Seorang gadis sedang duduk melamun di pojok sebuah kafe. Dia merenungi kejadian tadi siang saat sang kekasih mengajak bertemu dengan kedua orang tuanya. Begitu jelas penolakan yang dilakukan oleh calon mertuanya tersebut. Mungkin karena dia bukan dari keluarga kaya sehingga membuat mereka merendahkan dirinya. Hal itu membuat Andira 𝘪𝘯𝘴𝘦𝘤𝘶𝘳𝘦 pada dirinya sendiri.
Siang hari. “Memang apa yang gadis ini miliki sehingga pantas bersanding dengan kamu, Rand?” tanya seorang wanita yang berpenampilan elegan di depan Andira. “Mama bicara apa, sih? Andira memang bukan dari kalangan keluarga kaya, tetapi dia adalah wanita yang Randi cintai, Ma.” Randi berusaha membela sangat kekasih yang saat ini hanya diam menundukkan kepalanya. Dia tahu kalau gadis di sebelahnya itu pasti sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. “Mama tidak akan pernah merestui kalian berdua, begitupun dengan papamu.” Wanita itu berdiri dan mengajak sang suami pergi meninggalkan Restoran. Sementara itu di tempat lain. "Tuan, waktunya bangun. Kalau tidak, kita bisa terlambat ke kantor." ucap sang asisten, setelah memastikan Bosnya bangun dia pun keluar dari kamar sang Bos. Edgar yang masih terpejam pun mengerjapkan mata dan mulai bangun menuruni ranjang untuk berjalan menuju kamar mandi. Setelah rapi dia keluar kamar dan berjalan menuruni anak tangga menuju meja makan. Di sana Aldi sang asisten tengah menunggu kedatangannya. "Aldi … kamu duduk, temani saya sarapan." ucap Edgar. Aldi pun menurut dan duduk di seberang Bosnya. Mereka makan dalam keheningan, hanya denting sendok yang terdengar. Selesai sarapan Edgar beranjak berdiri dan berjalan keluar rumah diikuti sang asisten. Aldi berjalan mendahului Edgar untuk membukakan pintu mobil, setelah sang Bos masuk dan duduk di kursi penumpang, Aldi pun mulai masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Aldi mulai menyalakan mesin dan menginjak pedal gas untuk mengendarai mobil itu keluar dari pagar rumah mewah milik sang Bos. Mobil yang mereka tumpangi pun mulai memecah jalanan Ibukota, 30 menit berlalu mereka telah sampai di depan perusahaan E-Commerce nomor satu di negeri ini. Perusahaan yang Edgar rintis sendiri dari nol yang kini telah berkembang pesat sesuai perkembangan peminat pengguna internet. Aldi membukakan pintu dan Edgar pun keluar dari dalam mobil, lalu berjalan masuk ke dalam perusahaan diikuti oleh Aldi. Mereka memasuki lift, Aldi menekan tombol naik ke lantai 15 menuju ruangan sang Bos. Lift pun terbuka, mereka keluar dan berjalan memasuki ruangannya. "Aldi, apa saja jadwal saya hari ini?" tanya Edgar pada sang asisten. "Hari ini kita ada pertemuan dengan Investor, Tuan," jawab Aldi. "Baiklah, kau boleh kembali bekerja," ujarnya. "Baik, Tuan, saya permisi." pamitnya. Setelah asistennya keluar, Edgar mulai berkutat dengan laptop di meja kerjanya dan tumpukan dokumen yang harus ditandatangani olehnya. Cukup lama dia berkutat dengan laptopnya, hingga waktu menunjukkan saatnya jam makan siang. Lelaki itu menutup laptopnya dan keluar dari ruangannya, dia memasuki lift dan menekan tombol untuk turun ke lantai dasar. Sampai di lantai dasar Edgar keluar dari lift berjalan menuju tempat parkir mobil. Lelaki itu masuk ke dalam mobil dan mulai mengendarainya keluar dari perusahaan, 15 menit berkendara dia sampai pada sebuah kafe yang akhir-akhir ini menjadi tempat makan siang favoritnya. Edgar keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam kafe tersebut sembari matanya mengamati sekitar mencari sosok wanita yang telah mengganggu pikirannya. Dia duduk di salah satu kursi sambil menunggu pelayan menghampirinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba karena wanita yang ia cari sedang berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin Anda pesan, Tuan?" tanya pelayan wanita itu yang tak lain adalah Andira, wanita yang telah merebut hatinya."Seperti biasa Dira, nasi bakar seafood dan orange juice," jawab Edgar tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah cantik Andira. "Baiklah, ada lagi yang ingin Anda pesan, Tuan?" "Ya, senyummu, aku ingin melihat senyummu itu setiap saat." jawab Edgar mulai mengeluarkan kata-kata manisnya. "Maaf, Tuan …." Belum sempat Andira melanjutkan kalimatnya, Edgar sudah memotong ucapannya. "Ayolah, Andira. Jangan memanggilku dengan sebutan, Tuan, lagi. Lupakan yang kukatakan tadi, jam berapa kau pulang kerja nanti? aku akan menjemputmu." tanyanya pada Andira. "Maaf, tapi itu tidak perlu, Tuan. Saya bisa pulang sendiri." Tanpa menunggu jawaban dari Edgar, Andira berbalik dan segera pergi menuju dapur untuk menyiapkan pesanan lelaki itu. Sementara itu Edgar memandangi punggung Andira hingga tubuhnya menghilang di balik tembok. Tak berselang lama Andira keluar dari pintu dapur dengan membawa nampan berisi pesanan yang diinginkan lelaki bertubuh tinggi itu. Gadis itu berjalan menuju meja Edgar berada, dia meletakkan makanan dan minuman di meja yang ditempati lelaki itu. "Selamat menikmati, Tuan." Tanpa menunggu jawaban dari lelaki itu dia segera pergi meninggalkan meja tersebut. Edgar hanya tersenyum melihat kekesalan Andira. Kemudian dia mulai memakan makanan yang ia pesan. Ponselnya berdering, menandakan ada telepon masuk. Edgar mengambil ponsel dari saku celana dan menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan tersebut. ["Hallo,"] jawab Edgar. ["Tuan, sebentar lagi kita akan menemui Investor. Kapan Anda kembali ke kantor? Dan Tuan besar akan datang juga,"] ucap sang asisten dari seberang panggilan. Raut ketidaknyamanan terpancar jelas di wajah lelaki tampan tersebut. ["Iya, aku kembali ke kantor sekarang."] Lelaki itu pun segera menyelesaikan makan siangnya, dia berjalan menuju kasir untuk membayar. Edgar berjalan keluar kafe ke tempat di mana mobilnya terparkir, lalu dia mulai mengendarai mobilnya meninggalkan kafe untuk kembali ke kantornya. Lima belas menit kemudian dia telah sampai di depan kantor, telah ada Aldi sang asisten yang menunggunya di pintu masuk, Edgar keluar dari mobil dan berpindah ke kursi belakang. Aldi masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi pengemudi, dia mulai menginjak pedal gas mengendarainya menuju tempat mereka melakukan janji dengan investor. Empat puluh menit berlalu mereka telah sampai di sebuah restoran. Edgar turun dari mobil dan berjalan memasuki restoran tersebut diikuti Aldi, dia diarahkan ke ruang VVIP restoran oleh seorang pelayan. Edgar duduk di tempat yang telah disediakan sembari menunggu Investor datang, tak berselang lama Investor itu pun datang, mereka mulai membahas rencana bisnis yang akan mereka sepakati. Hingga kesepakatan telah ditandatangani. "Terima kasih, Pak Adam atas kerjasama Anda," ucap Edgar sambil menjabat tangan rekan bisnisnya. "Saya juga berterima kasih atas kerjasama ini Pak Edgar, kalau begitu kami permisi dulu, Pak." ucap Pak Adam. Tak berselang lama, dari pintu masuk tampak seorang lelaki paruh baya sedang berjalan menuju kearah mereka. Edgar hanya menatap lelaki itu dengan ekspresi datar, dia tidak menyangka kalau papanya akan ikut campur dengan urusan bisnisnya. Sementara ditempat lain Andira sedang bersiap-siap untuk pulang karena jam kerjanya telah selesai. Dia berjalan keluar dari kafe dan menyusuri trotoar untuk menuju halte bus. Akan tetapi, perhatiannya teralihkan oleh sebuah mobil BMW hitam yang tiba-tiba berhenti di depannya.Andira menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak ada seorang pun selain dirinya. "Lalu untuk apa mobil itu berhenti di sini?" batinnya. Kaca mobil hitam itu perlahan turun dan terlihatlah siapa pengemudinya. Orang yang berada dalam mobil itu tak lain adalah Edgar. "Astaga, kenapa aku harus bertemu laki-laki ini lagi," gumam Andira yang nampak kesal karena harus berurusan dengan Edgar lagi. "Ayo, masuklah. Aku antar kamu pulang," ucap Edgar. Andira memutar bola mata jengah dengan apa yang Edgar lakukan, pasalnya, sudah seringkali dia menolak ajakan Edgar untuk mengantarnya pulang. Akan tetapi, lelaki itu seakan tuli dengan apa yang selalu Andira katakan. "Tidak, terima kasih,Tuan. Anda tidak perlu repot-repot, karena saya bisa pulang sendiri," jawab Andira. Namun, bukan Edgar namanya jika ia langsung menyerah. Dia berusaha meyakinkan Andira untuk bersedia ikut dengannya. “Tapi ini sudah malam, Andira. Jadi, tidak mungkin ada kendaraan lain yang lewat”. Edgar berusaha
Gadis itu mengelus dada karena terkejut, dia pun menoleh dan mendapati bahwa si pemilik tangan itu adalah sang kekasih. “Astaga, kamu bikin kaget saja, Ran. Kenapa nggak bilang kalau mau kemari?” Andira mengerucutkan bibirnya. Dia kesal karena Randi tiba-tiba datang ke tempat kerjanya tanpa memberi kabar dahulu. “Maaf, Sayang, tadi aku nggak sengaja bertemu klien di dekat sini. Jadi, sekalian saja aku mampir. Aku kangen banget sama kamu.” Randi mencubit gemas pipi Andira. Pasalnya, sudah beberapa hari mereka tidak bertemu, kesibukan Randi adalah faktor utamanya. Andira menepis tangan Randi dari pipinya sebelum mengaduh. “Aduh, sakit tau. Kamu, tuh, kebiasaan banget suka nyubit pipi orang.” Andira menggerutu sambil mengelus pipinya yang memerah bekas cubitan Randi. “Salah sendiri, punya pipi gemesin. Pengen nyubit aja kan, jadinya,” jawab Randi tak mau kalah. Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepala mendengar perkataan sang kekasih, dia sudah tidak heran dengan sifat R
Keesokan paginya, Andira bangun dengan perasaan yang tak menentu. Semalaman dia memikirkan perkataan Edgar yang menyatakan cinta padanya. Gadis cantik itu tidak habis pikir bagaimana mungkin seorang lelaki kaya raya seperti Edgar bisa jatuh cinta pada seorang gadis sederhana seperti dirinya sedangkan, di luar sana masih banyak wanita yang lebih segala-galanya dari dia. “Dira, cepat bangun, Nak. Apa kamu mau terlambat bekerja hari ini?” teriak sang ibu dari dapur. “Iya, Bu, Dira sudah bangun.” Gadis itu keluar dari kamar dan berjalan ke arah dapur, dia melihat apa yang sedang dimasak oleh ibunya. Gadis yang masih memakai baju tidur itu mengambil bakwan jagung dari piring dan memakannya. Sementara sang ibu menggelengkan kepala heran melihat tingkah anak gadisnya itu. “Sudah siang cepat mandi sana lalu sarapan,” ucap Asih sambil mendorong tubuh anaknya ke kamar mandi agar segera membersihkan diri. Gadis itu segera mandi dan kembali masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian.
“Sial …!” umpatnya sambil memukul setir kemudi. Kenapa dirinya harus melihat sang papa bersama wanita itu lagi? Wanita yang telah merenggut kebahagiaannya, wanita penyebab kematian mamanya. Edgar memejamkan mata dan mengembuskan napas berat, dia berusaha menenangkan hatinya. Setelah merasa lebih baik dia kembali melajukan mobilnya. Andira yang merasakan keanehan pada Edgar pun menautkan kedua alis, “Kamu kenapa?” tanya Andira heran dengan perubahan sikap lelaki di sebelahnya itu. “Bukan urusanmu,” ketus Edgar. Andira yang mendapat jawaban ketus dari Edgar hanya bisa diam, dia memalingkan wajah dan melihat keluar jendela mobil. Gadis itu memandangi orang yang sedang berlalu lalang di jalanan. Perjalanan yang mereka tempuh tidak terlalu lama karena jarak rumah Andira dan kafe tempatnya bekerja cukup dekat. Mobil berhenti di depan kafe dan Andira pun turun. Tanpa menunggu Andira berpamitan padanya, Edgar langsung melajukan mobilnya. Andira yang melihat itu hanya diam dan
Lelaki yang duduk tak jauh dari pasangan itu hanya memandang dua orang yang sedang berpegangan tangan. Hatinya panas melihat kemesraan mereka, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan restoran tersebut. Edgar mengepalkan tangan saat berjalan keluar. Lelaki bersetelan jas biru tua tersebut melajukan mobilnya menuju kawasan perumahan Elit di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selang beberapa menit dia telah memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya. Edgar memasukkan mobilnya ke dalam garasi kemudian turun dan masuk ke dalam rumah. Lelaki itu berjalan menaiki tangga menuju kamar, dia berjalan ke kamar mandi sambil melepas pakaiannya dan melemparnya asal. Lima belas menit kemudian lelaki itu telah berganti dengan pakaian tidur. Lelaki bertubuh kekar itu merebahkan tubuh di ranjang king size miliknya sembari menatap langit-langit kamar. Dia mulai memikirkan berbagai rencana untuk bisa memisahkan Andira dari kekasihnya. “Ini tidak bisa dibiarkan. bagaimanapun carany
“Randi, kenapa kamu datang sepagi ini?” tanya Andira terkejut dengan kedatangan sang kekasih. Lelaki itu tiba-tiba datang menenteng dua bungkusan yang entah apa isinya. Bahkan, lelaki itu datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Andira mengajak Randi masuk ke dalam rumah dan memintanya duduk di sofa ruang tamu. Lelaki itu mengikuti Andira masuk dan duduk di sofa, kemudian diikuti Andira yang duduk di sebelah pujaan hatinya itu. “Kamu kenapa datang pagi sekali?” tanyanya pada sang kekasih. Randi tersenyum kikuk mendengar pertanyaan sang kekasih. “Iya, Sayang. Aku sengaja bawain sarapan buat kamu, Ibu, sama Ayah.” Randi meletakkan bungkusan yang dia bawa di atas meja. “Kenapa repot-repot bawa makanan, kami baru saja selesai sarapan. Tapi nggak apa-apa, kita makan bareng, yuk. ” Andira menerima bungkusan tersebut dari tangan Randi. “Nggak usah, Sayang. Aku baru selesai makan,” tolak Randi. “Oh, iya, itu kenapa banyak bunga di depan? Kamu mau buka toko bunga?” tanya R
Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa tiba-tiba ada dua lelaki yang menginginkan putri kesayangannya. Apakah sang putri merahasiakan sesuatu darinya? Lalu bunga-bunga itu siapa pengirimnya? Semua pemikiran itu mulai berkecamuk di kepala pria paruh baya itu. Andira yang mendengar perkataan Edgar mulai geram. Bagaimana bisa dengan mudahnya lelaki itu mengatakan ingin menikahinya, padahal dia telah berulangkali menolak pernyataan cinta lelaki di depannya tersebut. “Astaga, Ede. Apa yang kau bicarakan. Jangan bercanda, ini tidak lucu sama sekali,” ucapnya berusaha menyangkal pernyataan lelaki tersebut. “Aku sedang tidak bercanda, Andira. Aku memang sangat mencintaimu,” Edgar berkata dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tidak ada senyum yang terlihat dari sudut bibirnya. Lelaki itu menampilkan ekspresi datar di depan gadis yang dia cintai. “Tunggu, tunggu, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kenapa bisa ada dua lelaki yang menikahimu, Andira?” tanya Danu pada sang putri. Lelak
“Tuan.” Gadis itu mengibaskan tangan, tetapi tidak ada respon dari lelaki di depannya. Aldi yang menyadari hal itu menepuk bahu sang bos, membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya. “Eem … iya, kenapa?” tanya Edgar gelagapan. “Mari ikut saya ke belakang, Tuan. Biar saya bersihkan pakaian Anda, mari,” ajak Andira pada lelaki berjas coklat tersebut. Gadis berambut hitam panjang tersebut me mempersilakan Edgar untuk berjalan mengikutinya, tetapi lelaki itu menolak. “Tidak perlu.” Lelaki itu berkata sembari mengibas-ngibaskan tangan pada pakaiannya. “Tapi—.” Andira baru akan melanjutkan ucapannya, tiba-tiba manajer kafe datang menghampiri mereka. Hal itu membuat nyali Andira menciut karena takut jika atasannya itu akan memecat dirinya. “Apa yang terjadi di sini, apa kau yang menumpahkan minuman di pakaian pelanggan kita?” tanya sang manajer pada gadis itu. Andira hanya bisa menunduk dengan kaki gemetaran. “Ma-maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” jawabnya dengan bibir ber