Niken berdiri tercekat, Sonya pun ikut berhenti. Di depannya berdiri Steven melihat ke arahnya. Niken tak tahu harus berbuat atau berkata apa.
"Hai," sapa Steven memecah suasana.
"Ha- hai," jawab Niken, masih dengan ekspresi kagetnya.
Sonya yang masih berdiri di samping Niken hanya bisa memandangi mereka berdua tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi.
"Tadi aku ngeliat kamu dari bawah pas lagi main basket," kata Steven terang-terangan namun dengan gaya yang masih jaga image.
"Ma- masa?" tanya Niken tergagap, mati kutu.
"Iya," balas Steven sambil tersenyum. "Oh ya, aku Steven dari kelas 10-A." Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Niken.
"Ni...ken, 10-C," kata Niken sambil menyambut uluran tangan Steven. Sonya membelalak sambil menyenggol-nyenggol kecil lengan Niken. Ia masih tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
Steven Gunawan, anak salah satu pemilik perusahaan investasi terbesar Indonesia, yang nama papanya bahkan masuk di dalam daftar 100 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, mengajak Niken berkenalan. Dari caranya memperlakukan perempuan dengan sangat sopan dan manis, kalian pasti bisa menebak apa keahliannya. Ya, merebut hati wanita. Dilengkapi dengan visualnya yang top tier, Steven adalah the real Casanova di Trio Casanova.
Ia sudah berkali-kali berganti-ganti pacar sejak SMP. Alasannya klasik, tidak cocok. Tapi ia tidak pernah mempermainkan hati perempuan ataupun berselingkuh. Ia pun sebenarnya tidak menyukai sebutan playboy yang diberikan orang lain padanya karena ia menganggap yang dilakukannya adalah normal sebagai seorang remaja. Lagipula ia berganti-ganti pacar bukan untuk kesenangan.
Ia merupakan orang yang terang-terangan menunjukkan perhatian kepada gadis yang disukainya, seolah ingin menandai teritorinya. Ia memperlakukan semua mantan pacarnya dengan sangat manis. Tapi kebanyakan pacarnya hanya memanfaatkannya, entah memanfaatkan materi ataupun popularitasnya. Dan di situlah ia akan memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungannya lagi. Perempuan masih banyak, pikirnya.
Sementara itu, Niken Luisa adalah anak seorang pengacara yang cukup kondang di Ibukota dan mamanya merupakan seorang notaris ternama. Keluarganya sebagian besar berkecimpung di dunia hukum. Ia sendiri dikenal teman-temannya sebagai seorang gadis yang tidak banyak tingkah, anggun dan agak pendiam, namun murah senyum.
Melihat Niken yang tak sanggup berkata-kata, Steven pun mengakhiri perkenalan singkatnya.
"Yaudah Niken, yang penting aku udah tau nama kamu. Makasih ya. Aku mau lanjut main basket lagi." Steven mengakhiri kata-katanya dengan senyuman hangat, kemudian berjalan turun lagi ke bawah.
Niken masih terdiam di ujung tangga.
Tiba-tiba Sonya berceletuk, "Ken, Ken. Itu tadi Steven Gunawan loh, ngajak kamu kenalan! Oh my God, oh my God!" Sonya menggoyang-goyang lengan Niken dengan kegirangan.
Niken tak bisa berkata apa-apa. Bukannya merasa senang, ia malah bingung. Orang yang disukainya adalah Alex tetapi mengapa malah Steven yang datang padanya?
Masih merasa heran, ia pun berjalan turun menuju lantai dasar. Sonya mengikutinya sambil tetap merasa takjub. Mereka berjalan ke arah kantin, namun mereka harus melewati koridor di sebelah lapangan basket.
Sambil berjalan, Niken menoleh ke arah lapangan basket, mencari Alex. Dilihatnya Alex sedang memainkan bola kemudian melakukan shooting dan bolanya masuk ke dalam ring. Seolah merasakan bahwa ada yang memandanginya, Alex pun menoleh ke arah Niken dan pandangan mereka pun bertemu. Berbeda dengan Niken yang merasa terkejut, Alex hanya melihatnya sekilas lalu pandangannya mengarah kembali ke bola basket, seolah tak ada apapun yang dirasakannya. Alex memang tak mengenal Niken. Namun hal itu tetap membuat Niken merasa kecewa.
Alex Linardi. Seorang pemuda berkharisma, berhati baik dan penuh simpati, namun sangat acuh terhadap para gadis dan tak pernah ambil pusing dengan masalah percintaan. Baginya, hidupnya sudah terasa cukup bahagia tanpa kehadiran pacar sekali pun. Ia lebih menghabiskan waktunya untuk memberi perhatian pada teman-teman dan hal-hal yang ia sukai. Karena itu, siapapun yang menyukai Alex harus bersiap-siap untuk menelan pil pahit.
***
Elisa dan geng Vocalistanya mampir ke sebuah coffee shop langganan mereka sepulang sekolah. Biasanya mereka menghabiskan waktu di situ untuk mengobrol sambil menyeruput kopi racikan dengan harga merakyat. Semuanya memesan kopi favorit masing-masing. Elisa sendiri sangat menyukai Red Velvet Latte dan tak pernah mengganti pesanannya sampai-sampai pegawai di sana sangat hafal.
"Eh, eh, kalian tau kan Pak Aan guru Matematika yang baru itu?" tanya Meria memulai percakapan asyik mereka.
"Iya tau, kenapa kenapa?" tanya Elisa penasaran.
"Ganteng banget!" Meria berseru dengan bersemangat.
"Nah, ini murid... alamat jelalatan matanya kalau diajar sama guru itu, " ledek Agusta.
"Tapi emang bener sih. Masih muda, ganteng, lucu lagi kata anak-anak kelas sebelah. Pengen deh kelas kita diajar sama dia. Katanya ngajarnya asik, gampang dimengerti," celoteh Lili.
"Katanya dia baru lulus taun lalu ya? Emang dia lulusan dari mana sih?" tanya Agusta, mendadak penasaran dengan guru muda itu.
"Katanya anak-anak sih dari UGM. Emang bener baru lulus taun lalu," jawab Elisa sesuai yang ia tau.
"Taun lalu? Wah, hebat dong. UGM emang bagus ya? Lulusannya pinter gitu," tanya Lili dengan polosnya.
"Hmmm... Makanya kamu itu jangan video tutorial make up terus yang dipantengin. UGM itu masuk universitas top di Indonesia, Li," sahut Meria yang disambut dengan wajah masam Lili. "Oya, ngomong-ngomong kalian nanti pengen kuliah di mana?" tanyanya.
Deg! Elisa terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba Meria. Ia merasa belum siap memberitahu sahabat-sahabatnya mengenai mimpinya kuliah di Cambridge University dan rencana ke depannya.
"Aku sih pengen ke universitas negeri. Mana aja deh, pokoknya ada jurusan Psikologi." Lili menjabarkan keinginannya.
"Masih jauh kali. Belum kepikiran," kata Agusta dengan cueknya seperti biasa.
"Ya... kali aja udah kebayang gitu." Meria melihat ke arah Elisa dan bertanya, "Kalau kamu, Sa?"
Akhirnya pertanyaan ini pun datang. Cepat atau lambat ia harus memberitahu sahabat-sahabatnya.
"Aku... pingin ke..." Elisa berhenti sejenak, memberi waktu dirinya untuk berpikir. Beri tahu atau tidak, beri tahu atau tidak. Kemudian ia pun melanjutkan, "... Cambridge University." Akhirnya ia bisa menyelesaikan perkataannya.
Meria yang sedang menyeruput minumannya pun sontak terkejut dan tersedak.
"Jakarta mana?" tanya Lili dengan polosnya. Kini giliran Agusta yang tersedak minumannya, kemudian menepuk bahu Lili.
"Singapura kali," sanggah Agusta.
"Bukan, Ta. Di Inggris," koreksi Elisa. Sahabat-sahabatnya memandang kaget ke arah Elisa, hampir semuanya membelalakkan matanya.
"Serius kamu mau ke Inggris?" tanya Meria memastikan. Elisa pun mengangguk.
"Jauh banget, Sa! Tapi kamu kan pinter ya, cocok sih kamu kuliah di luar negeri." Lili berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Elisa tersenyum kemudian memberanikan diri bercerita tentang keadaannya sekarang. "Tapi... ada berita buruknya, guys." Elisa memasang ekspresi wajah muram.
"Buruk kenapa, Sa?" tanya Agusta.
Elisa mempersiapkan kata-katanya. Walaupun berat baginya melihat reaksi yang akan diberikan oleh sahabat-sahabatnya itu, ia harus tetap memberitahu mereka.
"Mmm... aku kan pingin banget ngajuin program beasiswa ke Cambridge. Tapi buat bisa lancar jalannya ke sana, aku harus lulus dari sekolah yang pake kurikulum Cambridge juga," terang Elisa dengan pelan. Namun sahabat-sahabatnya itu tampak masih belum paham maksud perkataannya.
"Maksudnya?" Lili akhirnya bertanya, memastikan maksud dari perkataan Elisa.
"Aku lagi ngajuin pendaftaran program beasiswa di salah satu sekolah bertaraf internasional yang pakai kurikulum yang diminta. Kalau misalnya aku berhasil diterima di sana, kayaknya aku harus pindah sekolah di kenaikan kelas 11 ini...," lanjut Elisa dengan perasaan bersalah. Ia akhirnya bisa melepaskan semua beban yang disimpannya cukup lama, sambil berharap teman-temannya mau mengerti. Di lain sisi, ia juga tidak sanggup membayangkan kesedihan yang akan ia dan sahabat-sahabatnya rasakan.
Agusta, Lili, dan Meria terdiam tak sanggup berkata apa-apa. Kenaikan kelas hanya tinggal beberapa hari lagi setelah ujian sekolah selesai! Mereka seolah mendapat petir di siang bolong hari itu mengetahui bahwa salah satu sahabatnya akan meninggalkan mereka. Rasa kaget, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu menggambarkan suasana yang mereka rasakan siang itu.
Hai, teruntuk kamu pembacaku yang tercinta. Iya, kamu! ❤️ Ada kabar baik nih. Kalau kamu mau tambahan koin untuk baca cerita-cerita selanjutnya, pembelian koin di Shop lagi banyak DISKON dan BONUS tambahan loh! Jangan sampai kelewatan ya 😍😍 Ikutin terus ya kisahnya Rich, Richer, Richest. Dijamin konfliknya makin seru! Thank you ❤️
Sesampainya di rumah, Elisa memarkirkan motornya. Raut wajahnya terlihat lesu setelah apa yang dialaminya siang tadi bersama sahabat-sahabatnya. Perasaan sedih yang ia rasakan terbawa sampai ia pulang. "Elisa pulang," seru Elisa dengan tak bersemangat memasuki rumahnya. Ayahnya menoleh ke arahnya dan berlari dengan wajah sumringah, seperti hendak menyampaikan sebuah kabar baik. Tapi raut wajahnya mendadak berubah ketika melihat wajah Elisa yang muram. "Loh, Sa. Kenapa kok muka kamu sedih gitu?" tanya ayahnya cemas. "Sedih, Yah... Gimana kalau sebentar lagi Elisa bener-bener pindah sekolah dan ninggalin sahabat-sahabat Elisa, Yah?" tanya Elisa dengan bibirnya dimanyunkan, dan matanya seperti berkaca-kaca. "Lho, kok kamu jadi sedih? Katanya mau ke Inggris..." kata ayahnya sambil mengelus pipi anaknya itu. Elisa hanya bisa mengangguk-angguk sambil bibirnya tetap dimanyunkan dan matanya masih berkaca-kaca melihat ayahnya. "Beneran masih pi
Elisa berlari menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV di ruang tamu. "Aduh duh duh... jangan lari-lari, udah malem, Sa! Ntar dikira tetangga ada gempa bumi," omel ayahnya dengan menunjukkan ekspresi kaget. "Yah, Yah, tau nggak?" tanya Elisa bersemangat. "Kasih tau dulu dong, baru Ayah bisa tahu," canda ayahnya. "Ih... Ayah, ih!" Elisa menepuk bahu ayahnya melihat kejahilan ayahnya itu, kemudian ia melanjutkan, "Ayah tau Pak Bambang langganan kita kan?" "Iya tau. Kenapa emangnya?" tanya ayahnya santai. "Pak Bambang itu ternyata salah satu orang paling kaya di Indonesia, Yah! " Elisa berbicara sambil membelalakkan matanya. Ayahnya seperti tidak terkejut, ia hanya terdiam sejenak. "Udah tau," jawab ayahnya yang membuat Elisa terkejut. Ekspresi wajah Elisa mendadak berubah menjadi kesal karena merasa dikerjai oleh ayahnya. "Kok Ayah nggak kasih tau Elisa sih?" Elisa mengernyitkan dahinya. "Lah kamu nggak pernah
Hari itu hari libur sekolah setelah selesai ujian, tapi Elisa sedang berdiri di depan cermin mengenakan seragam sekolahnya lengkap dengan riasan tipisnya. Wajahnya terlihat agak tegang dari biasanya. Ia menghela nafas panjang kemudian mengepalkan kedua tangannya menghadap ke atas. "Elisa, kamu pasti bisa!" Ia berseru pada dirinya sendiri memberi semangat, kemudian mengangguk penuh keyakinan. Ia lalu berjalan menuju ruang keluarga dan menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV pagi itu. "Ayah, Elisa berangkat. Doain Elisa ya," kata Elisa sambil mencium tangan ayahnya. Kemudian ayahnya bangkit berdiri dari kursinya. "Pasti, Nak. Ayah doain yang terbaik buat kamu. Pokoknya kamu harus fokus ngerjain tesnya. Oke?" Ayahnya memberi semangat sambil mengelus kepala Elisa. "Oke, Ayah. Elisa berangkat ya." Elisa tersenyum pada ayahnya lalu berjalan keluar rumah menuju tempat Scooby-doo terparkir. Ayahnya mengantarnya sampai ke depan rumah. Elisa mengenakan helm
"Hai!" Sapa gadis itu, dan memilih tempat duduk di sebelah kanan Elisa. "Hai!" balas Elisa. "Ternyata kamu juga daftar beasiswa di sini. Masih ingat aku, kan?" tanyanya sambil tersenyum. Elisa cukup terkejut. Seingat Elisa, gadis itu adalah seseorang dengan kesan yang kuat. Namun ternyata ia ramah juga. "Iya masih, kok," jawab Elisa juga dengan tersenyum. "Oh iya, kita belum kenalan ya waktu itu. Meta," kata gadis itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Aura percaya dirinya begitu kuat. "Elisa." Elisa menjabat tangan Meta. "Gak nyangka ya, kita bisa ketemu lagi di sini," kata Meta merasa tak percaya. "Katanya cuma ada 3 orang yang bakal lolos program beasiswa ini. Semoga kita berdua termasuk salah satunya ya," harapnya. "Amin, amin...," jawab Elisa. Mereka berdua saling tersenyum. Elisa lega karena ia dan Meta tidak harus saling mengalahkan satu sama lain karena ada tiga orang yang memiliki kesempa
Elisa berlari memasuki kamarnya dan mengambil handphone yang diletakkan di atas meja belajarnya, hendak menghubungi Meta. Dibukanya daftar kontak dan ia mencari huruf M. Tiba-tiba handphone-nya berdering tanda ada telepon masuk. Kebetulan sekali, ada telepon masuk dari Meta. Elisa yang kaget kemudian buru-buru mengangkatnya. "Halo," sapa Elisa. "Halo, Sa. Gimana, udah ada telepon dari Akasia?" Dari nada bicaranya, terdengar Meta sedang bersemangat. Elisa berpikir mungkin itu adalah sebuah pertanda yang baik. "Udah, Ta. Barusan," jawab Elisa dengan bersemangat. Ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. "Gimana hasilnya? Eh, tunggu. Kita ucapin bareng-bareng yuk!" Meta mengajak. Elisa mengangguk dengan bersemangat. "Satu, dua, tiga!" Meta memulai hitungannya. "Lolos!" Mereka berteriak bersamaan di saluran telepon masing-masing. Elisa dan Meta sama-sama merasa sangat bahagia karena harapan mereka sama-s
Elisa menata beberapa helai bajunya di atas tempat tidur. Ia mengambil traveling bag-nya kemudian meletakkannya juga di atas tempat tidur. Dimasukkannya beberapa helai bajunya itu ke dalam tas tersebut. Kemudian sambil berdiri, ia berpikir apa lagi yang sekiranya kurang atau terlupa. "Oh iya, sikat gigi," katanya pada dirinya sendiri yang lupa memasukkan sikat gigi ke dalam tasnya. Ia pun berjalan keluar dari kamarnya ka arah kamar mandi. Diambilnya sikat giginya yang berwarna merah dan berjalan keluar dari kamar mandi melewati ruang keluarga, di mana ayahnya sedang duduk menonton TV. "Handuknya nggak lupa, Sa?" tanya ayahnya mengingatkan. "Udah, Yah," jawab Elisa sambil berjalan melewati ruang keluarga. "Sabunnya? Sikat giginya? Odolnya?" tanya ayahnya berentetan. Biasalah... Ayahnya suka menggoda Elisa dengan candaannya. "Udah, Yah!" jawab Elisa yang sudah hampir sampai di depan pintu kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya dan m
Tanggal 5 Juli. Hari pertama masuk kembali ke sekolah setelah liburan kenaikan kelas. Siswa-siswa di SMA Akasia hari itu akan datang lebih pagi untuk berkenalan dengan teman-teman sekelasnya yang baru. Kelas baru dan daftar nama teman-teman sekelas mereka memang telah diberikan kepada siswa masing-masing pada saat liburan kenaikan kelas. Alex dan Steven tetap berada di dalam satu kelas yang sama, kelas 11-A, sedangkan Joshua terpisah dari mereka dan masuk ke kelas 11-B. Setelah berjalan bersama memasuki area sekolah, mereka pun harus berpisah di depan kelas mereka masing-masing. Di dalam kelas Joshua, sudah ada beberapa anak yang duduk dan mengobrol serta bercanda ria. Melihat Joshua sekelas dengan mereka, mereka pun menyapanya dan kelas menjadi cukup riuh. "Wah, Joshua dateng, guys!" seru salah seorang anak laki-laki bernama Martin yang dulunya memang sekelas dengan Joshua. "Wuih, sekelas sama Joshua nih!" seru anak laki-laki yang lain lagi yang dulunya berb
Good morning, everyone. I would like to introduce your new classmate," kata Miss Ratna hendak memperkenalkan teman sekelas baru mereka. Semua siswa di situ memang baru saja memasuki kelas baru dan baru saja saling mengenal teman-teman sekelas mereka yang baru. Namun siswa pindahan pasti akan selalu diperkenalkan secara khusus di depan kelas. "Elisa, please introduce yourself," kata Miss Ratna mempersilahkan Elisa memperkenalkan dirinya sendiri di depan kelas. Elisa mengumpulkan keberaniannya dan mulai memperkenalkan dirinya di depan teman-teman barunya itu. "Hi, my name is Elisa. I'm 16 years old. Nice to meet you all, and I hope that we can be good friends," kata Elisa mempekenalkan diri dengan penuh senyum, sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupnya, "Hi, Elisa!" sapa teman-teman sekelasnya bersamaan. "Be good to Elisa, guys! Alright, Elisa. You may sit over there," kata Miss Ratna mempersilahkan Elisa duduk sambil menunjuk sebuah bangku kosong di
Elisa memandang ke arah orang yang menarik tangannya itu dengan wajah terkejut. Dilihatnya Alex sedang memegang tangannya sambil memandang Ryan dengan wajah dingin."Ngapain kamu narik tangan Elisa?" tanya Ryan dengan wajah marahnya."Emangnya kenapa? Elisa bukan pacar kamu kan?" jawab Alex dengan ketus.Ryan terkekeh dibuatnya. "Terus kamu pikir kamu siapanya?" tanya Ryan."Jangan deketin Elisa lagi," pinta Alex tanpa menjawab pertanyan Ryan."Emangnya kenapa? Suka-suka aku dong mau deketin siapa. Kamu juga bukan siapa-siapanya," jawab Ryan dengan santainya.Alex berjalan mendekat ke arah Ryan, bermaksud melakukan sebuah konfrontasi untuk memperingatkan Ryan. "Kamu tau, kamu itu bisa bahayain Elisa," kata Alex dengan tatapan mata tajamnya.Elisa terkejut mendengar perkataan Alex itu. Dari mana Alex tahu kalau kedekatannya dengan Ryan bisa membahayakan keadannya? Ia belum pernah memberitahu Alex alasan sebenarnya di balik Sandra
Elisa merasa heran melihat tas kertas yang ada di hadapannya itu. Ia masih tak percaya ada seseorang yang mengirimkannya sesuatu dengan diam-diam seperti itu. Ia mulai penasaran dengan apa isi tas tersebut karena terasa cukup berat ketika diangkat. Perasaannya bercampur antara penasaran, senang, dan takut. Ia takut kalau-kalau tas itu berisi sesuatu yang buruk, yang dikirimkan oleh seseorang yang tak menyukinya.Ia membuka tas itu dan mengeluarkan sebuah kotak yang berukuran cukup besar berwara merah muda dengan pita biru. Ia membuka kotak itu dan merasa sangat terkejut melihat berbagai macam produk kosmetik yang masih terbungkus rapi dari berbagai merk di dalamnya. Ia melihat sebuah set lengkap peralatan makeup, skin care, dan parfum dari berbagai merk mahal yang tentu saja tak akan dapat dijangkaunya bahkan dengan menabung selama bertahun-tahun sekalipun. Ia masih tak percaya bahwa isi kotak itu semua diperuntukkan baginya. Ia pun melihat sepucuk kartu kecil lagi d
Sore itu sehabis les dan mandi, Alex menghabiskan waktunya berkutat di depan laptopnya, seperti sedang mencari sesuatu di internet. Ia terus saja mengetikkan kata-kata kunci pencarian di Google dan melihat hasil pencarian yang diberikan oleh mesin pencari itu. Ia mengetikkan kata kunci "makeup terbaik untuk remaja" dan melihat hasil yang keluar. Dibukanya website-website resmi yang menjual makeup di halaman itu, dan dibukanya gambar-gambar yang tertera di sana satu per satu.Ia menghela nafas sambil tangannya menyentuh dahinya, merasa seperti sedang kebingungan."Hah... diliat berkali-kali tetep aja nggak ngerti juga," keluhnya pada diri sendiri yang tak kunjung mengerti kegunaan produk-produk makeup yang dilihatnya tadi."Banyak banget sih macemnya," keluhnya lagi dengan alis yang mengernyit memandangi layar laptopnya.Setelah mengetahui bahwa tas kecil Elisa diambil oleh Sandra tadi pagi, ia berniat menggantinya agar Elisa tak merasa sedih lagi. Sebenar
"Elisa pulang!" seru Elisa saat memasuki rumahnya.Wajahnya siang itu tampak sangat lesu dan tak bersemangat. Terbayang peralatan makeup kesayangannya yang dirampas oleh Sandra tadi pagi. Ia terus saja memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa membeli peralatan makeup yang baru, sementara ia tak mempunyai cukup tabungan saat ini. Ia pun kemudian menjatuhkan dirinya ke sofa depan TV sambil meghela nafas panjang.Ayahnya berjalan menghampirinya dan melihat wajah lesu anaknya itu."Lah kok mukanya kusut gitu? Ada apa, Sa?" tanya ayahnya sambil duduk di sebelahnya."Nggak ada apa-apa kok, Yah," jawab Elisa berbohong. Tentu saja ayahnya tak langsung percaya."Ah, masa nggak ada apa-apa? Kayaknya kok ada apa-apa gitu?" tanya ayahnya berusaha mencari jawaban yang sebenarnya."Nggak ada apa-apa kok, Yah. Elisa cuma capek aja," jawab Elisa.Ayahnya sejenak memandanginya. Ia tentu tahu bahwa anaknya itu sedang menyimpan suatu permasalahan dalam
Alex berlari dengan panik mencari di mana keberadaan Elisa sebenarnya. Ia mencari di segala ruangan yang mungkin didatangi Elisa, seperti perpustakaan ataupun learning centre, namun tak kunjung menemukannya. Ia merasa semakin panik dan bingung.Sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah sehabis berlari tadi, ia teringat bahwa terdapat sebuah toilet perempuan lagi di dalam sekolah itu yang belum sempat ia periksa, yaitu toilet di sport hall. Ia pun berlari ke arah toilet tersebut dan berharap bahwa toilet terakhir yang ditujunya itu bisa memberikannya sebuah jawaban.Ia berdiri di depan pintu toilet dan menunggu adanya seseorang yang keluar dari toilet itu. Tapi didengarnya samar-samar seperti ada suara seorang perempuan yang menangis dan bertengkar di dalam toilet itu. Merasa ada yang tak beres, tak ambil pusing dengan apa yang akan dikatakan orang padanya, ia pun memutuskan untuk masuk ke toilet itu dan melihat siapa yang ada di dalamnya.Saat melangkah
Sandra sedang berbaring di atas sebuah kasur di dalam ruang UKS. Entah mengapa meskipun mengantuk ia tetap tidak bisa tertidur dengan nyenyak di ruangan itu. Tiba-tiba ia mendengar ada suara notifikasi yang menandakan sebuah sebuah pesan masuk di handphone-nya. Ia segera mengambilnya dan membuka pesan yang ternyata dari Melissa, teman dekatnya itu."Duh, ngapain sih Melissa kirim-kirim pesen? Udah tau aku mau tidur," gumam Sandra pada dirinya sendiri dengan perasaan kesal.Saat ia membuka pesan yang dikirim oleh Melissa itu, matanya membelalak lebar karena terkejut. Rasa kantuk seketika hilang saat itu juga, tergantikan oleh sebuh rasa marah. Di layar handphone-nya itu, ia melihat foto Ryan yang sedang duduk berhadapan dengan Elisa di dalam kantin.Apa-apaan ini? Berani-beraninya dia nunjukin kedeketannya sama Ryan di depan anak-anak? Kalo gini caranya satu sekolah bisa tau kalo mantanku sekarang deket sama anak beasiswa! Sandra membatin saat melihat foto terseb
Jam 03.00 pagi. Sandra baru saja pulang syuting dan langsung tidur di kamarnya tanpa mengganti baju dan menghapus makeup-nya karena rasa kantuk berat yang dirasakannya. Ia memang terbiasa mengikuti kegiatan syuting sinetron dari sepulang sekolah sampai larut malam, tak jarang sampai dini hari. Seperti yang saat ini tengah ia alami.Tujuannya menjadi seorang artis bukan untuk mencari uang karena keluarganya sudah sangat berkecukupan. Ia menjadikannya sebagai sebuah hobi dan cita-cita. Itu semua didukung oleh papanya, Tony Halim, yang merupakan pemilik salah satu stasiun TV nasional, HiTV. Sandra bisa menjadi artis pun karena kekuatan pengaruh dari papanya itu. Padahal sebenarnya tujuannya menjadi artis hanyalah untuk mencari popularitas, sehingga kemampuan aktingnya pun tidak terlalu bagus. Karena itu pula, ia jarang didapuk menjadi pemeran utama dalam sinetron maupun film yang dibintnginya. Lagipula bagus ataupun tidak bagus aktingnya, tidak akan ada yang berani menghentikann
Malam itu, papa dan mama Alex pulang lebih awal dari biasanya. Alex yang baru saja turun ke bawah dari kamarnya, melihat mamanya itu seperti sedang keskitan sambil menggaruk-garuk tangannya dan menimbulkan bekas kemerahan pada kedua tangannya. Bi Sum sedang membantu mamanya itu untuk berjalan dan membantunya duduk di ruang keluarga sementara papanya sedang membawakan tas mamanya di belakang mereka."Loh, Mama kenapa, Ma?" tanya Alex berjalan menghampiri mamanya."Nggak tau nih, gatel-gatel semua. Kayaknya alergi," jawab mamanya."Emangnya habis makan apa tadi?" tanya Alex."Kayaknya mama kamu tadi ambil siomay isi udang pas acara," jawab papanya."Mama udah tau alergi udang kok ambil itu sih?" tanya Alex dengan perasaan cemas."Mama nggak tau, kirain isinya cuma ayam. Soalnya halus banget gilingan dagingnya," jawab mamanya sambil meringis menahan gatal dan sakit."Alex, jagain Mama bentar ya. Papa mau telepon Om Adi dulu," pinta papan
Pagi itu, kelas Alex sedang mengikuti pelajaran olahraga. Para siswa di kelas Alex saat itu sedang mempelajari teknik bermain voli di lapangan voli dalam sport hall. Mereka mengikuti pelajaran olah raga dengan sangat asyik dan menikmatinya. Mereka bergantian menggunakan lapangan untuk bermain, dan saat itu Alex belum mendapat giliran untuk bermain sehingga ia pun duduk di pinggir lapangan.Saat itu juga masuklah siswa-siswa dari kelas 11-B ke dalam sport hall menuju ke lapangan basket. Mereka baru saja mempelajari teori basket di kelas sebelum menuju ke sana. Alex sangat hafal bahwa teman-teman yang dilihatnya itu berasal dari kelas 11-B karena ia melihat Martin, Niken, dan tentu saja Joshua."Hei, bro!" Sapa Joshua menghampiri Alex kemudian melakukan high five. Saat itu, Steven sedang bermain voli di lapangan.Joshua pun berlari kembali ke kumpulan kelasnya di lapangan basket. Saat melihat Joshua berlari kembali itu, Alex melihat Elisa yang sedang berdiri denga