Marisa tersenyum mengejek ke arah Bagaskara saat tangan suaminya hanya bisa menggantung ke udara karena mendengar suara putri mereka, Hanum. Sementara Bagaskara, pria itu segera melandaikan tangannya di pipi Marisa. Namun, bukan untuk menampar seperti niatnya di awal karena Marisa telah lancang mencari tahu tentang identitas istri simpanan yang dimiliki Bagaskara. Melainkan untuk memberi usapan lembut. “Make up-mu malam ini sedikit berlebihan, Marisa.” Bagaskara tersenyum hangat pada Marisa. Tentu saja itu hanyalah senyum kepura-puraan. Lalu, segera Bagaskara menoleh ke arah putrinya. “Sayang, kamu di sini?” Lagi-lagi Bagaskara berpura-pura. Berpura-pura baru mengetahui putrinya datang.“Oh, astaga! Romantis sekali Papa dan Mamaku ini.” Hanum menghampiri kedua orang tuanya lalu memeluk keduanya erat-erat. ~~~Di villa milik Danendra,Danendra terus terjaga di samping Maharatu yang suhu tubuhnya belum juga turun. Padahal, wanita itu tadi sudah minum obat yang diresepkan oleh dokte
“Ya, aku mau pulang,” tukas Maharatu yang beringsut dari pembaringan menuju kamar mandi. Danendra meremas rambutnya kasar setelah Maharatu menghilang di balik pintu kamar mandi. Dia menyesali keputusannya yang terlalu grusa-grusu mengungkapkan rasa cintanya. Seharusnya dia sedikit lebih bersabar. Maharatu bersandar di balik pintu. Wanita itu memegangi dadanya yang terasa sakit. Rasa sakit yang teramat sangat. Rasa sakit yang sama saat dia kehilangan janinnya beberapa tahun lalu. Maharatu membekap mulutnya sendiri agar suara tangisnya tidak terdengar keluar. Dia tidak ingin Danendra tahu saat ini dia hancur karena menolak cinta pria yang sangat dicintai. Puas menangis, Maharatu melangkah menuju wastafel. Dia membasuh wajahnya yang kuyu karena air mata. “Kamu harus kuat, tunjukkan pada Endra. Bahwa lelaki itu tidak berarti untukmu. Agar dia berhenti berharap padamu dan melanjutkan hidup dengan mencari wanita lain, Ra,” kata Maharatu pada pantulan dirinya di cermin. Sebe
Setelah Danendra keluar dari kamarnya atau mungkin juga sudah keluar dari unit miliknya. Maharatu justru dilanda gundah gulana. Wanita berparas ayu itu mondar-mandir di dalam kamar. Jemarinya saling meremas satu sama lain. “Bagaimana kalau Endra benar-benar pergi?” Maharatu menghempaskan bobot tubuhnya ke ranjang. Akan tetapi, bukankah itu yang dia inginkan, Danendra pergi. Lalu kenapa dia justru gelisah dan takut ditinggalkan oleh Danendra. Maharatu menjambak rambutnya kasar. Dia bingung harus bagaimana. Di satu sisi dia ingin Danendra pergi agar pria itu bisa bebas dari amukan Bagaskara jikalau perasaan yang tumbuh antara dia dan Danendra ketahuan. Namun, di sisi lain, dia merasa takut. Takut jika Danendra pergi, Maharatu tidak akan bisa melihat wajah Danendra lagi. Logika dan perasaannya mulai berperang. Entah, yang mana yang akan didengar oleh Maharatu. Tapi, bukankah sekali saja dia boleh untuk egois. Pun, para pujangga selalu berkata, “Cinta akan menemukan jalannya sendir
“Kalian sudah baikan?” tanya Sasa saat masuk ke dalam mobil.Sasa bicara begitu karena melihat Maharatu dan Danendra saling melempar canda. “Memangnya kapan kami bertengkar?!” ujar Maharatu.“Kalau tidak bertengkar kenapa kemarin diem-dieman?” selidik Sasa.Maharatu mencubit dua pipi Sasa dengan gemas. “Kemarin kami sama-sama masih capek, pulang dari Bali harus langsung kerja, dan itu juga gara-gara kamu yang tidak memberi kami kesempatan untuk istirahat sejenak, iya, ‘kan, Ndra?”“Benar sekali itu. Sasa ini memang cocok jadi kompeni,” canda Danendra menimpali.“Oiya?!” Sasa bersedep dada dengan mata yang mendelik. Seolah sulit untuk percaya pada perkataan Maharatu dan Danendra.Danendra dan Maharatu saling lirik dari kaca spion. Mereka harus bermain rapi agar Sasa tidak mencurigai hubungan keduanya.“Tentu saja, apalagi kami sempat main petak umpet di Bali,” ujar Danendra yang sengaja memantik rasa penasaran Sasa pada hal lain. “Petak umpet, kenapa?” Danendra tersenyum samar, umpa
Maharatu yang sudah tidak tahan melihat pelayan itu terus dihina hendak melangkah. Namun, Sasa memegang lengan Maharatu, mencegah langkahnya. “Lepas, Sa!” hardik Maharatu. Tatapan Maharatu nyalang, matanya sudah berkaca-kaca. Dia berusaha melepaskan tangan Sasa yang memegangi lengannya. “Mau kemana?” Tatapan Sasa tidak kalah tajam. “Tentu saja merobek mulut gadis itu!” sarkas Maharatu.“Lalu setelah itu apa?” Sasa semakin mengencangkan pegangannya di lengan Maharatu, “memberitahu semua orang bahwa pelayan yang dihina itu adalah adikmu, adik seorang aktris ternama, MA-HA-RA-TU, iya?” Sengaja Sasa menekankan nama ‘Maharatu’, untuk mengingatkan Maharatu tentang posisinya saat ini dan komitmen Maharatu untuk menyembunyikan identitas keluarganya.“Tapi, aku tidak bisa melihat Pangeran dihina, Sa!” Wajah Maharatu memelas. Kakak mana yang terima adiknya dihina di depan banyak orang. Apalagi Pangeran hanya menunduk saat dihina tanpa membela diri. Hati Maharatu hancur. Dia baru saja kel
Di dalam mobil Maharatu sangat cemas. Dia mengkhawatirkan keadaan Pangeran. “Kira-kira, Endra bisa beresin masalah Pangeran, nggak, ya, Sa?”“Pasti bisa, kamu tenang saja!”Di saat kalut seperti ini ponsel Maharatu justru berdering. “Ck, Mas Bagas telpon lagi,” keluh Maharatu saat menatap layar ponselnya.“Angkat!” titah Sasa. “Hallo, Mas,” sapa Ratu yang memandang ke arah Sasa. “Kamu dimana? Kenapa tidak ada di apartemen?”“Maaf, Ratu masih di cafe tempat meet and great.”“Pekerjaanmu belum selesai?”“Sudah, sih, tapi—”“Tapi apa?” tanya Bagaskara sedikit cemas. “Ada masalah dengan Pangeran.”“Baiklah selesaikan dulu masalahmu baru setelah itu pulang?”“Em … Mas. Malam ini Ratu boleh pulang ke rumah Ayah, soalnya masalah Pangeran agak rumit.” Dengan hati-hati Maharatu meminta ijin pada Bagaskara. Sebenarnya Bagaskara sangat ingin bersama Maharatu malam ini, tapi karena mendengar suara Maharatu yang begitu cemas Bagaskara mencoba memberi kelonggaran.“ Baiklah, tapi untuk malam
Suara ketukan membuat Pangeran yang sedang duduk di meja belajarnya menoleh. “Boleh, Mas masuk!” Danendra berdiri di ambang pintu dengan senyum yang mengembang. “Silakan, Mas!” Setelah mendapat izin dari pemilik kamar, Danendra masuk ke dalam kamar. “Interior yang bagus,” puji Danendra setelah menelisik setiap sudut kamar Pangeran. Tanpa menunggu dipersilakan oleh yang punya kamar, Danendra duduk di tepi ranjang. “Desain yang bagus.” Danendra melongok gambar yang sedang dibuat Pangeran di buku gambar. “Terima kasih, Mas.” Pangeran meletakkan pensil lalu menggeser kursinya agar menghadap ke arah Danendra secara langsung. “Daripada kerja di tempat lain, kenapa nggak buka usaha sendiri saja,” saran Danendra pada Pangeran. “Buka usaha apa, Mas?” “Costum kaos misalnya. Kan, kamu pintar gambar.” “Maksudnya?!” “Kamu buat desain yang bagus terus coba aplikasikan desain yang kamu buat itu ke dalam kaos. Post hasilnya di media sosial. Lalu tawarkan di sana. Untuk desain tulisan
“Terima kasih karena sudah bicara pada, Pangeran,” ucap Maharatu yang menyandarkan kepalanya di pundak Danendra. Danendra mengusap pipi Maharatu lembut. “Kalian hanya miskomunikasi saja, sebenarnya.” “Kamu benar Sayang, seharusnya aku bertanya pelan-pelan pada Pangeran. Apa alasan yang mendasari dia bekerja bukannya malah langsung marah seperti tadi." Masih saja ada rasa sesal yang bercokol di hati Maharatu. “Sebenarnya kamu itu marah bukan karena Pangeran bekerja, tapi karena Pangeran dipermalukan di depan semua orang, ‘kan? Tapi sayangnya, kamu tidak tau haru melampiaskanya pada siapa? Jalan termudah, ya, kamu melampiaskanya pada Pangeran” “Kakak mana yang terima adiknya di hina seperti tadi, Ndra. Di depan semua orang lagi.” Keduanya sedang berada di kamar tamu, tempat Danendra tidur saat berada di rumah Maharatu. “Kata Pangeran, tadi Ayang kasih saran supaya dia buka usaha sendiri, ya?” sambung Maharatu. Mendengar panggilan Ayang dari Maharatu, sudut bibir Danendra terang