Danu tertegun dengan kejujuran Ve. Dia menatap wanita yang kini membelakanginya. Tidak tahu saja jika saat ini Ve tengah menangis batin akibat ulahnya. Tak kuasa menahan tangis, Ve langsung lari ke kamar mandi guna menumpahkan semua kesedihan dan rasa sakitnya.
Bukan. Ve bukan terlalu cinta sama Danu, dia hanya tidak menduga bahwa pria yang dikenal lembut pada wanita itu ternyata tidak lebih dari seorang penjahat wanita.
Semua terdengar lucu. Danu duluan yang sering mengajak Ve makan bareng, ngajak pergi bersama. Bahkan Danu juga yang pertama mengungkapkan perasaan suka dan cinta pada Ve.
Tapi kini dengan entengnya Danu mengatakan dia hanya kasihan, hanya mengisi kekosongan hati. Egois sekali.
"Apa serendah itu aku dimatamu, Dan?" lirih Ve sambil terus membasuh mukanya.
Sialnya semakin dibasuh bukannya air matanya berhenti yang ada malah semakin deras tak terbendung.
"hiks… hiks…hiks… Ibu…Bapak… Ve pengen pulang."
Disaat terluka, tersakiti, sedih dan semua perasaan campur aduk jadi satu, hanya orang tuanya yang diingat. Ingin rasanya dia memeluk dua manusia yang selalu ada dalam keadaan apapun, akan tetapi jarak yang membentang membuat Ve harus menahan rindu tersebut.
Enam bulan sudah Ve tidak pulang kampung. Jatah mudiknya hanya saat lebaran dan tahun baru, masih butuh tiga bulan lagi untuk menuju libur lebaran. Rasanya memang terlalu lama, apalagi disaat ada masalah seperti ini.
Mendengar suara bising di luar membuat Ve segera menyudahi ratapan nasib. Menjadi tempat fotocopy yang strategis membuat BBC selalu diserbu para pengunjung, khususnya para koas dan perawat yang PKL di rumah sakit seberang.
Ve menghela nafas panjang, memastikan tidak ada air mata yang keluar lagi meskipun matanya masih sedikit merah. Dia masih merasa percaya diri. Kecuali kalau matanya sudah bengkak, baru tidak berani menampakkan diri di depan umum.
"Lah, itu Mba Ve. Mba buruan aku mau jilid, udah telat nih," seru salah satu mahasiswi koas.
"Aku dulu, Mba. Cuma copy kok."
"Aku mau cetak foto ya, ukuran tiga kali empat sama empat kali enam."
"Aku duluan, Mba. Ini mau dijadikan master soalnya."
Berbagai seruan dari para pelanggan membuat Ve kebingungan mau melayani yang mana dulu. Dia melirik Nindya dan Mira yang sama-sama sedang repot melayani. Sementara Danu dan Reno sedang sibuk menggarap copyan di depan mesin.
"Oke, semuanya tolong sabar ya. Satu-satu," sahut Ve seraya menerima kertas yang akan dijadikan master.
Alasan Ve menerima bahan master karena setelah itu pasti bakalan datang rombongan-rombongan yang mengambil copy master tersebut, sehingga sebelum diserbu para pemburu, harus diamankan bahannya terlebih dahulu.
Baru setelah itu tinggal copy yang lain-lain, jilid dan cetak foto. Semua bisa teratasi dengan baik. Ve memang begitu cekatan sehingga dia selalu disenangi para pelanggan. Kinerja kerja Ve dan Danu benar-benar bisa diadu, padahal Ve juga hasil belajar dari Danu saat masih training dulu.
Kesibukan beberapa jam di pagi hari cukup membuat Ve teralihkan dari masalah pribadinya. Hingga saat menjelang siang, suasana gerai sudah tidak terlalu hectic, bahkan Ve dan Nindya sempat duduk dan ngobrol kesana-kemari, kejadian pagi tadi kembali terlintas.
"Ve, itu Danu lagi makan di sebelah. Tumben nggak bareng kamu?" ledek Bos Reza yang baru datang.
Sebagai seorang bos memang terbiasa datang sesuka hati. Tidak peduli keadaan gerai ramai, karena dia sudah mempekerjakan banyak pegawai. Baginya datang ke gerai hanya untuk mengontrol saja. Belum lagi cabangnya yang dimana-mana, hingga keliling gerai saja rasanya sudah membuat letih.
Ve yang semula sedang bersenda gurau bersama teman-teman lainnya mendadak terdiam, begitupun dengan Nindya, Mira dan hanya bisa saling pandang mengingat drama pagi tadi. Jujur saja tidak ada yang berani mengusik dan mempertanyakan masalah pribadi antara Ve dan Danu di tempat kerja.
Bos Reza dibuat bingung dengan reaksi para anak buahnya yang hanya diam, tidak seperti biasanya yang langsung meledek Ve dan membuat gadis berkulit sawo matang itu tersipu malu.
Sang owner fotocopy menatap satu persatu pegawainya menuntut jawaban, akan tetapi Ve hanya bisa terdiam dan menunduk. Sementara Nindya dan Mira berpura-pura tidak mendengar pertanyaan sensitif tersebut.
Tiba saat pandangan Bos Reza berhenti pada Reno yang sedang di ujung sambil menggarap cetak foto yang kebetulan tidak ditunggu sang pelanggan.
Reno memberikan kode dengan kedua tangan membentuk love, kemudian membuat love tersebut terpisah. Bos Reza yang paham akan maksud tersebut sontak membulatkan mata dan mulutnya ternganga, hingga beberapa detik dia menutup mulut dengan salah satu tangan. Perlahan ekor matanya mengintip sang pegawai idamannya itu.
Ya. Ve menjadi pegawai idaman bosnya karena kinerja dan ketangkasan dalam bekerja yang tidak bisa diremehkan. Bos Reza mengakui dengan adanya Ve kehectican di gerai selalu bisa ditangani. Berbeda dengan suasana sebelum ada Ve.
"Maaf ya, Ve. Aku nggak tau," ucap Bos Reza merasa bersalah.
Wanita yang dipanggilnya itu terkekeh. "Kenapa harus minta maaf, Bos? Bukannya hal seperti itu sudah wajar dalam dunia asmara?"
Ve menjawab sembari mengangkat kepala lalu menoleh ke arah bosnya. Tatapan Ve yang berkaca-kaca membuat sang owner gerai iba. Pria paruh baya dan mengenakan kacamata itu pun hanya bisa menggaruk tengkuk lehernya yang sebenarnya tidak gatal.
Sungguh Bos Reza merasa salah mengambil topik pembicaraan, padahal hanya beberapa jam dia tidak berjumpa dengan para pegawainya di gerai pusat itu. Tapi sudah ada saja hal yang bikin dia seperti orang linglung.
"Hehe, iya sih. Mmm… Nindya, tolong belikan es campur deh. Aku haus banget," sahut Bos Reza yang dilanjutkan memerintah salah satu pegawai seniornya.
Tentu saja hal itu hanya alibi untuk mengalihkan pembicaraan yang sensitif tadi. Beruntung Nindya paham betul maksud dari bosnya itu.
"Siap, Bos. Buat kami juga 'kan?" sahutnya seraya menaik turunkan kedua alisnya.
"Ya pasti dong. Aku ini bos kalian yang paling baik. Ya nggak, Ren?"
"Ah… nggak juga, Bos. Kadang suka marah-marah."
Sontak saja semua tergelak dengan jawaban Reno si paling jujur. Sayangnya candaan yang dibuat untuk mengalihkan pembicaraan terdengar begitu garing di telinga Ve. Gadis berhidung mancung itu hanya tersenyum smirk.
Nindya yang menyadari usaha sang bos kurang berhasil, memberikan kode pada Bos Reza dengan menunjuk Ve menggunakan ekor matanya. Sang pemilik gerai hanya menghela nafas dan mengibaskan tangan. Nindya yang paham itu perintah untuk pergi pun segera melenggang keluar gerai.
Saat itu juga Danu kembali dari warung sebelah sambil bersenandung. Tentu saja hal itu mengundang perhatian Ve dan yang lainnya. Sungguh tidak punya hati dan perasaan, bisa-bisanya setelah menyakiti Ve seperti orang yang bahagia.
****
"Pada kenapa sih? Lihatin aku segitunya?" tanya Danu heran. "Apa ada yang aneh?" imbuhnya.Tidak ada yang menyahut, semua hanya diam dan menatap Danu dengan tatapan yang sulit diartikan. Hal itu tentu membuat pria berkulit putih itu merasa risih dan memilih memisahkan diri di depan komputer.Tak ingin memancing keributan, Bos Reza pun hanya bisa menghela nafas sambil terus menatap Ve dan Danu secara bergantian. Tanpa para pegawainya tau, dia menjadi orang yang paling sedih dengan berakhirnya hubungan dua manusia yang selalu dibilang couple goals itu.Selain tampan dan cantik dengan karakteristik masing-masing, kerjasama Ve dan Danu dalam dunia kerja benar-benar membawa dampak positif. Mereka selalu mensupport satu sama lain. Hal itu membuat senang orang-orang disekelilingnya senang dan mendukung hubungan mereka berdua.Akan tetapi dengan kenyataan sekarang, apa jadinya? Bos Reza khawatir hal itu akan mempengaruhi kinerja kerja dan membuat semua berantakan."Parah kamu, Dan," ucap Bos
Semua orang dibuat terkejut dengan ucapan Mira yang begitu percaya dirinya meminta do'a agar hubungannya dengan Danu langgeng. Nindya dan Reno yang sedang berhadapan saling menatap terbelalak. Dengan kompak mereka geleng-geleng kepala."Aw!"Saking terkejutnya mendengar Danu dan Mira sudah jadian, jari Ve sampai tergores alat pemotong. Beruntung dia sadar dan segera mengangkat tangan, jika tidak bisa ikut terpotong itu jari.Mendengar suara rintihan, Nindya segera meletakkan garapan bukunya dan berlari mendekati Ve. "Kamu nggak papa, Ve?"Ve mengangguk pelan. "Aku baik-baik aja kok. Cuma kurang fokus aja.""Cie. Ada yang baper nih. Nggak terima ya? Kalau Danu lebih suka sama aku? Ya jelas lah Aku lebih cantik."Mira berseru sambil mengibaskan rambut dengan genitnya. Urat malunya benar-benar seperti sudah putus berlaku demikian di depan para pelanggan.Para pelanggan termasuk Vito hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia menatap Ve dengan iba, rasanya ingin sekali merangkul gadis berhidung
Satu jam berlalu, Ve sudah selesai mencetak dua ratus lembar pamflet dan melipatnya. Tentu bukan hasil kerja keras seorang diri, ada Nindya dan Reno yang membantu.Ya, sejak hubungan Danu dan Mira go publik, mereka berdua menjadi jarang membantu pekerjaan yang cukup merepotkan. Terlebih Danu menjadi kepercayaan Bos Reza di gerai, alhasil tidak ada yang berani protes. Hanya bisa ngedumel di belakang.Karena Danu menjadi kepercayaan bos juga membuat Mira semena-mena. Dia merasa menjadi kekasih Danu, sehingga dia juga berkedudukan sama. Dia mau bekerja ketika memang sedang ramai atau pas Bos Reza datang mengontrol.Tidak masalah. Bagi trio rajin yakni Ve, Nindya dan Reno lebih baik mengerjakan sesuatu tanpa dua manusia yang hanya membuat tensi naik. "Aku nganterin ini dulu ya," pamit Ve sambil membawa satu kantong berisi dua ratus lembar pamflet."Mau dibantu nggak?" Reno menawarkan diri.Ve terkekeh. "Nggak perlu, ini cuma pamflet, kalau modul baru kamu yang nganterin."Tak menunggu wa
“Apa?!” Ve terlonjak kaget, sampai-sampai dia bangkit dari tempat duduknya saat mendengar kerjasama yang ditawarkan oleh Vito. Hal tersebut tentunya cukup mengundang perhatian para pengunjung kantin rumah sakit. Tak ingin membuat kegaduhan dan orang-orang salah paham, Vito langsung menarik Ve untuk duduk kembali. “Ssttt…dengerin dulu makannya. Kita hanya pura-pura pacaran, buat Danu dan Alexa cemburu. Pasti mereka akan ngajak kita balikan.” Cukup ragu, Ve diam sejenak. Dia mengatupkan kedua tangan dan dia gunakan menyangga dagu. Netranya melirik kesana kemari, begitu pula otaknya berjalan kemana-mana. “Mas Vito yakin ini bakalan berhasil?” tanya Ve setelah berpikir cukup lama. “Kalau mereka nggak cemburu dan nggak ngajak balikan gimana?” lanjutnya sambil menoleh ke arah Vito. Sang dokter muda menghela nafas. “Harus berhasil dong. Kita rubah penampilan kita lebih modis lagi. Pasti mereka akan nyesel.” Mendengar kata merubah penampilan, membuat gadis beriris hitam itu memegang waja
“Mas Vito?” ucap Ve tanpa bersuara begitu melihat siapa yang turun dari mobil tersebut.Masih tidak percaya bahwa dokter muda itu benar-benar menjemputnya. Pasalnya ini sudah malam, biasanya anak koas yang jadwal praktek pagi pasti sudah menggunakan waktu untuk istirahat.Jujur saja semula Ve masih ragu akan kerjasama yang ditawarkan sang dokter muda. Masa iya seorang calon dokter mau menjalani hubungan dengan pegawai fotocopy? Meskipun itu hanya pura-pura, tetap saja harga diri sang dokter muda yang dipertaruhkan.Akan tetapi begitu melihat Vito bela-belain menjemputnya untuk pulang ke mess, padahal jarak dari gerai ke mess lebih dekat dibandingkan ke kosan Vito, membuat Ve percaya.Dua manusia yang berdiri di samping Ve saling beradu pandang dan mengedikkan bahu. Dialah Reno dan Nindya. Biasanya Reno pulang bareng Danu naik motor.Kini karena Mira diajak pulang oleh Danu, mau tidak mau Reno pulang bareng ‘duo ciwi-ciwi BCC’.“Ayo, naik,” ajak Vito seraya menunjuk mobilnya dengan kep
Begitu tiba di kamar, Ve meletakkan tas dan jaketnya di atas meja. Mes BCC hanya ada dua kamar dengan ruang tamu, dapur dan ruang santai sebagai pemisah. Satu kamar untuk pegawai cowok, satu kamar lagi untuk pegawai cewek. Mes tersebut juga dilengkapi dengan CCTV, sehingga tidak akan ada yang berani macam-macam meskipun kamar cewek dan cowok berdekatan. Masing-masing kamar memiliki kamar mandi dalam, sehingga untuk urusan bersih-bersih tidak perlu keluar kamar. Kamar mandi luar hanya untuk cadangan saja. “Ekhem! Ada yang habis dianterin calon dokter nih. Ngerayu pas tugas tadi siang ya?” Ve yang sedang mengikat rambutnya menoleh ke arah sumber suara. Dalam keadaan capek seperti sekarang, gadis berambut segi itu paling malas ribut. Akan tetapi Mira seakan memancingnya. “Masalah buatmu?” sahut Ve dengan singkat. Nindya yang sedang merapikan loker lemarinya terkekeh. Kamar cewek yang semula adem ayem, selalu diwarnai dengan saling curhat, nyanyi bersama atau sekedar menceritakan kej
Dada Ve naik turun tidak beraturan saat Danu menghampirinya di dapur mes. Jika dulu suasana seperti ini yang selalu gadis berambut segi itu nantikan, setiap pulang dari gerai makan malam bersama Danu. Kini bertemu dengan pria yang telah tega mencampakkannya di mes adalah hal yang sangat menyebalkan.“Kamu mau masak mie?” ulang Danu setelah berdiri di samping Ve.“Menurut kamu?”Terdengar sinis jawaban Ve. Bahkan gadis itu sebenarnya tidak ingin menjawab. Seharusnya dengan melihat saja sudah tau kegiatan apa yang akan dia lakukan dengan sebungkus mie instan tersebut.“Sekalian dong buatin aku juga. Laper nih.” Danu memegangi perutnya sambil menyunggingkan senyum polos.Tentu saja Ve menautkan kedua alisnya mendengar permintaan Danu. Bagaimana bisa dengan entengnya meminta seperti itu setelah apa yang dia lakukan pada Ve. Sungguh urat malu Danu seakan sudah putus.“Minta masakin aja sama pacarnya.”Kini Ve memilih fokus mengambil panci dan mengisinya dengan air, lalu menaruhnya pada kom
“Ya aku cari tahu lah, masa sama pacar sendiri nggak tau nama lengkapnya, kan, lucu.”Ve merasa tergelitik dengan jawaban Vito di seberang sana. Benar juga, sebagai seorang kekasih baik Ve maupun Vito harus saling tahu satu sama lain. Tapi tidak secepat itu juga.“Pacar?” Ve mengedarkan pandangan, khawatir ada yang mendengar obrolannya di telepon. “Pacar pura-pura maksudnya?” lanjutnya lirih lalu terkekeh.“Aduh. Kamu jangan ingatkan aku tentang itu dong Luv. Aku jadi sakit nih.”Jika semula Ve begitu canggung menerima telepon dari Vito, semakin lama ngobrol gadis berkulit sawo matang itu menjadi nyaman dan tanpa sadar dia ngobrol cukup lama. Hingga saat Nindya dan Mira balik ke dalam kamar saja belum selesai.Dua wanita yang sebenarnya sedang tidak akur itu saling beradu pandang. Dari tatapan sudah jelas mereka tengah bertanya-tanya dengan siapakah Ve bertelepon. Kenapa sampai senyum-senyum dan tertawa lepas begitu. Bahkan mangkok bekas makan mie instan saja masih tergeletak di sebel