Mobil yang dikemudikan Danendra melaju ke sebuah villa yang ada di pinggir pantai. “Terlanjur dandan, pakai gaun, pakai berlian. Eh, ternyata nggak jadi dinner,” gerutu Maharatu di dalam mobil. Danendra hanya tersenyum, menanggapi gerutuan wanita di sampingnya. “Berarti kamu sangat ingin dinner romantis dengan Tuan Bagaskara?”“Ya, kan, hari ini ulang tahun Mas Bagas. Jadi, menurutku dinner bersamanya bukanlah sesuatu yang buruk.” Maharatu memandangi lampu jalanan yang menurutnya sangat indah malam ini. “O ….” Tanggapan Danendra begitu datar. Pria itu hanya berfokus pada jalanan. Dia ingin segera sampai ke tempat yang dituju. Ingin segera menghabiskan waktu bersama Maharatu. Di malam yang indah berpayung bulan dan bintang. Ekor mata Maharatu sesekali mencuri pandang pada pria yang menyetir dengan fokus. Kefokusan itu yang kadang membuat Maharatu tersenyum samar, tak kentara. Karena, Danendra tampak berkharisma dan seperti biasanya, terlihat tampan.Mungkinkah ini yang membuat lamp
Kata cinta dari Danendra membuat Maharatu melayang, tapi detik berikutnya. Kenyataan membuat Maharatu jatuh seketika. Maharatu mengurai pelukannya pada Danendra. Berangsur kaki Maharatu melangkah mundur. Dengan tatapan sayu Maharatu berbalik badan, berlari meninggalkan Danendra yang terpaku di tempat. Air mata Maharatu berguguran di pipi. Maharatu menuruni tangga satu per satu dengan berlari. Bergantian jari lentiknya mengusap air mata yang terlanjur luruh. “Kenapa Tuhan, kenapa harus seperti ini. Kenapa Kau menghadirkan cinta di saat yang tidak tepat. Di saat aku sudah memiliki suami.” Melihat Maharatu keluar dari dalam villa membuat dua penjaga yang tadi membukakan gerbang terperangah. “Buka gerbangnya!” titah Maharatu setengah membentak. Kedua penjaga itu saling pandang, lalu salah satu dari mereka berkata, “Tapi, Nona.” “Kubilang buka!” Kali ini suara Maharatu meninggi. Suara Maharatu yang meninggi mau tidak mau membuat dua penjaga itu membuka pintu gerbang. Keluar d
Sementara di hotel tempat Bagaskara merayakan pertambahan usia. Sebuah pesta mewah yang hanya dihadiri kerabat dan teman dekat dari Bagaskara dan Marisa sedang berlangsung. Sejak pesta dimulai, Hanum selalu bergelayut manja pada Papanya. Senyum palsu di bibir Bagaskara terus merekah sejak tadi. Bahkan, rahangnya sudah mulai terasa keram. Sama dengan Bagaskara, Marisa juga terus tersenyum sejak tadi. Namun, berbeda dengan Bagaskara, senyum di bibir Marisa benar-benar senyum kebahagiaan.Bahagia karena berhasil membuat suaminya kesal karena tidak bisa merayakan ulang tahun bersama istri kedua. “Dimana istri keduamu,” bisik Bondan yang memperhatikan sekeliling.Sudut bibir Bagaskara terangkat, dia meneguk minuman yang ada di tangannya dengan sekali teguk. “Kau ini bertanya atau mencibir?” ungkap Bagaskara kesal. Beruntung saat ini Hanum sudah tidak bergelayut manja di lengan Bagaskara. Jadi, gadis itu tidak mendengar pertanyaan Bondan yang kadang memang tidak tahu tempat.Bondan sem
Marisa tersenyum mengejek ke arah Bagaskara saat tangan suaminya hanya bisa menggantung ke udara karena mendengar suara putri mereka, Hanum. Sementara Bagaskara, pria itu segera melandaikan tangannya di pipi Marisa. Namun, bukan untuk menampar seperti niatnya di awal karena Marisa telah lancang mencari tahu tentang identitas istri simpanan yang dimiliki Bagaskara. Melainkan untuk memberi usapan lembut. “Make up-mu malam ini sedikit berlebihan, Marisa.” Bagaskara tersenyum hangat pada Marisa. Tentu saja itu hanyalah senyum kepura-puraan. Lalu, segera Bagaskara menoleh ke arah putrinya. “Sayang, kamu di sini?” Lagi-lagi Bagaskara berpura-pura. Berpura-pura baru mengetahui putrinya datang.“Oh, astaga! Romantis sekali Papa dan Mamaku ini.” Hanum menghampiri kedua orang tuanya lalu memeluk keduanya erat-erat. ~~~Di villa milik Danendra,Danendra terus terjaga di samping Maharatu yang suhu tubuhnya belum juga turun. Padahal, wanita itu tadi sudah minum obat yang diresepkan oleh dokte
“Ya, aku mau pulang,” tukas Maharatu yang beringsut dari pembaringan menuju kamar mandi. Danendra meremas rambutnya kasar setelah Maharatu menghilang di balik pintu kamar mandi. Dia menyesali keputusannya yang terlalu grusa-grusu mengungkapkan rasa cintanya. Seharusnya dia sedikit lebih bersabar. Maharatu bersandar di balik pintu. Wanita itu memegangi dadanya yang terasa sakit. Rasa sakit yang teramat sangat. Rasa sakit yang sama saat dia kehilangan janinnya beberapa tahun lalu. Maharatu membekap mulutnya sendiri agar suara tangisnya tidak terdengar keluar. Dia tidak ingin Danendra tahu saat ini dia hancur karena menolak cinta pria yang sangat dicintai. Puas menangis, Maharatu melangkah menuju wastafel. Dia membasuh wajahnya yang kuyu karena air mata. “Kamu harus kuat, tunjukkan pada Endra. Bahwa lelaki itu tidak berarti untukmu. Agar dia berhenti berharap padamu dan melanjutkan hidup dengan mencari wanita lain, Ra,” kata Maharatu pada pantulan dirinya di cermin. Sebe
Setelah Danendra keluar dari kamarnya atau mungkin juga sudah keluar dari unit miliknya. Maharatu justru dilanda gundah gulana. Wanita berparas ayu itu mondar-mandir di dalam kamar. Jemarinya saling meremas satu sama lain. “Bagaimana kalau Endra benar-benar pergi?” Maharatu menghempaskan bobot tubuhnya ke ranjang. Akan tetapi, bukankah itu yang dia inginkan, Danendra pergi. Lalu kenapa dia justru gelisah dan takut ditinggalkan oleh Danendra. Maharatu menjambak rambutnya kasar. Dia bingung harus bagaimana. Di satu sisi dia ingin Danendra pergi agar pria itu bisa bebas dari amukan Bagaskara jikalau perasaan yang tumbuh antara dia dan Danendra ketahuan. Namun, di sisi lain, dia merasa takut. Takut jika Danendra pergi, Maharatu tidak akan bisa melihat wajah Danendra lagi. Logika dan perasaannya mulai berperang. Entah, yang mana yang akan didengar oleh Maharatu. Tapi, bukankah sekali saja dia boleh untuk egois. Pun, para pujangga selalu berkata, “Cinta akan menemukan jalannya sendir
“Kalian sudah baikan?” tanya Sasa saat masuk ke dalam mobil.Sasa bicara begitu karena melihat Maharatu dan Danendra saling melempar canda. “Memangnya kapan kami bertengkar?!” ujar Maharatu.“Kalau tidak bertengkar kenapa kemarin diem-dieman?” selidik Sasa.Maharatu mencubit dua pipi Sasa dengan gemas. “Kemarin kami sama-sama masih capek, pulang dari Bali harus langsung kerja, dan itu juga gara-gara kamu yang tidak memberi kami kesempatan untuk istirahat sejenak, iya, ‘kan, Ndra?”“Benar sekali itu. Sasa ini memang cocok jadi kompeni,” canda Danendra menimpali.“Oiya?!” Sasa bersedep dada dengan mata yang mendelik. Seolah sulit untuk percaya pada perkataan Maharatu dan Danendra.Danendra dan Maharatu saling lirik dari kaca spion. Mereka harus bermain rapi agar Sasa tidak mencurigai hubungan keduanya.“Tentu saja, apalagi kami sempat main petak umpet di Bali,” ujar Danendra yang sengaja memantik rasa penasaran Sasa pada hal lain. “Petak umpet, kenapa?” Danendra tersenyum samar, umpa
Maharatu yang sudah tidak tahan melihat pelayan itu terus dihina hendak melangkah. Namun, Sasa memegang lengan Maharatu, mencegah langkahnya. “Lepas, Sa!” hardik Maharatu. Tatapan Maharatu nyalang, matanya sudah berkaca-kaca. Dia berusaha melepaskan tangan Sasa yang memegangi lengannya. “Mau kemana?” Tatapan Sasa tidak kalah tajam. “Tentu saja merobek mulut gadis itu!” sarkas Maharatu.“Lalu setelah itu apa?” Sasa semakin mengencangkan pegangannya di lengan Maharatu, “memberitahu semua orang bahwa pelayan yang dihina itu adalah adikmu, adik seorang aktris ternama, MA-HA-RA-TU, iya?” Sengaja Sasa menekankan nama ‘Maharatu’, untuk mengingatkan Maharatu tentang posisinya saat ini dan komitmen Maharatu untuk menyembunyikan identitas keluarganya.“Tapi, aku tidak bisa melihat Pangeran dihina, Sa!” Wajah Maharatu memelas. Kakak mana yang terima adiknya dihina di depan banyak orang. Apalagi Pangeran hanya menunduk saat dihina tanpa membela diri. Hati Maharatu hancur. Dia baru saja kel