“Kita mau ke mana?” tanya Andira bingung, namun suaminya hanya tersenyum tanpa menjawabnya. Andira hanya mengikuti langkah sang suami. Mereka keluar dari perusahaan, berjalan menuju mobil yang sudah berada di depan gedung. Edgar mengemudikan mobilnya membelah jalanan ibukota. Laki-laki itu berniat membawa sang istri menemui orang tuanya di toko tempat mereka berjualan kain. Saat di dalam mobil, Andira memberanikan diri untuk menanyakan masalah wanita yang datang ke kantor suaminya tadi. “Ehm … Ede, siapa wanita tadi dan kenapa dia mengatakan kalau kalian dijodohkan? Apa kamu membatalkan perjodohan dengan wanita itu karena aku?” Andira mencecar suaminya dengan beberapa pertanyaan. Wanita cantik bergaun abu-abu itu penasaran dengan kedatangan seorang wanita cantik berpakaian terbuka tadi. Edgar menoleh sejenak menatap istrinya, kemudian kembali fokus ke jalanan di depannya. “Apa itu penting untukmu?” tanyanya ingin tahu tanggapan sang istri. “Iya, tentu saja penting, aku
Andira terkejut saat tiba-tiba ayahnya sudah berada di warung makan tempatnya berada. “Ayah, kenapa bisa ada di sini?” tanyanya pada sang ayah. “Itu kita bicarakan nanti saja, ayah mau bawa suamimu ke toko dulu agar tidak membuat keributan lagi.” Danu menjawab sembari berjalan keluar warung. Andira mengangguk. “Ayah ke toko lebih dahulu, nanti Dira menyusul. Dira mau bicara sebentar sama Randi.” “Tidak boleh,” sahut Edgar. Dia tidak ingin sang istri dekat-dekat dengan mantan kekasihnya lagi. Andira yang melihat suaminya masih marah, mencoba menenangkan laki-laki yang masih berusaha kembali menyerang Randi. “Ede, aku hanya akan bicara sebentar padanya, kemudian menyusulmu ke toko. Aku tidak akan kemana-mana.” Wanita bergaun biru itu menunjukkan cincin pernikahan mereka di jari manisnya, meyakinkan sang suami kalau dia tidak akan meninggalkannya. “Sudah, Yah. Bawa Edgar ke toko, sebentar lagi Dira menyusul,” lanjut Andira. Danu menganggukkan kepala, kemudian berjalan
Saat dalam perjalanan, dia terlihat sedang menghubungi seseorang. [“Halo.”] [“Iya,Tuan,”] terdengar suara seorang wanita dari seberang panggilan. [“Bawa semua dokumen yang sudah kau dapatkan itu ke kantor, aku sedang dalam perjalanan ke sana,”] ucap Danish Pada wanita dalam panggilan tersebut. [“Baik, Tuan. Saya akan membawanya ke sana sekarang.”] Panggilan terputus sebelah pihak karena Danish yang mematikannya. Setelah mematikan sambungan telepon, pria paruh baya itu kembali fokus pada jalanan yang dia lalui. Selang beberapa menit Danish sampai di gedung Hutama Group, pria itu turun dari mobil dan berjalan memasuki perusahaan. Sembari menunggu sang sekertaris di ruangannya, pria itu membuka laci dan melihat sebuah foto di dalamnya. Saat tangannya sudah menyentuh foto itu tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Hal itu membuatnya mengurungkan niat mengambil foto tersebut. “Masuk.” Danish menyahut dari dalam. Pintu terbuka, terlihat sang sekertaris masuk ke r
Edgar baru saja selesai membersihkan diri, kemudian mengganti pakaiannya dengan baju tidur. Laki-laki itu keluar kamar, berjalan masuk ke kamar sang istri. Dia melihat ke arah ranjang dan tidak menemukan istrinya di sana. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon dan melihat istrinya sedang berdiri sambil memegangi pagar pembatas. Edgar mendekati sang istri, kemudian memeluk istrinya dari belakang. Laki-laki itu menempelkan hidungnya di ceruk leher sang istri, menghirup aroma tubuh yang membuatnya candu ingin selalu berada di dekatnya. Andira yang mendapat perlakuan seperti itu dari sang suami pun mencoba melepaskan pelukan suaminya. Namun, sang suami semakin mengeratkan pelukan pada tubuhnya. “Ede, jangan seperti ini,” ucap Andira yang merasakan tubuhnya menegang akibat sentuhan sang suami. “Biarkan seperti ini sebentar, aku mohon jangan menolak lagi.” Edgar semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh sang istri sembari mencium bahunya. Andira yang sudah merasakan sekujur tub
Andira berjalan dengan tergesa-gesa menghampiri suaminya di lantai bawah. Wanita cantik itu seketika menghentikan langkah saat melihat sang suami menatapnya. Dia memperlambat langkahnya, perlahan mendekati sang suami dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Walaupun selama ini hubungannya dengan sang mertua tidak bisa dikatakan baik-baik saja, tetapi hati kecilnya terpukul saat mendengar kabar kematian orang tua dari suaminya. Edgar yang menyadari kehadiran sang istri, menoleh dan melihat istrinya menangis. Laki-laki itu berjalan mendekati sang istri. “Ada apa, Sayang? Kenapa kamu menangis?” Edgar bertanya sambil memegang bahu sang istri. Andira menatap suaminya dan berkata, “Ede, Pa-papa ….” Andira tidak sanggup melanjutkan ucapannya, sebelum akhirnya berkata, “kita harus cepat ke Rumah Sakit sekarang.” Wanita itu menarik tangan suaminya keluar menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Saat dalam perjalanan, wanita itu hanya diam menatap ke luar kaca mobil sambil
Keesokan paginya saat Andira terbangun, dia merasakan seluruh tubuhnya terasa remuk. Entah sudah berapa kali laki-laki yang masih terlelap di sampingnya itu melakukannya. Dia menatap sang suami dan memberanikan diri menyentuh wajah tampan di hadapannya. Tanpa diduga ternyata sang suami sudah terbangun dan menangkap tangannya yang masih menempel di pipi laki-laki di hadapannya. “Kamu sudah bangun, Sayang?” Edgar membuka mata dan tersenyum lembut pada sang istri yang tampak terkejut. “Jadi, dari tadi kamu sudah bangun, ya?” tanya Andira sambari melepaskan tangannya. Wanita cantik itu bangun, kemudian mencoba berdiri, tetapi dia merasakan sakit pada inti tubuhnya. Namun, Andira berusaha menahan rasa sakit itu. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, kemudian berpegangan pada tembok berusaha berjalan ke kamar mandi. Edgar yang melihat sang istri kesusahan berjalan pun bangun. “Masih sakit ya, Sayang? Sini. Biar aku gendong saja.” “Nggak usah, ini semua kan, gara-gara kamu
Pintu apartemen terbuka dengan cukup keras. Hal itu membuat gadis yang semula tertidur di sofa ruang tamu terlonjak kaget. Dia mengerjapkan mata dan melihat Aldi memasuki kamar dengan terburu-buru. Entah apa yang terjadi, tetapi gadis itu melihat ada yang aneh dari laki-laki itu. Intan berdiri, berjalan menutup pintu, kemudian menyusul Aldi ke kamarnya. Namun, saat dia mengetuk pintu, tidak ada respon dari si pemilik kamar. Gadis itu menjadi cemas, takut terjadi sesuatu pada laki-laki yang sudah sangat baik padanya itu. “Kak Aldi. Kakak kenapa? Apa telah terjadi sesuatu?” Intan menggedor pintu kamar. Tetap tidak ada sahutan sehingga gadis itu membuka paksa pintu dan berjalan masuk. Lampu kamar sudah menyala, dia mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Gadis itu berjalan ke arah kamar mandi dan mengetuk pintu. Namun, tidak ada respon dari Aldi. Intan semakin khawatir, dia terus mengetuk kasar pintu kamar mandi, berharap Aldi segera meresponnya. Akan tetapi,
“Apa Kak Aldi pernah mencintaiku?” Intan menatap Aldi dengan air mata yang terus mengalir belum mau berhenti. Gadis itu tidak mengharapkan apa pun dari laki-laki di depannya. Sekarang yang dia inginkan hanyalah menenangkan diri dan kembali pada kehidupan lamanya, di kampung. Aldi hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Intan. Laki-laki itu tidak tega melihat Intan dalam keadaan terpuruk seperti itu. Walau bagaimanapun, hati kecilnya menolak untuk menyakiti gadis cantik itu. Dirinya sudah berjanji pada Bu Marni untuk menjaga Intan, jadi dia pasti akan menepatinya. Dia mengikis jarak diantara mereka, kemudian memegang kedua pipi Intan dan menempelkan bibirnya pada bibir kenyal gadis itu. Awalnya hanya menempel, tetapi semakin lama pagutannya menjadi semakin intens dan seolah menuntut. Namun, Aldi berusaha mengembalikan kesadarannya dan melepaskan pagutan bibir mereka berdua. Dia menyatukan kening mereka sembari menyeka kedua pipi gadis itu yang masih basah oleh air mata. “Aku t
Edgar berlari menuju meja resepsionis. Lelaki itu terburu-buru menuju rumah sakit saat mendengar kabar Andira pingsan. “Sus, pasien atas nama Andira Hutama ada di mana?” tanya lelaki yang memiliki bibir tipis itu. Dia masih berusaha mengatur napas yang masih memburu setelah berlari. “Tunggu sebentar, Pak.” Suster melihat layar monitor di hadapannya. “Nyonya Andira Hutama masih di ruang IGD, Pak. Silakan lewat sebelah sana,” jelasnya menunjuk ke lorong yang terhubung dengan IGD. Edgar berlari melewati lorong tersebut menuju ke ruang IGD. Dia membuka satu persatu tirai mencari keberadaan sang istri. Saat melihat istrinya terbaring lemah, hatinya terasa sakit. Lelaki itu belum pernah melihat sang istri dalam keadaan selemah itu. Dia berjalan menghampiri wanita yang dicintainya. “Sayang ….” Tanpa terasa air mata menetes di pipi lelaki berambut hitam itu. Edgar menoleh pada asisten rumah tangganya yang saat ini berada di samping brankar sang istri. “Apa yang terjadi, Bi?”
Keesokan paginya, Edgar terbangun saat merasakan sentuhan di pipinya. Dia perlahan membuka mata, melihat sang istri menatapnya dengan raut khawatir tampak jelas di wajahnya. “Sudah bangun, Sayang. Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa perlu memanggil dokter?” tanya Andira beruntun. Dia takut kalau sang suami masih merasa tidak nyaman pada tubuhnya. Edgar tersenyum melihat kekhawatiran sang istri. Dia tidak menyangka kalau wanita yang sempat membencinya ini bisa sekhawatir itu padanya. “Aku baik-baik saja, Sayang. Jangan terlalu khawatir, suamimu ini sangat kuat. Lihatlah otot yang melekat di perutku ini.” Edgar menarik tangan Andira dan menempelkan di bagian bawah perutnya. Andira membulatkan mata dengan kejahilan sang suami. Bagaimana bisa lelaki di depannya sesantai itu setelah apa yang dialaminya semalam. Andira mencubit otot liat di perut suaminya itu, dia kesal melihat tingkah kekanakan suaminya. Namun, tetap saja wanita cantik itu tidak bisa mengabaikan lelaki di
“Tuan, para tamu undangan sudah datang. Mereka sedang mencari Anda di luar,” ucap pria bertubuh ceking itu. Pria itu tak lain adalah asisten Roni, sebenarnya dari tadi dia sudah memperhatikan apa yang dilakukan atasannya itu. Akan tetapi, ragu untuk menghentikan tindakan mesum atasannya itu. Namun, saat dia melihat pria bertubuh tambun itu mulai melancarkan aksinya, hati kecilnya menjerit dan menuntunnya untuk menghentikan kelakuan mesum atasannya itu. “Sialan! Mereka mengganggu kesenanganku saja.” Roni menoleh ke arah Cindy. “Tunggu aku cantik, kita akan bersenang-senang nanti,” ucap pria itu sebelum dia pergi meninggalkan wanita cantik di depannya. Roni masih sempat mencuri ciuman di bibir wanita cantik di depannya. Cindy mengepalkan tangan, dia jijik karena sudah disentuh pria tua seperti Roni. Dia sama sekali tidak tertarik dengan pria tua bertubuh gemuk seperti pria mesum itu. Wanita bergidik ngeri membayangkan jika dirinya harus berhubungan intim dengan pria itu. Wani
Satu jam sebelum pesta dimulai. Terlihat seorang wanita cantik mengenakan gaun berwarna merah, berjalan masuk ke sebuah rumah mewah di Taman Indah Kapuk daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Tempat itu memang terkenal dengan hiburan malamnya yang populer karena terletak di pesisir pantai. Banyak wisatawan yang mengunjungi tempat itu hanya untuk bisa menikmati suasana keindahan langit malam. Akan tetapi, niatnya kali ini bukanlah untuk menikmati keindahan malam di tempat itu, melainkan untuk menjalankan rencana yang sudah disusun dengan matang. Sayangnya, wanita itu tidak menyadari bahwa selama ini gerak-geriknya sudah diawasi. Wanita itu berjalan masuk ke dalam rumah mewah itu tanpa menimbulkan kecurigaan bagi orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Dia menghampiri seorang pelayanan yang sedang sendirian dan sibuk meletakkan gelas di meja. “Maaf, apa kami bisa membantuku?” tanya wanita berambut pendek sebahu itu. Dia mengeluarkan sebuah amplop coklat tebal dari dalam tas
“Aldi, bereskan semua kekacauan ini. Jangan biarkan seorang pun tahu masalah ini,” perintah Edgar pada asistennya. Aldi meminta para pengawal membawa pria yang sudah babak belur di lantai ke markas mereka. Dia yakin ini adalah ulah seseorang yang sengaja ingin merusak reputasi istri atasannya. Hanya satu orang yang saat ini Aldi curigai. “Saya permisi dulu, Tuan. Kami akan menunggu Anda di luar.” Aldi menundukkan badan, kemudian keluar dari tempat itu. “Sayang, ini aku. Buka matamu.” Edgar perlahan menurunkan tangan sang istri dari wajahnya. Dia melihat sang istri masih ketakutan dengan tubuh yang bergetar. Dia tidak akan melepaskan siapa pun yang sudah mengganggu sang istri. Bukan Edgar namanya jika dia tidak bisa menemukan pelaku utama yang mendalangi semua ini. Perlahan Andira membuka mata, melihat sang suami berada di hadapannya. Sontak wanita cantik itu langsung memeluk lelaki di hadapannya. Dia menangis tersedu di pelukan sang suami. “Ede, maaf. Pria jahat itu—,
Edgar baru saja memasuki sebuah rumah mewah milik Roni Ankara, pemilik Ankara group. Pesta itu diadakan di rumah utama pemilik Ankara group itu. Pesta itu bernuansa outdoor, terletak di taman samping rumah mewah bergaya Eropa. Tampak sudah banyak para tamu undangan yang datang. Roni berjalan menghampiri Edgar yang terlihat baru datang bersama seorang wanita cantik dan asistennya. Lelaki bertubuh tambun itu terpana melihat kecantikan Andira. “Selamat datang Tuan Edgar. Rupanya Anda yang dikenal tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita, tiba-tiba bisa tertarik dengan wanita cantik ini.” Roni menjabat tangan Edgar, kemudian beralih pada Andira. Namun, saat tangannya berusaha menyentuh tangan Andira, Edgar buru-buru menepisnya. “Maaf, Tuan Roni. Wanita cantik ini adalah istri saya,” ucap Edgar singkat. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Andira, ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya sudah memiliki istri. Semua itu dia lakukan agar para rekan bisnisn
Andira membulatkan mata melihat siapa yang baru datang ke butik tempatnya berada saat ini. Bagaimana wanita itu bisa ada di sini? Apa dia membuat janji dengan suaminya? Wanita cantik yang awalnya akan masuk untuk dirias, tiba-tiba berbalik dan menghampiri sang suami. Andira memicingkan mata, seolah meminta penjelasan dari laki-laki yang kini sudah di hadapannya. Namun, sayangnya sang suami tidak peka dan tidak bereaksi. Dasar lelaki. L “Kalian janji ketemu di sini, ya?” tanya Andira setengah berbisik, mendekatkan bibirnya ke telinga sang suami. “Mana mungkin,” jawab Edgar spontan. Dia membulatkan mata, heran dengan pemikiran istrinya. Bagaimana bisa sang istri menuduhnya, apa mungkin Andira masih cemburu dengan Cindy? “Kamu jangan bicara hal yang mustahil aku lakukan, Sayang,” lanjut Edgar berusaha meyakinkan sang istri. Bisa-bisanya Andira berpikiran aneh seperti itu. Jangankan janji bertemu, melihatnya saja sudah membuat laki-laki itu jijik. Dia sudah lama tahu bagaim
Mereka berdua baru sampai di depan pintu restoran. Aldi membukakan pintu untuk sang bos. Dia berjalan mengikuti di belakang atasannya itu. Ada dua orang pelayanan yang menyambut kedatangan mereka. Para pelayanan itu mengarahkan mereka berdua ke sebuah ruangan VVIP. Saat pintu ruangan terbuka, ada satu hal yang membuat Edgar enggan untuk melanjutkan langkahnya. Ada beberapa wanita berpakaian minim sedang duduk di antara para koleganya. Kalau saja pertemuan ini tidak penting, mungkin laki-laki itu sudah langsung pergi dari sana. Meski enggan, tetapi Edgar memutuskan untuk masuk dan duduk menjauh dari koleganya. Dia merasa risi dengan kehadiran para wanita itu. Seorang pria bertubuh tambun menyambut kedatangannya, dia berjalan ke arah Edgar. “Selamat datang Tuan Edgar. Maaf kalau saya tidak menyambut Anda di luar.” Pria itu mengulurkan tangan, menjabat tangan Edgar. Dia adalah CEO grup Ankara, pria itu adalah penerus generasi ketiga dari perusahaan yang bergerak di bidan
“Tuan Edgar mencari Anda, Tuan.” Salah satu anak buah Aldi menyampaikan pesan. Aldi sengaja membiarkan dua orang anak buahnya tetap berjaga di depan kamar hotel. Dia ingin memastikan keselamatan Intan. Sat Aldi tahu niat jahat Johan Ayah tiri Intan. Dirinya menjadi sangat khawatir dengan keselamatan gadis itu. Mau tidak mau, dia harus menyiapkan beberapa orang untuk menjaganya saat dirinya pergi. Meski dia telah meminta anak buahnya untuk menjebloskan Johan ke penjara, tetapi tidak menutup kemungkinan laki-laki itu bisa cepat bebas. Aldi kembali masuk dan mengenakan pakaian. “Aku keluar dulu, ya. Tuan Edgar memanggilku, mungkin ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Kamu jangan keluar dari kamar sebelum Aku kembali.” Laki-laki itu melangkahkan kaki menuju ke arah pintu. Namun, dia berhenti tepat di depan pintu dan menoleh kembali ke arah Intan. “Ingat! Jangan keluar sebelum Aku kembali. Ada Orang-orang yang berjaga di luar, jadi kamu jangan takut,” ujar Aldi. Dia keluar da