Satu jam berlalu, Ve sudah selesai mencetak dua ratus lembar pamflet dan melipatnya. Tentu bukan hasil kerja keras seorang diri, ada Nindya dan Reno yang membantu.
Ya, sejak hubungan Danu dan Mira go publik, mereka berdua menjadi jarang membantu pekerjaan yang cukup merepotkan. Terlebih Danu menjadi kepercayaan Bos Reza di gerai, alhasil tidak ada yang berani protes. Hanya bisa ngedumel di belakang.
Karena Danu menjadi kepercayaan bos juga membuat Mira semena-mena. Dia merasa menjadi kekasih Danu, sehingga dia juga berkedudukan sama. Dia mau bekerja ketika memang sedang ramai atau pas Bos Reza datang mengontrol.
Tidak masalah. Bagi trio rajin yakni Ve, Nindya dan Reno lebih baik mengerjakan sesuatu tanpa dua manusia yang hanya membuat tensi naik.
"Aku nganterin ini dulu ya," pamit Ve sambil membawa satu kantong berisi dua ratus lembar pamflet.
"Mau dibantu nggak?" Reno menawarkan diri.
Ve terkekeh. "Nggak perlu, ini cuma pamflet, kalau modul baru kamu yang nganterin."
Tak menunggu waktu lama Ve bergegas menuju tempat koas Vito yakni Rumah Sakit Melati yang berada di seberang BCC. Dia tinggal berjalan kaki saja, ya meskipun untuk mencari ruangannya cukup memakan waktu juga.
Beruntung Ve sudah cukup akrab dengan beberapa perawat di rumah sakit tersebut karena memang mereka sering lalu lalang ke fotocopy, jadi tinggal tanya sama mereka saja langsung ditunjukkan dimana Vito berada saat itu.
"Mba Ve!"
Ve celingukan saat mendengar namanya dipanggil. Ketika melihat sosok yang dia kenal sontak gadis yang mengenakan kaos berwarna putih itu menghentikan langkah.
"Mas Vito? Kebetulan sekali. Ini pamfletnya sudah jadi," sahut Ve seraya mengangkat tas yang berisi pesanan sang dokter muda.
"Oke, ikut aku, Mba."
Bukannya mendekat dan menerima tas yang berisi pamflet tadi, Vito malah meminta Ve untuk mengikutinya. Merasa tugasnya belum selesai karena benda masih berada ditangan, Ve pun menurut saja.
Karena Ve sedikit tertinggal, Vito memelankan langkahnya agar gadis fotocopy tadi bisa mengejar langkahnya. Hingga kini mereka berjalan beriringan.
"Mau dibawa kemana pamflet-pamflet ini, Mas?" Ve bertanya sambil menoleh Vito sekilas.
"Sebentar lagi kita sampai."
Benar saja. Setelah beberapa langkah Vito mengajak Ve berhenti dan duduk di sebuah bangku. Gadis berhidung mancung itu sedikit terkejut karena dia dibawa ke kantin, bukannya ruangan tempat Vito belajar.
"Loh, kok kita kesini, Mas?"
Vito meringis. "Aku lapar dan haus banget, baru beres praktek tadi. Temenin sebentar ya."
Sedikit terkejut karena tiba-tiba Vito meminta Ve untuk menemani makan dan minum. Tapi, karena sudah terlanjur mau tidak mau dia pun menurut.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Vito setelah mereka duduk.
"Ah? Ng-nggak perlu, Mas Vito. Ini pesanannya jadi empat ratus ribu."
Lagi-lagi Ve kembali memfokuskan obrolan pada pesanan Vito, yakni pamflet. Yang ada di pikiran gadis berkulit sawo matang hanya itu, pasalnya bisa bahaya jika sampai pulang tidak membawa uang.
"Hahaha. Masalah itu Mba Ve tenang saja, aku pasti bayar kok."
Sedikit canggung dan malu, sebenarnya maksud Ve bukan seperti itu. Dia paham betul Vito adalah orang yang bertanggung jawab akan pesanannya. Akan tetapi Ve merasa kurang nyaman karena ini ngobrol di luar gerai.
Karena Ve tidak mau memesan apapun, alhasil Vito yang memesankan softdrink dan mie ayam. Beberapa saat pun pesanan datang.
"Ayo diminum dulu, Mba."
Melihat Ve hanya tersenyum dan berdiam diri tanpa menyentuh makanan dan minuman sedikitpun, membuat Vito menghela nafas. Pria koas itu meminum beberapa teguk terlebih dahulu untuk melepaskan dahaga.
"Oke, kita langsung ke intinya saja ya."
Ve mengernyitkan dahi. "Maksudnya?"
Vito meminta maaf karena mungkin obrolan kali ini akan sedikit menyangkut masalah pribadi, bukan melulu soal tugas koas yang harus di copy atau print dan segala macam seperti biasanya.
Melihat Ve menganggukan kepala dengan pelan, Vito melanjutkan obrolan, menanyakan bagaimana perasaan Ve dengan melihat Danu yang kini malah jadian sama Mira, rekan kerja sendiri.
"Mmm… Mas Vito, tapi arah pembicaraan kita ini mau kemana ya? Kenapa jadi bahas hal itu?"
Dokter muda Vito hanya bisa menghela nafas. Dia mengingatkan tadi sudah meminta maaf karena mungkin akan menyinggung masalah pribadi.
Mendengar hal itu pun Ve hanya meringis menunjukkan deretan gigi putihnya, sembari menggaruk tengkuk leher.
Terdiam sesaat, Ve menarik nafas cukup dalam. Sebenarnya dia sudah tidak ingin membahas masalah itu lagi, biarlah menjadi cerita kelam yang mungkin akan selalu dikenang. Akan tetapi karena ditanya dan berhubung tidak ada rekan kerja yang mendengar, Ve mulai cerita dengan jujur, hingga tanpa sadar bulir bening mulai menetes dari sudut matanya.
Dengan cekatan Vito langsung mengambilkan tisu yang kebetulan ada di meja dan menyerahkannya pada Ve.
"Tuh, kan. Aku males kalau bahas masalah hati begini, Mas. Ujung-ujungnya pasti nangis."
"Nggak papa, Mba. Terkadang kita memang perlu menumpahkan kesedihan lewat air mata. Karena itu akan sedikit mengurangi beban hati kita," sahut Vito yang mulai berkaca-kaca.
Duduk bersebrangan, membuat Ve tertegun melihat Vito yang terhanyut dengan curahan hatinya. "Kenapa Mas Vito ikut mau nangis?"
Kini giliran Ve yang dengan sigap mengambilkan tisu.
"Maaf, Mba. Karena sebenarnya itu juga yang aku alami."
Ve langsung mengusap jejak air mata yang tersisa dengan cepat, bahkan tidak menggunakan tisu lagi melainkan dengan punggung tangannya.
"Ma-maksudnya Mba Alexa…
Belum selesai Ve bertanya, Vito sudah menganggukan kepala dengan raut wajah sendunya. Hal itu membuat Ve geleng-geleng kepala.
Dunia terkadang penuh dengan tiba-tiba, hal yang tak diduga pun bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja.
"Kok bisa, Mas?"
Kini giliran Ve yang begitu antusias ingin tahu kenapa Alexa yang biasanya memamerkan kemesraannya dengan Vito kemana siapa saja, bahkan tak kenal tempat, tiba-tiba saja berpaling dengan orang lain.
Vito menghela nafas. "Entahlah… sainganku calon direktur muda. Berat."
"Lah, Mas Vito juga calon dokter 'kan?" sambar Ve begitu saja.
Sang calon dokter itu menggeleng pelan. "Calon dokter tidak belum menjanjikan dibandingkan calon direktur yang sudah jelas tinggal nunggu waktu saja."
Sungguh terkadang manusia diberikan hal baik pun masih kurang puas dan mengharapkan yang lebih lagi.
Hanya manggut-manggut yang bisa Ve lakukan, karena dia sendiri pun tidak paham dengan yang terjadi pada dirinya sendiri, apalagi terhadap orang lain.
"Terkadang takdir sekejam itu ya, Mas?"
"Ini bukan takdir, Mba Ve. Ini masih nasib cinta kita yang bisa kita ubah kalau mau."
"Kita ubah?"
Vito mengangguk mantap. "Jadi kita bisa mengubah nasib cinta kita masing-masing dengan bekerjasama."
"Kerjasama? Maksud Mas Vito?"
Cukup membuat sang dokter muda mengelus dada memberi penjelasan pada Ve, akan tetapi hal itu tidak membuat masalah. Pria berkacamata itu tetap menjelaskan detail kerjasama yang dia tawarkan dengan pelan hingga Ve paham.
****
“Apa?!” Ve terlonjak kaget, sampai-sampai dia bangkit dari tempat duduknya saat mendengar kerjasama yang ditawarkan oleh Vito. Hal tersebut tentunya cukup mengundang perhatian para pengunjung kantin rumah sakit. Tak ingin membuat kegaduhan dan orang-orang salah paham, Vito langsung menarik Ve untuk duduk kembali. “Ssttt…dengerin dulu makannya. Kita hanya pura-pura pacaran, buat Danu dan Alexa cemburu. Pasti mereka akan ngajak kita balikan.” Cukup ragu, Ve diam sejenak. Dia mengatupkan kedua tangan dan dia gunakan menyangga dagu. Netranya melirik kesana kemari, begitu pula otaknya berjalan kemana-mana. “Mas Vito yakin ini bakalan berhasil?” tanya Ve setelah berpikir cukup lama. “Kalau mereka nggak cemburu dan nggak ngajak balikan gimana?” lanjutnya sambil menoleh ke arah Vito. Sang dokter muda menghela nafas. “Harus berhasil dong. Kita rubah penampilan kita lebih modis lagi. Pasti mereka akan nyesel.” Mendengar kata merubah penampilan, membuat gadis beriris hitam itu memegang waja
“Mas Vito?” ucap Ve tanpa bersuara begitu melihat siapa yang turun dari mobil tersebut.Masih tidak percaya bahwa dokter muda itu benar-benar menjemputnya. Pasalnya ini sudah malam, biasanya anak koas yang jadwal praktek pagi pasti sudah menggunakan waktu untuk istirahat.Jujur saja semula Ve masih ragu akan kerjasama yang ditawarkan sang dokter muda. Masa iya seorang calon dokter mau menjalani hubungan dengan pegawai fotocopy? Meskipun itu hanya pura-pura, tetap saja harga diri sang dokter muda yang dipertaruhkan.Akan tetapi begitu melihat Vito bela-belain menjemputnya untuk pulang ke mess, padahal jarak dari gerai ke mess lebih dekat dibandingkan ke kosan Vito, membuat Ve percaya.Dua manusia yang berdiri di samping Ve saling beradu pandang dan mengedikkan bahu. Dialah Reno dan Nindya. Biasanya Reno pulang bareng Danu naik motor.Kini karena Mira diajak pulang oleh Danu, mau tidak mau Reno pulang bareng ‘duo ciwi-ciwi BCC’.“Ayo, naik,” ajak Vito seraya menunjuk mobilnya dengan kep
Begitu tiba di kamar, Ve meletakkan tas dan jaketnya di atas meja. Mes BCC hanya ada dua kamar dengan ruang tamu, dapur dan ruang santai sebagai pemisah. Satu kamar untuk pegawai cowok, satu kamar lagi untuk pegawai cewek. Mes tersebut juga dilengkapi dengan CCTV, sehingga tidak akan ada yang berani macam-macam meskipun kamar cewek dan cowok berdekatan. Masing-masing kamar memiliki kamar mandi dalam, sehingga untuk urusan bersih-bersih tidak perlu keluar kamar. Kamar mandi luar hanya untuk cadangan saja. “Ekhem! Ada yang habis dianterin calon dokter nih. Ngerayu pas tugas tadi siang ya?” Ve yang sedang mengikat rambutnya menoleh ke arah sumber suara. Dalam keadaan capek seperti sekarang, gadis berambut segi itu paling malas ribut. Akan tetapi Mira seakan memancingnya. “Masalah buatmu?” sahut Ve dengan singkat. Nindya yang sedang merapikan loker lemarinya terkekeh. Kamar cewek yang semula adem ayem, selalu diwarnai dengan saling curhat, nyanyi bersama atau sekedar menceritakan kej
Dada Ve naik turun tidak beraturan saat Danu menghampirinya di dapur mes. Jika dulu suasana seperti ini yang selalu gadis berambut segi itu nantikan, setiap pulang dari gerai makan malam bersama Danu. Kini bertemu dengan pria yang telah tega mencampakkannya di mes adalah hal yang sangat menyebalkan.“Kamu mau masak mie?” ulang Danu setelah berdiri di samping Ve.“Menurut kamu?”Terdengar sinis jawaban Ve. Bahkan gadis itu sebenarnya tidak ingin menjawab. Seharusnya dengan melihat saja sudah tau kegiatan apa yang akan dia lakukan dengan sebungkus mie instan tersebut.“Sekalian dong buatin aku juga. Laper nih.” Danu memegangi perutnya sambil menyunggingkan senyum polos.Tentu saja Ve menautkan kedua alisnya mendengar permintaan Danu. Bagaimana bisa dengan entengnya meminta seperti itu setelah apa yang dia lakukan pada Ve. Sungguh urat malu Danu seakan sudah putus.“Minta masakin aja sama pacarnya.”Kini Ve memilih fokus mengambil panci dan mengisinya dengan air, lalu menaruhnya pada kom
“Ya aku cari tahu lah, masa sama pacar sendiri nggak tau nama lengkapnya, kan, lucu.”Ve merasa tergelitik dengan jawaban Vito di seberang sana. Benar juga, sebagai seorang kekasih baik Ve maupun Vito harus saling tahu satu sama lain. Tapi tidak secepat itu juga.“Pacar?” Ve mengedarkan pandangan, khawatir ada yang mendengar obrolannya di telepon. “Pacar pura-pura maksudnya?” lanjutnya lirih lalu terkekeh.“Aduh. Kamu jangan ingatkan aku tentang itu dong Luv. Aku jadi sakit nih.”Jika semula Ve begitu canggung menerima telepon dari Vito, semakin lama ngobrol gadis berkulit sawo matang itu menjadi nyaman dan tanpa sadar dia ngobrol cukup lama. Hingga saat Nindya dan Mira balik ke dalam kamar saja belum selesai.Dua wanita yang sebenarnya sedang tidak akur itu saling beradu pandang. Dari tatapan sudah jelas mereka tengah bertanya-tanya dengan siapakah Ve bertelepon. Kenapa sampai senyum-senyum dan tertawa lepas begitu. Bahkan mangkok bekas makan mie instan saja masih tergeletak di sebel
Jika beberapa hari terakhir kebiasaan Ve setiap bangun tidur adalah langsung mengerjakan piket di mes, sebelum akhirnya sholat subuh dan berangkat ke gerai. Maka untuk pertama kalinya kebiasaan tersebut berubah, yakni mengecek gawainya.Mungkin sedikit aneh bagi Ve yang semula begitu cuek pada alat komunikasinya tersebut. Biasanya dalam satu hari bisa dihitung berapa kali dia mengecek notifikasi, saking tidak ada yang diharapkan untuk menghubunginya selain keluarga dan bosnya.Akan tetapi kini sebuah kebiasaan baru telah lahir. Ve kembali menyayangi benda pipih yang satu itu. Bahkan dia bisa tertawa lepas akibat sebuah pesan pada benda tersebut.“Ish. Kenapa aku seseneng ini sih? Ingat,Ve. Ini tuh cuma akting, pura-pura. Bukan asli.” Ucap Ve menyadarkan diri sebelum dia terbawa suasana dari pesan yang diberikan Vito.Ting‘Pagi Luv… baru bangun ya?’Sontak saja Ve melempar ponselnya ke kasur. Pesan yang tadi malam saja baru sempat dibaca dan belum dibalas. Kini tiba-tiba saja Vito sud
"Kamu sayang nggak sama aku, Ve?"Pagi itu Danu dan Ve baru saja buka gerai, mereka sedang bersih-bersih dan membereskan seperti biasanya ketika pagi hari. Pertanyaan Danu membuat Ve yang sedang mengelap mesin copy mengernyitkan dahi."Ya sayang dong, sayangku. Masa sama pacar sendiri nggak sayang sih?"Sejak awal hubungan Danu dan Ve memang sedikit aneh, seperti tidak imbang karena tidak ada feedback dari Danu. Selalu saja Ve yang bersikap manis dan memperlakukan Danu layaknya kekasih, tapi tidak sebaliknya.Hingga panggilan saja Danu sering memanggil Ve dengan nama saja, tidak ada panggilan khusus atau sayang dan semacamnya. Tapi, Ve tidak pernah mempermasalahkan hal itu karena kekasihnya itu memang cuek.Danu terkekeh. "Ternyata, terpaksa itu tersiksa yah?"Ucapan pria berambut cepak itu membuat aktivitas Ve terhenti. Bahkan saking terkejutnya, lap yang semula berada di genggaman mendadak terlempar."Maksudnya apa?"Kini Ve berjalan mendekati Danu yang sedang menghidupkan komputer
Danu tertegun dengan kejujuran Ve. Dia menatap wanita yang kini membelakanginya. Tidak tahu saja jika saat ini Ve tengah menangis batin akibat ulahnya. Tak kuasa menahan tangis, Ve langsung lari ke kamar mandi guna menumpahkan semua kesedihan dan rasa sakitnya.Bukan. Ve bukan terlalu cinta sama Danu, dia hanya tidak menduga bahwa pria yang dikenal lembut pada wanita itu ternyata tidak lebih dari seorang penjahat wanita.Semua terdengar lucu. Danu duluan yang sering mengajak Ve makan bareng, ngajak pergi bersama. Bahkan Danu juga yang pertama mengungkapkan perasaan suka dan cinta pada Ve.Tapi kini dengan entengnya Danu mengatakan dia hanya kasihan, hanya mengisi kekosongan hati. Egois sekali."Apa serendah itu aku dimatamu, Dan?" lirih Ve sambil terus membasuh mukanya.Sialnya semakin dibasuh bukannya air matanya berhenti yang ada malah semakin deras tak terbendung."hiks… hiks…hiks… Ibu…Bapak… Ve pengen pulang."Disaat terluka, tersakiti, sedih dan semua perasaan campur aduk jadi sa