Setelah menyelesaikan pekerjaan, Edgar melihat pesan yang dikirimkan sang papa. “Restoran Jepang, apa seleranya telah berubah sekarang? Tapi, baiklah. Mari kita lihat apa yang diinginkan lelaki tua itu,” gumam Edgar. Lelaki itu heran dengan sang papa yang tiba-tiba memintanya datang ke restoran Jepang. Padahal yang dia tahu papanya tidak menyukai masakan Jepang, lalu untuk apa sang papa meminta dia datang ke restoran yang dirinya sendiri tidak menyukai masakan di tempat itu. Dia mulai curiga dengan tujuan sang papa, tetapi itu tidak mengurungkan niat Edgar untuk pergi ke restoran yang papanya pesan. Akhirnya Edgar keluar dari perusahaan dan melajukan mobilnya menuju restoran. Setelah 50 menit berkendara, Edgar tiba di depan restoran, lalu kemudian dia memarkirkan mobilnya. Lelaki itu turun kemudian, masuk ke restoran. Kedatangannya disambut oleh seorang pelayan, lalu mengantarnya ke meja tempat papanya berada. Dia melihat papanya sedang berbicara dengan beberapa yang dikenalnya
Akhirnya malam itu, dilaluinya dengan perasaan yang sangat kacau. Matanya susah terpejam, apa yang dikatakan Aldi membuatnya tidak tenang. Ditambah lagi, masalah yang ditimbulkan oleh sang papa membuat perasaannya makin tidak karuan. Dia membuka laci nakas mengeluarkan beberapa tablet, kemudian memasukkan ke dalam mulutnya. Edgar sudah sering mengkonsumsi obat tidur, meski dokter sudah melarang lelaki itu untuk terus mengkonsumsinya. Namun, kebiasaan buruk itu tidak bisa terlepas begitu saja. Tanpa terasa, efek dari obat itu mulai bereaksi, membuat lelaki itu perlahan mulai terlelap. Keesokan harinya, lelaki tampan bersetelan jas berwarna hitam itu, turun dari mobil dengan pintu yang dibukakan sang asisten. Dia masuk ke dalam gedung perusahaan dan berjalan menuju ruangannya diikuti Aldi. Sampai di depan ruangan, Aldi membukakan pintu lalu mereka berdua masuk ke ruangan. Edgar duduk di kursi kerjanya seraya menerima berkas yang diserahkan Aldi. Lelaki bersetelan jas hitam
Andira menatap pantulan dirinya di cermin, make-up natural dengan balutan kebaya berwarna ungu membuatnya semakin terlihat cantik. Dia menghela napas kemudian mengembuskannya, berusaha menetralkan perasaan yang sedang gelisah. Hari ini adalah hari penting untuknya, karena Randi dan keluarganya akan datang melamarnya. Senyum terkembang di sudut bibir gadis cantik itu karena sebentar lagi dia akan segera menikah dengan lelaki pemilik hatinya. Namun, lamunannya sirna ketika mendengar pintu kamar diketuk dari luar. Andira berjalan menuju pintu, kemudian membukanya. Terlihat seorang wanita paruh baya yang memakai kebaya dengan warna senada dengannya tersenyum, kemudian memeluknya dengan mata mulai berkaca-kaca. “Akhirnya, kamu akan segera menikah, Nak. Ibu tidak menyangka, hanya tinggal menghitung hari kamu akan segera meninggalkan ibu,” ucap sang ibu dengan memeluk putrinya. Akhirnya, apa yang diharapkan akan segera terwujud, bisa melihat putrinya menikah dengan laki-laki yang dia
“Apa kau pikir, aku akan membiarkanmu menikah dengan lelaki itu, Andira? Tidak akan kubiarkan!” Edgar berteriak. Berharap gadis yang berjalan menjauhi mobilnya kembali dan menerima permintaannya. Namun, gadis itu tidak menoleh, bahkan seakan-akan tidak peduli dengan perkataannya. Edgar menatap punggung gadis itu, hingga tak terlihat masuk ke dalam rumah. Hari menjelang malam, lelaki itu memutuskan untuk tetap berada di sana tanpa memedulikan tatapan heran orang-orang yang berlalu lalang saat melihat mobilnya. Dia melihat, mulai ada beberapa mobil yang mulai terparkir di depan rumah Andira. Bahkan, dia melihat kekasih Andira turun dan berjalan masuk ke rumah gadis yang dia cinta tersebut. Edgar seperti orang bodoh karena bisa-bisanya dia menunggu sampai acara selesai. Dia melihat sesuatu yang sangat tidak diinginkan terjadi di depan matanya. Edgar memperhatikan gadis yang dia cintai sedang bergandengan tangan dengan lelaki lain. Hal itu membuatnya marah, dia tidak ingin gadis yang
Di dalam ruangannya, Edgar sedang berkutat dengan laptop dan tumpukan dokumen di meja. Sudah beberapa hari ini Edgar tidak datang ke perusahaan, dia hanya menandatangani dokumen yang dibawakan Aldi kerumahnya. Itu pun jika dia sedang berada di rumah, setiap hari dia menghabiskan waktu hanya untuk menemui Andira dan meyakinkan gadis itu agar bersedia menikah dengannya. Akan tetapi, sayangnya Andira selalu menolak dirinya. Gadis itu tetap bersikukuh tidak akan membatalkan pernikahan dengan Randi hanya untuk menikah dengannya. Walaupun Edgar sudah berulangkali mengancam gadis itu, tetapi dia seolah tidak peduli. Terdengar suara pintu diketuk dari luar. “Masuk.” Pintu terbuka, memperlihatkan wajah datar sang asisten. Aldi berjalan masuk mendekati meja kerja bosnya, kemudian lelaki itu menutup pintu. Edgar mendongakkan kepala menatap sang asisten. “Ada apa? Kenapa datang saat jam makan siang seperti sekarang, apa ada yang mau kamu katakan?” tanyanya pada sang asisten. “Ben
“Jadi, ternyata Pak bos tampan itu memaksa kamu menikah dengannya? Aku tidak menyangka orang yang aku pikir baik bisa sepicik itu. Bagaimana tanggapan Randi soal ini, Dira?” tanya Amel pada gadis di depannya. “Aku tidak berani cerita sama dia, Amel.” Andira menggeleng. Dia benar-benar sudah lelah dengan kelakuan Edgar yang terus memaksanya. Ingin sekali dia menceritakan semua pada Randi. Akan tetapi— “Harusnya kamu cerita sama Randi, Dira. Mungkin dia bisa mencari solusinya,” Amel menganjurkan sahabatnya itu. Walau bagaimanapun, dia tidak ingin terjadi hal buruk pada gadis yang sedang meminum minuman dingin yang telah tandas setengah gelas. “Bukan mencari solusi, tetapi yang ada mereka malah berantem nanti.” ucapnya lesu. “Randi harus tahu, Dira.” Amel berusaha meyakinkan Andira agar gadis itu mau berbicara pada sang kekasih. Dia yakin kalau Edgar tidak akan berhenti sampai bisa mendapatkan sahabatnya itu. Andira tersenyum melihat kepedulian sahabatnya satu ini, gadis
Keesokan paginya, Andira keluar dari kamar dengan mata sembab karena terlalu lama menangis. Hampir semalaman dia tidak bisa memejamkan mata, khawatir dengan keadaan Ayah dan ibunya. Dia bingung, apa yang harus dirinya lakukan. Jika dia melaporkan masalah penculikan orang tuanya pada polisi, Edgar mengancam akan melukai mereka. Gadis itu berjalan gontai menuju dapur, dia membuka lemari es dan mengambil satu botol air mineral, kemudian meminum isinya hingga tandas. Terdengar pintu rumahnya diketuk, gadis yang rambutnya masih berantakan itu berjalan ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian dia berjalan menuju pintu depan. Andira menguncir rambutnya asal, dia membuka pintu dan melihat ada dua orang lelaki memakai jas berwarna hitam berdiri di depan pintu rumahnya. Gadis itu tampak bingung melihat dua orang di depannya, sebelum salah satu dari mereka mulai berbicara. “Selamat pagi Nona. Kami datang untuk menjemput Anda,” ucap salah seorang dari lelaki berpakaian hitam t
Andira dan ibunya menoleh ke arah pintu. “Ibu bukakan pintu sebentar, ya?” Andira mengangguk mengiyakan ucapan ibunya. Bu Asih berjalan menuju pintu, kemudian membukanya. Tampak suaminya berdiri di sana. “Kenapa Ayah? Apa ada yang Ayah mau, sampai datang kemari mendatangi kamar putrimu,” tanya Bu Asih pada sang suami. “Ibu kenapa masih di sini? Jangan ganggu pengantin baru, Bu,” ucap Danu pada sang istri, bermaksud menggoda putrinya. Andira yang mendengar hal itu mengembuskan napas berat, gadis itu memejamkan mata. Bagaimana dia bisa lupa hari ini dirinya sudah resmi menjadi istri dari laki-laki yang tidak pernah dicintainya. Kenapa dia bisa melupakan hal itu? Lalu apa yang akan terjadi nanti kalau mereka sudah satu rumah? Memikirkannya saja sudah membuat gadis itu bergidik ngeri. Rasanya seperti ingin kabur saja, tetapi itu mustahil dilakukannya. “Astaga, iya. Kenapa ibu bisa lupa, ya?” Bu Asih menepuk keningnya sendiri. Suaminya hanya bisa menggeleng melihat tingka