Share

Bab 2

2. PELET (Terjebak Cinta Terlarang)

Diminta Membawakan Lagu

Penulis: Lusia Sudarti

Part 2

***

Setelah melepas lelah sejenak, Dan menyantap makanan untuk kami sekeluarga. Kami menuju kerumah Mbah yang lain! Disini kami menginap selama menghadiri acara.

Jaraknya tidak terlalu jauh, juga tidak dekat, cukup untuk sekedar olah raga dengan berjalan kaki, kami bersenda gurau dalam perjalanan, tak terasa akhirnya kami pun tiba.

❣❣❣❣❣❣

Keesokan harinya ...

Pagi yang cerah, udara begitu sejuk.

Hhmmm ... kuhirup udara yang begitu sejuk memenuhi seluruh ruang pernafasan dan kuhembuskan perlahan! Aku berjalan pagi ini mengelilingi halaman, pemandangan begitu asri, sawah yang menghijau, saluran irigasi yang berair jernih. Para petani hilir mudik kesawah menggunakan sepeda ontel.

sungguh asri ...

Matahari bersinar terang, pantulannya berkilau di air yang jernih. Di sebuah saung di tepi sawah, aku duduk termenung. Para petani melakukan pekerjaan mereka, ada yang menanam padi, ada yang menabur pupuk ada yang masih melakukan proses pencangkulan menggunakan mesin. Sejauh mata memandang, hanya hamparan sawah yang membentang, menghijau, sungguh aku begitu betah dan tenang.

Gemericik air dari saluran irigasi menambah syahdu suasana. Para penduduk beramai-ramai berangkat mau pun pulang, bekal yang mereka bawa ditaruh di sepeda, memakai caping lebar sebagai penutup kepala untuk melindungi dari sengatan panas matahari yang begitu terik jika hari menjelang siang.

Kami akan pulang jika memasuki waktu dzuhur tiba, dan kembali ba'da dzuhur hingga waktu menjelang ashar. Para lelaki akan kembali lagi mencari rumput untuk makanan ternak mereka. Ibu-Ibu memasak untuk makan malam. Entah berapa lama aku berada di saung, pastinya aku enggan untuk beranjak pulang. Aku melihat matahari telah meninggi. Akhirnya aku beranjak pulang, kemungkinan semua orang telah menanti kepulanganku.

Beberapa orang berpapasan denganku, mereka begitu ramah dan kubalas dengan senyum dan anggukan.

'Huff lelah juga ya, pulang dulu mungkin si bocil kebingungan mencari keberadaanku," gumamku. Sedikit berlari-lari kecil aku kembali kerumah Mbah.

"Oalah Nduk wes muleh (oh Nak sudah pulang)," sambut Mbah Uti ketika melihatku.

"Eeh kaget, ada Mbah rupanya! Iya Mbah seger banget Mbah suasana pagi. Jadi aku jalan-jalan sebentar," jawabku sembari kuulas senyum.

Rupanya bocilku mendengar aku berada di depan, dan ia menghambur kepelukanku. Kupeluk dan kucium dengan gemes.

"Mama dari mana sih?" sungutnya.

"Jalan-jalan pagi donk, habis sholat tadi," sahutku. Sambil kuusap pucuk kepalanya.

"Ayo semua siap-siap kita berangkat!" terdengar suara Bapak dari dalam, meminta semua bersiap untuk berangkat.

Akhirnya kami pun berangkat!

Dan berjalan kerumah hajat karena memang hanya berjarak 500 meter dari rumah yang kami tempati. Sambil bersenda gurau, beberapa warga ada yang tersenyum dan menyapa. Ada yang tak berkedip menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Mbah ...!" bisikku memanggil Mbah yang berada disampingku.

"Aapa ...!" jawab Mbah sembari menatapku.

"Coba lihat penampilan aku Mbah, apa ada yang aneh?" tanyaku, sembari berjalan mendahului Mbah lalu berdiri dihadapannya.

Mbah pun menelisik dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tiba-tiba Mbah mengacungkan dua jempol tangan-nya.

"Perfeck ...!" sahutnya, sambil tersenyum.

"hahaha ... Mbah lebay," kataku sembari manyun, aku terkekeh.

Mbah juga Bapak, Ibu pun ikut tertawa. Tak terasa ternyata kami telah tiba di rumah hajat.

"Ehh sudah pada datang rupanya!" sambut Mbah Herman dengan ramah.

"Ayo masuk sini," ucapnya kepada kami. Di ruang khusus untuk para kerabat disana ada Paman dan kedua Adiknya.

"Dek ...," panggil Paman kepadaku.

Aku menoleh kearahnya.

"Iya Paman, ada apa?" jawabku.

"Sini deket Paman," katanya.

"Emm ... sini aja Paman," tolakku halus.

"Iya udah nggak pa-pa," jawabnya sedikit kecewa.

Sambil menunggu semua proses acara aku berjalan-jalan di sekeliling rumah, aku melangkah ke halaman depan, suasana begitu meriah, berbagai pedagang dadakan memenuhi area disekitar rumah hajat, berbagai pedagang! Dari pedagang mainan, pedagang es, pedagang bakso, balon dan lain-lain.

Disaat aku hendak membeli bakso, terdengar panggilan lantang di belakangku.

"Mama tunggu ... Anjani mau beli es cream!" teriaknya.

Aku berhenti seketika, lalu memutar tubuh kebelakang. Anjani berlari-lari kecil menghampiriku aku dengan raut wajah ceria.

"Mau beli es cream, atau bakso?" tanyaku seraya menunggunya tiba didekatku.

"Dua-duanya, hehehe," jawabnya sambil nyengir.

Aku menoel dagunya dengan gemas.

Kami melangkah beriringan menuju ke penjual bakso di seberang jalan. Banyak pasang mata yang mengawasi kami, ada yang sinis, terutama Ibu-Ibu muda, ada yang menunjukkan sorot kagum, itu dari kaum adam tentunya, aku hanya cuek menanggapinya.

"Bu, beli bakso dua mangkok!" ujarku kepada Ibu penjual bakso seraya menempati tempat duduk di depan gerobak bakso.

"Dibungkus apa dimakan sini Mbak?"  tanyanya kepadaku seraya tersenyum ramah.

"Dimakan sini Bu," jawabku pelan.

"Oh iya Mbak, sebentar ya?" jawabnya sambil meracik toping bakso.

"Iya Bu ..."

"Dari mana Mbak, kayaknya bukan penduduk sini ya, baru lihat!" tanyanya sambil menaruh mangkuk bakso dihadapanku.

"Iya Bu," jawabku singkat.

"Ini punya Adeknya!" ia menaruh mangkuk dihadapan Anjani. Aku terkejut mendengar kata-kata Adek, sontak aku dan Anjani saling pandang, lalu tertawa.

"Maaf Bu ... ini bukan Adik! Melainkan Anak saya Bu," jawabku seraya tersenyum.

Kini giliran Ibu penjual bakso yang terkejut mendengar penjelasanku, kedua bola matanya melebar seketika.

"Anaknya ya Mbak? Waduh maaf, saya kira Adeknya, hehehe," si Ibu pun terkekeh.

Setelah selesai dan membayar kami berdua segera pamit, takut dicari semua orang.

❣❣❣❣

Para Pramusaji sibuk menyiapkan hidangan. Aku bangkit mau ikut Membantu para pramusaji.

"Jangan Nduk ..." cegah Mbah saat aku hendak beranjak.

"Itu tugas mereka, dari sebelah keluarga kedua belah pihak dilarang ikut bantu-bantu," terangnya kemudian. "Ooh gitu ya Mbah?" sahutku manggut-manggut.

"Iya Nduk," jelasnya lagi.

Tak sengaja aku melihat Paman yang mencuri pandang. Saatku pergoki ia lalu membuang muka. Heemm kok hatiku rasanya tak tenang ya?" gumamku.

Hari ini masih ada Ritual Adat Jawa. Entahlah aku tak faham. Dan alunan musik gambus bergantian dengan gending Jawa menambah syahdu dan semarak suasana. Ternyata begini ya jika menikah dengan acara yang dibuat mewah, seandainya dahulu aku menikah dengan orang yang tepat, mungkin aku pun seperti ini, duduk bersanding di pelaminan dan menjadi raja dan ratu sehari.

Aku duduk terpaku di tempatku menyaksikan hilir mudik para tetangga yang membantu, dan memperhatikan kesibukan pengantin yang harus melakukan ini dan melakukan itu menurut adat. Ternyata ribet juga ya menjadi seorang pengantin? Aku memang tak mengalami itu semua, karena dahulu aku menikah karena perjodohan dan hanya pernikahan di bawah tangan. Karena aku tak sanggup lagi menjalani pernikahan yang menyakitkan, akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dan menjalani kehidupan menjadi seorang janda dengan satu Anak.

Kini penyesalan tiada guna, karena tak akan mengembalikan masa-masa dahulu sebelum menikah. Yah memang itu semua perjalanan takdir yang harus kujalani.

Tak ada satu pun umat manusia yang mampu melawan takdir-Nya, kita hanya bisa merubah nasib, tapi kalau takdir sudah digariskan sebelum kita diciptakan.

Tiba-tiba Ibu memberi kode agar aku mendekat kepadanya.

"Kenapa Bu?" tanyaku, setelah aku berada di sampingnya.

"Maya sebentar lagi kamu dipanggil kepanggung untuk menyumbangkan sebuah lagu, permintaan dari kedua belah pihak," kata Ibu, sembari menatapku lekat.

"A-apaa buuu?" teriakku tanpa sadar, aku pun menutup mulut dengan kedua tangan.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status