Setelah kejadian di restoran dua hari yang lalu, Andira lebih banyak diam. Dia lebih memilih mengurung diri di kamar. Wanita itu seakan telah kehilangan raganya, melihat lelaki yang dia cintai harus tersakiti karena dirinya. Namun, dia bisa apa jika dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan dia memilih antara cintanya atau orang tuanya. Wanita cantik itu termenung di balkon kamar, tanpa peduli dengan seorang laki-laki yang selalu memberikan perhatian padanya. Pintu kamar terbuka, tampak seorang laki-laki bersetelan rapi berjalan ke arah wanita cantik yang sedang termenung itu. “Sayang, sampai kapan kamu akan seperti ini?” Hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Edgar. “Aku ingin kembali bekerja di kafe,” jawab wanita cantik itu tanpa menoleh ke arah suaminya. “Tidak, kamu tidak boleh kembali bekerja di sana,” tandasnya menolak keinginan sang istri. Dia tidak ingin sang istri kembali bertemu dengan mantan kekasihnya. Jadi, mustahil bagi Edgar untuk mengizinkan Andira bekerja
Setelah menelepon Aldi, Edgar merapikan dokumen di meja dan mulai melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya. Dia berjalan bersama Aldi masuk ke dalam lift. “Bagaimana kabar pengantin baru kita ini? Sudah berhasil cetak gol kah?” Entah dari mana keberanian Aldi itu muncul. Dengan sangat santai, lelaki berkacamata itu berani meledek bosnya itu. Edgar melotot ke arah Aldi. “Bukan urusanmu.” “Tapi … roman-romanya, aku tebak kamu pasti belum berhasil menaklukkan Nyonya Edgar Hutama, kan?” Aldi masih belum puas meledek sang bos. “Apa kamu butuh bantuanku?” lanjutnya dan langsung mendapat jitakan dari Edgar. “Berhenti bercanda,” pungkas Edgar. Sementara Aldi hanya terkekeh melihat lelaki. Di depannya itu kesal. Pintu lift berbunyi menandakan kalau mereka telah sampai di lantai bawah. Mereka berdua berjalan beriringan di sepanjang lobi, suasana disana tampak sepi karena sudah banyak karyawan yang pulang. Saat mereka sudah hampir sampai di pintu keluar, tiba-tiba terlihat s
Laki-laki di balik pintu itu tersenyum mendengar percakapan sang istri dengan seseorang di telepon, yang diyakininya adalah mantan dari wanita cantik pujaan hatinya itu. Dirinya tidak menyangka, kalau sang istri akan lebih memilih pernikahan mereka dibandingkan cintanya yang telah kandas. Padahal dirinya sudah khawatir kalau sang istri akan meninggalkannya dan lebih memilih mantan kekasihnya daripada dirinya. Laki-laki itu pun menutup pintu perlahan, kemudian berbalik meninggalkan kamar sang istri. Edgar kembali masuk ke kamarnya. Laki-laki itu merebahkan dirinya di atas ranjang dengan senyum tersungging di kedua sudut bibirnya. Hatinya sedang berbunga, bahagia mendengar ucapan sang istri yang baru saja didengarnya. Edgar mulai berpikir untuk lebih mencurahkan perhatiannya pada sang istri dan berharap wanita cantik itu perlahan akan mencintainya. ¤¤¤¤¤ Keesokan paginya, Edgar bangun lebih awal dari biasanya. Dia berniat untuk menyiapkan sarapan untuk sang istri. Laki-laki itu
Tanpa siapapun tahu, ternyata sang sopir sudah lebih dahulu menghubunginya dan memberitahu Edgar kalau istrinya akan keluar rumah. Jadi, Edgar tetap bisa memantau kemana saja istrinya akan pergi. Sementara itu di dalam mobil, Andira merasa aneh karena jalan yang dilaluinya berbeda dari jalan ke arah rumah ibunya. “Pak, ini kita mau kemana?” tanyanya pada sang sopir. “Sebentar lagi kita sampai, Nyonya,” jawabnya pada sang majikan. Andira tidak mengerti dengan maksud ucapan sang sopir. “Ini maksudnya bagaimana, Pak?” Akan tetapi, Andira terbelalak saat mobil yang dia tumpangi berhenti di sebuah gedung yang sangat tidak asing baginya. Dari dalam mobil dia melihat suaminya berjalan menghampirinya dan mengetuk kaca mobil. Sekarang dia mengerti, ternyata suaminya menyuruh sang sopir membawanya ke kantor. Wanita itu menyandarkan punggung, lelah dengan perlakuan sang suami yang mengekang dirinya. “Are you okay, Sayang?” tanya Edgar saat membuka pintu mobil, kemudian laki-laki
“Kita mau ke mana?” tanya Andira bingung, namun suaminya hanya tersenyum tanpa menjawabnya. Andira hanya mengikuti langkah sang suami. Mereka keluar dari perusahaan, berjalan menuju mobil yang sudah berada di depan gedung. Edgar mengemudikan mobilnya membelah jalanan ibukota. Laki-laki itu berniat membawa sang istri menemui orang tuanya di toko tempat mereka berjualan kain. Saat di dalam mobil, Andira memberanikan diri untuk menanyakan masalah wanita yang datang ke kantor suaminya tadi. “Ehm … Ede, siapa wanita tadi dan kenapa dia mengatakan kalau kalian dijodohkan? Apa kamu membatalkan perjodohan dengan wanita itu karena aku?” Andira mencecar suaminya dengan beberapa pertanyaan. Wanita cantik bergaun abu-abu itu penasaran dengan kedatangan seorang wanita cantik berpakaian terbuka tadi. Edgar menoleh sejenak menatap istrinya, kemudian kembali fokus ke jalanan di depannya. “Apa itu penting untukmu?” tanyanya ingin tahu tanggapan sang istri. “Iya, tentu saja penting, aku
Andira terkejut saat tiba-tiba ayahnya sudah berada di warung makan tempatnya berada. “Ayah, kenapa bisa ada di sini?” tanyanya pada sang ayah. “Itu kita bicarakan nanti saja, ayah mau bawa suamimu ke toko dulu agar tidak membuat keributan lagi.” Danu menjawab sembari berjalan keluar warung. Andira mengangguk. “Ayah ke toko lebih dahulu, nanti Dira menyusul. Dira mau bicara sebentar sama Randi.” “Tidak boleh,” sahut Edgar. Dia tidak ingin sang istri dekat-dekat dengan mantan kekasihnya lagi. Andira yang melihat suaminya masih marah, mencoba menenangkan laki-laki yang masih berusaha kembali menyerang Randi. “Ede, aku hanya akan bicara sebentar padanya, kemudian menyusulmu ke toko. Aku tidak akan kemana-mana.” Wanita bergaun biru itu menunjukkan cincin pernikahan mereka di jari manisnya, meyakinkan sang suami kalau dia tidak akan meninggalkannya. “Sudah, Yah. Bawa Edgar ke toko, sebentar lagi Dira menyusul,” lanjut Andira. Danu menganggukkan kepala, kemudian berjalan
Saat dalam perjalanan, dia terlihat sedang menghubungi seseorang. [“Halo.”] [“Iya,Tuan,”] terdengar suara seorang wanita dari seberang panggilan. [“Bawa semua dokumen yang sudah kau dapatkan itu ke kantor, aku sedang dalam perjalanan ke sana,”] ucap Danish Pada wanita dalam panggilan tersebut. [“Baik, Tuan. Saya akan membawanya ke sana sekarang.”] Panggilan terputus sebelah pihak karena Danish yang mematikannya. Setelah mematikan sambungan telepon, pria paruh baya itu kembali fokus pada jalanan yang dia lalui. Selang beberapa menit Danish sampai di gedung Hutama Group, pria itu turun dari mobil dan berjalan memasuki perusahaan. Sembari menunggu sang sekertaris di ruangannya, pria itu membuka laci dan melihat sebuah foto di dalamnya. Saat tangannya sudah menyentuh foto itu tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Hal itu membuatnya mengurungkan niat mengambil foto tersebut. “Masuk.” Danish menyahut dari dalam. Pintu terbuka, terlihat sang sekertaris masuk ke r
Edgar baru saja selesai membersihkan diri, kemudian mengganti pakaiannya dengan baju tidur. Laki-laki itu keluar kamar, berjalan masuk ke kamar sang istri. Dia melihat ke arah ranjang dan tidak menemukan istrinya di sana. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon dan melihat istrinya sedang berdiri sambil memegangi pagar pembatas. Edgar mendekati sang istri, kemudian memeluk istrinya dari belakang. Laki-laki itu menempelkan hidungnya di ceruk leher sang istri, menghirup aroma tubuh yang membuatnya candu ingin selalu berada di dekatnya. Andira yang mendapat perlakuan seperti itu dari sang suami pun mencoba melepaskan pelukan suaminya. Namun, sang suami semakin mengeratkan pelukan pada tubuhnya. “Ede, jangan seperti ini,” ucap Andira yang merasakan tubuhnya menegang akibat sentuhan sang suami. “Biarkan seperti ini sebentar, aku mohon jangan menolak lagi.” Edgar semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh sang istri sembari mencium bahunya. Andira yang sudah merasakan sekujur tub