Edgar baru saja selesai membersihkan diri, kemudian mengganti pakaiannya dengan baju tidur. Laki-laki itu keluar kamar, berjalan masuk ke kamar sang istri. Dia melihat ke arah ranjang dan tidak menemukan istrinya di sana. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon dan melihat istrinya sedang berdiri sambil memegangi pagar pembatas. Edgar mendekati sang istri, kemudian memeluk istrinya dari belakang. Laki-laki itu menempelkan hidungnya di ceruk leher sang istri, menghirup aroma tubuh yang membuatnya candu ingin selalu berada di dekatnya. Andira yang mendapat perlakuan seperti itu dari sang suami pun mencoba melepaskan pelukan suaminya. Namun, sang suami semakin mengeratkan pelukan pada tubuhnya. “Ede, jangan seperti ini,” ucap Andira yang merasakan tubuhnya menegang akibat sentuhan sang suami. “Biarkan seperti ini sebentar, aku mohon jangan menolak lagi.” Edgar semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh sang istri sembari mencium bahunya. Andira yang sudah merasakan sekujur tub
Andira berjalan dengan tergesa-gesa menghampiri suaminya di lantai bawah. Wanita cantik itu seketika menghentikan langkah saat melihat sang suami menatapnya. Dia memperlambat langkahnya, perlahan mendekati sang suami dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Walaupun selama ini hubungannya dengan sang mertua tidak bisa dikatakan baik-baik saja, tetapi hati kecilnya terpukul saat mendengar kabar kematian orang tua dari suaminya. Edgar yang menyadari kehadiran sang istri, menoleh dan melihat istrinya menangis. Laki-laki itu berjalan mendekati sang istri. “Ada apa, Sayang? Kenapa kamu menangis?” Edgar bertanya sambil memegang bahu sang istri. Andira menatap suaminya dan berkata, “Ede, Pa-papa ….” Andira tidak sanggup melanjutkan ucapannya, sebelum akhirnya berkata, “kita harus cepat ke Rumah Sakit sekarang.” Wanita itu menarik tangan suaminya keluar menuju mobil yang sudah terparkir di halaman. Saat dalam perjalanan, wanita itu hanya diam menatap ke luar kaca mobil sambil
Keesokan paginya saat Andira terbangun, dia merasakan seluruh tubuhnya terasa remuk. Entah sudah berapa kali laki-laki yang masih terlelap di sampingnya itu melakukannya. Dia menatap sang suami dan memberanikan diri menyentuh wajah tampan di hadapannya. Tanpa diduga ternyata sang suami sudah terbangun dan menangkap tangannya yang masih menempel di pipi laki-laki di hadapannya. “Kamu sudah bangun, Sayang?” Edgar membuka mata dan tersenyum lembut pada sang istri yang tampak terkejut. “Jadi, dari tadi kamu sudah bangun, ya?” tanya Andira sambari melepaskan tangannya. Wanita cantik itu bangun, kemudian mencoba berdiri, tetapi dia merasakan sakit pada inti tubuhnya. Namun, Andira berusaha menahan rasa sakit itu. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, kemudian berpegangan pada tembok berusaha berjalan ke kamar mandi. Edgar yang melihat sang istri kesusahan berjalan pun bangun. “Masih sakit ya, Sayang? Sini. Biar aku gendong saja.” “Nggak usah, ini semua kan, gara-gara kamu
Pintu apartemen terbuka dengan cukup keras. Hal itu membuat gadis yang semula tertidur di sofa ruang tamu terlonjak kaget. Dia mengerjapkan mata dan melihat Aldi memasuki kamar dengan terburu-buru. Entah apa yang terjadi, tetapi gadis itu melihat ada yang aneh dari laki-laki itu. Intan berdiri, berjalan menutup pintu, kemudian menyusul Aldi ke kamarnya. Namun, saat dia mengetuk pintu, tidak ada respon dari si pemilik kamar. Gadis itu menjadi cemas, takut terjadi sesuatu pada laki-laki yang sudah sangat baik padanya itu. “Kak Aldi. Kakak kenapa? Apa telah terjadi sesuatu?” Intan menggedor pintu kamar. Tetap tidak ada sahutan sehingga gadis itu membuka paksa pintu dan berjalan masuk. Lampu kamar sudah menyala, dia mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Gadis itu berjalan ke arah kamar mandi dan mengetuk pintu. Namun, tidak ada respon dari Aldi. Intan semakin khawatir, dia terus mengetuk kasar pintu kamar mandi, berharap Aldi segera meresponnya. Akan tetapi,
“Apa Kak Aldi pernah mencintaiku?” Intan menatap Aldi dengan air mata yang terus mengalir belum mau berhenti. Gadis itu tidak mengharapkan apa pun dari laki-laki di depannya. Sekarang yang dia inginkan hanyalah menenangkan diri dan kembali pada kehidupan lamanya, di kampung. Aldi hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Intan. Laki-laki itu tidak tega melihat Intan dalam keadaan terpuruk seperti itu. Walau bagaimanapun, hati kecilnya menolak untuk menyakiti gadis cantik itu. Dirinya sudah berjanji pada Bu Marni untuk menjaga Intan, jadi dia pasti akan menepatinya. Dia mengikis jarak diantara mereka, kemudian memegang kedua pipi Intan dan menempelkan bibirnya pada bibir kenyal gadis itu. Awalnya hanya menempel, tetapi semakin lama pagutannya menjadi semakin intens dan seolah menuntut. Namun, Aldi berusaha mengembalikan kesadarannya dan melepaskan pagutan bibir mereka berdua. Dia menyatukan kening mereka sembari menyeka kedua pipi gadis itu yang masih basah oleh air mata. “Aku t
Andira tampak sibuk mengemas kebutuhannya dan sang suami ke dalam koper. Wanita yang sedang duduk di lantai itu menghela napas, padahal jarak Jakarta ke Bandung tidak terlalu jauh, tetapi tetap saja dia harus mengikuti keinginan suaminya untuk ikut. Andai saja dia tidak perlu ikut ke Bandung, pasti dirinya bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan ayah dan ibunya. Terdengar dering ponsel miliknya. Andira mengambil ponsel yang dua letakkan di atas tempat tidur, melihat nama yang tertera di layar adalah nomor sang mantan kekasih. Wanita cantik itu menakutkan kedua alisnya bingung. Kenapa Randi masih menghubunginya? Andira mengabaikan panggilan tersebut, tetapi ponselnya kembali berdering dan panggilan tetap dari nomor yang sama. Akhirnya, dia menekan tombol hijau pada layar untuk menerima panggilan tersebut. [“Halo,”] jawab Andira saat panggilan sudah tersambung. Namun, hanya keheningan yang dia dapatkan. Belum ada sahutan dari seberang panggilan. [“Halo.“] Andira mengula
Perjalanan dari Jakarta ke Bandung melalui jalan tol Cipularang, jarak yang harus ditempuh sekitar 184 kilometer. Waktu yang diperkirakan untuk perjalanan ini dengan kecepatan rata-rata mobil sekitar 80 kilometer per jam akan menghabiskan sekitar 3 jam 20 menit. Andira menghabiskan waktunya dengan tidur di sepanjang perjalanan. Dia adalah tipe seseorang yang cepat bosan saat bepergian dengan jarak tempuh lumayan jauh. Wanita cantik yang tampak anggun dengan memakai gaun berwarna lilac dan blazer putih itu tidak memedulikan sang suami yang dari tadi sibuk dengan laptopnya. Akan tetapi, tanpa diduga saat Andira terlelap, Edgar tidak sama sekali tidak memalingkan wajahnya dari istri cantiknya itu. Dia membayangkan bagaimana nanti saat dirinya sudah memiliki anak dari wanita cantik di sampingnya ini? Lalu, apakah Andira bersedia memiliki anak darinya? Edgar berusaha menghilangkan pikiran-pikiran yang tiba-tiba masuk ke otaknya. Lebih baik jalani saja seperti pasangan pada umumn
Keesokan harinya Andira terbangun lebih dahulu daripada sang suami. Wanita cantik itu menyibak gorden, kemudian berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia mencoba membangunkan Edgar setelah selesai mandi. Wanita yang masih mengenakan handuk mandi itu menggoyang-goyangkan tubuh suaminya, tetapi laki-laki itu tak kunjung bangun. Andira membiarkan Edgar melanjutkan tidurnya, mungkin suaminya masih lelah setelah melakukan perjalanan yang lumayan jauh. Dia berjalan ke arah jendela kaca dan melihat pemandangan kota Bandung di pagi hari. Apa yang dia lihat tak berbeda jauh dari pemandangan di Ibukota, dipenuhi bangunan pencakar langit dan lalu lintas yang cukup padat. Wanita yang rambutnya dikuncir asal itu terlalu fokus melihat bangunan di kota Bandung, sehingga dia tidak menyadari kalau suaminya sudah bangun dan berjalan ke arahnya. Dia merasakan sentuhan di pinggangnya, siapa lagi kalau bukan sang suami? “Sudah bangun, Sayang?” tanya Andira saat kepala suaminya bertump