Andira menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak ada seorang pun selain dirinya. "Lalu untuk apa mobil itu berhenti di sini?" batinnya.
Kaca mobil hitam itu perlahan turun dan terlihatlah siapa pengemudinya. Orang yang berada dalam mobil itu tak lain adalah Edgar. "Astaga, kenapa aku harus bertemu laki-laki ini lagi," gumam Andira yang nampak kesal karena harus berurusan dengan Edgar lagi. "Ayo, masuklah. Aku antar kamu pulang," ucap Edgar. Andira memutar bola mata jengah dengan apa yang Edgar lakukan, pasalnya, sudah seringkali dia menolak ajakan Edgar untuk mengantarnya pulang. Akan tetapi, lelaki itu seakan tuli dengan apa yang selalu Andira katakan. "Tidak, terima kasih,Tuan. Anda tidak perlu repot-repot, karena saya bisa pulang sendiri," jawab Andira. Namun, bukan Edgar namanya jika ia langsung menyerah. Dia berusaha meyakinkan Andira untuk bersedia ikut dengannya. “Tapi ini sudah malam, Andira. Jadi, tidak mungkin ada kendaraan lain yang lewat”. Edgar berusaha meyakinkan gadis cantik tersebut. Andira tampak berpikir. Sekarang memang sudah larut malam dan apa yang dikatakan Edgar benar, tidak mungkin ada lagi kendaraan umum yang lewat. Akhirnya Andira bersedia diantar oleh lelaki berjas hitam itu. Dia masuk ke mobil dan duduk di sebelah kursi kemudi. Edgar mulai melajukan mobilnya, tidak banyak percakapan yang terjadi diantara mereka karena Andira lebih memilih diam dan menatap keluar jendela. Hingga, sampailah mereka di sebuah rumah sederhana dengan halaman luas dan banyak tanaman bunga di depannya. "Dira, bolehkah aku memelukmu?" tanya Edgar. Andira membulatkan matanya. "Maksud Tuan ap—." Belum sempat Andira melanjutkan ucapannya, Edgar sudah lebih dulu memeluknya. Gadis itu seketika mematung karena perlakuan Edgar. "Tuan, maaf, saya rasa ini tidak pantas," ujar Andira sambil mendorong tubuh Edgar. "Sudah kukatakan berulangkali, jangan memanggilku, Tuan. Panggil aku, Ede," ujar lelaki berparas tampan itu. "Tapi, saya tidak bisa melakukannya, Tuan. Terima kasih karena telah mengantarkan saya sampai rumah, saya permisi." Tanpa menunggu jawaban dari Edgar, Andira keluar dari mobil dan bergegas berjalan memasuki rumahnya. Edgar hanya bisa memandangi punggung Andira yang mulai menghilang masuk ke dalam rumahnya. "Aku mencintaimu, Dira. Aku ingin memilikimu, bagaimana caranya aku bisa mendapatkan cintamu, Dira," Edgar bergumam sembari mengusap wajahnya kasar. Lelaki itu menginjak pedal gas dan mengemudikan mobilnya menjauhi rumah Andira. Dalam perjalanan Edgar tidak bisa berhenti berpikir, bagaimana cara untuk mendapatkan hati gadis cantik itu? Ini pertama kali dalam hidupnya, seorang Edgar Hutama, putra Tunggal dari Danish hutama, penerus dari Hutama group, jatuh cinta pada seorang gadis yang baru dikenalnya di sebuah kafe. Perasaan yang sangat asing itu semakin membuatnya ingin memiliki gadis bermata coklat tersebut. Setelah perjalanan yang memakan waktu 40 menit, Edgar telah sampai di rumah. Dia memasukkan mobilnya ke garasi dan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Dia berjalan menaiki anak tangga menuju ke kamar. Lelaki itu masuk ke kamar dan mulai melucuti pakaiannya untuk segera membersihkan diri. Lima belas menit kemudian dia keluar dari kamar mandi dan berjalan ke walk in closet untuk mengambil baju tidur dan mengenakannya. Setelah selesai, Edgar merebahkan dirinya diatas ranjang king size miliknya dan ia pun terlelap. Keesokan paginya, Edgar tidak berangkat ke kantor, ia memutuskan akan mengerjakan pekerjaannya dari rumah. Ia meminta sang asisten untuk menggantikan pekerjaannya di kantor. Di saat Edgar sedang memeriksa file di dalam laptop, tiba-tiba terdengar pintu ruang kerjanya diketuk. "Masuk," ucap Edgar. Pintu terbuka, tampaklah seorang laki-laki paruh baya berjalan masuk dan duduk di sofa. "Tumben Papa ke sini, apa ada sesuatu yang penting, sampai Papa harus datang?" tanya Edgar. "Ede, sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini pada Papa? Apa kamu tidak bisa memaafkan Papamu ini dan melupakan masa lalu?" tanya Danish. "Apa yang Papa katakan barusan, memaafkan Papa? Apa Papa pikir dengan memaafkan Papa, bisa membuat Mama hidup lagi? Tidak, Pa. Mama tidak akan bisa kembali lagi dan semua itu karena keegoisan Papa," ucap Edgar dengan tawa hampa. "Ede, Papa, menyesal karena telah menyakiti perasaan Mamamu. Jadi, Papa mohon maafkan Papa," ujar sang papa. “Percuma saja Papa menyesali perbuatan Papa, karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah memaafkan Papa. Jadi, lebih baik Papa keluar dari rumah ini!” Bentaknya. Lelaki paruh baya itu hanya bisa mengembuskan napas berat, dia pun beranjak keluar dari ruang kerja putranya. Setelah memastikan papanya pergi, Edgar membuka laci dan mengeluarkan sebuah foto yang selama ini sering ia lihat. Foto dirinya dan sang mama. Dia sangat merindukan kehadiran mamanya. Karena perselingkuhan yang papanya lakukan sehingga, membuat sang mama terkena serangan jantung dan pergi untuk selamanya. Hal yang membuat Edgar tetap membenci papanya adalah karena sampai sekarang pria yang telah membesarkannya tersebut masih berhubungan dengan wanita penyebab kematian sang mama. Dia sudah berulangkali mencoba memisahkan sang papa dengan wanita ular itu, tetapi selalu gagal. Sang papa lebih membela wanita itu dibandingkan dirinya, putranya sendiri. Bahkan, akhir-akhir ini dia baru mengetahui bahwa orang tuanya telah memiliki anak dari wanita itu. Edgar menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kerjanya. Lelaki itu memejamkan mata, mencoba mengingat kembali momen indahnya bersama sang mama. Namun, sebuah pesan dari ponselnya membuat lelaki itu menegakkan tubuh. Dia melihat isi pesan dari aplikasi berlogo hijau tersebut yang ternyata dari asistennya.Di kafe. "Dir, nanti pulang kerja jalan, yuk?" ajak Amel pada Andira. "Jalan, kemana? Bukannya kamu pulang kerja dijemput cowok kamu?" tanya Andira. "Iya, tapi nanti dia lembur, jadi nggak bisa jemput. Oh, iya, gimana kabar Randi? Kok, sekarang aku jadi jarang melihat dia jemput kamu, malah itu si bos ganteng yang sering antar kamu pulang, kan?" tanya Amel penasaran. Andira menghela napas berat. "Iya, dia sedang sibuk akhir-akhir ini. Jadi, Randi nggak bisa antar jemput aku seperti biasa." jawabnya seraya berjalan mengantarkan pesanan pelanggan. "Apa mereka sedang tidak baik-baik saja," Amel bergumam dengan mengendikkan bahu. Hari ini kafe tampak cukup ramai. Hal itu membuat para karyawan sibuk melayani para pelanggan. Begitupun juga dengan Andira, gadis berambut panjang tersebut sampai melupakan istirahat makan siangnya karena terlalu sibuk. Setelah melayani pelanggan, Andira kembali ke tempat Amel berada. Terdengar suara ponselnya berbunyi, Andira merogoh saku celana dan mengambil ponselnya. Di sana tertera nomor seseorang yang sedang ia rindukan, gadis itu menerima panggilan tersebut. "Halo—." Belum sempat Andira melanjutkan ucapannya, dia sudah dikejutkan oleh sebuah tangan yang menepuk pundaknya.Gadis itu mengelus dada karena terkejut, dia pun menoleh dan mendapati bahwa si pemilik tangan itu adalah sang kekasih. “Astaga, kamu bikin kaget saja, Ran. Kenapa nggak bilang kalau mau kemari?” Andira mengerucutkan bibirnya. Dia kesal karena Randi tiba-tiba datang ke tempat kerjanya tanpa memberi kabar dahulu. “Maaf, Sayang, tadi aku nggak sengaja bertemu klien di dekat sini. Jadi, sekalian saja aku mampir. Aku kangen banget sama kamu.” Randi mencubit gemas pipi Andira. Pasalnya, sudah beberapa hari mereka tidak bertemu, kesibukan Randi adalah faktor utamanya. Andira menepis tangan Randi dari pipinya sebelum mengaduh. “Aduh, sakit tau. Kamu, tuh, kebiasaan banget suka nyubit pipi orang.” Andira menggerutu sambil mengelus pipinya yang memerah bekas cubitan Randi. “Salah sendiri, punya pipi gemesin. Pengen nyubit aja kan, jadinya,” jawab Randi tak mau kalah. Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepala mendengar perkataan sang kekasih, dia sudah tidak heran dengan sifat R
Keesokan paginya, Andira bangun dengan perasaan yang tak menentu. Semalaman dia memikirkan perkataan Edgar yang menyatakan cinta padanya. Gadis cantik itu tidak habis pikir bagaimana mungkin seorang lelaki kaya raya seperti Edgar bisa jatuh cinta pada seorang gadis sederhana seperti dirinya sedangkan, di luar sana masih banyak wanita yang lebih segala-galanya dari dia. “Dira, cepat bangun, Nak. Apa kamu mau terlambat bekerja hari ini?” teriak sang ibu dari dapur. “Iya, Bu, Dira sudah bangun.” Gadis itu keluar dari kamar dan berjalan ke arah dapur, dia melihat apa yang sedang dimasak oleh ibunya. Gadis yang masih memakai baju tidur itu mengambil bakwan jagung dari piring dan memakannya. Sementara sang ibu menggelengkan kepala heran melihat tingkah anak gadisnya itu. “Sudah siang cepat mandi sana lalu sarapan,” ucap Asih sambil mendorong tubuh anaknya ke kamar mandi agar segera membersihkan diri. Gadis itu segera mandi dan kembali masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian.
“Sial …!” umpatnya sambil memukul setir kemudi. Kenapa dirinya harus melihat sang papa bersama wanita itu lagi? Wanita yang telah merenggut kebahagiaannya, wanita penyebab kematian mamanya. Edgar memejamkan mata dan mengembuskan napas berat, dia berusaha menenangkan hatinya. Setelah merasa lebih baik dia kembali melajukan mobilnya. Andira yang merasakan keanehan pada Edgar pun menautkan kedua alis, “Kamu kenapa?” tanya Andira heran dengan perubahan sikap lelaki di sebelahnya itu. “Bukan urusanmu,” ketus Edgar. Andira yang mendapat jawaban ketus dari Edgar hanya bisa diam, dia memalingkan wajah dan melihat keluar jendela mobil. Gadis itu memandangi orang yang sedang berlalu lalang di jalanan. Perjalanan yang mereka tempuh tidak terlalu lama karena jarak rumah Andira dan kafe tempatnya bekerja cukup dekat. Mobil berhenti di depan kafe dan Andira pun turun. Tanpa menunggu Andira berpamitan padanya, Edgar langsung melajukan mobilnya. Andira yang melihat itu hanya diam dan
Lelaki yang duduk tak jauh dari pasangan itu hanya memandang dua orang yang sedang berpegangan tangan. Hatinya panas melihat kemesraan mereka, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan restoran tersebut. Edgar mengepalkan tangan saat berjalan keluar. Lelaki bersetelan jas biru tua tersebut melajukan mobilnya menuju kawasan perumahan Elit di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selang beberapa menit dia telah memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya. Edgar memasukkan mobilnya ke dalam garasi kemudian turun dan masuk ke dalam rumah. Lelaki itu berjalan menaiki tangga menuju kamar, dia berjalan ke kamar mandi sambil melepas pakaiannya dan melemparnya asal. Lima belas menit kemudian lelaki itu telah berganti dengan pakaian tidur. Lelaki bertubuh kekar itu merebahkan tubuh di ranjang king size miliknya sembari menatap langit-langit kamar. Dia mulai memikirkan berbagai rencana untuk bisa memisahkan Andira dari kekasihnya. “Ini tidak bisa dibiarkan. bagaimanapun carany
“Randi, kenapa kamu datang sepagi ini?” tanya Andira terkejut dengan kedatangan sang kekasih. Lelaki itu tiba-tiba datang menenteng dua bungkusan yang entah apa isinya. Bahkan, lelaki itu datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Andira mengajak Randi masuk ke dalam rumah dan memintanya duduk di sofa ruang tamu. Lelaki itu mengikuti Andira masuk dan duduk di sofa, kemudian diikuti Andira yang duduk di sebelah pujaan hatinya itu. “Kamu kenapa datang pagi sekali?” tanyanya pada sang kekasih. Randi tersenyum kikuk mendengar pertanyaan sang kekasih. “Iya, Sayang. Aku sengaja bawain sarapan buat kamu, Ibu, sama Ayah.” Randi meletakkan bungkusan yang dia bawa di atas meja. “Kenapa repot-repot bawa makanan, kami baru saja selesai sarapan. Tapi nggak apa-apa, kita makan bareng, yuk. ” Andira menerima bungkusan tersebut dari tangan Randi. “Nggak usah, Sayang. Aku baru selesai makan,” tolak Randi. “Oh, iya, itu kenapa banyak bunga di depan? Kamu mau buka toko bunga?” tanya R
Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa tiba-tiba ada dua lelaki yang menginginkan putri kesayangannya. Apakah sang putri merahasiakan sesuatu darinya? Lalu bunga-bunga itu siapa pengirimnya? Semua pemikiran itu mulai berkecamuk di kepala pria paruh baya itu. Andira yang mendengar perkataan Edgar mulai geram. Bagaimana bisa dengan mudahnya lelaki itu mengatakan ingin menikahinya, padahal dia telah berulangkali menolak pernyataan cinta lelaki di depannya tersebut. “Astaga, Ede. Apa yang kau bicarakan. Jangan bercanda, ini tidak lucu sama sekali,” ucapnya berusaha menyangkal pernyataan lelaki tersebut. “Aku sedang tidak bercanda, Andira. Aku memang sangat mencintaimu,” Edgar berkata dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tidak ada senyum yang terlihat dari sudut bibirnya. Lelaki itu menampilkan ekspresi datar di depan gadis yang dia cintai. “Tunggu, tunggu, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kenapa bisa ada dua lelaki yang menikahimu, Andira?” tanya Danu pada sang putri. Lelak
“Tuan.” Gadis itu mengibaskan tangan, tetapi tidak ada respon dari lelaki di depannya. Aldi yang menyadari hal itu menepuk bahu sang bos, membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya. “Eem … iya, kenapa?” tanya Edgar gelagapan. “Mari ikut saya ke belakang, Tuan. Biar saya bersihkan pakaian Anda, mari,” ajak Andira pada lelaki berjas coklat tersebut. Gadis berambut hitam panjang tersebut me mempersilakan Edgar untuk berjalan mengikutinya, tetapi lelaki itu menolak. “Tidak perlu.” Lelaki itu berkata sembari mengibas-ngibaskan tangan pada pakaiannya. “Tapi—.” Andira baru akan melanjutkan ucapannya, tiba-tiba manajer kafe datang menghampiri mereka. Hal itu membuat nyali Andira menciut karena takut jika atasannya itu akan memecat dirinya. “Apa yang terjadi di sini, apa kau yang menumpahkan minuman di pakaian pelanggan kita?” tanya sang manajer pada gadis itu. Andira hanya bisa menunduk dengan kaki gemetaran. “Ma-maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” jawabnya dengan bibir ber
Aldi menoleh. “Apa yang Anda ingin saya lakukan, Tuan?” tanyanya pada sang bos. “Jangan biarkan Cindy kesini lagi, perintahkan petugas keamanan untuk melarang wanita jalang itu masuk,” perintah Edgar pada sang asisten. “Baik, Tuan. Saya akan memberitahu petugas keamanan sekarang,” jawab Aldi. Lelaki itu menutup pintu dan meninggalkan ruangan bosnya. Setelah asistennya pergi, Edgar menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia menghela napas berat memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Entah kenapa, wajah gadis pelayan kafe itu selalu memenuhi isi kepalanya. Ada perasaan hangat saat melihat senyum gadis itu, apalagi setelah melihat kepeduliannya pada orang lain. Seorang gadis sederhana yang mampu menggetarkan hatinya. Edgar berusaha menyangkal sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba singgah di hatinya, dia menegakkan tubuh dan mulai berkutat dengan laptop dan tumpukan dokumen di meja. Jari-jemarinya terlihat menari-nari di atas keyboard. Saat sedang serius bekerja,