Gadis itu mengelus dada karena terkejut, dia pun menoleh dan mendapati bahwa si pemilik tangan itu adalah sang kekasih.
“Astaga, kamu bikin kaget saja, Ran. Kenapa nggak bilang kalau mau kemari?” Andira mengerucutkan bibirnya. Dia kesal karena Randi tiba-tiba datang ke tempat kerjanya tanpa memberi kabar dahulu. “Maaf, Sayang, tadi aku nggak sengaja bertemu klien di dekat sini. Jadi, sekalian saja aku mampir. Aku kangen banget sama kamu.” Randi mencubit gemas pipi Andira. Pasalnya, sudah beberapa hari mereka tidak bertemu, kesibukan Randi adalah faktor utamanya. Andira menepis tangan Randi dari pipinya sebelum mengaduh. “Aduh, sakit tau. Kamu, tuh, kebiasaan banget suka nyubit pipi orang.” Andira menggerutu sambil mengelus pipinya yang memerah bekas cubitan Randi. “Salah sendiri, punya pipi gemesin. Pengen nyubit aja kan, jadinya,” jawab Randi tak mau kalah. Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepala mendengar perkataan sang kekasih, dia sudah tidak heran dengan sifat Randi yang tak pernah mau kalah jika sudah berdebat. Gadis itu menggandeng tangan sang pujaan hati dan membawanya duduk di salah satu kursi. Andira duduk di seberang lelaki berkemeja biru itu. “Kamu mau minum apa?” tanyanya pada sang kekasih. “Eehm … tidak usah, Sayang. Aku cuma sebentar karena setelah ini mau ada meeting di kantor,” jawab Randi. Gadis berkulit putih itu hanya mampu mengembuskan napas berat mendengar perkataan Randi. Entah kenapa, dia ingin sekali marah pada lelaki di depannya itu, terapi sudah menjadi resiko pekerjaan sang kekasih. Dia hanya bisa mencoba mengerti dengan kesibukan kekasihnya yang membuat mereka menjadi jarang bertemu. “Hai, Dira,” sapa seseorang yang suaranya sangat familiar di telinga Andira. Gadis itu pun menoleh ke sumber suara itu dan tersenyum canggung. Dilihatnya seorang lelaki yang sangat dia kenal sedang berjalan ke arahnya. “Siapa dia, Sayang?” tanya Randi. “Eem … dia pelanggan kafe yang sering kemari saat makan siang, Ran,” jawab Andira. Lelaki berjas hitam itu duduk di sebelah Andira tanpa mempedulikan tatapan tajam lelaki yang berada di depannya. Dia tersenyum ke arah Andira. Hati Randi mendadak panas melihat kekasihnya didekati lelaki lain. Keadaan pun menjadi canggung bagi Andira, dirinya tidak nyaman ditatap oleh sang kekasih, dari tatapannya terlihat seakan menuntut penjelasan atas apa yang tengah dilihatnya. Randi tidak bisa tinggal diam melihat hal itu. “Maaf, apakah kami mengenal Anda, Tuan?” tanya Randi. Lelaki itu pun menoleh, “Kamu mungkin tidak mengenal saya, tapi saya mengenal gadis di sebelah saya ini. Apakah saya perlu mengenalmu untuk bisa duduk di sini?” cetus Edgar dengan sombongnya sedangkan, Andira hanya melongo mendengar jawaban Edgar. Randi menatap lelaki itu dengan mata merah menahan emosi setelah mendengar jawaban dari lelaki di depannya, dia pun berdiri dan menghampiri Edgar. “Maaf, tapi kami sedang tidak ingin diganggu, perlu Anda tahu kalau saya adalah kekasih Andira!” jawab Randi yang mulai tersulut emosi. Edgar menyeringai, “Hanya kekasih bukan, belum menjadi Suami,” ucap Edgar dengan tenang. Namun, semakin memancing emosi Randi. Sedangkan Andira sendiri kesulitan menelan air liurnya melihat ketegangan yang terjadi antara dua lelaki di depannya. Randi yang sudah tersulut emosi, menarik kerah baju Edgar sehingga memaksa tubuh lelaki itu untuk berdiri. “Dengar, Saya tidak ingin mencari masalah dengan Anda, jadi tolong tinggalkan saya dan kekasih saya, sekarang!” ujar Randi yang masih berusaha untuk menahan emosinya. Mereka pun menjadi pusat perhatian para pelanggan lain yang sedang melihat ke arah mereka. Andira yang melihat itu menjadi gelagapan, dia berdiri di sebelah Randi dan berusaha melepaskan tangan Randi yang masih memegang kerah baju Edgar. “Tenang, Ran. Jangan buat keributan disini.” ujar Andira dengan muka memelas sambil meletakkan tangannya di dada sang kekasih untuk menenangkannya. Edgar yang melihat perlakuan Andira itu pun hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, kemudian dia berjalan melewati keduanya. Dia berhenti sejenak di sebelah Randi untuk membisikkan sesuatu yang kembali menyulut emosi Randi. “Andira akan menjadi milikku. Apa pun yang terjadi, aku akan merebutnya darimu, ingat itu!” Edgar berjalan keluar dari kafe tanpa menoleh ke belakang. Sementara Andira berusaha menahan Randi agar tidak mencoba menghampiri Edgar yang berlalu pergi. Tak berselang lama, Amel datang dari arah dapur dan melihat Andira yang masih memegang tubuh Randi. “Apa yang terjadi?” tanya Amel. Andira hanya menggelengkan kepala, mengisyaratkan Amel untuk tidak bertanya dulu. “Apa lelaki itu selalu mengganggumu, Sayang?” tanya Randi saat emosinya sudah mulai reda. “Ti-tidak Ran, dia hanya pelanggan kafe kami, jangan pedulikan ucapannya,” jawab Andira sedikit berbohong, ia takut jika dirinya mengatakan yang sebenarnya akan membuat Randi semakin marah. “Baiklah, katakan saja kalau dia mengganggumu, biar nanti aku kasih pelajaran padanya,” ujar Randi. Andira mengangguk, mengiyakan perkataan Randi. Sementara itu, seorang lelaki yang berada dalam mobilnya masih mengawasi dua orang yang baru saja ditemuinya sampai lelaki yang tak lain adalah kekasih Andira itu pergi meninggalkan kafe. Setelah memastikan kekasih Andira pergi, Edgar keluar dari mobilnya dan berjalan masuk kembali ke dalam kafe untuk menemui Andira. Andira yang sedang membersihkan meja pelanggan tampak terkejut ketika merasakan ada seseorang yang tiba-tiba menarik tangannya dan membawanya keluar dari kafe tempatnya bekerja. “Lepaskan saya, Tuan.” Andira menepis tangan Edgar. “Ada yang ingin aku katakan, padamu," jawab Edgar. “Apalagi yang ingin Anda katakan, Tuan," ucap gadis berkulit putih tersebut yang masih berusaha melepaskan tangannya yang ditarik oleh Edgar. Lelaki itu pun berhenti di sebelah mobilnya, dan melepaskan cengkraman tangannya dari Andira. “Aku mencintaimu, Dira, aku mau kamu menjadi kekasihku,“ ungkapnya. Gadis itu menggelengkan kepalanya, dia tidak habis pikir dengan pernyataan lelaki di depannya yang dengan enteng mengatakan kalau dia mencintainya. Gadis itu mulai berpikir, apakah lelaki di depannya ini sudah kehilangan urat malunya, atau memang sudah gila? Sudah jelas bahwa dirinya telah memiliki kekasih, tapi kenapa lelaki itu masih mengungkapkan perasaan pada dirinya. “Maaf, Tuan. Saya mencintai orang lain, jadi saya tidak bisa menerima cinta Anda.” Tanpa menunggu jawaban dari lelaki itu, Andira berjalan pergi dan kembali masuk ke dalam kafe. Lelaki itu terus memandang punggung Andira yang mulai hilang masuk ke dalam kafe, dia menyeringai. “Kau pikir, dengan menolakku bisa membuatmu lepas dariku, Andira. Heh … kau salah besar!" Edgar bergumam sambil berjalan masuk ke mobil dan berlalu pergi meninggalkan kafe tersebut. Di dalam mobil, Edgar mulai memikirkan cara untuk bisa mendapatkan Andira. Bagaimanapun caranya, dia akan mendapatkan apapun yang ia inginkan.Keesokan paginya, Andira bangun dengan perasaan yang tak menentu. Semalaman dia memikirkan perkataan Edgar yang menyatakan cinta padanya. Gadis cantik itu tidak habis pikir bagaimana mungkin seorang lelaki kaya raya seperti Edgar bisa jatuh cinta pada seorang gadis sederhana seperti dirinya sedangkan, di luar sana masih banyak wanita yang lebih segala-galanya dari dia. “Dira, cepat bangun, Nak. Apa kamu mau terlambat bekerja hari ini?” teriak sang ibu dari dapur. “Iya, Bu, Dira sudah bangun.” Gadis itu keluar dari kamar dan berjalan ke arah dapur, dia melihat apa yang sedang dimasak oleh ibunya. Gadis yang masih memakai baju tidur itu mengambil bakwan jagung dari piring dan memakannya. Sementara sang ibu menggelengkan kepala heran melihat tingkah anak gadisnya itu. “Sudah siang cepat mandi sana lalu sarapan,” ucap Asih sambil mendorong tubuh anaknya ke kamar mandi agar segera membersihkan diri. Gadis itu segera mandi dan kembali masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian.
“Sial …!” umpatnya sambil memukul setir kemudi. Kenapa dirinya harus melihat sang papa bersama wanita itu lagi? Wanita yang telah merenggut kebahagiaannya, wanita penyebab kematian mamanya. Edgar memejamkan mata dan mengembuskan napas berat, dia berusaha menenangkan hatinya. Setelah merasa lebih baik dia kembali melajukan mobilnya. Andira yang merasakan keanehan pada Edgar pun menautkan kedua alis, “Kamu kenapa?” tanya Andira heran dengan perubahan sikap lelaki di sebelahnya itu. “Bukan urusanmu,” ketus Edgar. Andira yang mendapat jawaban ketus dari Edgar hanya bisa diam, dia memalingkan wajah dan melihat keluar jendela mobil. Gadis itu memandangi orang yang sedang berlalu lalang di jalanan. Perjalanan yang mereka tempuh tidak terlalu lama karena jarak rumah Andira dan kafe tempatnya bekerja cukup dekat. Mobil berhenti di depan kafe dan Andira pun turun. Tanpa menunggu Andira berpamitan padanya, Edgar langsung melajukan mobilnya. Andira yang melihat itu hanya diam dan
Lelaki yang duduk tak jauh dari pasangan itu hanya memandang dua orang yang sedang berpegangan tangan. Hatinya panas melihat kemesraan mereka, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan restoran tersebut. Edgar mengepalkan tangan saat berjalan keluar. Lelaki bersetelan jas biru tua tersebut melajukan mobilnya menuju kawasan perumahan Elit di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selang beberapa menit dia telah memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya. Edgar memasukkan mobilnya ke dalam garasi kemudian turun dan masuk ke dalam rumah. Lelaki itu berjalan menaiki tangga menuju kamar, dia berjalan ke kamar mandi sambil melepas pakaiannya dan melemparnya asal. Lima belas menit kemudian lelaki itu telah berganti dengan pakaian tidur. Lelaki bertubuh kekar itu merebahkan tubuh di ranjang king size miliknya sembari menatap langit-langit kamar. Dia mulai memikirkan berbagai rencana untuk bisa memisahkan Andira dari kekasihnya. “Ini tidak bisa dibiarkan. bagaimanapun carany
“Randi, kenapa kamu datang sepagi ini?” tanya Andira terkejut dengan kedatangan sang kekasih. Lelaki itu tiba-tiba datang menenteng dua bungkusan yang entah apa isinya. Bahkan, lelaki itu datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Andira mengajak Randi masuk ke dalam rumah dan memintanya duduk di sofa ruang tamu. Lelaki itu mengikuti Andira masuk dan duduk di sofa, kemudian diikuti Andira yang duduk di sebelah pujaan hatinya itu. “Kamu kenapa datang pagi sekali?” tanyanya pada sang kekasih. Randi tersenyum kikuk mendengar pertanyaan sang kekasih. “Iya, Sayang. Aku sengaja bawain sarapan buat kamu, Ibu, sama Ayah.” Randi meletakkan bungkusan yang dia bawa di atas meja. “Kenapa repot-repot bawa makanan, kami baru saja selesai sarapan. Tapi nggak apa-apa, kita makan bareng, yuk. ” Andira menerima bungkusan tersebut dari tangan Randi. “Nggak usah, Sayang. Aku baru selesai makan,” tolak Randi. “Oh, iya, itu kenapa banyak bunga di depan? Kamu mau buka toko bunga?” tanya R
Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa tiba-tiba ada dua lelaki yang menginginkan putri kesayangannya. Apakah sang putri merahasiakan sesuatu darinya? Lalu bunga-bunga itu siapa pengirimnya? Semua pemikiran itu mulai berkecamuk di kepala pria paruh baya itu. Andira yang mendengar perkataan Edgar mulai geram. Bagaimana bisa dengan mudahnya lelaki itu mengatakan ingin menikahinya, padahal dia telah berulangkali menolak pernyataan cinta lelaki di depannya tersebut. “Astaga, Ede. Apa yang kau bicarakan. Jangan bercanda, ini tidak lucu sama sekali,” ucapnya berusaha menyangkal pernyataan lelaki tersebut. “Aku sedang tidak bercanda, Andira. Aku memang sangat mencintaimu,” Edgar berkata dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tidak ada senyum yang terlihat dari sudut bibirnya. Lelaki itu menampilkan ekspresi datar di depan gadis yang dia cintai. “Tunggu, tunggu, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kenapa bisa ada dua lelaki yang menikahimu, Andira?” tanya Danu pada sang putri. Lelak
“Tuan.” Gadis itu mengibaskan tangan, tetapi tidak ada respon dari lelaki di depannya. Aldi yang menyadari hal itu menepuk bahu sang bos, membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya. “Eem … iya, kenapa?” tanya Edgar gelagapan. “Mari ikut saya ke belakang, Tuan. Biar saya bersihkan pakaian Anda, mari,” ajak Andira pada lelaki berjas coklat tersebut. Gadis berambut hitam panjang tersebut me mempersilakan Edgar untuk berjalan mengikutinya, tetapi lelaki itu menolak. “Tidak perlu.” Lelaki itu berkata sembari mengibas-ngibaskan tangan pada pakaiannya. “Tapi—.” Andira baru akan melanjutkan ucapannya, tiba-tiba manajer kafe datang menghampiri mereka. Hal itu membuat nyali Andira menciut karena takut jika atasannya itu akan memecat dirinya. “Apa yang terjadi di sini, apa kau yang menumpahkan minuman di pakaian pelanggan kita?” tanya sang manajer pada gadis itu. Andira hanya bisa menunduk dengan kaki gemetaran. “Ma-maaf, Pak. Saya tidak sengaja,” jawabnya dengan bibir ber
Aldi menoleh. “Apa yang Anda ingin saya lakukan, Tuan?” tanyanya pada sang bos. “Jangan biarkan Cindy kesini lagi, perintahkan petugas keamanan untuk melarang wanita jalang itu masuk,” perintah Edgar pada sang asisten. “Baik, Tuan. Saya akan memberitahu petugas keamanan sekarang,” jawab Aldi. Lelaki itu menutup pintu dan meninggalkan ruangan bosnya. Setelah asistennya pergi, Edgar menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia menghela napas berat memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Entah kenapa, wajah gadis pelayan kafe itu selalu memenuhi isi kepalanya. Ada perasaan hangat saat melihat senyum gadis itu, apalagi setelah melihat kepeduliannya pada orang lain. Seorang gadis sederhana yang mampu menggetarkan hatinya. Edgar berusaha menyangkal sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba singgah di hatinya, dia menegakkan tubuh dan mulai berkutat dengan laptop dan tumpukan dokumen di meja. Jari-jemarinya terlihat menari-nari di atas keyboard. Saat sedang serius bekerja,
“Ya, Tuan.” Aldi memutar badan kembali mendekat ke arah bosnya. “Cari tahu juga tentang gadis pelayan kafe itu. Aku mau hasilnya, secepatnya! ” perintah Edgar pada Aldi. “Akan saya usahakan, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu.” Aldi menutup pintu dan pergi meninggalkan ruangan bosnya. Setelah Aldi pergi, Edgar menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sembari mengembuskan napas berat. Di saat hatinya sedang resah, kenapa tiba-tiba muncul masalah berat seperti sekarang. Dia memijat kening, kepalanya terasa sakit saat memikirkan masalah yang terjadi. Namun, dia tetap memaksakan diri untuk melanjutkan pekerjaannya, kembali berkutat dengan laptop dan tumpukan dokumen di meja kerja. Tanpa terasa pagi telah berganti siang, Edgar melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan sudah saatnya jam makan siang. Awalnya dia sedikit enggan untuk beranjak dari ruangannya, tetapi ada seseorang yang ingin ditemuinya. Dia akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang