"Pada kenapa sih? Lihatin aku segitunya?" tanya Danu heran. "Apa ada yang aneh?" imbuhnya.
Tidak ada yang menyahut, semua hanya diam dan menatap Danu dengan tatapan yang sulit diartikan. Hal itu tentu membuat pria berkulit putih itu merasa risih dan memilih memisahkan diri di depan komputer.
Tak ingin memancing keributan, Bos Reza pun hanya bisa menghela nafas sambil terus menatap Ve dan Danu secara bergantian. Tanpa para pegawainya tau, dia menjadi orang yang paling sedih dengan berakhirnya hubungan dua manusia yang selalu dibilang couple goals itu.
Selain tampan dan cantik dengan karakteristik masing-masing, kerjasama Ve dan Danu dalam dunia kerja benar-benar membawa dampak positif. Mereka selalu mensupport satu sama lain. Hal itu membuat senang orang-orang disekelilingnya senang dan mendukung hubungan mereka berdua.
Akan tetapi dengan kenyataan sekarang, apa jadinya? Bos Reza khawatir hal itu akan mempengaruhi kinerja kerja dan membuat semua berantakan.
"Parah kamu, Dan," ucap Bos Reza seraya geleng-geleng kepala.
Beruntung saat itu Nindya datang dengan membawa es campur pesenan sang bos, sehingga keadaan teralihkan karena semuanya menikmati minuman yang memang cocok disaat cuaca panas seperti sekarang.
Hanya beberapa jam Bos Reza di gerai pusat, dia akan melanjutkan pengontrolan ke cabang-cabang BCC.
"Nin, aku titip ya. Semoga masalah Ve dan Danu tidak mempengaruhi pekerjaan," bisik Bos Reza sebelum akhirnya meninggalkan gerai.
Nindya hanya bisa mengangguk patuh dan mengacungkan jempol ke arah bosnya yang sudah masuk ke dalam mobil.
Ve yang mendengar ucapan sang bos hanya bisa termenung. 'Apa aku resign saja ya?' batinnya yang mulai putus asa.
Akan tetapi bayang-bayang orang tua yang hidup susah kembali terlintas. Segera Ve mengenyahkan pikiran untuk resign, dia bertekad untuk menghadapi masalah itu dan menyelesaikannya. Bukan pergi atau melarikan diri.
Menjelang sore, suasana gerai kembali ramai. Benar-benar ramai hingga para pekerja tidak terlihat dari luar karena di depan dipenuhi oleh para mahasiswa yang sedang PKL, koas dan segala macam kegiatan lain.
"Mba, Ve. Aku mau ambil jilidan dong."
Ve sedikit bingung karena dia tidak merasa menerima bahan untuk dijilid. "Tadi sama siapa, Mba Alexa?"
"Sama siapa tadi, Sayang?"
Wanita berjas merah yang dipanggil Alexa tadi bertanya pada kekasihnya yang tidak lain adalah Vito, mahasiswa kedokteran yang sedang koas.
"Sama Mas Danu 'kan?"
"Oh iya, lupa." Alexa menepuk jidat. "Sama pacar Mba Ve, coba gih tanya sama ayang," imbuhnya.
Sontak saja ucapan mahasiswi jurusan bisnis itu membuat Ve tertegun. Vito yang sudah paham dengan fakta hubungan dua pegawai BCC itu hanya bisa tersenyum sembari menggaruk kepala.
Sungguh Vito menatap Ve dengan rasa bersalah, dia hanya bisa menangkupkan kedua tangannya pertanda meminta maaf atas ucapan sang kekasih yang mungkin menyakiti atau menyinggung hati Ve.
Itu bukan sepenuhnya salah Alexa, hubungan asmara Ve dan Danu sudah diketahui semua orang. Sementara berakhirnya hubungan mereka baru pagi tadi, jadi sudah pasti banyak yang belum tahu akan hal itu.
"Ekhem. Oh, Danu? Cuma mau bilang aja sih, Mba Alexa. Danu sudah bukan siapa-siapaku lagi. Jadi untuk kedepannya bisa sebutkan nama saja ya."
Semua orang yang sedang disana sontak saja menoleh pada ucapan Ve. Mereka tertegun, lalu kembali dengan aktivitas masing-masing. Ada pula yang pura-pura tidak tahu. Biarlah. Ve tidak malu mengakui hal tersebut karena sebuah fakta. Daripada terus-terusan dibilang kekasih Danu tapi sebenarnya tidak.
Alexa langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia melirik sang kekasih sambil menautkan kedua alisnya. Vito yang paham kode tersebut hanya bisa mengangguk.
"Pantesan dari tadi merek saling diem."
"Sayang banget yah? Padahal Mba Ve sama Mas Danu itu sudah paket komplit."
Beberapa pendapat terdengar dari para pelanggan yang menyayangkan hubungan Ve dan Danu berakhir. Akan tetapi Ve sudah tidak terpengaruh lagi. Kata-kata Danu yang hanya kasihan dan mengisi kekosongan masih terngiang-ngiang di telinga gadis berambut hitam itu.
Setelah malam tiba dan tutup gerai, Ve sudah tidak sabar untuk kembali ke mess. Dia segera mengajak Nindya dan Mira untuk pulang ke mess. Sebelumnya mereka mampir beli makan malam terlebih dahulu.
"Ve, kamu ok?" tanya Nindya saat mereka tengah makan malam di mess.
Ve yang sudah mengunyah makanan dengan malas pun terdiam, mendadak tenggorokannya begitu susah dimasuki makanan hingga dia harus minum terlebih dahulu.
"Ya… aku nggak papa kok, Mba," sahut Ve dengan suara yang tertahan.
Selain senior, Nindya juga paling dewasa diantara Ve dan Mira, bahkan lebih dewasa dari Danu juga. Sehingga dia selalu menjadi tempat mengadu para adik-adiknya itu.
Perlahan pelupuk mata Ve terasa begitu hangat, hingga tanpa sadar buliran demi buliran mengalir deras dari sudut mata gadis beriris hitam itu.
Menyadari bahwa Ve tengah berbohong, Nindya langsung memeluk rekan kerja yang sudah seperti saudara. Saat itu juga tangis Ve pecah.
Acara makan malam sedikit tertunda karena momen tersebut. Nindya berusaha menghibur dan menguatkan Ve. Sementara Mira tetap fokus makan tanpa mempedulikan kesedihan teman sekamarnya.
Hari-hari pun terlewati, Ve yang semula masih suka terbawa suasana dan canggung saat di gerai, kini mulai terbiasa dengan statusnya yang hanya sebatas rekan kerja dengan Danu. Bahkan ledekan dari para pelanggan pun sudah bisa dia atasi dengan lawakan seperti biasanya.
"Mba Mira. Tadi ada temanku masukin bahan masteran sama Mas Danu katanya. Aku mau ambil tiga paket ya," ucap Vito yang baru saja tiba.
Saat itu suasana gerai sedang tidak terlalu ramai, tapi tetap ada pelanggan hilir mudik. Ve sedang memotong tumpukan kertas guna dijilid, sementara Danu sedang di depan komputer mencetak foto. Reno dan Nindya sedang menggarap buku-buku mini. Jadi memang hanya Mira yang kebetulan sedang santai.
"Oh, oke. Sebentar ya, Mas."
Mira berjalan menuju mesin copy. "Sayang, tadi masterannya kamu kasih judul apa disini?" serunya sambil menatap layar mesin copy dan mencari-cari bahan yang dimaksud.
"Oh iya. Judulnya Ilmu Anestesi."
"Yang mana sih? Ini ada tiga judul yang sama?" sahut Mira dengan suara manjanya.
Sontak Danu bangkit dan menghampiri Mira. "Duh, pacarku yang cantik ini suka bikin gemes deh nggak mudengan. Yang ini loh, Sayang."
Danu menunjuk judul di baris paling atas. Tanpa mereka berdua sadari, obrolan yang seharusnya biasa saja bagi pasangan kekasih, terdengar aneh karena belum ada yang tahu jika Mira dan Danu memiliki hubungan.
"Loh, Mas Danu dan Mba Mira pacaran?" serobot Vito yang memang orangnya selalu ingin tahu. Apalagi tentang para pegawai BBC yang sudah seperti teman sendiri.
Dua manusia yang dipanggil tadi menoleh kaget lalu tersipu malu. "Hehe, iya, Mas Vito. Doain ya biar langgeng," sahut Mira sambil bergelayut manja di lengan Danu.
Vito memaksakan seulas senyum, sementara ekor matanya mencari keberadaan Ve dan memastikan gadis itu tidak pingsan.
****
Semua orang dibuat terkejut dengan ucapan Mira yang begitu percaya dirinya meminta do'a agar hubungannya dengan Danu langgeng. Nindya dan Reno yang sedang berhadapan saling menatap terbelalak. Dengan kompak mereka geleng-geleng kepala."Aw!"Saking terkejutnya mendengar Danu dan Mira sudah jadian, jari Ve sampai tergores alat pemotong. Beruntung dia sadar dan segera mengangkat tangan, jika tidak bisa ikut terpotong itu jari.Mendengar suara rintihan, Nindya segera meletakkan garapan bukunya dan berlari mendekati Ve. "Kamu nggak papa, Ve?"Ve mengangguk pelan. "Aku baik-baik aja kok. Cuma kurang fokus aja.""Cie. Ada yang baper nih. Nggak terima ya? Kalau Danu lebih suka sama aku? Ya jelas lah Aku lebih cantik."Mira berseru sambil mengibaskan rambut dengan genitnya. Urat malunya benar-benar seperti sudah putus berlaku demikian di depan para pelanggan.Para pelanggan termasuk Vito hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia menatap Ve dengan iba, rasanya ingin sekali merangkul gadis berhidung
Satu jam berlalu, Ve sudah selesai mencetak dua ratus lembar pamflet dan melipatnya. Tentu bukan hasil kerja keras seorang diri, ada Nindya dan Reno yang membantu.Ya, sejak hubungan Danu dan Mira go publik, mereka berdua menjadi jarang membantu pekerjaan yang cukup merepotkan. Terlebih Danu menjadi kepercayaan Bos Reza di gerai, alhasil tidak ada yang berani protes. Hanya bisa ngedumel di belakang.Karena Danu menjadi kepercayaan bos juga membuat Mira semena-mena. Dia merasa menjadi kekasih Danu, sehingga dia juga berkedudukan sama. Dia mau bekerja ketika memang sedang ramai atau pas Bos Reza datang mengontrol.Tidak masalah. Bagi trio rajin yakni Ve, Nindya dan Reno lebih baik mengerjakan sesuatu tanpa dua manusia yang hanya membuat tensi naik. "Aku nganterin ini dulu ya," pamit Ve sambil membawa satu kantong berisi dua ratus lembar pamflet."Mau dibantu nggak?" Reno menawarkan diri.Ve terkekeh. "Nggak perlu, ini cuma pamflet, kalau modul baru kamu yang nganterin."Tak menunggu wa
“Apa?!” Ve terlonjak kaget, sampai-sampai dia bangkit dari tempat duduknya saat mendengar kerjasama yang ditawarkan oleh Vito. Hal tersebut tentunya cukup mengundang perhatian para pengunjung kantin rumah sakit. Tak ingin membuat kegaduhan dan orang-orang salah paham, Vito langsung menarik Ve untuk duduk kembali. “Ssttt…dengerin dulu makannya. Kita hanya pura-pura pacaran, buat Danu dan Alexa cemburu. Pasti mereka akan ngajak kita balikan.” Cukup ragu, Ve diam sejenak. Dia mengatupkan kedua tangan dan dia gunakan menyangga dagu. Netranya melirik kesana kemari, begitu pula otaknya berjalan kemana-mana. “Mas Vito yakin ini bakalan berhasil?” tanya Ve setelah berpikir cukup lama. “Kalau mereka nggak cemburu dan nggak ngajak balikan gimana?” lanjutnya sambil menoleh ke arah Vito. Sang dokter muda menghela nafas. “Harus berhasil dong. Kita rubah penampilan kita lebih modis lagi. Pasti mereka akan nyesel.” Mendengar kata merubah penampilan, membuat gadis beriris hitam itu memegang waja
“Mas Vito?” ucap Ve tanpa bersuara begitu melihat siapa yang turun dari mobil tersebut.Masih tidak percaya bahwa dokter muda itu benar-benar menjemputnya. Pasalnya ini sudah malam, biasanya anak koas yang jadwal praktek pagi pasti sudah menggunakan waktu untuk istirahat.Jujur saja semula Ve masih ragu akan kerjasama yang ditawarkan sang dokter muda. Masa iya seorang calon dokter mau menjalani hubungan dengan pegawai fotocopy? Meskipun itu hanya pura-pura, tetap saja harga diri sang dokter muda yang dipertaruhkan.Akan tetapi begitu melihat Vito bela-belain menjemputnya untuk pulang ke mess, padahal jarak dari gerai ke mess lebih dekat dibandingkan ke kosan Vito, membuat Ve percaya.Dua manusia yang berdiri di samping Ve saling beradu pandang dan mengedikkan bahu. Dialah Reno dan Nindya. Biasanya Reno pulang bareng Danu naik motor.Kini karena Mira diajak pulang oleh Danu, mau tidak mau Reno pulang bareng ‘duo ciwi-ciwi BCC’.“Ayo, naik,” ajak Vito seraya menunjuk mobilnya dengan kep
Begitu tiba di kamar, Ve meletakkan tas dan jaketnya di atas meja. Mes BCC hanya ada dua kamar dengan ruang tamu, dapur dan ruang santai sebagai pemisah. Satu kamar untuk pegawai cowok, satu kamar lagi untuk pegawai cewek. Mes tersebut juga dilengkapi dengan CCTV, sehingga tidak akan ada yang berani macam-macam meskipun kamar cewek dan cowok berdekatan. Masing-masing kamar memiliki kamar mandi dalam, sehingga untuk urusan bersih-bersih tidak perlu keluar kamar. Kamar mandi luar hanya untuk cadangan saja. “Ekhem! Ada yang habis dianterin calon dokter nih. Ngerayu pas tugas tadi siang ya?” Ve yang sedang mengikat rambutnya menoleh ke arah sumber suara. Dalam keadaan capek seperti sekarang, gadis berambut segi itu paling malas ribut. Akan tetapi Mira seakan memancingnya. “Masalah buatmu?” sahut Ve dengan singkat. Nindya yang sedang merapikan loker lemarinya terkekeh. Kamar cewek yang semula adem ayem, selalu diwarnai dengan saling curhat, nyanyi bersama atau sekedar menceritakan kej
Dada Ve naik turun tidak beraturan saat Danu menghampirinya di dapur mes. Jika dulu suasana seperti ini yang selalu gadis berambut segi itu nantikan, setiap pulang dari gerai makan malam bersama Danu. Kini bertemu dengan pria yang telah tega mencampakkannya di mes adalah hal yang sangat menyebalkan.“Kamu mau masak mie?” ulang Danu setelah berdiri di samping Ve.“Menurut kamu?”Terdengar sinis jawaban Ve. Bahkan gadis itu sebenarnya tidak ingin menjawab. Seharusnya dengan melihat saja sudah tau kegiatan apa yang akan dia lakukan dengan sebungkus mie instan tersebut.“Sekalian dong buatin aku juga. Laper nih.” Danu memegangi perutnya sambil menyunggingkan senyum polos.Tentu saja Ve menautkan kedua alisnya mendengar permintaan Danu. Bagaimana bisa dengan entengnya meminta seperti itu setelah apa yang dia lakukan pada Ve. Sungguh urat malu Danu seakan sudah putus.“Minta masakin aja sama pacarnya.”Kini Ve memilih fokus mengambil panci dan mengisinya dengan air, lalu menaruhnya pada kom
“Ya aku cari tahu lah, masa sama pacar sendiri nggak tau nama lengkapnya, kan, lucu.”Ve merasa tergelitik dengan jawaban Vito di seberang sana. Benar juga, sebagai seorang kekasih baik Ve maupun Vito harus saling tahu satu sama lain. Tapi tidak secepat itu juga.“Pacar?” Ve mengedarkan pandangan, khawatir ada yang mendengar obrolannya di telepon. “Pacar pura-pura maksudnya?” lanjutnya lirih lalu terkekeh.“Aduh. Kamu jangan ingatkan aku tentang itu dong Luv. Aku jadi sakit nih.”Jika semula Ve begitu canggung menerima telepon dari Vito, semakin lama ngobrol gadis berkulit sawo matang itu menjadi nyaman dan tanpa sadar dia ngobrol cukup lama. Hingga saat Nindya dan Mira balik ke dalam kamar saja belum selesai.Dua wanita yang sebenarnya sedang tidak akur itu saling beradu pandang. Dari tatapan sudah jelas mereka tengah bertanya-tanya dengan siapakah Ve bertelepon. Kenapa sampai senyum-senyum dan tertawa lepas begitu. Bahkan mangkok bekas makan mie instan saja masih tergeletak di sebel
Jika beberapa hari terakhir kebiasaan Ve setiap bangun tidur adalah langsung mengerjakan piket di mes, sebelum akhirnya sholat subuh dan berangkat ke gerai. Maka untuk pertama kalinya kebiasaan tersebut berubah, yakni mengecek gawainya.Mungkin sedikit aneh bagi Ve yang semula begitu cuek pada alat komunikasinya tersebut. Biasanya dalam satu hari bisa dihitung berapa kali dia mengecek notifikasi, saking tidak ada yang diharapkan untuk menghubunginya selain keluarga dan bosnya.Akan tetapi kini sebuah kebiasaan baru telah lahir. Ve kembali menyayangi benda pipih yang satu itu. Bahkan dia bisa tertawa lepas akibat sebuah pesan pada benda tersebut.“Ish. Kenapa aku seseneng ini sih? Ingat,Ve. Ini tuh cuma akting, pura-pura. Bukan asli.” Ucap Ve menyadarkan diri sebelum dia terbawa suasana dari pesan yang diberikan Vito.Ting‘Pagi Luv… baru bangun ya?’Sontak saja Ve melempar ponselnya ke kasur. Pesan yang tadi malam saja baru sempat dibaca dan belum dibalas. Kini tiba-tiba saja Vito sud