jika kedua orang tuang tidak merestui hubungan mereka. Andira sadar diri kalau dia bukanlah siapa-siapa. Tanpa sadar, air mata menetes dari kedua sudut mata, gadis cantik itu tidak bisa lagi membendung kesedihan yang dia rasakan saat ini. "Jangan menangis." Randi mengusap air mata yang membasahi pipi gadis yang sangat dicintainya itu. Dia memeluk tubuh Andira yang bergetar karena tangisnya. "Aku janji akan berusaha meyakinkan Papa dan Mama agar bisa menerimamu," lanjutnya. Sementara itu di tempat lain. "Tuan, waktunya bangun. Kalau tidak, kita bisa terlambat ke kantor." ucap sang asisten, setelah memastikan Bosnya bangun dia pun keluar dari kamar sang Bos. Edgar yang masih terpejam pun mengerjapkan mata dan mulai bangun menuruni ranjang untuk berjalan menuju kamar mandi. Setelah rapi dia keluar kamar dan berjalan menuruni anak tangga menuju meja makan. Di sana Aldi sang asisten tengah menunggu kedatangannya. "Aldi … kamu duduk, temani saya sarapan." ucap Edgar. Aldi pun menurut dan duduk di seberang Bosnya. Mereka makan dalam keheningan, hanya denting sendok yang terdengar. Selesai sarapan Edgar beranjak berdiri dan berjalan keluar rumah diikuti sang asisten. Aldi berjalan mendahului Edgar untuk membukakan pintu mobil, setelah sang Bos masuk dan duduk di kursi penumpang, Aldi pun mulai masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Aldi mulai menyalakan mesin dan menginjak pedal gas untuk mengendarai mobil itu keluar dari pagar rumah mewah milik sang Bos. Mobil yang mereka tumpangi pun mulai memecah jalanan Ibukota, 30 menit berlalu mereka telah sampai di depan perusahaan E-Commerce nomor satu di negeri ini. Perusahaan yang Edgar rintis sendiri dari nol yang kini telah berkembang pesat sesuai perkembangan peminat pengguna internet. Aldi membukakan pintu dan Edgar pun keluar dari dalam mobil, lalu berjalan masuk ke dalam perusahaan diikuti oleh Aldi. Mereka memasuki lift, Aldi menekan tombol naik ke lantai 15 menuju ruangan sang Bos. Lift pun terbuka, mereka keluar dan berjalan memasuki ruangannya. "Aldi, apa saja jadwal saya hari ini?" tanya Edgar pada sang asisten. "Hari ini kita ada pertemuan dengan Investor, Tuan," jawab Aldi. "Baiklah, kau boleh kembali bekerja," ujarnya. "Baik, Tuan, saya permisi." pamitnya. Setelah asistennya keluar, Edgar mulai berkutat dengan laptop di meja kerjanya dan tumpukan dokumen yang harus ditandatangani olehnya. Cukup lama dia berkutat dengan laptopnya, hingga waktu menunjukkan saatnya jam makan siang. Lelaki itu menutup laptopnya dan keluar dari ruangannya, dia memasuki lift dan menekan tombol untuk turun ke lantai dasar. Sampai di lantai dasar Edgar keluar dari lift berjalan menuju tempat parkir mobil. Lelaki itu masuk ke dalam mobil dan mulai mengendarainya keluar dari perusahaan, 15 menit berkendara dia sampai pada sebuah kafe yang akhir-akhir ini menjadi tempat makan siang favoritnya. Edgar keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam kafe tersebut sembari matanya mengamati sekitar mencari sosok wanita yang telah mengganggu pikirannya. Dia duduk di salah satu kursi sambil menunggu pelayan menghampirinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba karena wanita yang ia cari sedang berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin Anda pesan, Tuan?" tanya pelayan wanita itu yang tak lain adalah Andira, wanita yang telah merebut hatinya. "Seperti biasa Dira, nasi bakar seafood dan orange juice," jawab Edgar tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah cantik Andira. "Baiklah, ada lagi yang ingin Anda pesan, Tuan?" "Ya, senyummu, aku ingin melihat senyummu itu setiap saat." jawab Edgar mulai mengeluarkan kata-kata manisnya. "Maaf, Tuan …." Belum sempat Andira melanjutkan kalimatnya, Edgar sudah memotong ucapannya. "Ayolah, Andira. Jangan memanggilku dengan sebutan, Tuan, lagi. Lupakan yang kukatakan tadi, jam berapa kau pulang kerja nanti? aku akan menjemputmu." tanyanya pada Andira. "Maaf, tapi itu tidak perlu, Tuan. Saya bisa pulang sendiri." Tanpa menunggu jawaban dari Edgar, Andira berbalik dan segera pergi menuju dapur untuk menyiapkan pesanan lelaki itu. Sementara itu Edgar memandangi punggung Andira hingga tubuhnya menghilang di balik tembok. Tak berselang lama Andira keluar dari pintu dapur dengan membawa nampan berisi pesanan yang diinginkan lelaki bertubuh tinggi itu. Gadis itu berjalan menuju meja Edgar berada, dia meletakkan makanan dan minuman di meja yang ditempati lelaki itu. "Selamat menikmati, Tuan." Tanpa menunggu jawaban dari lelaki itu dia segera pergi meninggalkan meja tersebut. Edgar hanya tersenyum melihat kekesalan Andira. Kemudian dia mulai memakan makanan yang ia pesan. Ponselnya berdering, menandakan ada telepon masuk. Edgar mengambil ponsel dari saku celana dan menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan tersebut. ["Hallo,"] jawab Edgar. ["Tuan, sebentar lagi kita akan menemui Investor. Kapan Anda kembali ke kantor? Dan Tuan besar akan datang juga,"] ucap sang asisten dari seberang panggilan. Raut ketidaknyamanan terpancar jelas di wajah lelaki tampan tersebut. ["Iya, aku kembali ke kantor sekarang."] Lelaki itu pun segera menyelesaikan makan siangnya, dia berjalan menuju kasir untuk membayar. Edgar berjalan keluar kafe ke tempat di mana mobilnya terparkir, lalu dia mulai mengendarai mobilnya meninggalkan kafe untuk kembali ke kantornya. Lima belas menit kemudian dia telah sampai di depan kantor, telah ada Aldi sang asisten yang menunggunya di pintu masuk, Edgar keluar dari mobil dan berpindah ke kursi belakang. Aldi masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi pengemudi, dia mulai menginjak pedal gas mengendarainya menuju tempat mereka melakukan janji dengan investor. Empat puluh menit berlalu mereka telah sampai di sebuah restoran. Edgar turun dari mobil dan berjalan memasuki restoran tersebut diikuti Aldi, dia diarahkan ke ruang VVIP restoran oleh seorang pelayan. Edgar duduk di tempat yang telah disediakan sembari menunggu Investor datang, tak berselang lama Investor itu pun datang, mereka mulai membahas rencana bisnis yang akan mereka sepakati. Hingga kesepakatan telah ditandatangani. "Terima kasih, Pak Adam atas kerjasama Anda," ucap Edgar sambil menjabat tangan rekan bisnisnya. "Saya juga berterima kasih atas kerjasama ini Pak Edgar, kalau begitu kami permisi dulu, Pak." ucap Pak Adam. Tak berselang lama, dari pintu masuk tampak seorang lelaki paruh baya sedang berjalan menuju kearah mereka. Edgar hanya menatap lelaki itu dengan ekspresi datar, dia tidak menyangka kalau papanya akan ikut campur dengan urusan bisnisnya. Sementara ditempat lain Andira sedang bersiap-siap untuk pulang karena jam kerjanya telah selesai. Dia berjalan keluar dari kafe dan menyusuri trotoar untuk menuju halte bus. Akan tetapi, perhatiannya teralihkan oleh sebuah mobil BMW hitam yang tiba-tiba berhenti di depannya.Andira menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak ada seorang pun selain dirinya. "Lalu untuk apa mobil itu berhenti di sini?" batinnya. Kaca mobil hitam itu perlahan turun dan terlihatlah siapa pengemudinya. Orang yang berada dalam mobil itu tak lain adalah Edgar. "Astaga, kenapa aku harus bertemu laki-laki ini lagi," gumam Andira yang nampak kesal karena harus berurusan dengan Edgar lagi. "Ayo, masuklah. Aku antar kamu pulang," ucap Edgar. Andira memutar bola mata jengah dengan apa yang Edgar lakukan, pasalnya, sudah seringkali dia menolak ajakan Edgar untuk mengantarnya pulang. Akan tetapi, lelaki itu seakan tuli dengan apa yang selalu Andira katakan. "Tidak, terima kasih,Tuan. Anda tidak perlu repot-repot, karena saya bisa pulang sendiri," jawab Andira. Namun, bukan Edgar namanya jika ia langsung menyerah. Dia berusaha meyakinkan Andira untuk bersedia ikut dengannya. “Tapi ini sudah malam, Andira. Jadi, tidak mungkin ada kendaraan lain yang lewat”. Edgar berusaha
Gadis itu mengelus dada karena terkejut, dia pun menoleh dan mendapati bahwa si pemilik tangan itu adalah sang kekasih. “Astaga, kamu bikin kaget saja, Ran. Kenapa nggak bilang kalau mau kemari?” Andira mengerucutkan bibirnya. Dia kesal karena Randi tiba-tiba datang ke tempat kerjanya tanpa memberi kabar dahulu. “Maaf, Sayang, tadi aku nggak sengaja bertemu klien di dekat sini. Jadi, sekalian saja aku mampir. Aku kangen banget sama kamu.” Randi mencubit gemas pipi Andira. Pasalnya, sudah beberapa hari mereka tidak bertemu, kesibukan Randi adalah faktor utamanya. Andira menepis tangan Randi dari pipinya sebelum mengaduh. “Aduh, sakit tau. Kamu, tuh, kebiasaan banget suka nyubit pipi orang.” Andira menggerutu sambil mengelus pipinya yang memerah bekas cubitan Randi. “Salah sendiri, punya pipi gemesin. Pengen nyubit aja kan, jadinya,” jawab Randi tak mau kalah. Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepala mendengar perkataan sang kekasih, dia sudah tidak heran dengan sifat R
Keesokan paginya, Andira bangun dengan perasaan yang tak menentu. Semalaman dia memikirkan perkataan Edgar yang menyatakan cinta padanya. Gadis cantik itu tidak habis pikir bagaimana mungkin seorang lelaki kaya raya seperti Edgar bisa jatuh cinta pada seorang gadis sederhana seperti dirinya sedangkan, di luar sana masih banyak wanita yang lebih segala-galanya dari dia. “Dira, cepat bangun, Nak. Apa kamu mau terlambat bekerja hari ini?” teriak sang ibu dari dapur. “Iya, Bu, Dira sudah bangun.” Gadis itu keluar dari kamar dan berjalan ke arah dapur, dia melihat apa yang sedang dimasak oleh ibunya. Gadis yang masih memakai baju tidur itu mengambil bakwan jagung dari piring dan memakannya. Sementara sang ibu menggelengkan kepala heran melihat tingkah anak gadisnya itu. “Sudah siang cepat mandi sana lalu sarapan,” ucap Asih sambil mendorong tubuh anaknya ke kamar mandi agar segera membersihkan diri. Gadis itu segera mandi dan kembali masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian.
“Sial …!” umpatnya sambil memukul setir kemudi. Kenapa dirinya harus melihat sang papa bersama wanita itu lagi? Wanita yang telah merenggut kebahagiaannya, wanita penyebab kematian mamanya. Edgar memejamkan mata dan mengembuskan napas berat, dia berusaha menenangkan hatinya. Setelah merasa lebih baik dia kembali melajukan mobilnya. Andira yang merasakan keanehan pada Edgar pun menautkan kedua alis, “Kamu kenapa?” tanya Andira heran dengan perubahan sikap lelaki di sebelahnya itu. “Bukan urusanmu,” ketus Edgar. Andira yang mendapat jawaban ketus dari Edgar hanya bisa diam, dia memalingkan wajah dan melihat keluar jendela mobil. Gadis itu memandangi orang yang sedang berlalu lalang di jalanan. Perjalanan yang mereka tempuh tidak terlalu lama karena jarak rumah Andira dan kafe tempatnya bekerja cukup dekat. Mobil berhenti di depan kafe dan Andira pun turun. Tanpa menunggu Andira berpamitan padanya, Edgar langsung melajukan mobilnya. Andira yang melihat itu hanya diam dan
Lelaki yang duduk tak jauh dari pasangan itu hanya memandang dua orang yang sedang berpegangan tangan. Hatinya panas melihat kemesraan mereka, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan restoran tersebut. Edgar mengepalkan tangan saat berjalan keluar. Lelaki bersetelan jas biru tua tersebut melajukan mobilnya menuju kawasan perumahan Elit di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selang beberapa menit dia telah memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya. Edgar memasukkan mobilnya ke dalam garasi kemudian turun dan masuk ke dalam rumah. Lelaki itu berjalan menaiki tangga menuju kamar, dia berjalan ke kamar mandi sambil melepas pakaiannya dan melemparnya asal. Lima belas menit kemudian lelaki itu telah berganti dengan pakaian tidur. Lelaki bertubuh kekar itu merebahkan tubuh di ranjang king size miliknya sembari menatap langit-langit kamar. Dia mulai memikirkan berbagai rencana untuk bisa memisahkan Andira dari kekasihnya. “Ini tidak bisa dibiarkan. bagaimanapun carany
“Randi, kenapa kamu datang sepagi ini?” tanya Andira terkejut dengan kedatangan sang kekasih. Lelaki itu tiba-tiba datang menenteng dua bungkusan yang entah apa isinya. Bahkan, lelaki itu datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Andira mengajak Randi masuk ke dalam rumah dan memintanya duduk di sofa ruang tamu. Lelaki itu mengikuti Andira masuk dan duduk di sofa, kemudian diikuti Andira yang duduk di sebelah pujaan hatinya itu. “Kamu kenapa datang pagi sekali?” tanyanya pada sang kekasih. Randi tersenyum kikuk mendengar pertanyaan sang kekasih. “Iya, Sayang. Aku sengaja bawain sarapan buat kamu, Ibu, sama Ayah.” Randi meletakkan bungkusan yang dia bawa di atas meja. “Kenapa repot-repot bawa makanan, kami baru saja selesai sarapan. Tapi nggak apa-apa, kita makan bareng, yuk. ” Andira menerima bungkusan tersebut dari tangan Randi. “Nggak usah, Sayang. Aku baru selesai makan,” tolak Randi. “Oh, iya, itu kenapa banyak bunga di depan? Kamu mau buka toko bunga?” tanya R
Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa tiba-tiba ada dua lelaki yang menginginkan putri kesayangannya. Apakah sang putri merahasiakan sesuatu darinya? Lalu bunga-bunga itu siapa pengirimnya? Semua pemikiran itu mulai berkecamuk di kepala pria paruh baya itu. Andira yang mendengar perkataan Edgar mulai geram. Bagaimana bisa dengan mudahnya lelaki itu mengatakan ingin menikahinya, padahal dia telah berulangkali menolak pernyataan cinta lelaki di depannya tersebut. “Astaga, Ede. Apa yang kau bicarakan. Jangan bercanda, ini tidak lucu sama sekali,” ucapnya berusaha menyangkal pernyataan lelaki tersebut. “Aku sedang tidak bercanda, Andira. Aku memang sangat mencintaimu,” Edgar berkata dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tidak ada senyum yang terlihat dari sudut bibirnya. Lelaki itu menampilkan ekspresi datar di depan gadis yang dia cintai. “Tunggu, tunggu, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kenapa bisa ada dua lelaki yang menikahimu, Andira?” tanya Danu pada sang putri. Lelak
“Tuan.” Gadis itu mengibaskan tangan, tetapi tidak ada respon dari lelaki di depannya. Aldi yang menyadari hal itu menepuk bahu sang bos, membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya. “Eem … iya, kenapa?” tanya Edgar gelagapan. “Mari ikut saya ke belakang, Tuan. Biar saya bersihkan pakaian Anda, mari,” ajak Andira pada lelaki berjas coklat tersebut. Gadis berambut hitam panjang tersebut me mempersilakan Edgar untuk berjalan mengikutinya, tetapi lelaki itu menolak. “Tidak perlu.” Lelaki itu berkata sembari mengibas-ngibaskan tangan pada pakaiannya. “Tapi—.” Andira baru akan melanjutkan ucapannya, tiba-tiba manajer kafe datang menghampiri mereka. Hal itu membuat nyali Andira menciut karena takut jika atasannya itu akan memecat dirinya. “Apa yang terjadi di sini, apa kau yang menumpahkan minuman di pakaian pelanggan kita?” tanya sang manajer pada gadis itu. Andira hanya bisa menunduk dengan kaki gemetaran. “Ma-maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” jawabnya dengan bibir ber
Edgar berlari menuju meja resepsionis. Lelaki itu terburu-buru menuju rumah sakit saat mendengar kabar Andira pingsan. “Sus, pasien atas nama Andira Hutama ada di mana?” tanya lelaki yang memiliki bibir tipis itu. Dia masih berusaha mengatur napas yang masih memburu setelah berlari. “Tunggu sebentar, Pak.” Suster melihat layar monitor di hadapannya. “Nyonya Andira Hutama masih di ruang IGD, Pak. Silakan lewat sebelah sana,” jelasnya menunjuk ke lorong yang terhubung dengan IGD. Edgar berlari melewati lorong tersebut menuju ke ruang IGD. Dia membuka satu persatu tirai mencari keberadaan sang istri. Saat melihat istrinya terbaring lemah, hatinya terasa sakit. Lelaki itu belum pernah melihat sang istri dalam keadaan selemah itu. Dia berjalan menghampiri wanita yang dicintainya. “Sayang ….” Tanpa terasa air mata menetes di pipi lelaki berambut hitam itu. Edgar menoleh pada asisten rumah tangganya yang saat ini berada di samping brankar sang istri. “Apa yang terjadi, Bi?”
Keesokan paginya, Edgar terbangun saat merasakan sentuhan di pipinya. Dia perlahan membuka mata, melihat sang istri menatapnya dengan raut khawatir tampak jelas di wajahnya. “Sudah bangun, Sayang. Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa perlu memanggil dokter?” tanya Andira beruntun. Dia takut kalau sang suami masih merasa tidak nyaman pada tubuhnya. Edgar tersenyum melihat kekhawatiran sang istri. Dia tidak menyangka kalau wanita yang sempat membencinya ini bisa sekhawatir itu padanya. “Aku baik-baik saja, Sayang. Jangan terlalu khawatir, suamimu ini sangat kuat. Lihatlah otot yang melekat di perutku ini.” Edgar menarik tangan Andira dan menempelkan di bagian bawah perutnya. Andira membulatkan mata dengan kejahilan sang suami. Bagaimana bisa lelaki di depannya sesantai itu setelah apa yang dialaminya semalam. Andira mencubit otot liat di perut suaminya itu, dia kesal melihat tingkah kekanakan suaminya. Namun, tetap saja wanita cantik itu tidak bisa mengabaikan lelaki di
“Tuan, para tamu undangan sudah datang. Mereka sedang mencari Anda di luar,” ucap pria bertubuh ceking itu. Pria itu tak lain adalah asisten Roni, sebenarnya dari tadi dia sudah memperhatikan apa yang dilakukan atasannya itu. Akan tetapi, ragu untuk menghentikan tindakan mesum atasannya itu. Namun, saat dia melihat pria bertubuh tambun itu mulai melancarkan aksinya, hati kecilnya menjerit dan menuntunnya untuk menghentikan kelakuan mesum atasannya itu. “Sialan! Mereka mengganggu kesenanganku saja.” Roni menoleh ke arah Cindy. “Tunggu aku cantik, kita akan bersenang-senang nanti,” ucap pria itu sebelum dia pergi meninggalkan wanita cantik di depannya. Roni masih sempat mencuri ciuman di bibir wanita cantik di depannya. Cindy mengepalkan tangan, dia jijik karena sudah disentuh pria tua seperti Roni. Dia sama sekali tidak tertarik dengan pria tua bertubuh gemuk seperti pria mesum itu. Wanita bergidik ngeri membayangkan jika dirinya harus berhubungan intim dengan pria itu. Wani
Satu jam sebelum pesta dimulai. Terlihat seorang wanita cantik mengenakan gaun berwarna merah, berjalan masuk ke sebuah rumah mewah di Taman Indah Kapuk daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Tempat itu memang terkenal dengan hiburan malamnya yang populer karena terletak di pesisir pantai. Banyak wisatawan yang mengunjungi tempat itu hanya untuk bisa menikmati suasana keindahan langit malam. Akan tetapi, niatnya kali ini bukanlah untuk menikmati keindahan malam di tempat itu, melainkan untuk menjalankan rencana yang sudah disusun dengan matang. Sayangnya, wanita itu tidak menyadari bahwa selama ini gerak-geriknya sudah diawasi. Wanita itu berjalan masuk ke dalam rumah mewah itu tanpa menimbulkan kecurigaan bagi orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Dia menghampiri seorang pelayanan yang sedang sendirian dan sibuk meletakkan gelas di meja. “Maaf, apa kami bisa membantuku?” tanya wanita berambut pendek sebahu itu. Dia mengeluarkan sebuah amplop coklat tebal dari dalam tas
“Aldi, bereskan semua kekacauan ini. Jangan biarkan seorang pun tahu masalah ini,” perintah Edgar pada asistennya. Aldi meminta para pengawal membawa pria yang sudah babak belur di lantai ke markas mereka. Dia yakin ini adalah ulah seseorang yang sengaja ingin merusak reputasi istri atasannya. Hanya satu orang yang saat ini Aldi curigai. “Saya permisi dulu, Tuan. Kami akan menunggu Anda di luar.” Aldi menundukkan badan, kemudian keluar dari tempat itu. “Sayang, ini aku. Buka matamu.” Edgar perlahan menurunkan tangan sang istri dari wajahnya. Dia melihat sang istri masih ketakutan dengan tubuh yang bergetar. Dia tidak akan melepaskan siapa pun yang sudah mengganggu sang istri. Bukan Edgar namanya jika dia tidak bisa menemukan pelaku utama yang mendalangi semua ini. Perlahan Andira membuka mata, melihat sang suami berada di hadapannya. Sontak wanita cantik itu langsung memeluk lelaki di hadapannya. Dia menangis tersedu di pelukan sang suami. “Ede, maaf. Pria jahat itu—,
Edgar baru saja memasuki sebuah rumah mewah milik Roni Ankara, pemilik Ankara group. Pesta itu diadakan di rumah utama pemilik Ankara group itu. Pesta itu bernuansa outdoor, terletak di taman samping rumah mewah bergaya Eropa. Tampak sudah banyak para tamu undangan yang datang. Roni berjalan menghampiri Edgar yang terlihat baru datang bersama seorang wanita cantik dan asistennya. Lelaki bertubuh tambun itu terpana melihat kecantikan Andira. “Selamat datang Tuan Edgar. Rupanya Anda yang dikenal tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita, tiba-tiba bisa tertarik dengan wanita cantik ini.” Roni menjabat tangan Edgar, kemudian beralih pada Andira. Namun, saat tangannya berusaha menyentuh tangan Andira, Edgar buru-buru menepisnya. “Maaf, Tuan Roni. Wanita cantik ini adalah istri saya,” ucap Edgar singkat. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Andira, ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya sudah memiliki istri. Semua itu dia lakukan agar para rekan bisnisn
Andira membulatkan mata melihat siapa yang baru datang ke butik tempatnya berada saat ini. Bagaimana wanita itu bisa ada di sini? Apa dia membuat janji dengan suaminya? Wanita cantik yang awalnya akan masuk untuk dirias, tiba-tiba berbalik dan menghampiri sang suami. Andira memicingkan mata, seolah meminta penjelasan dari laki-laki yang kini sudah di hadapannya. Namun, sayangnya sang suami tidak peka dan tidak bereaksi. Dasar lelaki. L “Kalian janji ketemu di sini, ya?” tanya Andira setengah berbisik, mendekatkan bibirnya ke telinga sang suami. “Mana mungkin,” jawab Edgar spontan. Dia membulatkan mata, heran dengan pemikiran istrinya. Bagaimana bisa sang istri menuduhnya, apa mungkin Andira masih cemburu dengan Cindy? “Kamu jangan bicara hal yang mustahil aku lakukan, Sayang,” lanjut Edgar berusaha meyakinkan sang istri. Bisa-bisanya Andira berpikiran aneh seperti itu. Jangankan janji bertemu, melihatnya saja sudah membuat laki-laki itu jijik. Dia sudah lama tahu bagaim
Mereka berdua baru sampai di depan pintu restoran. Aldi membukakan pintu untuk sang bos. Dia berjalan mengikuti di belakang atasannya itu. Ada dua orang pelayanan yang menyambut kedatangan mereka. Para pelayanan itu mengarahkan mereka berdua ke sebuah ruangan VVIP. Saat pintu ruangan terbuka, ada satu hal yang membuat Edgar enggan untuk melanjutkan langkahnya. Ada beberapa wanita berpakaian minim sedang duduk di antara para koleganya. Kalau saja pertemuan ini tidak penting, mungkin laki-laki itu sudah langsung pergi dari sana. Meski enggan, tetapi Edgar memutuskan untuk masuk dan duduk menjauh dari koleganya. Dia merasa risi dengan kehadiran para wanita itu. Seorang pria bertubuh tambun menyambut kedatangannya, dia berjalan ke arah Edgar. “Selamat datang Tuan Edgar. Maaf kalau saya tidak menyambut Anda di luar.” Pria itu mengulurkan tangan, menjabat tangan Edgar. Dia adalah CEO grup Ankara, pria itu adalah penerus generasi ketiga dari perusahaan yang bergerak di bidan
“Tuan Edgar mencari Anda, Tuan.” Salah satu anak buah Aldi menyampaikan pesan. Aldi sengaja membiarkan dua orang anak buahnya tetap berjaga di depan kamar hotel. Dia ingin memastikan keselamatan Intan. Sat Aldi tahu niat jahat Johan Ayah tiri Intan. Dirinya menjadi sangat khawatir dengan keselamatan gadis itu. Mau tidak mau, dia harus menyiapkan beberapa orang untuk menjaganya saat dirinya pergi. Meski dia telah meminta anak buahnya untuk menjebloskan Johan ke penjara, tetapi tidak menutup kemungkinan laki-laki itu bisa cepat bebas. Aldi kembali masuk dan mengenakan pakaian. “Aku keluar dulu, ya. Tuan Edgar memanggilku, mungkin ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Kamu jangan keluar dari kamar sebelum Aku kembali.” Laki-laki itu melangkahkan kaki menuju ke arah pintu. Namun, dia berhenti tepat di depan pintu dan menoleh kembali ke arah Intan. “Ingat! Jangan keluar sebelum Aku kembali. Ada Orang-orang yang berjaga di luar, jadi kamu jangan takut,” ujar Aldi. Dia keluar da