Keesokan paginya, Andira keluar dari kamar dengan mata sembab karena terlalu lama menangis. Hampir semalaman dia tidak bisa memejamkan mata, khawatir dengan keadaan Ayah dan ibunya. Dia bingung, apa yang harus dirinya lakukan. Jika dia melaporkan masalah penculikan orang tuanya pada polisi, Edgar mengancam akan melukai mereka. Gadis itu berjalan gontai menuju dapur, dia membuka lemari es dan mengambil satu botol air mineral, kemudian meminum isinya hingga tandas. Terdengar pintu rumahnya diketuk, gadis yang rambutnya masih berantakan itu berjalan ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian dia berjalan menuju pintu depan. Andira menguncir rambutnya asal, dia membuka pintu dan melihat ada dua orang lelaki memakai jas berwarna hitam berdiri di depan pintu rumahnya. Gadis itu tampak bingung melihat dua orang di depannya, sebelum salah satu dari mereka mulai berbicara. “Selamat pagi Nona. Kami datang untuk menjemput Anda,” ucap salah seorang dari lelaki berpakaian hitam t
Andira dan ibunya menoleh ke arah pintu. “Ibu bukakan pintu sebentar, ya?” Andira mengangguk mengiyakan ucapan ibunya. Bu Asih berjalan menuju pintu, kemudian membukanya. Tampak suaminya berdiri di sana. “Kenapa Ayah? Apa ada yang Ayah mau, sampai datang kemari mendatangi kamar putrimu,” tanya Bu Asih pada sang suami. “Ibu kenapa masih di sini? Jangan ganggu pengantin baru, Bu,” ucap Danu pada sang istri, bermaksud menggoda putrinya. Andira yang mendengar hal itu mengembuskan napas berat, gadis itu memejamkan mata. Bagaimana dia bisa lupa hari ini dirinya sudah resmi menjadi istri dari laki-laki yang tidak pernah dicintainya. Kenapa dia bisa melupakan hal itu? Lalu apa yang akan terjadi nanti kalau mereka sudah satu rumah? Memikirkannya saja sudah membuat gadis itu bergidik ngeri. Rasanya seperti ingin kabur saja, tetapi itu mustahil dilakukannya. “Astaga, iya. Kenapa ibu bisa lupa, ya?” Bu Asih menepuk keningnya sendiri. Suaminya hanya bisa menggeleng melihat tingka
Setelah memastikan tangis istrinya mereda, Edgar menuntun sang istri ke kamarnya. Dia merebahkan sang istri di ranjang king size miliknya, kemudian menyelimuti tubuh sang istri membiarkan wanita cantik itu beristirahat. “Aku sangat mencintaimu, Sayang. Apa pun yang terjadi, kamu adalah milikku dan selamanya akan tetap seperti itu. Sekarang istirahatlah, aku akan keluar.” Edgar mencium kening istrinya, kemudian berbalik dan melangkahkan kaki keluar dari kamar. Lelaki itu berjalan menuju ruang kerjanya. Setelah memastikan tidak ada suara dan sang suami telah keluar dari kamar, Andira membuka membuka matanya yang baru saja terpejam. Dia bangun, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang, melihat sekeliling kamar bernuansa abu-abu itu yang akan menjadi tempatnya beristirahat mulai hari ini. Kamar itu begitu besar, perabotan di dalamnya pun terlihat sangat mahal. Namun, hal itu tidak membuat perasaannya bahagia. Wanita cantik itu beranjak turun dari ranjang, berjalan ke arah ba
Andira menoleh pada laki-laki yang sudah berdiri di sebelahnya, terlihat kemarahan terpancar di mata sang suami. Seketika nyalinya menciut melihat kemarahan lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu. Wanita bergaun ungu itu menatap tak acuh suaminya, dia berniat merebut ponselnya dari tangan Edgar, tetapi lelaki itu buru-buru menjauhkan ponsel miliknya. “Kembalikan ponselku,” ucap Andira pada suaminya. “Kamu tadi bicara dengan siapa?” tanya laki-laki itu pada sang istri dengan tatapan menyelidik. “Bukan urusanmu,” jawab Andira tak acuh sembari memalingkan wajah. Edgar yang melihat istrinya seolah tak acuh padanya, dibuat geram. “Aku ini suamimu. Jadi, aku berhak tahu apa yang kamu bicarakan dengan laki-laki lain!” seru Edgar dengan suara yang mulai meninggi. Tidak ingin membuat amarah suaminya memuncak, Andira menatap lelaki di sebelahnya dengan tatapan lelah. Dia menghela napas. “Baiklah, aku akan bicara. Sebenarnya tadi aku sedang berbicara dengan Randi, kamu bisa lihat
Setelah kejadian di restoran dua hari yang lalu, Andira lebih banyak diam. Dia lebih memilih mengurung diri di kamar. Wanita itu seakan telah kehilangan raganya, melihat lelaki yang dia cintai harus tersakiti karena dirinya. Namun, dia bisa apa jika dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan dia memilih antara cintanya atau orang tuanya. Wanita cantik itu termenung di balkon kamar, tanpa peduli dengan seorang laki-laki yang selalu memberikan perhatian padanya. Pintu kamar terbuka, tampak seorang laki-laki bersetelan rapi berjalan ke arah wanita cantik yang sedang termenung itu. “Sayang, sampai kapan kamu akan seperti ini?” Hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Edgar. “Aku ingin kembali bekerja di kafe,” jawab wanita cantik itu tanpa menoleh ke arah suaminya. “Tidak, kamu tidak boleh kembali bekerja di sana,” tandasnya menolak keinginan sang istri. Dia tidak ingin sang istri kembali bertemu dengan mantan kekasihnya. Jadi, mustahil bagi Edgar untuk mengizinkan Andira bekerja
Setelah menelepon Aldi, Edgar merapikan dokumen di meja dan mulai melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya. Dia berjalan bersama Aldi masuk ke dalam lift. “Bagaimana kabar pengantin baru kita ini? Sudah berhasil cetak gol kah?” Entah dari mana keberanian Aldi itu muncul. Dengan sangat santai, lelaki berkacamata itu berani meledek bosnya itu. Edgar melotot ke arah Aldi. “Bukan urusanmu.” “Tapi … roman-romanya, aku tebak kamu pasti belum berhasil menaklukkan Nyonya Edgar Hutama, kan?” Aldi masih belum puas meledek sang bos. “Apa kamu butuh bantuanku?” lanjutnya dan langsung mendapat jitakan dari Edgar. “Berhenti bercanda,” pungkas Edgar. Sementara Aldi hanya terkekeh melihat lelaki. Di depannya itu kesal. Pintu lift berbunyi menandakan kalau mereka telah sampai di lantai bawah. Mereka berdua berjalan beriringan di sepanjang lobi, suasana disana tampak sepi karena sudah banyak karyawan yang pulang. Saat mereka sudah hampir sampai di pintu keluar, tiba-tiba terlihat s
Laki-laki di balik pintu itu tersenyum mendengar percakapan sang istri dengan seseorang di telepon, yang diyakininya adalah mantan dari wanita cantik pujaan hatinya itu. Dirinya tidak menyangka, kalau sang istri akan lebih memilih pernikahan mereka dibandingkan cintanya yang telah kandas. Padahal dirinya sudah khawatir kalau sang istri akan meninggalkannya dan lebih memilih mantan kekasihnya daripada dirinya. Laki-laki itu pun menutup pintu perlahan, kemudian berbalik meninggalkan kamar sang istri. Edgar kembali masuk ke kamarnya. Laki-laki itu merebahkan dirinya di atas ranjang dengan senyum tersungging di kedua sudut bibirnya. Hatinya sedang berbunga, bahagia mendengar ucapan sang istri yang baru saja didengarnya. Edgar mulai berpikir untuk lebih mencurahkan perhatiannya pada sang istri dan berharap wanita cantik itu perlahan akan mencintainya. ¤¤¤¤¤ Keesokan paginya, Edgar bangun lebih awal dari biasanya. Dia berniat untuk menyiapkan sarapan untuk sang istri. Laki-laki itu
Tanpa siapapun tahu, ternyata sang sopir sudah lebih dahulu menghubunginya dan memberitahu Edgar kalau istrinya akan keluar rumah. Jadi, Edgar tetap bisa memantau kemana saja istrinya akan pergi. Sementara itu di dalam mobil, Andira merasa aneh karena jalan yang dilaluinya berbeda dari jalan ke arah rumah ibunya. “Pak, ini kita mau kemana?” tanyanya pada sang sopir. “Sebentar lagi kita sampai, Nyonya,” jawabnya pada sang majikan. Andira tidak mengerti dengan maksud ucapan sang sopir. “Ini maksudnya bagaimana, Pak?” Akan tetapi, Andira terbelalak saat mobil yang dia tumpangi berhenti di sebuah gedung yang sangat tidak asing baginya. Dari dalam mobil dia melihat suaminya berjalan menghampirinya dan mengetuk kaca mobil. Sekarang dia mengerti, ternyata suaminya menyuruh sang sopir membawanya ke kantor. Wanita itu menyandarkan punggung, lelah dengan perlakuan sang suami yang mengekang dirinya. “Are you okay, Sayang?” tanya Edgar saat membuka pintu mobil, kemudian laki-laki