Di dalam ruangannya, Edgar sedang berkutat dengan laptop dan tumpukan dokumen di meja. Sudah beberapa hari ini Edgar tidak datang ke perusahaan, dia hanya menandatangani dokumen yang dibawakan Aldi kerumahnya. Itu pun jika dia sedang berada di rumah, setiap hari dia menghabiskan waktu hanya untuk menemui Andira dan meyakinkan gadis itu agar bersedia menikah dengannya. Akan tetapi, sayangnya Andira selalu menolak dirinya. Gadis itu tetap bersikukuh tidak akan membatalkan pernikahan dengan Randi hanya untuk menikah dengannya. Walaupun Edgar sudah berulangkali mengancam gadis itu, tetapi dia seolah tidak peduli. Terdengar suara pintu diketuk dari luar. “Masuk.” Pintu terbuka, memperlihatkan wajah datar sang asisten. Aldi berjalan masuk mendekati meja kerja bosnya, kemudian lelaki itu menutup pintu. Edgar mendongakkan kepala menatap sang asisten. “Ada apa? Kenapa datang saat jam makan siang seperti sekarang, apa ada yang mau kamu katakan?” tanyanya pada sang asisten. “Ben
“Jadi, ternyata Pak bos tampan itu memaksa kamu menikah dengannya? Aku tidak menyangka orang yang aku pikir baik bisa sepicik itu. Bagaimana tanggapan Randi soal ini, Dira?” tanya Amel pada gadis di depannya. “Aku tidak berani cerita sama dia, Amel.” Andira menggeleng. Dia benar-benar sudah lelah dengan kelakuan Edgar yang terus memaksanya. Ingin sekali dia menceritakan semua pada Randi. Akan tetapi— “Harusnya kamu cerita sama Randi, Dira. Mungkin dia bisa mencari solusinya,” Amel menganjurkan sahabatnya itu. Walau bagaimanapun, dia tidak ingin terjadi hal buruk pada gadis yang sedang meminum minuman dingin yang telah tandas setengah gelas. “Bukan mencari solusi, tetapi yang ada mereka malah berantem nanti.” ucapnya lesu. “Randi harus tahu, Dira.” Amel berusaha meyakinkan Andira agar gadis itu mau berbicara pada sang kekasih. Dia yakin kalau Edgar tidak akan berhenti sampai bisa mendapatkan sahabatnya itu. Andira tersenyum melihat kepedulian sahabatnya satu ini, gadis
Keesokan paginya, Andira keluar dari kamar dengan mata sembab karena terlalu lama menangis. Hampir semalaman dia tidak bisa memejamkan mata, khawatir dengan keadaan Ayah dan ibunya. Dia bingung, apa yang harus dirinya lakukan. Jika dia melaporkan masalah penculikan orang tuanya pada polisi, Edgar mengancam akan melukai mereka. Gadis itu berjalan gontai menuju dapur, dia membuka lemari es dan mengambil satu botol air mineral, kemudian meminum isinya hingga tandas. Terdengar pintu rumahnya diketuk, gadis yang rambutnya masih berantakan itu berjalan ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka, kemudian dia berjalan menuju pintu depan. Andira menguncir rambutnya asal, dia membuka pintu dan melihat ada dua orang lelaki memakai jas berwarna hitam berdiri di depan pintu rumahnya. Gadis itu tampak bingung melihat dua orang di depannya, sebelum salah satu dari mereka mulai berbicara. “Selamat pagi Nona. Kami datang untuk menjemput Anda,” ucap salah seorang dari lelaki berpakaian hitam t
Andira dan ibunya menoleh ke arah pintu. “Ibu bukakan pintu sebentar, ya?” Andira mengangguk mengiyakan ucapan ibunya. Bu Asih berjalan menuju pintu, kemudian membukanya. Tampak suaminya berdiri di sana. “Kenapa Ayah? Apa ada yang Ayah mau, sampai datang kemari mendatangi kamar putrimu,” tanya Bu Asih pada sang suami. “Ibu kenapa masih di sini? Jangan ganggu pengantin baru, Bu,” ucap Danu pada sang istri, bermaksud menggoda putrinya. Andira yang mendengar hal itu mengembuskan napas berat, gadis itu memejamkan mata. Bagaimana dia bisa lupa hari ini dirinya sudah resmi menjadi istri dari laki-laki yang tidak pernah dicintainya. Kenapa dia bisa melupakan hal itu? Lalu apa yang akan terjadi nanti kalau mereka sudah satu rumah? Memikirkannya saja sudah membuat gadis itu bergidik ngeri. Rasanya seperti ingin kabur saja, tetapi itu mustahil dilakukannya. “Astaga, iya. Kenapa ibu bisa lupa, ya?” Bu Asih menepuk keningnya sendiri. Suaminya hanya bisa menggeleng melihat tingka
Setelah memastikan tangis istrinya mereda, Edgar menuntun sang istri ke kamarnya. Dia merebahkan sang istri di ranjang king size miliknya, kemudian menyelimuti tubuh sang istri membiarkan wanita cantik itu beristirahat. “Aku sangat mencintaimu, Sayang. Apa pun yang terjadi, kamu adalah milikku dan selamanya akan tetap seperti itu. Sekarang istirahatlah, aku akan keluar.” Edgar mencium kening istrinya, kemudian berbalik dan melangkahkan kaki keluar dari kamar. Lelaki itu berjalan menuju ruang kerjanya. Setelah memastikan tidak ada suara dan sang suami telah keluar dari kamar, Andira membuka membuka matanya yang baru saja terpejam. Dia bangun, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang, melihat sekeliling kamar bernuansa abu-abu itu yang akan menjadi tempatnya beristirahat mulai hari ini. Kamar itu begitu besar, perabotan di dalamnya pun terlihat sangat mahal. Namun, hal itu tidak membuat perasaannya bahagia. Wanita cantik itu beranjak turun dari ranjang, berjalan ke arah ba
Andira menoleh pada laki-laki yang sudah berdiri di sebelahnya, terlihat kemarahan terpancar di mata sang suami. Seketika nyalinya menciut melihat kemarahan lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu. Wanita bergaun ungu itu menatap tak acuh suaminya, dia berniat merebut ponselnya dari tangan Edgar, tetapi lelaki itu buru-buru menjauhkan ponsel miliknya. “Kembalikan ponselku,” ucap Andira pada suaminya. “Kamu tadi bicara dengan siapa?” tanya laki-laki itu pada sang istri dengan tatapan menyelidik. “Bukan urusanmu,” jawab Andira tak acuh sembari memalingkan wajah. Edgar yang melihat istrinya seolah tak acuh padanya, dibuat geram. “Aku ini suamimu. Jadi, aku berhak tahu apa yang kamu bicarakan dengan laki-laki lain!” seru Edgar dengan suara yang mulai meninggi. Tidak ingin membuat amarah suaminya memuncak, Andira menatap lelaki di sebelahnya dengan tatapan lelah. Dia menghela napas. “Baiklah, aku akan bicara. Sebenarnya tadi aku sedang berbicara dengan Randi, kamu bisa lihat
Setelah kejadian di restoran dua hari yang lalu, Andira lebih banyak diam. Dia lebih memilih mengurung diri di kamar. Wanita itu seakan telah kehilangan raganya, melihat lelaki yang dia cintai harus tersakiti karena dirinya. Namun, dia bisa apa jika dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan dia memilih antara cintanya atau orang tuanya. Wanita cantik itu termenung di balkon kamar, tanpa peduli dengan seorang laki-laki yang selalu memberikan perhatian padanya. Pintu kamar terbuka, tampak seorang laki-laki bersetelan rapi berjalan ke arah wanita cantik yang sedang termenung itu. “Sayang, sampai kapan kamu akan seperti ini?” Hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Edgar. “Aku ingin kembali bekerja di kafe,” jawab wanita cantik itu tanpa menoleh ke arah suaminya. “Tidak, kamu tidak boleh kembali bekerja di sana,” tandasnya menolak keinginan sang istri. Dia tidak ingin sang istri kembali bertemu dengan mantan kekasihnya. Jadi, mustahil bagi Edgar untuk mengizinkan Andira bekerja
Setelah menelepon Aldi, Edgar merapikan dokumen di meja dan mulai melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya. Dia berjalan bersama Aldi masuk ke dalam lift. “Bagaimana kabar pengantin baru kita ini? Sudah berhasil cetak gol kah?” Entah dari mana keberanian Aldi itu muncul. Dengan sangat santai, lelaki berkacamata itu berani meledek bosnya itu. Edgar melotot ke arah Aldi. “Bukan urusanmu.” “Tapi … roman-romanya, aku tebak kamu pasti belum berhasil menaklukkan Nyonya Edgar Hutama, kan?” Aldi masih belum puas meledek sang bos. “Apa kamu butuh bantuanku?” lanjutnya dan langsung mendapat jitakan dari Edgar. “Berhenti bercanda,” pungkas Edgar. Sementara Aldi hanya terkekeh melihat lelaki. Di depannya itu kesal. Pintu lift berbunyi menandakan kalau mereka telah sampai di lantai bawah. Mereka berdua berjalan beriringan di sepanjang lobi, suasana disana tampak sepi karena sudah banyak karyawan yang pulang. Saat mereka sudah hampir sampai di pintu keluar, tiba-tiba terlihat s