Sore itu sehabis les dan mandi, Alex menghabiskan waktunya berkutat di depan laptopnya, seperti sedang mencari sesuatu di internet. Ia terus saja mengetikkan kata-kata kunci pencarian di Google dan melihat hasil pencarian yang diberikan oleh mesin pencari itu. Ia mengetikkan kata kunci "makeup terbaik untuk remaja" dan melihat hasil yang keluar. Dibukanya website-website resmi yang menjual makeup di halaman itu, dan dibukanya gambar-gambar yang tertera di sana satu per satu.
Ia menghela nafas sambil tangannya menyentuh dahinya, merasa seperti sedang kebingungan.
"Hah... diliat berkali-kali tetep aja nggak ngerti juga," keluhnya pada diri sendiri yang tak kunjung mengerti kegunaan produk-produk makeup yang dilihatnya tadi.
"Banyak banget sih macemnya," keluhnya lagi dengan alis yang mengernyit memandangi layar laptopnya.
Setelah mengetahui bahwa tas kecil Elisa diambil oleh Sandra tadi pagi, ia berniat menggantinya agar Elisa tak merasa sedih lagi. Sebenar
Elisa merasa heran melihat tas kertas yang ada di hadapannya itu. Ia masih tak percaya ada seseorang yang mengirimkannya sesuatu dengan diam-diam seperti itu. Ia mulai penasaran dengan apa isi tas tersebut karena terasa cukup berat ketika diangkat. Perasaannya bercampur antara penasaran, senang, dan takut. Ia takut kalau-kalau tas itu berisi sesuatu yang buruk, yang dikirimkan oleh seseorang yang tak menyukinya.Ia membuka tas itu dan mengeluarkan sebuah kotak yang berukuran cukup besar berwara merah muda dengan pita biru. Ia membuka kotak itu dan merasa sangat terkejut melihat berbagai macam produk kosmetik yang masih terbungkus rapi dari berbagai merk di dalamnya. Ia melihat sebuah set lengkap peralatan makeup, skin care, dan parfum dari berbagai merk mahal yang tentu saja tak akan dapat dijangkaunya bahkan dengan menabung selama bertahun-tahun sekalipun. Ia masih tak percaya bahwa isi kotak itu semua diperuntukkan baginya. Ia pun melihat sepucuk kartu kecil lagi d
Elisa memandang ke arah orang yang menarik tangannya itu dengan wajah terkejut. Dilihatnya Alex sedang memegang tangannya sambil memandang Ryan dengan wajah dingin."Ngapain kamu narik tangan Elisa?" tanya Ryan dengan wajah marahnya."Emangnya kenapa? Elisa bukan pacar kamu kan?" jawab Alex dengan ketus.Ryan terkekeh dibuatnya. "Terus kamu pikir kamu siapanya?" tanya Ryan."Jangan deketin Elisa lagi," pinta Alex tanpa menjawab pertanyan Ryan."Emangnya kenapa? Suka-suka aku dong mau deketin siapa. Kamu juga bukan siapa-siapanya," jawab Ryan dengan santainya.Alex berjalan mendekat ke arah Ryan, bermaksud melakukan sebuah konfrontasi untuk memperingatkan Ryan. "Kamu tau, kamu itu bisa bahayain Elisa," kata Alex dengan tatapan mata tajamnya.Elisa terkejut mendengar perkataan Alex itu. Dari mana Alex tahu kalau kedekatannya dengan Ryan bisa membahayakan keadannya? Ia belum pernah memberitahu Alex alasan sebenarnya di balik Sandra
Bunyi mesin Scoopy berderu. Elisa mengendarai Scoopy hitamnya dengan helm berwarna biru kesayangannya, mengenakan seragam putih abu-abu dan jaket denim berwarna biru. Sudah pasti ia akan berangkat ke sekolah pagi itu. Ia melewati jalanan dekat area tempat tinggalnya, sebuah kompleks pertokoan di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pagi hari biasanya banyak pedagang jajanan di pinggir jalan yang menjajakan dagangannya untuk sarapan atau bekal. "Pagi, Pak Yanto!" Elisa menyapa seorang tukang bubur ayam yang mangkal di pinggir jalan dari atas motornya. "Eh, pagi Sa!" Pak Yanto menyahut sambil berteriak. Kemudian Elisa melewati seorang ibu penjual jajanan basah, tidak jauh dari tempat Pak Yanto mangkal. "Pagi, Bu Sumi!" Elisa menyapa Bu Sumi sambil melambai kecil ke arahnya. "Pagi, Dek!" Bu Sumi menyahutinya sambil tersenyum. Elisa pun melanjutkan perjalanannya ke sekolah, keluar dari daerah tempat t
Elisa duduk terdiam di depan laptop di dalam kamarnya. Di sebelahnya terdapat sebuah lemari khusus tempat menyimpan semua piala dan sertifikat. Semuanya itu ia dapatkan selain dari predikat sebagai juara kelas, peraih nilai tertinggi, dan lomba-lomba akademik, juga dari bidang non-akademik seperti menyanyi. Ia menatap layar laptopnya yang sudah terlihat lama dan agak butut. Ia sedang memandangi situs sebuah kampus ternama di Inggris, Cambridge University. Dibacanya seluruh program studi yang tersedia dan fasilitas-fasilitas yang ada di sana. Ini bukan kali pertamanya menelusuri website kampus prestisius tersebut. Mungkin sudah ketiga kalinya dalam minggu ini. Ya, memang ia bercita-cita kuliah di kampus tersebut. Inggris dan bahasanya telah memiliki tempat tersendiri di hati Elisa. Cita-citanya untuk bisa kuliah di Inggris bahkan sudah ada semenjak hari pertamanya masuk SMA. Namun ia tahu pasti bahwa cita-citanya tersebut bukanlah cita-cita yang mudah digapai. Itu sem
Kriiiiing!! Tangan Alex meraih telepon seluler di atas meja dekat tempat tidurnya dan mematikan alarmnya. Ia meregangkan badannya di atas kasur besar berukuran king size, masih berselimutkan selimut berwarna krem yang tebal dan lembut. Ia pun bangkit duduk dan mengumpulkan kesadarannya. Tentu saja tidurnya sangat nyenyak malam itu, sama seperti malam-malam sebelumnya. Bagaimana tidak? Kasurnya sangat besar, empuk dan tebal. Belum lagi bantal dan guling yang semuanya memiliki standar kualitas hotel. Kamarnya sangat luas bisa dibilang seluas lapangan voli, dengan nuansa abu-abu muda. Fasilitas yang lengkap seperti TV berukuran besar, kulkas kecil, AC, home theater, dan water heater pasti membuatnya semakin betah di kamar. Kamarya itu pun memiliki area belajar sendiri dan terdapat beberapa buah sofa empuk untuk bersantai. Ia pun turun dari tempat tidurnya dan segera menuju ke kamar mandi dalam kamarnya, yang pintunya tak jauh dari tempatnya tidur. Serasi d
Alex, Joshua, dan Steven sedang mengikuti pelajaran ketiga mereka pagi itu, Bahasa Jepang. Mereka mengikuti pelajaran dengan serius, seperti selayaknya murid-murid yang lain di sana. SMA Akasia terkenal sebagai SMA yang disiplin serta menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dan nilai-nilai moral. Mereka bertiga berada di dalam kelas yang sama, kelas 10-A. Pembagian kelas di sana tidak berdasarkan kategori nilai siswa, tetapi selalu diacak setiap kenaikan kelas agar para siswa dapat bersosialisasi dengan siswa-siswa lainnya dalam satu angkatan. Siswa-siswa yang memiliki kelebihan dalam bidang akademik juga diharapkan bisa membantu siswa lain yang masih dirasa kurang. Kriiing! Jam 09.15. Bel istirahat pertama berbunyi. Siswa-siswa pun langsung berhamburan keluar kelas. Di sana ada peraturan, semua siswa harus keluar kelas pada saat jam istirahat agar dapat saling bersosialisasi dengan siswa-siswa dari kelas lainnya dan menggunakan semua fasilitas s
Niken berdiri tercekat, Sonya pun ikut berhenti. Di depannya berdiri Steven melihat ke arahnya. Niken tak tahu harus berbuat atau berkata apa. "Hai," sapa Steven memecah suasana. "Ha- hai," jawab Niken, masih dengan ekspresi kagetnya. Sonya yang masih berdiri di samping Niken hanya bisa memandangi mereka berdua tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi. "Tadi aku ngeliat kamu dari bawah pas lagi main basket," kata Steven terang-terangan namun dengan gaya yang masih jaga image. "Ma- masa?" tanya Niken tergagap, mati kutu. "Iya," balas Steven sambil tersenyum. "Oh ya, aku Steven dari kelas 10-A." Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Niken. "Ni...ken, 10-C," kata Niken sambil menyambut uluran tangan Steven. Sonya membelalak sambil menyenggol-nyenggol kecil lengan Niken. Ia masih tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Steven Gunawan, anak salah satu pemilik perusahaan investasi terbesar Indonesia, yang n
Sesampainya di rumah, Elisa memarkirkan motornya. Raut wajahnya terlihat lesu setelah apa yang dialaminya siang tadi bersama sahabat-sahabatnya. Perasaan sedih yang ia rasakan terbawa sampai ia pulang. "Elisa pulang," seru Elisa dengan tak bersemangat memasuki rumahnya. Ayahnya menoleh ke arahnya dan berlari dengan wajah sumringah, seperti hendak menyampaikan sebuah kabar baik. Tapi raut wajahnya mendadak berubah ketika melihat wajah Elisa yang muram. "Loh, Sa. Kenapa kok muka kamu sedih gitu?" tanya ayahnya cemas. "Sedih, Yah... Gimana kalau sebentar lagi Elisa bener-bener pindah sekolah dan ninggalin sahabat-sahabat Elisa, Yah?" tanya Elisa dengan bibirnya dimanyunkan, dan matanya seperti berkaca-kaca. "Lho, kok kamu jadi sedih? Katanya mau ke Inggris..." kata ayahnya sambil mengelus pipi anaknya itu. Elisa hanya bisa mengangguk-angguk sambil bibirnya tetap dimanyunkan dan matanya masih berkaca-kaca melihat ayahnya. "Beneran masih pi
Elisa memandang ke arah orang yang menarik tangannya itu dengan wajah terkejut. Dilihatnya Alex sedang memegang tangannya sambil memandang Ryan dengan wajah dingin."Ngapain kamu narik tangan Elisa?" tanya Ryan dengan wajah marahnya."Emangnya kenapa? Elisa bukan pacar kamu kan?" jawab Alex dengan ketus.Ryan terkekeh dibuatnya. "Terus kamu pikir kamu siapanya?" tanya Ryan."Jangan deketin Elisa lagi," pinta Alex tanpa menjawab pertanyan Ryan."Emangnya kenapa? Suka-suka aku dong mau deketin siapa. Kamu juga bukan siapa-siapanya," jawab Ryan dengan santainya.Alex berjalan mendekat ke arah Ryan, bermaksud melakukan sebuah konfrontasi untuk memperingatkan Ryan. "Kamu tau, kamu itu bisa bahayain Elisa," kata Alex dengan tatapan mata tajamnya.Elisa terkejut mendengar perkataan Alex itu. Dari mana Alex tahu kalau kedekatannya dengan Ryan bisa membahayakan keadannya? Ia belum pernah memberitahu Alex alasan sebenarnya di balik Sandra
Elisa merasa heran melihat tas kertas yang ada di hadapannya itu. Ia masih tak percaya ada seseorang yang mengirimkannya sesuatu dengan diam-diam seperti itu. Ia mulai penasaran dengan apa isi tas tersebut karena terasa cukup berat ketika diangkat. Perasaannya bercampur antara penasaran, senang, dan takut. Ia takut kalau-kalau tas itu berisi sesuatu yang buruk, yang dikirimkan oleh seseorang yang tak menyukinya.Ia membuka tas itu dan mengeluarkan sebuah kotak yang berukuran cukup besar berwara merah muda dengan pita biru. Ia membuka kotak itu dan merasa sangat terkejut melihat berbagai macam produk kosmetik yang masih terbungkus rapi dari berbagai merk di dalamnya. Ia melihat sebuah set lengkap peralatan makeup, skin care, dan parfum dari berbagai merk mahal yang tentu saja tak akan dapat dijangkaunya bahkan dengan menabung selama bertahun-tahun sekalipun. Ia masih tak percaya bahwa isi kotak itu semua diperuntukkan baginya. Ia pun melihat sepucuk kartu kecil lagi d
Sore itu sehabis les dan mandi, Alex menghabiskan waktunya berkutat di depan laptopnya, seperti sedang mencari sesuatu di internet. Ia terus saja mengetikkan kata-kata kunci pencarian di Google dan melihat hasil pencarian yang diberikan oleh mesin pencari itu. Ia mengetikkan kata kunci "makeup terbaik untuk remaja" dan melihat hasil yang keluar. Dibukanya website-website resmi yang menjual makeup di halaman itu, dan dibukanya gambar-gambar yang tertera di sana satu per satu.Ia menghela nafas sambil tangannya menyentuh dahinya, merasa seperti sedang kebingungan."Hah... diliat berkali-kali tetep aja nggak ngerti juga," keluhnya pada diri sendiri yang tak kunjung mengerti kegunaan produk-produk makeup yang dilihatnya tadi."Banyak banget sih macemnya," keluhnya lagi dengan alis yang mengernyit memandangi layar laptopnya.Setelah mengetahui bahwa tas kecil Elisa diambil oleh Sandra tadi pagi, ia berniat menggantinya agar Elisa tak merasa sedih lagi. Sebenar
"Elisa pulang!" seru Elisa saat memasuki rumahnya.Wajahnya siang itu tampak sangat lesu dan tak bersemangat. Terbayang peralatan makeup kesayangannya yang dirampas oleh Sandra tadi pagi. Ia terus saja memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa membeli peralatan makeup yang baru, sementara ia tak mempunyai cukup tabungan saat ini. Ia pun kemudian menjatuhkan dirinya ke sofa depan TV sambil meghela nafas panjang.Ayahnya berjalan menghampirinya dan melihat wajah lesu anaknya itu."Lah kok mukanya kusut gitu? Ada apa, Sa?" tanya ayahnya sambil duduk di sebelahnya."Nggak ada apa-apa kok, Yah," jawab Elisa berbohong. Tentu saja ayahnya tak langsung percaya."Ah, masa nggak ada apa-apa? Kayaknya kok ada apa-apa gitu?" tanya ayahnya berusaha mencari jawaban yang sebenarnya."Nggak ada apa-apa kok, Yah. Elisa cuma capek aja," jawab Elisa.Ayahnya sejenak memandanginya. Ia tentu tahu bahwa anaknya itu sedang menyimpan suatu permasalahan dalam
Alex berlari dengan panik mencari di mana keberadaan Elisa sebenarnya. Ia mencari di segala ruangan yang mungkin didatangi Elisa, seperti perpustakaan ataupun learning centre, namun tak kunjung menemukannya. Ia merasa semakin panik dan bingung.Sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah sehabis berlari tadi, ia teringat bahwa terdapat sebuah toilet perempuan lagi di dalam sekolah itu yang belum sempat ia periksa, yaitu toilet di sport hall. Ia pun berlari ke arah toilet tersebut dan berharap bahwa toilet terakhir yang ditujunya itu bisa memberikannya sebuah jawaban.Ia berdiri di depan pintu toilet dan menunggu adanya seseorang yang keluar dari toilet itu. Tapi didengarnya samar-samar seperti ada suara seorang perempuan yang menangis dan bertengkar di dalam toilet itu. Merasa ada yang tak beres, tak ambil pusing dengan apa yang akan dikatakan orang padanya, ia pun memutuskan untuk masuk ke toilet itu dan melihat siapa yang ada di dalamnya.Saat melangkah
Sandra sedang berbaring di atas sebuah kasur di dalam ruang UKS. Entah mengapa meskipun mengantuk ia tetap tidak bisa tertidur dengan nyenyak di ruangan itu. Tiba-tiba ia mendengar ada suara notifikasi yang menandakan sebuah sebuah pesan masuk di handphone-nya. Ia segera mengambilnya dan membuka pesan yang ternyata dari Melissa, teman dekatnya itu."Duh, ngapain sih Melissa kirim-kirim pesen? Udah tau aku mau tidur," gumam Sandra pada dirinya sendiri dengan perasaan kesal.Saat ia membuka pesan yang dikirim oleh Melissa itu, matanya membelalak lebar karena terkejut. Rasa kantuk seketika hilang saat itu juga, tergantikan oleh sebuh rasa marah. Di layar handphone-nya itu, ia melihat foto Ryan yang sedang duduk berhadapan dengan Elisa di dalam kantin.Apa-apaan ini? Berani-beraninya dia nunjukin kedeketannya sama Ryan di depan anak-anak? Kalo gini caranya satu sekolah bisa tau kalo mantanku sekarang deket sama anak beasiswa! Sandra membatin saat melihat foto terseb
Jam 03.00 pagi. Sandra baru saja pulang syuting dan langsung tidur di kamarnya tanpa mengganti baju dan menghapus makeup-nya karena rasa kantuk berat yang dirasakannya. Ia memang terbiasa mengikuti kegiatan syuting sinetron dari sepulang sekolah sampai larut malam, tak jarang sampai dini hari. Seperti yang saat ini tengah ia alami.Tujuannya menjadi seorang artis bukan untuk mencari uang karena keluarganya sudah sangat berkecukupan. Ia menjadikannya sebagai sebuah hobi dan cita-cita. Itu semua didukung oleh papanya, Tony Halim, yang merupakan pemilik salah satu stasiun TV nasional, HiTV. Sandra bisa menjadi artis pun karena kekuatan pengaruh dari papanya itu. Padahal sebenarnya tujuannya menjadi artis hanyalah untuk mencari popularitas, sehingga kemampuan aktingnya pun tidak terlalu bagus. Karena itu pula, ia jarang didapuk menjadi pemeran utama dalam sinetron maupun film yang dibintnginya. Lagipula bagus ataupun tidak bagus aktingnya, tidak akan ada yang berani menghentikann
Malam itu, papa dan mama Alex pulang lebih awal dari biasanya. Alex yang baru saja turun ke bawah dari kamarnya, melihat mamanya itu seperti sedang keskitan sambil menggaruk-garuk tangannya dan menimbulkan bekas kemerahan pada kedua tangannya. Bi Sum sedang membantu mamanya itu untuk berjalan dan membantunya duduk di ruang keluarga sementara papanya sedang membawakan tas mamanya di belakang mereka."Loh, Mama kenapa, Ma?" tanya Alex berjalan menghampiri mamanya."Nggak tau nih, gatel-gatel semua. Kayaknya alergi," jawab mamanya."Emangnya habis makan apa tadi?" tanya Alex."Kayaknya mama kamu tadi ambil siomay isi udang pas acara," jawab papanya."Mama udah tau alergi udang kok ambil itu sih?" tanya Alex dengan perasaan cemas."Mama nggak tau, kirain isinya cuma ayam. Soalnya halus banget gilingan dagingnya," jawab mamanya sambil meringis menahan gatal dan sakit."Alex, jagain Mama bentar ya. Papa mau telepon Om Adi dulu," pinta papan
Pagi itu, kelas Alex sedang mengikuti pelajaran olahraga. Para siswa di kelas Alex saat itu sedang mempelajari teknik bermain voli di lapangan voli dalam sport hall. Mereka mengikuti pelajaran olah raga dengan sangat asyik dan menikmatinya. Mereka bergantian menggunakan lapangan untuk bermain, dan saat itu Alex belum mendapat giliran untuk bermain sehingga ia pun duduk di pinggir lapangan.Saat itu juga masuklah siswa-siswa dari kelas 11-B ke dalam sport hall menuju ke lapangan basket. Mereka baru saja mempelajari teori basket di kelas sebelum menuju ke sana. Alex sangat hafal bahwa teman-teman yang dilihatnya itu berasal dari kelas 11-B karena ia melihat Martin, Niken, dan tentu saja Joshua."Hei, bro!" Sapa Joshua menghampiri Alex kemudian melakukan high five. Saat itu, Steven sedang bermain voli di lapangan.Joshua pun berlari kembali ke kumpulan kelasnya di lapangan basket. Saat melihat Joshua berlari kembali itu, Alex melihat Elisa yang sedang berdiri denga