Lelaki yang duduk tak jauh dari pasangan itu hanya memandang dua orang yang sedang berpegangan tangan. Hatinya panas melihat kemesraan mereka, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan restoran tersebut. Edgar mengepalkan tangan saat berjalan keluar.
Lelaki bersetelan jas biru tua tersebut melajukan mobilnya menuju kawasan perumahan Elit di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selang beberapa menit dia telah memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya. Edgar memasukkan mobilnya ke dalam garasi kemudian turun dan masuk ke dalam rumah. Lelaki itu berjalan menaiki tangga menuju kamar, dia berjalan ke kamar mandi sambil melepas pakaiannya dan melemparnya asal. Lima belas menit kemudian lelaki itu telah berganti dengan pakaian tidur. Lelaki bertubuh kekar itu merebahkan tubuh di ranjang king size miliknya sembari menatap langit-langit kamar. Dia mulai memikirkan berbagai rencana untuk bisa memisahkan Andira dari kekasihnya. “Ini tidak bisa dibiarkan. bagaimanapun caranya, Andira harus jadi milikku,” gumamnya. Sebelum akhirnya dia memejamkan mata dan mulai terlelap. Keesokan paginya, Andira terbangun dari tidur karena suara berisik sang ibu yang memanggil-manggil namanya. Gadis itu mengerjapkan mata sembari melihat jam di dinding kamar. Waktu menunjukkan masih pukul 05.30. “Dira, cepat bangun!” teriak Bu Asih dari luar kamar. Gadis itu pun buru-buru turun dari ranjang dan bergegas keluar kamar untuk menghampiri sangat ibu. Memangnya apa yang membuat wanita yang telah melahirkannya itu begitu heboh di pagi hari? “Kenapa Ibu teriak-teriak? Ini masih pagi, memangnya ada apa, Bu?” Tanya Andira pada sangat ibu. “I-itu di luar banyak sekali bunga, Dira. Apa kamu memesan bunga?” Asih mengatur napas karena usai berlari dari teras depan ke kamar putri semata wayangnya itu, wanita paruh baya yang masih tampak cantik di usianya yang sudah menginjak kepala empat tersebut. Gadis itu menautkan alisnya heran dengan perkataan sangat ibu. Dia bingung dengan hal yang disampaikan ibunya. Bunga apa? Dan dari mana? Lalu siapa pengirimnya? Pikiran itu seketika berkecamuk memenuhi isi kepala gadis yang rambutnya masih acak-acakan itu. “Bunga apa, sih, Bu? Memangnya siapa yang pesan bunga?” tanya Andira penasaran. “Ibu juga tidak tahu, coba kamu lihat sendiri di luar,” ujar Asih pada sang putri. ”Eh … tapi kamu cuci muka dulu, biar ngga keliatan muka bantalnya itu. Masa anak gadis keluar rumah penampilannya acak-acakan begitu,” imbuhnya sambil melenggang pergi meninggalkan Andira. Gadis itu begegas masuk ke kamar mencuci muka dan menguncir asal rambutnya, lalu dia berjalan keluar menuju halaman depan rumah. Saat di depan rumah, Andira dibuat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Begitu banyak buket dan karangan bunga yang berjejer rapi. Andira tampak berpikir, kira-kira siapa yang mengirim bunga-bunga itu? Apakah Randi kekasihnya? Sepertinya tidak mungkin karena dia bukan tipe laki-laki yang romantis. Lalu siapa? Panggilan dari sang ibu membuyarkan lamunan gadis yang masih memakai baju tidur hello kitty itu. “Dir, ponsel kamu bunyi.” Sang ibu berjalan mendekat dan menyodorkan ponsel yang ada di tangannya. Dira menerima ponsel itu dan melihat nomor yang tertera di layar ponsel. Gadis berkulit putih itu mengernyit bingung karena yang meneleponnya ternyata dari nomor tidak dikenal. Awalnya dia mengabaikan panggilan itu, tetapi ponselnya berdering lagi dan panggilan tersebut tetap dari nomor yang sama. Akhirnya dia menekan tombol hijau untuk menerima panggilan tersebut. [“Halo, siapa ini?]” jawab Andira. [“Apa kau sudah melihat semua bunga yang kukirim untukmu, Dira?”] ucap seseorang dari seberang panggilan. Dira tampak berpikir, mencoba mengingat suara siapa yang sedang meneleponnya. Andira merasa tidak asing dengan suara tersebut hingga dia membulatkan mata ketika bisa mengenali suara siapa itu. [“Kau—.”] Belum sempat gadis itu melanjutkan ucapannya, seseorang dari seberang panggilan itu memotong perkataan Andira. [“Apa kau suka dengan bunga yang kukirim?”] tanya seorang lelaki dari seberang panggilan. Gadis itu mendengkus kesal menanggapi pertanyaan dari lelaki yang ada di seberang panggilan. Sudah cukup, dia tidak ingin Edgar terus mengganggunya seperti ini. [“Sudah cukup. Hentikan semua ini, apa kamu sudah gila mengirim bunga pada wanita yang sudah memiliki kekasih!”] Gadis berkuncir kuda itu menaikkan nada bicaranya. Andira benar-benar kesal dengan tindakan Edgar yang suka seenaknya sendiri. [“Ya, aku memang sudah tergila-gila padamu dan aku tidak akan berhenti sebelum bisa mendapatkanmu, Dira.”] ucap Edgar dengan yakin. [“Dasar, gila!”] Andira mulai emosi mendengar perkataan lelaki itu, tanpa menunggu jawaban dari Edgar, dia langsung mematikan sambungan telepon. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, dia tidak habis pikir bagaimana mungkin lelaki kaya raya seperti Edgar bisa menyukai gadis miskin seperti dirinya. Apa lelaki itu tidak bisa memilih wanita yang pantas untuknya hingga harus gadis miskin sepertinya yang dia cintai. Andira tampak enggan menyentuh bunga-bunga itu, dia berbalik berjalan dengan gontai kembali ke kamar. Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Dia mulai berpikir, apa yang harus dilakukan untuk bisa menghentikan kegilaan yang Edgar lakukan. Ya, dia harus membicarakan masalah rencana pernikahannya dengan Randi pada kedua orang tuanya. Semakin cepat dia menikah, maka semakin cepat pula Edgar berhenti untuk mengganggunya. Gadis itu beranjak dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dengan ritual mandinya, Andira berganti pakaian kemudian keluar kamar berjalan menuju meja makan. Di sana sudah ada ayah dan ibunya yang menunggu untuk sarapan bersama. Dia duduk di kursi seberang ibunya. Tanpa memedulikan tatapan dari kedua orang tuanya, gadis cantik itu mulai memakan masakan yang dihidangkan oleh sang ibu dengan lahap. Setelah menyelesaikan sarapan, Andira mengatur napas dan mulai berbicara pada kedua orang tuanya. “Bu, Yah, ada yang mau Dira katakan.” Gadis cantik itu tampak gugup saat memulai percakapan. Kedua orang tuanya saling berpandangan sebelum menjawab. “Apa yang ingin kamu katakan, Nak?” tanya sang ayah. “Begini. Sebenarnya Dira sama Randi berencana untuk menikah, tetapi Randi masih belum sempat datang kemari untuk berbicara pada Ayah dan Ibu,” ungkapnya. “Benarkah Randi akan segera menikahimu, Nak? Lalu kapan Randi akan datang kemari dan berbicara dengan kami?” tanya sang ayah dengan wajah sumringah. “Eem … itu Randi masih sibuk dengan pekerjaannya, Yah. Tapi, dia bilang akan secepatnya datang kemari untuk berbicara sama Ayah tentang rencana pernikahan kami,” ucap Andira setelah meneguk air putih. “Baiklah kalau begitu, ayah akan menunggunya datang kemari untuk berbicara dengan ayah.” Danu terlihat begitu bahagia mendengar pernyataan sangat putri. Itulah yang dia harapkan selama ini, bisa melihat putri semata wayangnya menikah dengan lelaki yang dicintainya. Andira tersenyum menanggapi ucapan sang ayah. Akhirnya dia lega setelah mengungkapkan niat Randi pada kedua orang tuanya. “Yah, Dira hari ini libur. Boleh nggak Dira ikut ke toko bantuin Ayah?” tanyanya. “Tentu saja boleh, waktu itu kamu kan, janji mau bantu menawarkan kain-kain ayah ke butik," ucap Danu sambil menaik turunkan alis. . Gadis itu tertawa melihat kelakuan sang ayah yang suka sekali menggodanya. Namun, tawanya terhenti saat mendengar suara pintu diketuk dari luar rumah. Mereka saling berpandangan seakan saling bertanya siapa kira-kira yang sepagi ini bertamu. Andira berdiri dan berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang.“Randi, kenapa kamu datang sepagi ini?” tanya Andira terkejut dengan kedatangan sang kekasih. Lelaki itu tiba-tiba datang menenteng dua bungkusan yang entah apa isinya. Bahkan, lelaki itu datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Andira mengajak Randi masuk ke dalam rumah dan memintanya duduk di sofa ruang tamu. Lelaki itu mengikuti Andira masuk dan duduk di sofa, kemudian diikuti Andira yang duduk di sebelah pujaan hatinya itu. “Kamu kenapa datang pagi sekali?” tanyanya pada sang kekasih. Randi tersenyum kikuk mendengar pertanyaan sang kekasih. “Iya, Sayang. Aku sengaja bawain sarapan buat kamu, Ibu, sama Ayah.” Randi meletakkan bungkusan yang dia bawa di atas meja. “Kenapa repot-repot bawa makanan, kami baru saja selesai sarapan. Tapi nggak apa-apa, kita makan bareng, yuk. ” Andira menerima bungkusan tersebut dari tangan Randi. “Nggak usah, Sayang. Aku baru selesai makan,” tolak Randi. “Oh, iya, itu kenapa banyak bunga di depan? Kamu mau buka toko bunga?” tanya R
Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa tiba-tiba ada dua lelaki yang menginginkan putri kesayangannya. Apakah sang putri merahasiakan sesuatu darinya? Lalu bunga-bunga itu siapa pengirimnya? Semua pemikiran itu mulai berkecamuk di kepala pria paruh baya itu. Andira yang mendengar perkataan Edgar mulai geram. Bagaimana bisa dengan mudahnya lelaki itu mengatakan ingin menikahinya, padahal dia telah berulangkali menolak pernyataan cinta lelaki di depannya tersebut. “Astaga, Ede. Apa yang kau bicarakan. Jangan bercanda, ini tidak lucu sama sekali,” ucapnya berusaha menyangkal pernyataan lelaki tersebut. “Aku sedang tidak bercanda, Andira. Aku memang sangat mencintaimu,” Edgar berkata dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tidak ada senyum yang terlihat dari sudut bibirnya. Lelaki itu menampilkan ekspresi datar di depan gadis yang dia cintai. “Tunggu, tunggu, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kenapa bisa ada dua lelaki yang menikahimu, Andira?” tanya Danu pada sang putri. Lelak
“Tuan.” Gadis itu mengibaskan tangan, tetapi tidak ada respon dari lelaki di depannya. Aldi yang menyadari hal itu menepuk bahu sang bos, membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya. “Eem … iya, kenapa?” tanya Edgar gelagapan. “Mari ikut saya ke belakang, Tuan. Biar saya bersihkan pakaian Anda, mari,” ajak Andira pada lelaki berjas coklat tersebut. Gadis berambut hitam panjang tersebut me mempersilakan Edgar untuk berjalan mengikutinya, tetapi lelaki itu menolak. “Tidak perlu.” Lelaki itu berkata sembari mengibas-ngibaskan tangan pada pakaiannya. “Tapi—.” Andira baru akan melanjutkan ucapannya, tiba-tiba manajer kafe datang menghampiri mereka. Hal itu membuat nyali Andira menciut karena takut jika atasannya itu akan memecat dirinya. “Apa yang terjadi di sini, apa kau yang menumpahkan minuman di pakaian pelanggan kita?” tanya sang manajer pada gadis itu. Andira hanya bisa menunduk dengan kaki gemetaran. “Ma-maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” jawabnya dengan bibir ber
Aldi menoleh. “Apa yang Anda ingin saya lakukan, Tuan?” tanyanya pada sang bos. “Jangan biarkan Cindy kesini lagi, perintahkan petugas keamanan untuk melarang wanita jalang itu masuk,” perintah Edgar pada sang asisten. “Baik, Tuan. Saya akan memberitahu petugas keamanan sekarang,” jawab Aldi. Lelaki itu menutup pintu dan meninggalkan ruangan bosnya. Setelah asistennya pergi, Edgar menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia menghela napas berat memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Entah kenapa, wajah gadis pelayan kafe itu selalu memenuhi isi kepalanya. Ada perasaan hangat saat melihat senyum gadis itu, apalagi setelah melihat kepeduliannya pada orang lain. Seorang gadis sederhana yang mampu menggetarkan hatinya. Edgar berusaha menyangkal sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba singgah di hatinya, dia menegakkan tubuh dan mulai berkutat dengan laptop dan tumpukan dokumen di meja. Jari-jemarinya terlihat menari-nari di atas keyboard. Saat sedang serius bekerja,
“Ya, Tuan.” Aldi memutar badan kembali mendekat ke arah bosnya. “Cari tahu juga tentang gadis pelayan kafe itu. Aku mau hasilnya, secepatnya! ” perintah Edgar pada Aldi. “Akan saya usahakan, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu.” Aldi menutup pintu dan pergi meninggalkan ruangan bosnya. Setelah Aldi pergi, Edgar menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sembari mengembuskan napas berat. Di saat hatinya sedang resah, kenapa tiba-tiba muncul masalah berat seperti sekarang. Dia memijat kening, kepalanya terasa sakit saat memikirkan masalah yang terjadi. Namun, dia tetap memaksakan diri untuk melanjutkan pekerjaannya, kembali berkutat dengan laptop dan tumpukan dokumen di meja kerja. Tanpa terasa pagi telah berganti siang, Edgar melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan sudah saatnya jam makan siang. Awalnya dia sedikit enggan untuk beranjak dari ruangannya, tetapi ada seseorang yang ingin ditemuinya. Dia akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang
Setelah menyelesaikan pekerjaan, Edgar melihat pesan yang dikirimkan sang papa. “Restoran Jepang, apa seleranya telah berubah sekarang? Tapi, baiklah. Mari kita lihat apa yang diinginkan lelaki tua itu,” gumam Edgar. Lelaki itu heran dengan sang papa yang tiba-tiba memintanya datang ke restoran Jepang. Padahal yang dia tahu papanya tidak menyukai masakan Jepang, lalu untuk apa sang papa meminta dia datang ke restoran yang dirinya sendiri tidak menyukai masakan di tempat itu. Dia mulai curiga dengan tujuan sang papa, tetapi itu tidak mengurungkan niat Edgar untuk pergi ke restoran yang papanya pesan. Akhirnya Edgar keluar dari perusahaan dan melajukan mobilnya menuju restoran. Setelah 50 menit berkendara, Edgar tiba di depan restoran, lalu kemudian dia memarkirkan mobilnya. Lelaki itu turun kemudian, masuk ke restoran. Kedatangannya disambut oleh seorang pelayan, lalu mengantarnya ke meja tempat papanya berada. Dia melihat papanya sedang berbicara dengan beberapa yang dikenalnya
Akhirnya malam itu, dilaluinya dengan perasaan yang sangat kacau. Matanya susah terpejam, apa yang dikatakan Aldi membuatnya tidak tenang. Ditambah lagi, masalah yang ditimbulkan oleh sang papa membuat perasaannya makin tidak karuan. Dia membuka laci nakas mengeluarkan beberapa tablet, kemudian memasukkan ke dalam mulutnya. Edgar sudah sering mengkonsumsi obat tidur, meski dokter sudah melarang lelaki itu untuk terus mengkonsumsinya. Namun, kebiasaan buruk itu tidak bisa terlepas begitu saja. Tanpa terasa, efek dari obat itu mulai bereaksi, membuat lelaki itu perlahan mulai terlelap. Keesokan harinya, lelaki tampan bersetelan jas berwarna hitam itu, turun dari mobil dengan pintu yang dibukakan sang asisten. Dia masuk ke dalam gedung perusahaan dan berjalan menuju ruangannya diikuti Aldi. Sampai di depan ruangan, Aldi membukakan pintu lalu mereka berdua masuk ke ruangan. Edgar duduk di kursi kerjanya seraya menerima berkas yang diserahkan Aldi. Lelaki bersetelan jas hitam
Andira menatap pantulan dirinya di cermin, make-up natural dengan balutan kebaya berwarna ungu membuatnya semakin terlihat cantik. Dia menghela napas kemudian mengembuskannya, berusaha menetralkan perasaan yang sedang gelisah. Hari ini adalah hari penting untuknya, karena Randi dan keluarganya akan datang melamarnya. Senyum terkembang di sudut bibir gadis cantik itu karena sebentar lagi dia akan segera menikah dengan lelaki pemilik hatinya. Namun, lamunannya sirna ketika mendengar pintu kamar diketuk dari luar. Andira berjalan menuju pintu, kemudian membukanya. Terlihat seorang wanita paruh baya yang memakai kebaya dengan warna senada dengannya tersenyum, kemudian memeluknya dengan mata mulai berkaca-kaca. “Akhirnya, kamu akan segera menikah, Nak. Ibu tidak menyangka, hanya tinggal menghitung hari kamu akan segera meninggalkan ibu,” ucap sang ibu dengan memeluk putrinya. Akhirnya, apa yang diharapkan akan segera terwujud, bisa melihat putrinya menikah dengan laki-laki yang dia