Share

Bab. 6 Buket Bunga

  Lelaki yang duduk tak jauh dari pasangan itu hanya memandang dua orang yang sedang berpegangan tangan. Hatinya panas melihat kemesraan mereka, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan restoran tersebut. Edgar mengepalkan tangan saat berjalan keluar. 

  Lelaki bersetelan jas biru tua tersebut melajukan mobilnya menuju kawasan perumahan Elit di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. 

  Selang beberapa menit dia telah memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya. Edgar memasukkan mobilnya ke dalam garasi kemudian turun dan masuk ke dalam rumah. 

  Lelaki itu berjalan menaiki tangga menuju kamar,  dia berjalan ke kamar mandi sambil melepas pakaiannya dan melemparnya asal. Lima belas menit kemudian lelaki itu telah berganti dengan pakaian tidur. 

  Lelaki bertubuh kekar itu merebahkan tubuh di ranjang king size miliknya sembari menatap langit-langit kamar. Dia mulai memikirkan berbagai rencana untuk bisa memisahkan Andira dari kekasihnya. 

  “Ini tidak bisa dibiarkan. bagaimanapun caranya, Andira harus jadi milikku,” gumamnya. Sebelum akhirnya dia memejamkan mata dan mulai terlelap. 

  Keesokan paginya, Andira terbangun dari tidur  karena suara berisik sang ibu yang memanggil-manggil namanya. Gadis itu mengerjapkan mata sembari melihat jam di dinding kamar. Waktu menunjukkan masih pukul 05.30.

  “Dira, cepat bangun!” teriak Bu Asih dari luar kamar. 

  Gadis itu pun buru-buru turun dari ranjang dan bergegas keluar kamar untuk menghampiri sangat ibu. Memangnya apa yang membuat wanita yang telah melahirkannya itu begitu heboh di pagi hari?  

  “Kenapa Ibu teriak-teriak? Ini masih pagi, memangnya ada apa, Bu?” Tanya Andira pada sangat ibu. 

  “I-itu di luar banyak sekali bunga, Dira. Apa kamu memesan bunga?” Asih mengatur napas karena usai berlari dari teras depan ke kamar putri semata wayangnya itu, wanita paruh baya yang masih tampak cantik di usianya yang sudah menginjak kepala empat tersebut. 

  Gadis itu menautkan alisnya heran dengan perkataan sangat ibu.  Dia bingung dengan hal yang disampaikan ibunya.   Bunga apa? Dan dari mana? Lalu siapa pengirimnya? Pikiran itu seketika berkecamuk memenuhi isi kepala gadis yang rambutnya masih acak-acakan itu. 

  “Bunga apa, sih, Bu? Memangnya siapa yang pesan  bunga?” tanya Andira penasaran. 

  “Ibu juga tidak tahu, coba kamu lihat sendiri di luar,” ujar Asih pada sang putri. 

  ”Eh … tapi kamu cuci muka dulu, biar ngga keliatan muka bantalnya itu. Masa anak gadis keluar rumah penampilannya acak-acakan begitu,” imbuhnya sambil melenggang pergi meninggalkan Andira. 

  Gadis itu begegas masuk ke kamar mencuci muka dan menguncir asal rambutnya, lalu dia berjalan keluar menuju halaman depan rumah. Saat di depan rumah, Andira dibuat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Begitu banyak buket dan karangan bunga yang berjejer rapi. 

  Andira tampak berpikir, kira-kira siapa yang mengirim bunga-bunga itu? Apakah Randi kekasihnya? Sepertinya tidak mungkin karena dia bukan tipe laki-laki yang romantis. Lalu siapa? 

  Panggilan dari sang ibu membuyarkan lamunan gadis yang masih memakai baju tidur hello kitty itu. “Dir, ponsel kamu bunyi.” Sang ibu berjalan mendekat dan menyodorkan ponsel yang ada di tangannya. Dira menerima ponsel itu dan melihat nomor yang tertera di layar ponsel. Gadis berkulit putih itu mengernyit bingung karena yang meneleponnya ternyata dari nomor tidak dikenal. Awalnya dia mengabaikan panggilan itu, tetapi ponselnya berdering lagi dan panggilan tersebut tetap dari nomor yang sama. Akhirnya dia menekan tombol hijau untuk menerima panggilan tersebut.

  [“Halo, siapa ini?]” jawab Andira. 

  [“Apa kau sudah melihat semua bunga yang kukirim untukmu, Dira?”] ucap seseorang dari seberang panggilan. 

  Dira tampak berpikir, mencoba mengingat suara siapa yang sedang meneleponnya. Andira merasa tidak asing dengan suara tersebut hingga dia membulatkan mata ketika bisa mengenali suara siapa itu. 

  [“Kau—.”] Belum sempat gadis itu melanjutkan ucapannya, seseorang dari seberang panggilan itu memotong perkataan Andira. 

  [“Apa kau suka dengan bunga yang kukirim?”] tanya seorang lelaki dari seberang panggilan.  

  Gadis itu mendengkus kesal menanggapi pertanyaan dari lelaki  yang ada di seberang panggilan. Sudah cukup, dia tidak ingin Edgar terus mengganggunya seperti ini. 

  [“Sudah cukup. Hentikan semua ini, apa kamu sudah gila mengirim bunga pada wanita yang sudah memiliki kekasih!”] Gadis berkuncir kuda itu menaikkan nada bicaranya. Andira benar-benar kesal dengan tindakan Edgar yang suka seenaknya sendiri.

  [“Ya, aku memang sudah tergila-gila padamu dan aku tidak akan berhenti sebelum bisa mendapatkanmu, Dira.”] ucap Edgar dengan yakin. 

  [“Dasar, gila!”] Andira mulai emosi mendengar perkataan lelaki itu, tanpa menunggu jawaban dari Edgar, dia langsung mematikan sambungan telepon. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, dia tidak habis pikir bagaimana mungkin lelaki kaya raya seperti Edgar bisa menyukai gadis miskin seperti dirinya. Apa lelaki itu tidak bisa memilih wanita yang pantas untuknya hingga harus gadis miskin sepertinya yang  dia cintai. 

  Andira tampak enggan menyentuh bunga-bunga itu, dia berbalik berjalan dengan gontai kembali ke kamar. Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Dia mulai berpikir, apa yang harus dilakukan untuk bisa menghentikan kegilaan yang Edgar lakukan. Ya, dia harus membicarakan masalah rencana pernikahannya dengan Randi pada kedua orang tuanya. Semakin cepat dia menikah, maka semakin cepat pula Edgar berhenti untuk mengganggunya. 

  Gadis itu beranjak dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dengan ritual mandinya, Andira berganti pakaian kemudian keluar kamar berjalan menuju meja makan. Di sana sudah ada ayah dan ibunya yang menunggu untuk sarapan bersama. Dia duduk di kursi seberang ibunya.  Tanpa memedulikan tatapan dari kedua orang tuanya, gadis cantik itu mulai memakan masakan yang dihidangkan oleh sang ibu dengan lahap.  

  Setelah menyelesaikan sarapan, Andira mengatur napas dan mulai berbicara pada kedua orang tuanya. 

  “Bu, Yah, ada yang mau Dira katakan.” Gadis cantik itu tampak gugup saat memulai percakapan. 

  Kedua orang tuanya saling berpandangan sebelum menjawab. “Apa yang ingin kamu katakan, Nak?” tanya sang ayah. 

  “Begini. Sebenarnya Dira sama Randi berencana untuk menikah, tetapi Randi masih belum sempat datang kemari untuk berbicara pada Ayah dan Ibu,” ungkapnya. 

  “Benarkah Randi akan segera menikahimu, Nak? Lalu kapan Randi akan datang kemari dan berbicara dengan kami?” tanya sang ayah dengan wajah sumringah. 

  “Eem … itu Randi masih sibuk dengan pekerjaannya, Yah. Tapi, dia bilang akan secepatnya datang kemari untuk berbicara sama Ayah tentang rencana pernikahan kami,” ucap Andira setelah meneguk air putih. 

   “Baiklah kalau begitu, ayah akan menunggunya datang kemari untuk berbicara dengan ayah.” Danu terlihat begitu bahagia mendengar pernyataan sangat putri. Itulah yang dia harapkan selama ini, bisa melihat putri semata wayangnya menikah dengan lelaki yang dicintainya. 

  Andira tersenyum menanggapi ucapan sang ayah. Akhirnya dia lega setelah mengungkapkan niat Randi pada kedua orang tuanya. 

  “Yah, Dira hari ini libur. Boleh nggak Dira ikut ke toko bantuin Ayah?” tanyanya. 

  “Tentu saja boleh, waktu itu kamu kan, janji mau bantu menawarkan kain-kain ayah ke butik," ucap Danu sambil menaik turunkan alis. 

.

  Gadis itu tertawa melihat kelakuan sang ayah yang suka sekali menggodanya. Namun, tawanya terhenti saat mendengar suara pintu diketuk dari luar rumah. Mereka saling berpandangan seakan saling bertanya siapa kira-kira yang sepagi ini bertamu. Andira berdiri dan berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang. 

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status