"Kamu sayang nggak sama aku, Ve?"
Pagi itu Danu dan Ve baru saja buka gerai, mereka sedang bersih-bersih dan membereskan seperti biasanya ketika pagi hari. Pertanyaan Danu membuat Ve yang sedang mengelap mesin copy mengernyitkan dahi.
"Ya sayang dong, sayangku. Masa sama pacar sendiri nggak sayang sih?"
Sejak awal hubungan Danu dan Ve memang sedikit aneh, seperti tidak imbang karena tidak ada feedback dari Danu. Selalu saja Ve yang bersikap manis dan memperlakukan Danu layaknya kekasih, tapi tidak sebaliknya.
Hingga panggilan saja Danu sering memanggil Ve dengan nama saja, tidak ada panggilan khusus atau sayang dan semacamnya. Tapi, Ve tidak pernah mempermasalahkan hal itu karena kekasihnya itu memang cuek.
Danu terkekeh. "Ternyata, terpaksa itu tersiksa yah?"
Ucapan pria berambut cepak itu membuat aktivitas Ve terhenti. Bahkan saking terkejutnya, lap yang semula berada di genggaman mendadak terlempar.
"Maksudnya apa?"
Kini Ve berjalan mendekati Danu yang sedang menghidupkan komputer dan printer. "Kamu terpaksa sama aku?"
Suara Ve terdengar bergetar, dadanya naik turun tidak beraturan. Matanya mulai berkaca-kaca menatap Danu yang bahkan masih sibuk dengan alat elektronik di hadapannya.
"Danu jawab!" tekan Ve seraya menarik pundak sang empunya.
Herannya Danu terlihat begitu pasrah dan enggan beradu pandang dengan Ve. Hal itu tentu semakin membuat Ve kesal. "Dan—
"Iya. Aku tidak pernah benar-benar mencintaimu. Selama ini aku hanya kasihan sama kamu."
Belum selesai Ve memanggil ulang, Danu sudah memotong dengan mengutarakan fakta tentang hati dan perasaannya selama ini. Dia mengatakan bahwa sebenarnya dia hanya menjadikan Ve selingan disaat hati kosong. Pria berkulit putih itu juga merasa kasihan dengan Ve yang masih jomblo.
Bagaikan tergores belati, setiap kata yang terucap dari mulut Danu begitu menyayat hati Ve. Gadis berkulit sawo matang itu masih bergeming, berusaha mencerna apa yang baru saja dia dengar dan alami.
"Permisi… Mba mau copy dong."
Sebuah seruan dari pelanggan tidak dihiraukan oleh dua sejoli yang sedang bersitegang. Mereka masih sibuk dengan perasaan masing-masing.
"Kamu tega, Dan."
Suara Ve terdengar begitu lirih. Tenggorokannya pun mendadak begitu kering, hingga menelan saliva saja rasanya sangat sulit.
"Maaf, Ve. Mungkin kejujuranku menyakitimu, tapi ini akan lebih menyakitimu jika terus dipaksakan."
Ve mengangkat telapak tangannya, entah mengapa kini mendengar suara Danu saja sudah begitu menyakitinya. Dia melirik seorang pria berkacamata dengan jas putih yang sedang berdiri sambil memperhatikan dirinya dan Danu.
Terpaksa dia menyudahi obrolan dengan Danu yang memang tidak ada lagi lanjutannya itu. Ve mendekati pelanggan pertamanya yang sudah menunggu untuk dilayani.
"Copy jadi berapa?" tanya Ve sambil meraih lembaran kertas yang ada di tangan pelanggan.
"Jadi dua puluh aja. Pake kertas buram ya."
Sayangnya ucapan sang pelanggan tersebut tidak didengarkan. Fokus Ve sedang sedikit terganggu hingga kurang konsentrasi akibat ucapan Danu.
Beberapa menit kemudian Ve sudah kembali dengan membawa hasil copyan, yakni dua puluh bendel kertas HVS. Sama persis dengan kertas yang dicopy tadi.
"Jadi lima puluh ribu," ucap Ve sambil mengepak kertas-kertas ke dalam plastik.
"Loh, kok HVS, Ve? Kan aku minta burem tadi."
Danu yang semula masih sibuk menyalakan komputer menoleh karena terdengar komplain dari pelanggan. Dia geleng-geleng kepala karena tidak biasanya Ve melakukan kesalahan. Pria berambut cepak itu pun mendekat.
"Kenapa, Mas Vito?"
Pria berjas putih yang dipanggil Vito itu menjelaskan bahwa dia sebelumnya meminta untuk dicopykan menggunakan kertas buram. Akan tetapi Ve malah meng-copynya dengan kertas HVS.
"Aduh, maaf banget ya, Mas. Sepertinya Ve belum sarapan jadi kurang fokus."
Mendengar Danu menyudutkannya Ve hanya bisa terdiam sambil menghela nafas dengan kasar. Danu memberikan kompensasi tetap membayar dengan harga kertas buram, meskipun hasilnya tadi dengan kertas HVS.
"Lagian tumben banget Mas Vito pake kertas buram," sosor Ve yang masih dongkol.
Pria koas itu meringis menunjukkan deretan gigi putihnya. Dia beralasan sedang banyak tugas yang harus di copy, sementara harus berhemat juga demi bisa membawa jalan kekasihnya.
Ve geleng-geleng kepala mendengar curhatan dari dokter muda itu. Memang tidak jarang para pelanggan yang sudah langganan curhat akan keseharian, bahkan sampai hubungan asmara seperti Vito ini.
"Baik-baik ya, Mba Ve. Jangan berantem terus sama Mas Danu," ledek Vito. "Makasih loh kortingannya," imbuhnya seraya menunjukkan tumpukan kertas hasil copyan lalu pergi.
"Ish. Dasar dokter nggak modal! Bawanya si mobil, tapi buat fotocopy aja maunya pake kertas buram."
Meskipun tau Vito tidak akan mendengar ucapannya, setidaknya Ve sedikit lega sudah mengutarakan kekesalannya. Kini suasana gerai kembali canggung karena belum ada pelanggan lagi.
"Kamu kenapa sih, Ve? Bisa-bisanya nggak fokus gitu. Untung Mas Vito udah pelanggan tetap. Coba kalau orang baru, bisa trauma dia datang kesini."
Sungguh tidak pernah diduga bahwa Danu akan menyalahkan Ve sebegitunya. Ya, mungkin ini memang kesalahan Ve yang cukup fatal. Tapi sadar nggak sih kalau semua itu juga dia yang menyebabkan?
Coba saja Danu tidak jujur tentang perasaannya sepagi ini. Atau kira-kira lah kalau mau berbicara soal hati. Tidak di tempat kerja dan di awal waktu kerja seperti itu.
'Ya ampun, aku nggak nyangka kamu sebenarnya sebusuk ini, Nu,' batin Ve sambil geleng-geleng kepala.
Dia tidak melihat sosok Danu yang ramah dan mengayomi anak-anak baru lagi. Kini hanya tampak keburukan demi keburukan dari pria berkulit putih itu.
"Kenapa? Setelah apa yang kamu ucapkan tadi masih bertanya kenapa? Kamu pikir aku robot? Nggak punya hati dan pikiran? Sadar nggak kalau semua ini justru disebabkan oleh kamu?"
Saking dongkolnya akhirnya Ve mengeluarkan serentetan kata yang sedari tadi dia pendam. Semula jika dia kesal dengan Danu hanya bisa dipendam karena menghargai sang kekasih. Akan tetapi yang dihargai malah tidak ada timbal balik. Bukannya menghargai, Danu malah hanya menjatuhkan Ve begitu kejam.
Danu menghela nafas, dia menatap wanita yang kini resmi menjadi mantan kekasihnya dengan seksama.
"Harusnya kamu bisa profesional dong, Ve. Tidak membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaan."
Ve yang sedang berjalan pun berhenti, dia menoleh ke arah Danu. Netranya menatap tajam hingga dadanya kembali naik turun. Wanita berambut sebahu itu pun kembali mendekat.
"Professional? Disini yang tidak profesional itu Aku apa Kamu sih, Dan? Hah!"
Wanita berwajah oval yang biasa dikenal penyabar pun telah mencapai batas kesabaran. Selama ini dia hanya diam jika disudutkan ataupun menjadi kambing hitam dalam dunia pekerjaan, kini dia tidak mau dibodohi lagi.
"Kamu yang memulai pembicaraan pribadi, kamu juga yang membawa masalah pribadi dalam dunia kerja. Sekarang aku yang dibilang tidak profesional?"
Ve geleng-geleng kepala. "Ah, iya. Aku lupa, disini hanya aku yang melibatkan hati, Kamu tidak. Makannya kamu biasa saja setelah menyakitiku," imbuhnya seraya tersenyum kecut.
****
Danu tertegun dengan kejujuran Ve. Dia menatap wanita yang kini membelakanginya. Tidak tahu saja jika saat ini Ve tengah menangis batin akibat ulahnya. Tak kuasa menahan tangis, Ve langsung lari ke kamar mandi guna menumpahkan semua kesedihan dan rasa sakitnya.Bukan. Ve bukan terlalu cinta sama Danu, dia hanya tidak menduga bahwa pria yang dikenal lembut pada wanita itu ternyata tidak lebih dari seorang penjahat wanita.Semua terdengar lucu. Danu duluan yang sering mengajak Ve makan bareng, ngajak pergi bersama. Bahkan Danu juga yang pertama mengungkapkan perasaan suka dan cinta pada Ve.Tapi kini dengan entengnya Danu mengatakan dia hanya kasihan, hanya mengisi kekosongan hati. Egois sekali."Apa serendah itu aku dimatamu, Dan?" lirih Ve sambil terus membasuh mukanya.Sialnya semakin dibasuh bukannya air matanya berhenti yang ada malah semakin deras tak terbendung."hiks… hiks…hiks… Ibu…Bapak… Ve pengen pulang."Disaat terluka, tersakiti, sedih dan semua perasaan campur aduk jadi sa
"Pada kenapa sih? Lihatin aku segitunya?" tanya Danu heran. "Apa ada yang aneh?" imbuhnya.Tidak ada yang menyahut, semua hanya diam dan menatap Danu dengan tatapan yang sulit diartikan. Hal itu tentu membuat pria berkulit putih itu merasa risih dan memilih memisahkan diri di depan komputer.Tak ingin memancing keributan, Bos Reza pun hanya bisa menghela nafas sambil terus menatap Ve dan Danu secara bergantian. Tanpa para pegawainya tau, dia menjadi orang yang paling sedih dengan berakhirnya hubungan dua manusia yang selalu dibilang couple goals itu.Selain tampan dan cantik dengan karakteristik masing-masing, kerjasama Ve dan Danu dalam dunia kerja benar-benar membawa dampak positif. Mereka selalu mensupport satu sama lain. Hal itu membuat senang orang-orang disekelilingnya senang dan mendukung hubungan mereka berdua.Akan tetapi dengan kenyataan sekarang, apa jadinya? Bos Reza khawatir hal itu akan mempengaruhi kinerja kerja dan membuat semua berantakan."Parah kamu, Dan," ucap Bos
Semua orang dibuat terkejut dengan ucapan Mira yang begitu percaya dirinya meminta do'a agar hubungannya dengan Danu langgeng. Nindya dan Reno yang sedang berhadapan saling menatap terbelalak. Dengan kompak mereka geleng-geleng kepala."Aw!"Saking terkejutnya mendengar Danu dan Mira sudah jadian, jari Ve sampai tergores alat pemotong. Beruntung dia sadar dan segera mengangkat tangan, jika tidak bisa ikut terpotong itu jari.Mendengar suara rintihan, Nindya segera meletakkan garapan bukunya dan berlari mendekati Ve. "Kamu nggak papa, Ve?"Ve mengangguk pelan. "Aku baik-baik aja kok. Cuma kurang fokus aja.""Cie. Ada yang baper nih. Nggak terima ya? Kalau Danu lebih suka sama aku? Ya jelas lah Aku lebih cantik."Mira berseru sambil mengibaskan rambut dengan genitnya. Urat malunya benar-benar seperti sudah putus berlaku demikian di depan para pelanggan.Para pelanggan termasuk Vito hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia menatap Ve dengan iba, rasanya ingin sekali merangkul gadis berhidung
Satu jam berlalu, Ve sudah selesai mencetak dua ratus lembar pamflet dan melipatnya. Tentu bukan hasil kerja keras seorang diri, ada Nindya dan Reno yang membantu.Ya, sejak hubungan Danu dan Mira go publik, mereka berdua menjadi jarang membantu pekerjaan yang cukup merepotkan. Terlebih Danu menjadi kepercayaan Bos Reza di gerai, alhasil tidak ada yang berani protes. Hanya bisa ngedumel di belakang.Karena Danu menjadi kepercayaan bos juga membuat Mira semena-mena. Dia merasa menjadi kekasih Danu, sehingga dia juga berkedudukan sama. Dia mau bekerja ketika memang sedang ramai atau pas Bos Reza datang mengontrol.Tidak masalah. Bagi trio rajin yakni Ve, Nindya dan Reno lebih baik mengerjakan sesuatu tanpa dua manusia yang hanya membuat tensi naik. "Aku nganterin ini dulu ya," pamit Ve sambil membawa satu kantong berisi dua ratus lembar pamflet."Mau dibantu nggak?" Reno menawarkan diri.Ve terkekeh. "Nggak perlu, ini cuma pamflet, kalau modul baru kamu yang nganterin."Tak menunggu wa
“Apa?!” Ve terlonjak kaget, sampai-sampai dia bangkit dari tempat duduknya saat mendengar kerjasama yang ditawarkan oleh Vito. Hal tersebut tentunya cukup mengundang perhatian para pengunjung kantin rumah sakit. Tak ingin membuat kegaduhan dan orang-orang salah paham, Vito langsung menarik Ve untuk duduk kembali. “Ssttt…dengerin dulu makannya. Kita hanya pura-pura pacaran, buat Danu dan Alexa cemburu. Pasti mereka akan ngajak kita balikan.” Cukup ragu, Ve diam sejenak. Dia mengatupkan kedua tangan dan dia gunakan menyangga dagu. Netranya melirik kesana kemari, begitu pula otaknya berjalan kemana-mana. “Mas Vito yakin ini bakalan berhasil?” tanya Ve setelah berpikir cukup lama. “Kalau mereka nggak cemburu dan nggak ngajak balikan gimana?” lanjutnya sambil menoleh ke arah Vito. Sang dokter muda menghela nafas. “Harus berhasil dong. Kita rubah penampilan kita lebih modis lagi. Pasti mereka akan nyesel.” Mendengar kata merubah penampilan, membuat gadis beriris hitam itu memegang waja
“Mas Vito?” ucap Ve tanpa bersuara begitu melihat siapa yang turun dari mobil tersebut.Masih tidak percaya bahwa dokter muda itu benar-benar menjemputnya. Pasalnya ini sudah malam, biasanya anak koas yang jadwal praktek pagi pasti sudah menggunakan waktu untuk istirahat.Jujur saja semula Ve masih ragu akan kerjasama yang ditawarkan sang dokter muda. Masa iya seorang calon dokter mau menjalani hubungan dengan pegawai fotocopy? Meskipun itu hanya pura-pura, tetap saja harga diri sang dokter muda yang dipertaruhkan.Akan tetapi begitu melihat Vito bela-belain menjemputnya untuk pulang ke mess, padahal jarak dari gerai ke mess lebih dekat dibandingkan ke kosan Vito, membuat Ve percaya.Dua manusia yang berdiri di samping Ve saling beradu pandang dan mengedikkan bahu. Dialah Reno dan Nindya. Biasanya Reno pulang bareng Danu naik motor.Kini karena Mira diajak pulang oleh Danu, mau tidak mau Reno pulang bareng ‘duo ciwi-ciwi BCC’.“Ayo, naik,” ajak Vito seraya menunjuk mobilnya dengan kep
Begitu tiba di kamar, Ve meletakkan tas dan jaketnya di atas meja. Mes BCC hanya ada dua kamar dengan ruang tamu, dapur dan ruang santai sebagai pemisah. Satu kamar untuk pegawai cowok, satu kamar lagi untuk pegawai cewek. Mes tersebut juga dilengkapi dengan CCTV, sehingga tidak akan ada yang berani macam-macam meskipun kamar cewek dan cowok berdekatan. Masing-masing kamar memiliki kamar mandi dalam, sehingga untuk urusan bersih-bersih tidak perlu keluar kamar. Kamar mandi luar hanya untuk cadangan saja. “Ekhem! Ada yang habis dianterin calon dokter nih. Ngerayu pas tugas tadi siang ya?” Ve yang sedang mengikat rambutnya menoleh ke arah sumber suara. Dalam keadaan capek seperti sekarang, gadis berambut segi itu paling malas ribut. Akan tetapi Mira seakan memancingnya. “Masalah buatmu?” sahut Ve dengan singkat. Nindya yang sedang merapikan loker lemarinya terkekeh. Kamar cewek yang semula adem ayem, selalu diwarnai dengan saling curhat, nyanyi bersama atau sekedar menceritakan kej
Dada Ve naik turun tidak beraturan saat Danu menghampirinya di dapur mes. Jika dulu suasana seperti ini yang selalu gadis berambut segi itu nantikan, setiap pulang dari gerai makan malam bersama Danu. Kini bertemu dengan pria yang telah tega mencampakkannya di mes adalah hal yang sangat menyebalkan.“Kamu mau masak mie?” ulang Danu setelah berdiri di samping Ve.“Menurut kamu?”Terdengar sinis jawaban Ve. Bahkan gadis itu sebenarnya tidak ingin menjawab. Seharusnya dengan melihat saja sudah tau kegiatan apa yang akan dia lakukan dengan sebungkus mie instan tersebut.“Sekalian dong buatin aku juga. Laper nih.” Danu memegangi perutnya sambil menyunggingkan senyum polos.Tentu saja Ve menautkan kedua alisnya mendengar permintaan Danu. Bagaimana bisa dengan entengnya meminta seperti itu setelah apa yang dia lakukan pada Ve. Sungguh urat malu Danu seakan sudah putus.“Minta masakin aja sama pacarnya.”Kini Ve memilih fokus mengambil panci dan mengisinya dengan air, lalu menaruhnya pada kom