Andira dan ibunya menoleh ke arah pintu. “Ibu bukakan pintu sebentar, ya?” Andira mengangguk mengiyakan ucapan ibunya. Bu Asih berjalan menuju pintu, kemudian membukanya. Tampak suaminya berdiri di sana. “Kenapa Ayah? Apa ada yang Ayah mau, sampai datang kemari mendatangi kamar putrimu,” tanya Bu Asih pada sang suami. “Ibu kenapa masih di sini? Jangan ganggu pengantin baru, Bu,” ucap Danu pada sang istri, bermaksud menggoda putrinya. Andira yang mendengar hal itu mengembuskan napas berat, gadis itu memejamkan mata. Bagaimana dia bisa lupa hari ini dirinya sudah resmi menjadi istri dari laki-laki yang tidak pernah dicintainya. Kenapa dia bisa melupakan hal itu? Lalu apa yang akan terjadi nanti kalau mereka sudah satu rumah? Memikirkannya saja sudah membuat gadis itu bergidik ngeri. Rasanya seperti ingin kabur saja, tetapi itu mustahil dilakukannya. “Astaga, iya. Kenapa ibu bisa lupa, ya?” Bu Asih menepuk keningnya sendiri. Suaminya hanya bisa menggeleng melihat tingka
Setelah memastikan tangis istrinya mereda, Edgar menuntun sang istri ke kamarnya. Dia merebahkan sang istri di ranjang king size miliknya, kemudian menyelimuti tubuh sang istri membiarkan wanita cantik itu beristirahat. “Aku sangat mencintaimu, Sayang. Apa pun yang terjadi, kamu adalah milikku dan selamanya akan tetap seperti itu. Sekarang istirahatlah, aku akan keluar.” Edgar mencium kening istrinya, kemudian berbalik dan melangkahkan kaki keluar dari kamar. Lelaki itu berjalan menuju ruang kerjanya. Setelah memastikan tidak ada suara dan sang suami telah keluar dari kamar, Andira membuka membuka matanya yang baru saja terpejam. Dia bangun, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang, melihat sekeliling kamar bernuansa abu-abu itu yang akan menjadi tempatnya beristirahat mulai hari ini. Kamar itu begitu besar, perabotan di dalamnya pun terlihat sangat mahal. Namun, hal itu tidak membuat perasaannya bahagia. Wanita cantik itu beranjak turun dari ranjang, berjalan ke arah ba
Andira menoleh pada laki-laki yang sudah berdiri di sebelahnya, terlihat kemarahan terpancar di mata sang suami. Seketika nyalinya menciut melihat kemarahan lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu. Wanita bergaun ungu itu menatap tak acuh suaminya, dia berniat merebut ponselnya dari tangan Edgar, tetapi lelaki itu buru-buru menjauhkan ponsel miliknya. “Kembalikan ponselku,” ucap Andira pada suaminya. “Kamu tadi bicara dengan siapa?” tanya laki-laki itu pada sang istri dengan tatapan menyelidik. “Bukan urusanmu,” jawab Andira tak acuh sembari memalingkan wajah. Edgar yang melihat istrinya seolah tak acuh padanya, dibuat geram. “Aku ini suamimu. Jadi, aku berhak tahu apa yang kamu bicarakan dengan laki-laki lain!” seru Edgar dengan suara yang mulai meninggi. Tidak ingin membuat amarah suaminya memuncak, Andira menatap lelaki di sebelahnya dengan tatapan lelah. Dia menghela napas. “Baiklah, aku akan bicara. Sebenarnya tadi aku sedang berbicara dengan Randi, kamu bisa lihat
Setelah kejadian di restoran dua hari yang lalu, Andira lebih banyak diam. Dia lebih memilih mengurung diri di kamar. Wanita itu seakan telah kehilangan raganya, melihat lelaki yang dia cintai harus tersakiti karena dirinya. Namun, dia bisa apa jika dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan dia memilih antara cintanya atau orang tuanya. Wanita cantik itu termenung di balkon kamar, tanpa peduli dengan seorang laki-laki yang selalu memberikan perhatian padanya. Pintu kamar terbuka, tampak seorang laki-laki bersetelan rapi berjalan ke arah wanita cantik yang sedang termenung itu. “Sayang, sampai kapan kamu akan seperti ini?” Hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Edgar. “Aku ingin kembali bekerja di kafe,” jawab wanita cantik itu tanpa menoleh ke arah suaminya. “Tidak, kamu tidak boleh kembali bekerja di sana,” tandasnya menolak keinginan sang istri. Dia tidak ingin sang istri kembali bertemu dengan mantan kekasihnya. Jadi, mustahil bagi Edgar untuk mengizinkan Andira bekerja
Setelah menelepon Aldi, Edgar merapikan dokumen di meja dan mulai melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya. Dia berjalan bersama Aldi masuk ke dalam lift. “Bagaimana kabar pengantin baru kita ini? Sudah berhasil cetak gol kah?” Entah dari mana keberanian Aldi itu muncul. Dengan sangat santai, lelaki berkacamata itu berani meledek bosnya itu. Edgar melotot ke arah Aldi. “Bukan urusanmu.” “Tapi … roman-romanya, aku tebak kamu pasti belum berhasil menaklukkan Nyonya Edgar Hutama, kan?” Aldi masih belum puas meledek sang bos. “Apa kamu butuh bantuanku?” lanjutnya dan langsung mendapat jitakan dari Edgar. “Berhenti bercanda,” pungkas Edgar. Sementara Aldi hanya terkekeh melihat lelaki. Di depannya itu kesal. Pintu lift berbunyi menandakan kalau mereka telah sampai di lantai bawah. Mereka berdua berjalan beriringan di sepanjang lobi, suasana disana tampak sepi karena sudah banyak karyawan yang pulang. Saat mereka sudah hampir sampai di pintu keluar, tiba-tiba terlihat s
Laki-laki di balik pintu itu tersenyum mendengar percakapan sang istri dengan seseorang di telepon, yang diyakininya adalah mantan dari wanita cantik pujaan hatinya itu. Dirinya tidak menyangka, kalau sang istri akan lebih memilih pernikahan mereka dibandingkan cintanya yang telah kandas. Padahal dirinya sudah khawatir kalau sang istri akan meninggalkannya dan lebih memilih mantan kekasihnya daripada dirinya. Laki-laki itu pun menutup pintu perlahan, kemudian berbalik meninggalkan kamar sang istri. Edgar kembali masuk ke kamarnya. Laki-laki itu merebahkan dirinya di atas ranjang dengan senyum tersungging di kedua sudut bibirnya. Hatinya sedang berbunga, bahagia mendengar ucapan sang istri yang baru saja didengarnya. Edgar mulai berpikir untuk lebih mencurahkan perhatiannya pada sang istri dan berharap wanita cantik itu perlahan akan mencintainya. ¤¤¤¤¤ Keesokan paginya, Edgar bangun lebih awal dari biasanya. Dia berniat untuk menyiapkan sarapan untuk sang istri. Laki-laki itu
Tanpa siapapun tahu, ternyata sang sopir sudah lebih dahulu menghubunginya dan memberitahu Edgar kalau istrinya akan keluar rumah. Jadi, Edgar tetap bisa memantau kemana saja istrinya akan pergi. Sementara itu di dalam mobil, Andira merasa aneh karena jalan yang dilaluinya berbeda dari jalan ke arah rumah ibunya. “Pak, ini kita mau kemana?” tanyanya pada sang sopir. “Sebentar lagi kita sampai, Nyonya,” jawabnya pada sang majikan. Andira tidak mengerti dengan maksud ucapan sang sopir. “Ini maksudnya bagaimana, Pak?” Akan tetapi, Andira terbelalak saat mobil yang dia tumpangi berhenti di sebuah gedung yang sangat tidak asing baginya. Dari dalam mobil dia melihat suaminya berjalan menghampirinya dan mengetuk kaca mobil. Sekarang dia mengerti, ternyata suaminya menyuruh sang sopir membawanya ke kantor. Wanita itu menyandarkan punggung, lelah dengan perlakuan sang suami yang mengekang dirinya. “Are you okay, Sayang?” tanya Edgar saat membuka pintu mobil, kemudian laki-laki
“Kita mau ke mana?” tanya Andira bingung, namun suaminya hanya tersenyum tanpa menjawabnya. Andira hanya mengikuti langkah sang suami. Mereka keluar dari perusahaan, berjalan menuju mobil yang sudah berada di depan gedung. Edgar mengemudikan mobilnya membelah jalanan ibukota. Laki-laki itu berniat membawa sang istri menemui orang tuanya di toko tempat mereka berjualan kain. Saat di dalam mobil, Andira memberanikan diri untuk menanyakan masalah wanita yang datang ke kantor suaminya tadi. “Ehm … Ede, siapa wanita tadi dan kenapa dia mengatakan kalau kalian dijodohkan? Apa kamu membatalkan perjodohan dengan wanita itu karena aku?” Andira mencecar suaminya dengan beberapa pertanyaan. Wanita cantik bergaun abu-abu itu penasaran dengan kedatangan seorang wanita cantik berpakaian terbuka tadi. Edgar menoleh sejenak menatap istrinya, kemudian kembali fokus ke jalanan di depannya. “Apa itu penting untukmu?” tanyanya ingin tahu tanggapan sang istri. “Iya, tentu saja penting, aku
Edgar berlari menuju meja resepsionis. Lelaki itu terburu-buru menuju rumah sakit saat mendengar kabar Andira pingsan. “Sus, pasien atas nama Andira Hutama ada di mana?” tanya lelaki yang memiliki bibir tipis itu. Dia masih berusaha mengatur napas yang masih memburu setelah berlari. “Tunggu sebentar, Pak.” Suster melihat layar monitor di hadapannya. “Nyonya Andira Hutama masih di ruang IGD, Pak. Silakan lewat sebelah sana,” jelasnya menunjuk ke lorong yang terhubung dengan IGD. Edgar berlari melewati lorong tersebut menuju ke ruang IGD. Dia membuka satu persatu tirai mencari keberadaan sang istri. Saat melihat istrinya terbaring lemah, hatinya terasa sakit. Lelaki itu belum pernah melihat sang istri dalam keadaan selemah itu. Dia berjalan menghampiri wanita yang dicintainya. “Sayang ….” Tanpa terasa air mata menetes di pipi lelaki berambut hitam itu. Edgar menoleh pada asisten rumah tangganya yang saat ini berada di samping brankar sang istri. “Apa yang terjadi, Bi?”
Keesokan paginya, Edgar terbangun saat merasakan sentuhan di pipinya. Dia perlahan membuka mata, melihat sang istri menatapnya dengan raut khawatir tampak jelas di wajahnya. “Sudah bangun, Sayang. Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa perlu memanggil dokter?” tanya Andira beruntun. Dia takut kalau sang suami masih merasa tidak nyaman pada tubuhnya. Edgar tersenyum melihat kekhawatiran sang istri. Dia tidak menyangka kalau wanita yang sempat membencinya ini bisa sekhawatir itu padanya. “Aku baik-baik saja, Sayang. Jangan terlalu khawatir, suamimu ini sangat kuat. Lihatlah otot yang melekat di perutku ini.” Edgar menarik tangan Andira dan menempelkan di bagian bawah perutnya. Andira membulatkan mata dengan kejahilan sang suami. Bagaimana bisa lelaki di depannya sesantai itu setelah apa yang dialaminya semalam. Andira mencubit otot liat di perut suaminya itu, dia kesal melihat tingkah kekanakan suaminya. Namun, tetap saja wanita cantik itu tidak bisa mengabaikan lelaki di
“Tuan, para tamu undangan sudah datang. Mereka sedang mencari Anda di luar,” ucap pria bertubuh ceking itu. Pria itu tak lain adalah asisten Roni, sebenarnya dari tadi dia sudah memperhatikan apa yang dilakukan atasannya itu. Akan tetapi, ragu untuk menghentikan tindakan mesum atasannya itu. Namun, saat dia melihat pria bertubuh tambun itu mulai melancarkan aksinya, hati kecilnya menjerit dan menuntunnya untuk menghentikan kelakuan mesum atasannya itu. “Sialan! Mereka mengganggu kesenanganku saja.” Roni menoleh ke arah Cindy. “Tunggu aku cantik, kita akan bersenang-senang nanti,” ucap pria itu sebelum dia pergi meninggalkan wanita cantik di depannya. Roni masih sempat mencuri ciuman di bibir wanita cantik di depannya. Cindy mengepalkan tangan, dia jijik karena sudah disentuh pria tua seperti Roni. Dia sama sekali tidak tertarik dengan pria tua bertubuh gemuk seperti pria mesum itu. Wanita bergidik ngeri membayangkan jika dirinya harus berhubungan intim dengan pria itu. Wani
Satu jam sebelum pesta dimulai. Terlihat seorang wanita cantik mengenakan gaun berwarna merah, berjalan masuk ke sebuah rumah mewah di Taman Indah Kapuk daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Tempat itu memang terkenal dengan hiburan malamnya yang populer karena terletak di pesisir pantai. Banyak wisatawan yang mengunjungi tempat itu hanya untuk bisa menikmati suasana keindahan langit malam. Akan tetapi, niatnya kali ini bukanlah untuk menikmati keindahan malam di tempat itu, melainkan untuk menjalankan rencana yang sudah disusun dengan matang. Sayangnya, wanita itu tidak menyadari bahwa selama ini gerak-geriknya sudah diawasi. Wanita itu berjalan masuk ke dalam rumah mewah itu tanpa menimbulkan kecurigaan bagi orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Dia menghampiri seorang pelayanan yang sedang sendirian dan sibuk meletakkan gelas di meja. “Maaf, apa kami bisa membantuku?” tanya wanita berambut pendek sebahu itu. Dia mengeluarkan sebuah amplop coklat tebal dari dalam tas
“Aldi, bereskan semua kekacauan ini. Jangan biarkan seorang pun tahu masalah ini,” perintah Edgar pada asistennya. Aldi meminta para pengawal membawa pria yang sudah babak belur di lantai ke markas mereka. Dia yakin ini adalah ulah seseorang yang sengaja ingin merusak reputasi istri atasannya. Hanya satu orang yang saat ini Aldi curigai. “Saya permisi dulu, Tuan. Kami akan menunggu Anda di luar.” Aldi menundukkan badan, kemudian keluar dari tempat itu. “Sayang, ini aku. Buka matamu.” Edgar perlahan menurunkan tangan sang istri dari wajahnya. Dia melihat sang istri masih ketakutan dengan tubuh yang bergetar. Dia tidak akan melepaskan siapa pun yang sudah mengganggu sang istri. Bukan Edgar namanya jika dia tidak bisa menemukan pelaku utama yang mendalangi semua ini. Perlahan Andira membuka mata, melihat sang suami berada di hadapannya. Sontak wanita cantik itu langsung memeluk lelaki di hadapannya. Dia menangis tersedu di pelukan sang suami. “Ede, maaf. Pria jahat itu—,
Edgar baru saja memasuki sebuah rumah mewah milik Roni Ankara, pemilik Ankara group. Pesta itu diadakan di rumah utama pemilik Ankara group itu. Pesta itu bernuansa outdoor, terletak di taman samping rumah mewah bergaya Eropa. Tampak sudah banyak para tamu undangan yang datang. Roni berjalan menghampiri Edgar yang terlihat baru datang bersama seorang wanita cantik dan asistennya. Lelaki bertubuh tambun itu terpana melihat kecantikan Andira. “Selamat datang Tuan Edgar. Rupanya Anda yang dikenal tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita, tiba-tiba bisa tertarik dengan wanita cantik ini.” Roni menjabat tangan Edgar, kemudian beralih pada Andira. Namun, saat tangannya berusaha menyentuh tangan Andira, Edgar buru-buru menepisnya. “Maaf, Tuan Roni. Wanita cantik ini adalah istri saya,” ucap Edgar singkat. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Andira, ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya sudah memiliki istri. Semua itu dia lakukan agar para rekan bisnisn
Andira membulatkan mata melihat siapa yang baru datang ke butik tempatnya berada saat ini. Bagaimana wanita itu bisa ada di sini? Apa dia membuat janji dengan suaminya? Wanita cantik yang awalnya akan masuk untuk dirias, tiba-tiba berbalik dan menghampiri sang suami. Andira memicingkan mata, seolah meminta penjelasan dari laki-laki yang kini sudah di hadapannya. Namun, sayangnya sang suami tidak peka dan tidak bereaksi. Dasar lelaki. L “Kalian janji ketemu di sini, ya?” tanya Andira setengah berbisik, mendekatkan bibirnya ke telinga sang suami. “Mana mungkin,” jawab Edgar spontan. Dia membulatkan mata, heran dengan pemikiran istrinya. Bagaimana bisa sang istri menuduhnya, apa mungkin Andira masih cemburu dengan Cindy? “Kamu jangan bicara hal yang mustahil aku lakukan, Sayang,” lanjut Edgar berusaha meyakinkan sang istri. Bisa-bisanya Andira berpikiran aneh seperti itu. Jangankan janji bertemu, melihatnya saja sudah membuat laki-laki itu jijik. Dia sudah lama tahu bagaim
Mereka berdua baru sampai di depan pintu restoran. Aldi membukakan pintu untuk sang bos. Dia berjalan mengikuti di belakang atasannya itu. Ada dua orang pelayanan yang menyambut kedatangan mereka. Para pelayanan itu mengarahkan mereka berdua ke sebuah ruangan VVIP. Saat pintu ruangan terbuka, ada satu hal yang membuat Edgar enggan untuk melanjutkan langkahnya. Ada beberapa wanita berpakaian minim sedang duduk di antara para koleganya. Kalau saja pertemuan ini tidak penting, mungkin laki-laki itu sudah langsung pergi dari sana. Meski enggan, tetapi Edgar memutuskan untuk masuk dan duduk menjauh dari koleganya. Dia merasa risi dengan kehadiran para wanita itu. Seorang pria bertubuh tambun menyambut kedatangannya, dia berjalan ke arah Edgar. “Selamat datang Tuan Edgar. Maaf kalau saya tidak menyambut Anda di luar.” Pria itu mengulurkan tangan, menjabat tangan Edgar. Dia adalah CEO grup Ankara, pria itu adalah penerus generasi ketiga dari perusahaan yang bergerak di bidan
“Tuan Edgar mencari Anda, Tuan.” Salah satu anak buah Aldi menyampaikan pesan. Aldi sengaja membiarkan dua orang anak buahnya tetap berjaga di depan kamar hotel. Dia ingin memastikan keselamatan Intan. Sat Aldi tahu niat jahat Johan Ayah tiri Intan. Dirinya menjadi sangat khawatir dengan keselamatan gadis itu. Mau tidak mau, dia harus menyiapkan beberapa orang untuk menjaganya saat dirinya pergi. Meski dia telah meminta anak buahnya untuk menjebloskan Johan ke penjara, tetapi tidak menutup kemungkinan laki-laki itu bisa cepat bebas. Aldi kembali masuk dan mengenakan pakaian. “Aku keluar dulu, ya. Tuan Edgar memanggilku, mungkin ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Kamu jangan keluar dari kamar sebelum Aku kembali.” Laki-laki itu melangkahkan kaki menuju ke arah pintu. Namun, dia berhenti tepat di depan pintu dan menoleh kembali ke arah Intan. “Ingat! Jangan keluar sebelum Aku kembali. Ada Orang-orang yang berjaga di luar, jadi kamu jangan takut,” ujar Aldi. Dia keluar da