Share

Bab 4

4. PELET(Terjebak Cinta Terlarang)

Insiden Paman Dengan Fotografer

Penulis: Lusia Sudarti

Part 4

*****

Lagi!

Lagi!

Lagi!

MC pun bertanya.

"Bagaimana Mbak? Mereka suka sekali sama suara merdu Mbak Maya," tanyanya, ia mengumbar senyuman dan mengedipkan mata genitnya.

Hufft! Apa ini?" aku memutar bola mata dengan perasaan sebal.

❣❣❣❣❣❣

"Baiklah! Saya akan coba membawakan sebuah lagu kesayangan saya.

Dan lagu kali ini sebuah lagu dari Sony Josh. Orang Desa ..."

Plok!

Plok!

Plok!

Tepuk tangan meriah kembali terdengar riuh dan membahana, dari ratusan tamu undangan.

Dan seketika hening dan senyap dikala musik mulai mengalun.

'Hitam kulitku, putih kulitmu,

Rombeng bajuku, dari toko bajumuu ...

Pikirlah duluu, kalo cinta padaku,

Yang lebih baik, jangan buru-buru ...

Aku orang desa, engkau orang kota ...

Ku orang miskiiinn ...

Hidupmu terjamin ...

Jangankan mobiiill ...

Jangankan motoorr ...

Sepeda sajaa, aku tak punyaa ...

Aku ini Maaas ...

Anak orang miskiiin, Bapakku sopiir,

Si Mbok buruh tanduurrr ...

Sedang dirimu Maass ...

Anaknya Direktuurr ...

Yang penuh harta dan juga maaakmuurr

Apakah senaaang ...

Nanti orang tuaamu ...

Punya menantu, yang miskin seperti aku ...

Tugasku menyanyikan lagu pun berakhir.

"Makasih," ucapku seraya membungkukkan tubuh kembali.

Hampir semua tamu undangan memberi saweran yang cukup besar.

Dan pihak panitia menyediakan tempat berupa kotak plastik yang sedikit besar.

❣❣❣❣❣

Disaat lagu telah berakhir, terdengar

tepukan meriah sekali lagi

Dan aku pun seolah menjadi artis dadakan.

Berbagai pasang mata menatap takjub.

Aku melangkah perlahan dengan lemah gemulai menuruni undakan tangga.

Aku menebar senyum dan bersikap sangat sopan.

Aku kembali ketempat duduk semula, begitupun dengan keluarga Mbah Herman, melepas lelah setelah menari.

"Mama ...!" teriak Anjani yang muncul dari arah pelaminan bersama teman barunya, mereka seusia dan terlihat begitu akrab.

"Apa sih Sayang," jawabku ketika ia telah sampai di dekatku.

"Minta uang lagi donk!" ucapnya sembari menengadahkan tangan kanan-nya.

"Heem, emang yang tadi udah habis ...!" jawabku menautkan kedua alisku sembil menatap tajam kepadanya. Pura-pura marah, sedang teman barunya terlihat ketakutan, aku jadi tak tega melihatnya.

"Iya Ma, hehehe," ujarnya terkekeh, ia saling pandang dengan teman barunya, lalu mengedipkan sebelah netranya yang berbinar.

"Ini, tapi jangan dihabisin, itu teman kamu dijajanin ya!" ujarku kepadanya seraya mengulurkan uang kepadanya.

"Horee, iya Ma, makasih ya ..."

Seketika ia menarik tangan temannya untuk beli jajan.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah lakunya.

Dari kejauhan aku menangkap siluet tubuh seseorang yang tak kukenal, tubuhnya tinggi tegap, hidung mancung, rambut model ala korea. Tiba-tiba kurasakan debaran aneh di dadaku, darahku berdesir kala tatapan saling bertemu, aku mengalihkan pandangan kearah lain, ketika ia mengulas senyum manis yang membuat jantungku berdetak lebih kencang.

Aku menundukkan kepala menatap kedua kakiku yang beralaskan sepatu bertumit tinggi. Aku tersenyum sendiri mengingat sepatuku yang masuk dalam tanah ketika aku melangkah, iya tak sengaja aku berpijak dijalan tanah.

Aku beranjak dari tempat duduk untuk mencari keberadaan Anjani diluar.

Aku mengedarkan tatapanku kesemua arah mencari-cari keberadaan-nya.

"Anjani, udah nanti Mama kamu marah lho kalo uangnya habis," ujar Revalina, Anjani menoleh kepada Revalina.

Samar-samar aku mendengar perbincangan Anakku dengan teman barunya. Aku menajamkan pendengaranku.

"Gak kok, Mama gak akan marah.

Anjani membeli es cream dua bungkus untuknya satu dan untuk Revalina satu.

"Ini untukmu Reva," Anjani memberikan es cream kepadanya, tetapi ia takut menerima pemberian Anjani.

Aku melangkah keluar mencari  keberadaan Anjani dari suara yang aku dengar. Kesatu arah aku menemukan keberadaan mereka berdua. Bergegas aku menghampiri keduanya.

"Anjanii ....!" teriakku sembari melangkah, sedangkan Revalina menunduk takut ketika melihatku. Sedang Anjani terbelalak menatapku, kedua bola matanya bertambah lebar seolah hendak melompat.

"Ma-amaa ..."

Teriak Anjani dengan kedua mata membola kala menyadari kehadiranku.

Aku yang mengerti akan ketakutan mereka berdua kemudian kuulas senyum.

"Ambilah, Mama Anjani gak marah kok," aku tersenyum kembali, kuusap lembut pucuk kepala mereka berdua.

"Siapa namamu Dek?" tanyaku sembari mensejajarkan tubuh dengan berjongkok.

"Revalina Tante," ia menatapku dan bibir melengkung membentuk senyum.

"Ambil aja buat Reva, jangan bermain terlalu jauh ya?" ucapku seraya bangkit berdiri.

"Mama mau kedalam dulu ya? Reva, Tante kedalam dulu, nanti kalo udah segera masuk!" titahku kepada mereka seraya melangkah perlahan kedalam ruangan ketempat duduk semula.

Ternyata Ibu sudah ada dikursi disampingku.

"Dari mana Maya?" tanya Ibu penuh selidik.

Aku menjatuhkan bobotku.

"Itu Bu, cari Anjani! Jajan terus dari tadi, udah habis lima puluh ribu," jawabku singkat.

"Ya Allah, bener-bener Anak itu ..."

Aku mengedarkan pandangan keseleruh ruangan, terlihat semua orang yang fokus pada acara yang berlangsung, ada sebagian yang menatapku kagum.

Itu membuatku menjadi salah tingkah dibuatnya.

Aduuuh ..."

Hatiku menjadi bergetar karena salah tingkah.

Dag, dig, dug hatiku, dan aku membalas dengan sopan senyuman mereka.

Diatas panggung pelaminan, MC dan pihak panitia terlihat sedang membicarakan sesuatu, entah apa yang mereka perbincangkan! Aku tak tau, tetapi mereka sesekali menatapku dan tersenyum.

Akupun membalas senyuman mereka.

Aku dan Ibu melangkah keruang khusus.

"Bu Maya mau ambil cemilan sama minum, Ibu mau gak?" tanyaku seraya berdiri di depan Ibu.

"Iya May, ambilin Ibu kripik sama wajik ya?" sahut Ibu.

Aku mengangguk lalu melangkah perlahan. Entah mengapa, setiap gerak-gerikku selalu menjadi pusat perhatian. Dengan santai aku mengambil makanan yang tersedia diatas meja dan kembali ketempat semula dan Ibu memperhatikanku dengan tersenyum.

"Senyum-senyum, emang ada yang lucu Bu?" tanyaku seraya menghempaskan bobotku perlahan dikursi.

"Kamu jadi pusat perhatian," bisiknya di telingaku.

"Hehehe ... Anak Ibu," ujarku membalas bisikan beliau.

"Hehehe, siapa dulu donk Ibunya," jawab Ibu terkekeh di telingaku.

"Bu Bapak masih menemani Mbah Herman, kok Ibu gak ikut lagi?" tanyaku sembari ngemil.

"Capek kaki Ibu berdiri terus, nanti kalo udah gak terlalu pegal kesana lagi," jawab beliau sambil meluruskan kedua kakinya di kursi yang ada di depan kami.

"Nanti kamu mau bernyanyi lagi May?" tanya Ibu, beliau menatapku sesaat.

"Enggak ah Bu, capek, sakit juga tenggorokan aku," ujarku.

"Tapi seandainya diminta untuk bernyanyi lagi, ya apa boleh baut, hehehe," sambungku dengan tertawa keras, aku menutup mulut ketika menyadari menjadi pusat perhatian karena suara tawaku. Mungkin mengganggu mereka.

Ibu tertawa melihatku yang salah tingkah.

"Heem, lambemu (heem, mulutmu)," ujar Ibu tertawa.

Dari arah pelaminan MC turun dan berjalan kearahku dan Ibu seraya tersenyum misterius.

Aku dan Ibu tak menyadari arti dari tawa itu.

"Eehh, permisi Mbak," ketika MC sampai di tempat khusus keluarga.

"Iya ada apa Pak?" tanyaku.

"Aaduh Mbak! Jangan panggil Pak donk, Memangnya saya terlihat tua," sungutnya.

"Hemm maaf Pak, eh ..."

"Mas ...!" sambungku cepat.

"Oh iya, Mas," kataku lagi.

"Disewa keluarga pengantin?" tanyanya sambil tersenyum genit.

"Bukan, saya keluarga mereka," jawabku ketus.

"Oh dari pihak laki-laki ya?" tanyanya.

"Iihh kok semua menyebalkan yaa?" lirihku dalam hati.

Dan dari jarak jauh aku melihat tatapan tidak suka dari Sunardi Pamanku.

Melihat kegenitan fotografer tersebut.

Sunardi pun menghampiri fotografer itu, lalu.

Menariknya kebelakang panggung yang sepi, aku tak tahu apa yang mereka bicarakan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status