Kriiiiing!!
Tangan Alex meraih telepon seluler di atas meja dekat tempat tidurnya dan mematikan alarmnya. Ia meregangkan badannya di atas kasur besar berukuran king size, masih berselimutkan selimut berwarna krem yang tebal dan lembut.
Ia pun bangkit duduk dan mengumpulkan kesadarannya. Tentu saja tidurnya sangat nyenyak malam itu, sama seperti malam-malam sebelumnya. Bagaimana tidak? Kasurnya sangat besar, empuk dan tebal. Belum lagi bantal dan guling yang semuanya memiliki standar kualitas hotel. Kamarnya sangat luas bisa dibilang seluas lapangan voli, dengan nuansa abu-abu muda. Fasilitas yang lengkap seperti TV berukuran besar, kulkas kecil, AC, home theater, dan water heater pasti membuatnya semakin betah di kamar. Kamarya itu pun memiliki area belajar sendiri dan terdapat beberapa buah sofa empuk untuk bersantai.
Ia pun turun dari tempat tidurnya dan segera menuju ke kamar mandi dalam kamarnya, yang pintunya tak jauh dari tempatnya tidur. Serasi dengan kamarnya, kamar mandinya itu pun luas dilengkapi dengan ruang wastafel, ruang WC, ruang shower, dan bathub yang terpisah oleh sekat kaca. Lapisan lantai dan dindingnya mengkilap, terbuat dari granit dan marmer.
Ia pun segera mandi.
Selesai mandi, ia mengenakan seragam sekolahnya: kemeja lengan panjang berwarna putih, celana abu-abu, dasi bergaris merah-hitam, dan tidak lupa jas almamater berwarna abu-abu dengan logo SMA Akasia di bagian depan dada sebelah kiri.
Di depan cermin, ia merapikan rambut pendeknya yang berwarna hitam lurus dengan sisirnya, sebagian tipis rambutnya terjuntai jatuh ke depan. Membuatnya terlihat semakin keren saja. Di dalam cermin terdapat bayangan lelaki muda tampan berkulit putih dengan wajah yang memancarkan maskulinitas, tatapan matanya penuh kharisma, hidungnya mancung dan sempurna jika dilihat dari samping, dan bibirnya basah berwarna merah jambu. Pesonanya akan mampu melumpuhkan hati banyak gadis.
Selesai dengan semua persiapannya, ia pun mengenakan jaket bisbol berwarna biru-putih kesayangannya dan mengambil backpack berwarna hitam, lalu turun ke lantai bawah.
"Lex, sarapan dulu!" seru mamanya yang sedang duduk di ruang makan.
Rumah Alex bernuansa modern kontemporer dengan warna dominan abu-abu dan putih. Sangat elegan. Ruang makan, dapur, dan ruang keluarga ditata menyatu dengan konsep open space, membuat rumahnya yang luas terlihat semakin luas. Kaca-kaca yang lebar sangat dominan mengelilingi ruangan sehingga membuat cahaya matahari pagi bisa dengan mudahnya masuk ke dalam rumah. Kegiatan makan pun akan lebih nyaman ditemani dengan pemandangan taman dan kolam renang yang ada di bagan belakang rumah.
Alex berjalan menghampiri mamanya di meja makan dan mengambil sepotong roti sandwich di atas meja lalu memakannya.
"Ayo duduk dulu. Makan dulu kamu," pinta mamanya.
Mamanya berusia 50 tahun namun terlihat lebih muda dari usianya dan masih cantik. Rambutnya hitam pendek sebahu dan tampilannya sederhana, wajahnya tidak dihias dengan riasan tebal dan baju yang dikenakannya pun hanya sehelai kaos biasa dengan celana panjang kain tipis.
"Ini aja, Ma. Aku agak buru-buru soalnya. Aku berangkat dulu ya, Ma," kata Alex sambil mencium tangan dilanjutkan dengan pipi mamanya.
Ia kemudian menuju ke ruang keluarga. Di situ ada papanya mengenakan kaos dan celana pendek, sedang duduk membaca koran. Papanya masih setia dengan media cetak, walaupun ia juga selalu mengikuti berita di TV dan internet.
"Pa, berangkat." Alex mencium tangan dan pipi papanya.
"Ya, hati-hati," sahut papanya.
Keluarganya memang sangat kaya namun sangat sederhana. Rumahnya boleh saja mewah tetapi para penghuninya lebih suka mengenakan pakaian yang sederhana saat di rumah dengan gaya hidupnya yang sederhana pula.
Mama dan papanya memulai bisnis mereka dari bawah sampai akhirnya bisa berada di posisi sekarang ini. Mereka mengalami banyak jatuh bangun dan pernah merasakan hidup susah, sampai tempat tinggal pun dulu mereka hanya mengontrak. Pengalaman hidup mereka itulah yang akhirya membuat mereka tidak pernah melupakan dari mana mereka berasal dan tetap rendah hati.
Alex berjalan keluar dari rumah melewati pintu samping, menuju garasinya yang sangat luas dan terisi beberapa mobil. Garasi itu pernah mampu menampung sampai 8 mobil sekaligus. Tapi bukan mobil yang ia tuju. Ia berjalan menuju ke arah sebuah motor Ducati Panigale R berwarna putih yang sedang terparkir dan langsung naik ke atasnya. Ia langsung mengenakan helm racingnya yang berwarna putih juga. Saat ia menaiki motor tersebut, terlihat postur tubuhnya yang bertinggi 182 cm sangat pas dengan tinggi motor tersebut.
Alex menyalakan motornya dan segera melajukannya. Normalnya, ia memacu motornya dengan kecepatan rata-rata 70 km/jam. Motornya memang bermesin cepat. Superbike. Namun ia bukan pengemudi ugal-ugalan yang beresiko membahayakan orang lain.
***
Joshua sedang berdiri di sebelah mobil sport Audi TT Coupe berwarna abu-abu tua miliknya. Ia mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Alex, rambutnya disisir ke atas dan terlihat sangat rapi. Mata coklat, hidung mancung, dan dagu belahnya sangat menarik perhatian. Ia sedang fokus memainkan telepon seluler keluaran terbaru miliknya, membalas beberapa pesan yang masuk pagi itu sambil sesekali membalas sapaan teman-temannya yang lewat di depannya. Beberapa mobil lain terparkir di sebelahnya menyisakan satu tempat kosong di sebelah kirinya.
Tak lama kemudian, datanglah sebuah mobil sport Mercedes Benz Coupe AMG GT berwarna kuning dan diparkir di sebelah kiri mobil Joshua. Mobil itu adalah mobil termahal yang terparkir di sana. Dari dalamnya keluarlah seorang pemuda tampan lain sambil menyibakkan rambut coklat gelapnya dengan jari-jarinya, khas gerakan para flower boy di film-film. Tatapan matanya sangat menawan. Jam tangan, tas, dan sepatu yang dikenakannya jika dirupiahkan mungkin bisa untuk membeli sebuah motor gede. Namanya adalah Steven, siswa yang dinobatkan sebagai siswa tertampan di sekolah. Bisa dibayangkan kan, visualnya yang setara artis-artis Negeri Ginseng.
Steven berjalan menghampiri Joshua yang sedari tadi memang sedang menunggunya. Joshua dan Steven adalah sahabat Alex mulai SMP. Tapi mereka berdua sudah bersahabat sejak SD. Masa SD Alex dihabiskan di Singapura, jadi mereka baru memasuki sekolah yang sama saat SMP.
"Alex mana, Josh? " tanya Steven.
"Bentar lagi juga dateng," jawab Joshua dengan aksen campuran Indonesia-Amerika. Ia kemudian melihat ke arah parkiran motor dan muncullah Alex. "That's him!" Pemuda blasteran itu berseru.
Alex berjalan menghampiri mereka, masih mengenakan jaket bisbolnya.
"Yuk, masuk," ajak Alex.
Mereka pun berjalan bertiga sambil tertawa dan bercanda menuju ke gedung sekolah SMA Akasia yang megah nan elit itu. Saat memasuki gedung sekolah, seperti hari-hari lainnya, banyak mata yang memandangi mereka. Ada yang diam-diam, ada pula yang terang-terangan. Namun yang pasti 80% dari mereka adalah siswa perempuan. Kadang sambil memandangi, mereka pun berbisik dengan teman di sebelahnya, membicarakan bagaimana mereka mengagumi salah satu atau bahkan ketiga-tiganya.
Siapa yang tidak akan terpesona? Mereka bertiga berjalan bersama bak sekumpulan pangeran, sangat menarik perhatian. Siswa-siswa di sana menyebut mereka sebagai Trio Casanova, trio pria-pria tampan dan kaya yang jarang ditemui di sekolah-sekolah lain. Anggotanya adalah Steven Gunawan, Joshua Hartanto, dan Alex Linardi. Trio Casanova sudah melegenda mulai SMP.
Namun di tengah sinar terangnya, ada satu hal yang selalu menjadi bahan pergunjingan orang-orang yang melihat mereka. Mereka berpikir salah satu dari Trio Casanova bukanlah orang yang sepadan dengan dua orang yang lainnya. Dan orang itu adalah Alex...
Seisi sekolah tahu bahwa ayah Joshua dan Steven merupakan salah satu dari daftar 100 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes. Tapi mereka tidak pernah tahu apa pekerjaan atau usaha ayah Alex karena ia selalu berusaha menyembunyikannya. Nama belakangnya memang sama dengan pemilik sekolah sekaligus orang terkaya Indonesia nomor 18, Bambang Linardi. Tapi Alex selalu menyangkal dan tak pernah menunjukkan keterlibatannya dengan keluarga sang Konglomerat itu. Ia selalu mengatakan bahwa ayahnya hanyalah seorang manajer di perusahaan besar, tidak ada yang spesial jika dibandingkan dengan teman-teman sekolahnya yang lain.
Yang teman-teman sekolahya tahu, Alex hanya sebatas kaya saja, tidak sekaya teman-temannya yang lain di Trio Casanova. Mereka menganggap Alex tergolong siswa "umum" di sekolah elit itu, yang memperoleh privilege atau keuntungan popularitas karena bersahabat sejak lama dengan Steven dan Joshua. Apalagi mereka melihat Alex merupakan satu-satunya dari Trio yang mengendarai motor, meskipun tidak banyak dari para gadis itu yang memahami bahwa harga motornya sebenarnya lebih mahal dari mobil Joshua. Tapi di atas itu semuanya, mereka tetap harus mengakui ketampanan Alex yang di atas rata-rata dan kharismanya yang tak terbendung.
***Jam 5.00 sore.
Elisa sedang berkutat dengan laptopnya. Ia sibuk mengisi formulir pendaftaran beasiswa dari SMA Akasia. Semua kolom yang tersedia diisinya sambil terus berharap sekolah itu kelak akan memanggilnya. Ia pun turut melampirkan semua foto sertifikat yang pernah diraihnya beserta nilai-nilai rapornya yang terdahulu.
Dan akhirnya ia sampai pada halaman persetujuan orang tua. Ia segera mencetaknya melalui printer butut yang ada disebelah laptopnya, kemudian menuju kedai yang menyatu di bagian depan rumahnya untuk menemui ayahnya. Di sana ayahnya sedang menyiapkan soto untuk beberapa pelanggan, dibantu oleh Qodir.
"Ayah, Elisa ganggu bentar boleh?" tanya Elisa dengan sopan.
"Iya, Nak. Ada apa?" Ayahnya berbalik badan menghadap Elisa.
"Ini... minta tanda tangan persetujuan beasiswa," pinta Elisa sambil menyodorkan beberapa lembar kertas dan sebuah pulpen. Ayahnya pun segera membersihkan tangannya, kemudian menandatanganinya dengan tidak berpikir panjang karena ia juga masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Makasih, Ayah," kata Elisa sambil tersenyum lebar. Ayahnya tersenyum sambil mengusap rambut Elisa lalu melanjutkan racikan sotonya.
Elisa masuk ke kamarnya, menyimpan surat tersebut dengan rapi di atas mejanya kemudian kembali lagi ke kedai. Ia berdiri di samping ayahnya, di belakang meja kasir. Ya, Elisa biasa membantu ayahnya berjualan dengan menerima pesanan dan menjadi kasir. Tak jarang karena kasirnya yang cantik, beberapa orang pun menjadi pelanggan tetap Soto Pak Dahlan.
Elisa tidak pernah malu membantu ayahnya di kedai karena ia senang bertemu para pelanggan setia dan para pelanggan baru. Ia bahagia melihat ayahnya yang juga bahagia melakukan apa yang disenanginya. Ayahnya sudah bekerja terlalu keras untuknya. Ia pun bercita-cita menjadi orang yang sukses dan membahagiakan ayahnya kelak. Ia tahu betul jalannya tidak akan mulus, tapi ia optimis ia akan dapat melaluinya. SMA Akasia... apapun keputusan dari kalian akan mengubah hidup Elisa selanjutnya.
Kalau kamu suka ceritanya dan penasaran tentang kelanjutan kisah para tokoh dengan segala konflik dan intriknya yang makin memanas nantinya, jangan lupa masukkan cerita ini ke Daftar Pusataka ya. ❤️ Akan UPDATE 2 BAB SETIAP HARI 🤩 Jangan lupa juga kasih rating dan komentar kalian tentang novel ini. Ceritanya dijamin akan seru! 🔥🔥 Thank you dan sampai jumpa di bab-bab selanjutnya ❤️
Alex, Joshua, dan Steven sedang mengikuti pelajaran ketiga mereka pagi itu, Bahasa Jepang. Mereka mengikuti pelajaran dengan serius, seperti selayaknya murid-murid yang lain di sana. SMA Akasia terkenal sebagai SMA yang disiplin serta menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dan nilai-nilai moral. Mereka bertiga berada di dalam kelas yang sama, kelas 10-A. Pembagian kelas di sana tidak berdasarkan kategori nilai siswa, tetapi selalu diacak setiap kenaikan kelas agar para siswa dapat bersosialisasi dengan siswa-siswa lainnya dalam satu angkatan. Siswa-siswa yang memiliki kelebihan dalam bidang akademik juga diharapkan bisa membantu siswa lain yang masih dirasa kurang. Kriiing! Jam 09.15. Bel istirahat pertama berbunyi. Siswa-siswa pun langsung berhamburan keluar kelas. Di sana ada peraturan, semua siswa harus keluar kelas pada saat jam istirahat agar dapat saling bersosialisasi dengan siswa-siswa dari kelas lainnya dan menggunakan semua fasilitas s
Niken berdiri tercekat, Sonya pun ikut berhenti. Di depannya berdiri Steven melihat ke arahnya. Niken tak tahu harus berbuat atau berkata apa. "Hai," sapa Steven memecah suasana. "Ha- hai," jawab Niken, masih dengan ekspresi kagetnya. Sonya yang masih berdiri di samping Niken hanya bisa memandangi mereka berdua tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi. "Tadi aku ngeliat kamu dari bawah pas lagi main basket," kata Steven terang-terangan namun dengan gaya yang masih jaga image. "Ma- masa?" tanya Niken tergagap, mati kutu. "Iya," balas Steven sambil tersenyum. "Oh ya, aku Steven dari kelas 10-A." Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Niken. "Ni...ken, 10-C," kata Niken sambil menyambut uluran tangan Steven. Sonya membelalak sambil menyenggol-nyenggol kecil lengan Niken. Ia masih tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Steven Gunawan, anak salah satu pemilik perusahaan investasi terbesar Indonesia, yang n
Sesampainya di rumah, Elisa memarkirkan motornya. Raut wajahnya terlihat lesu setelah apa yang dialaminya siang tadi bersama sahabat-sahabatnya. Perasaan sedih yang ia rasakan terbawa sampai ia pulang. "Elisa pulang," seru Elisa dengan tak bersemangat memasuki rumahnya. Ayahnya menoleh ke arahnya dan berlari dengan wajah sumringah, seperti hendak menyampaikan sebuah kabar baik. Tapi raut wajahnya mendadak berubah ketika melihat wajah Elisa yang muram. "Loh, Sa. Kenapa kok muka kamu sedih gitu?" tanya ayahnya cemas. "Sedih, Yah... Gimana kalau sebentar lagi Elisa bener-bener pindah sekolah dan ninggalin sahabat-sahabat Elisa, Yah?" tanya Elisa dengan bibirnya dimanyunkan, dan matanya seperti berkaca-kaca. "Lho, kok kamu jadi sedih? Katanya mau ke Inggris..." kata ayahnya sambil mengelus pipi anaknya itu. Elisa hanya bisa mengangguk-angguk sambil bibirnya tetap dimanyunkan dan matanya masih berkaca-kaca melihat ayahnya. "Beneran masih pi
Elisa berlari menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV di ruang tamu. "Aduh duh duh... jangan lari-lari, udah malem, Sa! Ntar dikira tetangga ada gempa bumi," omel ayahnya dengan menunjukkan ekspresi kaget. "Yah, Yah, tau nggak?" tanya Elisa bersemangat. "Kasih tau dulu dong, baru Ayah bisa tahu," canda ayahnya. "Ih... Ayah, ih!" Elisa menepuk bahu ayahnya melihat kejahilan ayahnya itu, kemudian ia melanjutkan, "Ayah tau Pak Bambang langganan kita kan?" "Iya tau. Kenapa emangnya?" tanya ayahnya santai. "Pak Bambang itu ternyata salah satu orang paling kaya di Indonesia, Yah! " Elisa berbicara sambil membelalakkan matanya. Ayahnya seperti tidak terkejut, ia hanya terdiam sejenak. "Udah tau," jawab ayahnya yang membuat Elisa terkejut. Ekspresi wajah Elisa mendadak berubah menjadi kesal karena merasa dikerjai oleh ayahnya. "Kok Ayah nggak kasih tau Elisa sih?" Elisa mengernyitkan dahinya. "Lah kamu nggak pernah
Hari itu hari libur sekolah setelah selesai ujian, tapi Elisa sedang berdiri di depan cermin mengenakan seragam sekolahnya lengkap dengan riasan tipisnya. Wajahnya terlihat agak tegang dari biasanya. Ia menghela nafas panjang kemudian mengepalkan kedua tangannya menghadap ke atas. "Elisa, kamu pasti bisa!" Ia berseru pada dirinya sendiri memberi semangat, kemudian mengangguk penuh keyakinan. Ia lalu berjalan menuju ruang keluarga dan menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV pagi itu. "Ayah, Elisa berangkat. Doain Elisa ya," kata Elisa sambil mencium tangan ayahnya. Kemudian ayahnya bangkit berdiri dari kursinya. "Pasti, Nak. Ayah doain yang terbaik buat kamu. Pokoknya kamu harus fokus ngerjain tesnya. Oke?" Ayahnya memberi semangat sambil mengelus kepala Elisa. "Oke, Ayah. Elisa berangkat ya." Elisa tersenyum pada ayahnya lalu berjalan keluar rumah menuju tempat Scooby-doo terparkir. Ayahnya mengantarnya sampai ke depan rumah. Elisa mengenakan helm
"Hai!" Sapa gadis itu, dan memilih tempat duduk di sebelah kanan Elisa. "Hai!" balas Elisa. "Ternyata kamu juga daftar beasiswa di sini. Masih ingat aku, kan?" tanyanya sambil tersenyum. Elisa cukup terkejut. Seingat Elisa, gadis itu adalah seseorang dengan kesan yang kuat. Namun ternyata ia ramah juga. "Iya masih, kok," jawab Elisa juga dengan tersenyum. "Oh iya, kita belum kenalan ya waktu itu. Meta," kata gadis itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Aura percaya dirinya begitu kuat. "Elisa." Elisa menjabat tangan Meta. "Gak nyangka ya, kita bisa ketemu lagi di sini," kata Meta merasa tak percaya. "Katanya cuma ada 3 orang yang bakal lolos program beasiswa ini. Semoga kita berdua termasuk salah satunya ya," harapnya. "Amin, amin...," jawab Elisa. Mereka berdua saling tersenyum. Elisa lega karena ia dan Meta tidak harus saling mengalahkan satu sama lain karena ada tiga orang yang memiliki kesempa
Elisa berlari memasuki kamarnya dan mengambil handphone yang diletakkan di atas meja belajarnya, hendak menghubungi Meta. Dibukanya daftar kontak dan ia mencari huruf M. Tiba-tiba handphone-nya berdering tanda ada telepon masuk. Kebetulan sekali, ada telepon masuk dari Meta. Elisa yang kaget kemudian buru-buru mengangkatnya. "Halo," sapa Elisa. "Halo, Sa. Gimana, udah ada telepon dari Akasia?" Dari nada bicaranya, terdengar Meta sedang bersemangat. Elisa berpikir mungkin itu adalah sebuah pertanda yang baik. "Udah, Ta. Barusan," jawab Elisa dengan bersemangat. Ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. "Gimana hasilnya? Eh, tunggu. Kita ucapin bareng-bareng yuk!" Meta mengajak. Elisa mengangguk dengan bersemangat. "Satu, dua, tiga!" Meta memulai hitungannya. "Lolos!" Mereka berteriak bersamaan di saluran telepon masing-masing. Elisa dan Meta sama-sama merasa sangat bahagia karena harapan mereka sama-s
Elisa menata beberapa helai bajunya di atas tempat tidur. Ia mengambil traveling bag-nya kemudian meletakkannya juga di atas tempat tidur. Dimasukkannya beberapa helai bajunya itu ke dalam tas tersebut. Kemudian sambil berdiri, ia berpikir apa lagi yang sekiranya kurang atau terlupa. "Oh iya, sikat gigi," katanya pada dirinya sendiri yang lupa memasukkan sikat gigi ke dalam tasnya. Ia pun berjalan keluar dari kamarnya ka arah kamar mandi. Diambilnya sikat giginya yang berwarna merah dan berjalan keluar dari kamar mandi melewati ruang keluarga, di mana ayahnya sedang duduk menonton TV. "Handuknya nggak lupa, Sa?" tanya ayahnya mengingatkan. "Udah, Yah," jawab Elisa sambil berjalan melewati ruang keluarga. "Sabunnya? Sikat giginya? Odolnya?" tanya ayahnya berentetan. Biasalah... Ayahnya suka menggoda Elisa dengan candaannya. "Udah, Yah!" jawab Elisa yang sudah hampir sampai di depan pintu kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya dan m
Elisa memandang ke arah orang yang menarik tangannya itu dengan wajah terkejut. Dilihatnya Alex sedang memegang tangannya sambil memandang Ryan dengan wajah dingin."Ngapain kamu narik tangan Elisa?" tanya Ryan dengan wajah marahnya."Emangnya kenapa? Elisa bukan pacar kamu kan?" jawab Alex dengan ketus.Ryan terkekeh dibuatnya. "Terus kamu pikir kamu siapanya?" tanya Ryan."Jangan deketin Elisa lagi," pinta Alex tanpa menjawab pertanyan Ryan."Emangnya kenapa? Suka-suka aku dong mau deketin siapa. Kamu juga bukan siapa-siapanya," jawab Ryan dengan santainya.Alex berjalan mendekat ke arah Ryan, bermaksud melakukan sebuah konfrontasi untuk memperingatkan Ryan. "Kamu tau, kamu itu bisa bahayain Elisa," kata Alex dengan tatapan mata tajamnya.Elisa terkejut mendengar perkataan Alex itu. Dari mana Alex tahu kalau kedekatannya dengan Ryan bisa membahayakan keadannya? Ia belum pernah memberitahu Alex alasan sebenarnya di balik Sandra
Elisa merasa heran melihat tas kertas yang ada di hadapannya itu. Ia masih tak percaya ada seseorang yang mengirimkannya sesuatu dengan diam-diam seperti itu. Ia mulai penasaran dengan apa isi tas tersebut karena terasa cukup berat ketika diangkat. Perasaannya bercampur antara penasaran, senang, dan takut. Ia takut kalau-kalau tas itu berisi sesuatu yang buruk, yang dikirimkan oleh seseorang yang tak menyukinya.Ia membuka tas itu dan mengeluarkan sebuah kotak yang berukuran cukup besar berwara merah muda dengan pita biru. Ia membuka kotak itu dan merasa sangat terkejut melihat berbagai macam produk kosmetik yang masih terbungkus rapi dari berbagai merk di dalamnya. Ia melihat sebuah set lengkap peralatan makeup, skin care, dan parfum dari berbagai merk mahal yang tentu saja tak akan dapat dijangkaunya bahkan dengan menabung selama bertahun-tahun sekalipun. Ia masih tak percaya bahwa isi kotak itu semua diperuntukkan baginya. Ia pun melihat sepucuk kartu kecil lagi d
Sore itu sehabis les dan mandi, Alex menghabiskan waktunya berkutat di depan laptopnya, seperti sedang mencari sesuatu di internet. Ia terus saja mengetikkan kata-kata kunci pencarian di Google dan melihat hasil pencarian yang diberikan oleh mesin pencari itu. Ia mengetikkan kata kunci "makeup terbaik untuk remaja" dan melihat hasil yang keluar. Dibukanya website-website resmi yang menjual makeup di halaman itu, dan dibukanya gambar-gambar yang tertera di sana satu per satu.Ia menghela nafas sambil tangannya menyentuh dahinya, merasa seperti sedang kebingungan."Hah... diliat berkali-kali tetep aja nggak ngerti juga," keluhnya pada diri sendiri yang tak kunjung mengerti kegunaan produk-produk makeup yang dilihatnya tadi."Banyak banget sih macemnya," keluhnya lagi dengan alis yang mengernyit memandangi layar laptopnya.Setelah mengetahui bahwa tas kecil Elisa diambil oleh Sandra tadi pagi, ia berniat menggantinya agar Elisa tak merasa sedih lagi. Sebenar
"Elisa pulang!" seru Elisa saat memasuki rumahnya.Wajahnya siang itu tampak sangat lesu dan tak bersemangat. Terbayang peralatan makeup kesayangannya yang dirampas oleh Sandra tadi pagi. Ia terus saja memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa membeli peralatan makeup yang baru, sementara ia tak mempunyai cukup tabungan saat ini. Ia pun kemudian menjatuhkan dirinya ke sofa depan TV sambil meghela nafas panjang.Ayahnya berjalan menghampirinya dan melihat wajah lesu anaknya itu."Lah kok mukanya kusut gitu? Ada apa, Sa?" tanya ayahnya sambil duduk di sebelahnya."Nggak ada apa-apa kok, Yah," jawab Elisa berbohong. Tentu saja ayahnya tak langsung percaya."Ah, masa nggak ada apa-apa? Kayaknya kok ada apa-apa gitu?" tanya ayahnya berusaha mencari jawaban yang sebenarnya."Nggak ada apa-apa kok, Yah. Elisa cuma capek aja," jawab Elisa.Ayahnya sejenak memandanginya. Ia tentu tahu bahwa anaknya itu sedang menyimpan suatu permasalahan dalam
Alex berlari dengan panik mencari di mana keberadaan Elisa sebenarnya. Ia mencari di segala ruangan yang mungkin didatangi Elisa, seperti perpustakaan ataupun learning centre, namun tak kunjung menemukannya. Ia merasa semakin panik dan bingung.Sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah sehabis berlari tadi, ia teringat bahwa terdapat sebuah toilet perempuan lagi di dalam sekolah itu yang belum sempat ia periksa, yaitu toilet di sport hall. Ia pun berlari ke arah toilet tersebut dan berharap bahwa toilet terakhir yang ditujunya itu bisa memberikannya sebuah jawaban.Ia berdiri di depan pintu toilet dan menunggu adanya seseorang yang keluar dari toilet itu. Tapi didengarnya samar-samar seperti ada suara seorang perempuan yang menangis dan bertengkar di dalam toilet itu. Merasa ada yang tak beres, tak ambil pusing dengan apa yang akan dikatakan orang padanya, ia pun memutuskan untuk masuk ke toilet itu dan melihat siapa yang ada di dalamnya.Saat melangkah
Sandra sedang berbaring di atas sebuah kasur di dalam ruang UKS. Entah mengapa meskipun mengantuk ia tetap tidak bisa tertidur dengan nyenyak di ruangan itu. Tiba-tiba ia mendengar ada suara notifikasi yang menandakan sebuah sebuah pesan masuk di handphone-nya. Ia segera mengambilnya dan membuka pesan yang ternyata dari Melissa, teman dekatnya itu."Duh, ngapain sih Melissa kirim-kirim pesen? Udah tau aku mau tidur," gumam Sandra pada dirinya sendiri dengan perasaan kesal.Saat ia membuka pesan yang dikirim oleh Melissa itu, matanya membelalak lebar karena terkejut. Rasa kantuk seketika hilang saat itu juga, tergantikan oleh sebuh rasa marah. Di layar handphone-nya itu, ia melihat foto Ryan yang sedang duduk berhadapan dengan Elisa di dalam kantin.Apa-apaan ini? Berani-beraninya dia nunjukin kedeketannya sama Ryan di depan anak-anak? Kalo gini caranya satu sekolah bisa tau kalo mantanku sekarang deket sama anak beasiswa! Sandra membatin saat melihat foto terseb
Jam 03.00 pagi. Sandra baru saja pulang syuting dan langsung tidur di kamarnya tanpa mengganti baju dan menghapus makeup-nya karena rasa kantuk berat yang dirasakannya. Ia memang terbiasa mengikuti kegiatan syuting sinetron dari sepulang sekolah sampai larut malam, tak jarang sampai dini hari. Seperti yang saat ini tengah ia alami.Tujuannya menjadi seorang artis bukan untuk mencari uang karena keluarganya sudah sangat berkecukupan. Ia menjadikannya sebagai sebuah hobi dan cita-cita. Itu semua didukung oleh papanya, Tony Halim, yang merupakan pemilik salah satu stasiun TV nasional, HiTV. Sandra bisa menjadi artis pun karena kekuatan pengaruh dari papanya itu. Padahal sebenarnya tujuannya menjadi artis hanyalah untuk mencari popularitas, sehingga kemampuan aktingnya pun tidak terlalu bagus. Karena itu pula, ia jarang didapuk menjadi pemeran utama dalam sinetron maupun film yang dibintnginya. Lagipula bagus ataupun tidak bagus aktingnya, tidak akan ada yang berani menghentikann
Malam itu, papa dan mama Alex pulang lebih awal dari biasanya. Alex yang baru saja turun ke bawah dari kamarnya, melihat mamanya itu seperti sedang keskitan sambil menggaruk-garuk tangannya dan menimbulkan bekas kemerahan pada kedua tangannya. Bi Sum sedang membantu mamanya itu untuk berjalan dan membantunya duduk di ruang keluarga sementara papanya sedang membawakan tas mamanya di belakang mereka."Loh, Mama kenapa, Ma?" tanya Alex berjalan menghampiri mamanya."Nggak tau nih, gatel-gatel semua. Kayaknya alergi," jawab mamanya."Emangnya habis makan apa tadi?" tanya Alex."Kayaknya mama kamu tadi ambil siomay isi udang pas acara," jawab papanya."Mama udah tau alergi udang kok ambil itu sih?" tanya Alex dengan perasaan cemas."Mama nggak tau, kirain isinya cuma ayam. Soalnya halus banget gilingan dagingnya," jawab mamanya sambil meringis menahan gatal dan sakit."Alex, jagain Mama bentar ya. Papa mau telepon Om Adi dulu," pinta papan
Pagi itu, kelas Alex sedang mengikuti pelajaran olahraga. Para siswa di kelas Alex saat itu sedang mempelajari teknik bermain voli di lapangan voli dalam sport hall. Mereka mengikuti pelajaran olah raga dengan sangat asyik dan menikmatinya. Mereka bergantian menggunakan lapangan untuk bermain, dan saat itu Alex belum mendapat giliran untuk bermain sehingga ia pun duduk di pinggir lapangan.Saat itu juga masuklah siswa-siswa dari kelas 11-B ke dalam sport hall menuju ke lapangan basket. Mereka baru saja mempelajari teori basket di kelas sebelum menuju ke sana. Alex sangat hafal bahwa teman-teman yang dilihatnya itu berasal dari kelas 11-B karena ia melihat Martin, Niken, dan tentu saja Joshua."Hei, bro!" Sapa Joshua menghampiri Alex kemudian melakukan high five. Saat itu, Steven sedang bermain voli di lapangan.Joshua pun berlari kembali ke kumpulan kelasnya di lapangan basket. Saat melihat Joshua berlari kembali itu, Alex melihat Elisa yang sedang berdiri denga