“Sial …!” umpatnya sambil memukul setir kemudi. Kenapa dirinya harus melihat sang papa bersama wanita itu lagi? Wanita yang telah merenggut kebahagiaannya, wanita penyebab kematian mamanya. Edgar memejamkan mata dan mengembuskan napas berat, dia berusaha menenangkan hatinya. Setelah merasa lebih baik dia kembali melajukan mobilnya. Andira yang merasakan keanehan pada Edgar pun menautkan kedua alis, “Kamu kenapa?” tanya Andira heran dengan perubahan sikap lelaki di sebelahnya itu. “Bukan urusanmu,” ketus Edgar. Andira yang mendapat jawaban ketus dari Edgar hanya bisa diam, dia memalingkan wajah dan melihat keluar jendela mobil. Gadis itu memandangi orang yang sedang berlalu lalang di jalanan. Perjalanan yang mereka tempuh tidak terlalu lama karena jarak rumah Andira dan kafe tempatnya bekerja cukup dekat. Mobil berhenti di depan kafe dan Andira pun turun. Tanpa menunggu Andira berpamitan padanya, Edgar langsung melajukan mobilnya. Andira yang melihat itu hanya diam dan
Lelaki yang duduk tak jauh dari pasangan itu hanya memandang dua orang yang sedang berpegangan tangan. Hatinya panas melihat kemesraan mereka, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan restoran tersebut. Edgar mengepalkan tangan saat berjalan keluar. Lelaki bersetelan jas biru tua tersebut melajukan mobilnya menuju kawasan perumahan Elit di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selang beberapa menit dia telah memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya. Edgar memasukkan mobilnya ke dalam garasi kemudian turun dan masuk ke dalam rumah. Lelaki itu berjalan menaiki tangga menuju kamar, dia berjalan ke kamar mandi sambil melepas pakaiannya dan melemparnya asal. Lima belas menit kemudian lelaki itu telah berganti dengan pakaian tidur. Lelaki bertubuh kekar itu merebahkan tubuh di ranjang king size miliknya sembari menatap langit-langit kamar. Dia mulai memikirkan berbagai rencana untuk bisa memisahkan Andira dari kekasihnya. “Ini tidak bisa dibiarkan. bagaimanapun carany
“Randi, kenapa kamu datang sepagi ini?” tanya Andira terkejut dengan kedatangan sang kekasih. Lelaki itu tiba-tiba datang menenteng dua bungkusan yang entah apa isinya. Bahkan, lelaki itu datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Andira mengajak Randi masuk ke dalam rumah dan memintanya duduk di sofa ruang tamu. Lelaki itu mengikuti Andira masuk dan duduk di sofa, kemudian diikuti Andira yang duduk di sebelah pujaan hatinya itu. “Kamu kenapa datang pagi sekali?” tanyanya pada sang kekasih. Randi tersenyum kikuk mendengar pertanyaan sang kekasih. “Iya, Sayang. Aku sengaja bawain sarapan buat kamu, Ibu, sama Ayah.” Randi meletakkan bungkusan yang dia bawa di atas meja. “Kenapa repot-repot bawa makanan, kami baru saja selesai sarapan. Tapi nggak apa-apa, kita makan bareng, yuk. ” Andira menerima bungkusan tersebut dari tangan Randi. “Nggak usah, Sayang. Aku baru selesai makan,” tolak Randi. “Oh, iya, itu kenapa banyak bunga di depan? Kamu mau buka toko bunga?” tanya R
Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa tiba-tiba ada dua lelaki yang menginginkan putri kesayangannya. Apakah sang putri merahasiakan sesuatu darinya? Lalu bunga-bunga itu siapa pengirimnya? Semua pemikiran itu mulai berkecamuk di kepala pria paruh baya itu. Andira yang mendengar perkataan Edgar mulai geram. Bagaimana bisa dengan mudahnya lelaki itu mengatakan ingin menikahinya, padahal dia telah berulangkali menolak pernyataan cinta lelaki di depannya tersebut. “Astaga, Ede. Apa yang kau bicarakan. Jangan bercanda, ini tidak lucu sama sekali,” ucapnya berusaha menyangkal pernyataan lelaki tersebut. “Aku sedang tidak bercanda, Andira. Aku memang sangat mencintaimu,” Edgar berkata dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tidak ada senyum yang terlihat dari sudut bibirnya. Lelaki itu menampilkan ekspresi datar di depan gadis yang dia cintai. “Tunggu, tunggu, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kenapa bisa ada dua lelaki yang menikahimu, Andira?” tanya Danu pada sang putri. Lelak
“Tuan.” Gadis itu mengibaskan tangan, tetapi tidak ada respon dari lelaki di depannya. Aldi yang menyadari hal itu menepuk bahu sang bos, membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya. “Eem … iya, kenapa?” tanya Edgar gelagapan. “Mari ikut saya ke belakang, Tuan. Biar saya bersihkan pakaian Anda, mari,” ajak Andira pada lelaki berjas coklat tersebut. Gadis berambut hitam panjang tersebut me mempersilakan Edgar untuk berjalan mengikutinya, tetapi lelaki itu menolak. “Tidak perlu.” Lelaki itu berkata sembari mengibas-ngibaskan tangan pada pakaiannya. “Tapi—.” Andira baru akan melanjutkan ucapannya, tiba-tiba manajer kafe datang menghampiri mereka. Hal itu membuat nyali Andira menciut karena takut jika atasannya itu akan memecat dirinya. “Apa yang terjadi di sini, apa kau yang menumpahkan minuman di pakaian pelanggan kita?” tanya sang manajer pada gadis itu. Andira hanya bisa menunduk dengan kaki gemetaran. “Ma-maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” jawabnya dengan bibir ber
Aldi menoleh. “Apa yang Anda ingin saya lakukan, Tuan?” tanyanya pada sang bos. “Jangan biarkan Cindy kesini lagi, perintahkan petugas keamanan untuk melarang wanita jalang itu masuk,” perintah Edgar pada sang asisten. “Baik, Tuan. Saya akan memberitahu petugas keamanan sekarang,” jawab Aldi. Lelaki itu menutup pintu dan meninggalkan ruangan bosnya. Setelah asistennya pergi, Edgar menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia menghela napas berat memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Entah kenapa, wajah gadis pelayan kafe itu selalu memenuhi isi kepalanya. Ada perasaan hangat saat melihat senyum gadis itu, apalagi setelah melihat kepeduliannya pada orang lain. Seorang gadis sederhana yang mampu menggetarkan hatinya. Edgar berusaha menyangkal sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba singgah di hatinya, dia menegakkan tubuh dan mulai berkutat dengan laptop dan tumpukan dokumen di meja. Jari-jemarinya terlihat menari-nari di atas keyboard. Saat sedang serius bekerja,
“Ya, Tuan.” Aldi memutar badan kembali mendekat ke arah bosnya. “Cari tahu juga tentang gadis pelayan kafe itu. Aku mau hasilnya, secepatnya! ” perintah Edgar pada Aldi. “Akan saya usahakan, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu.” Aldi menutup pintu dan pergi meninggalkan ruangan bosnya. Setelah Aldi pergi, Edgar menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sembari mengembuskan napas berat. Di saat hatinya sedang resah, kenapa tiba-tiba muncul masalah berat seperti sekarang. Dia memijat kening, kepalanya terasa sakit saat memikirkan masalah yang terjadi. Namun, dia tetap memaksakan diri untuk melanjutkan pekerjaannya, kembali berkutat dengan laptop dan tumpukan dokumen di meja kerja. Tanpa terasa pagi telah berganti siang, Edgar melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan sudah saatnya jam makan siang. Awalnya dia sedikit enggan untuk beranjak dari ruangannya, tetapi ada seseorang yang ingin ditemuinya. Dia akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang
Setelah menyelesaikan pekerjaan, Edgar melihat pesan yang dikirimkan sang papa. “Restoran Jepang, apa seleranya telah berubah sekarang? Tapi, baiklah. Mari kita lihat apa yang diinginkan lelaki tua itu,” gumam Edgar. Lelaki itu heran dengan sang papa yang tiba-tiba memintanya datang ke restoran Jepang. Padahal yang dia tahu papanya tidak menyukai masakan Jepang, lalu untuk apa sang papa meminta dia datang ke restoran yang dirinya sendiri tidak menyukai masakan di tempat itu. Dia mulai curiga dengan tujuan sang papa, tetapi itu tidak mengurungkan niat Edgar untuk pergi ke restoran yang papanya pesan. Akhirnya Edgar keluar dari perusahaan dan melajukan mobilnya menuju restoran. Setelah 50 menit berkendara, Edgar tiba di depan restoran, lalu kemudian dia memarkirkan mobilnya. Lelaki itu turun kemudian, masuk ke restoran. Kedatangannya disambut oleh seorang pelayan, lalu mengantarnya ke meja tempat papanya berada. Dia melihat papanya sedang berbicara dengan beberapa yang dikenalnya