Naraya memandang ponsel di mana ada belasan panggilan tak terjawab dari Sofi. Dia tidak melihat panggilan yang diterima karena jelas sudah dihapus oleh Kalandra.Naraya menghela napas kasar, kemudian memilih mengabaikan karena dirinya belum siap jika pulang dan bicara dengan Sofi, terlebih jika ada Nayla.“Ra, kamu belum siap?” Suara Kalandra terdengar dari luar kamar.“Aku sudah siap.” Naraya pun mencangklong tas kemudian berjalan keluar kamar.Kalandra memesankan pakaian untuk Naraya di pagi hari, sehingga kekasihnya itu memiliki pakaian untuk digunakan saat mereka pergi.“Kita mau pergi ke mana?” tanya Naraya karena Kalandra belum juga memberitahu ke mana mereka akan pergi hari ini.“Kamu ikut saja, yang penting kamu senang,” jawab Kalandra. Dia menautkan jemari mereka, mengajak Naraya menuju lift untuk turun ke basement.**Di rumah sakit. Kenan tampak bekerja di poliklinik melayani pasien. Pemuda itu bekerja dengan giat karena profesi yang diambil memang pilihannya sejak awal.Se
Bahagia itu sederhana, asal bisa bersama dengan orang yang dicintai, kemudian bisa tertawa bersama melepas lelah dengan canda, lantas saling menatap dan berkata, ‘Kita akan terus bersama.’**Kalandra mengajak Naraya pergi ke taman bermain, sungguh tempat yang tidak pernah dibayangkan oleh Naraya. Kalandra sendiri hanya berpikir jika tempat itu bisa membuat Naraya lebih rileks, melepas sedih dengan teriakan atau sekadar tawa.“Al.” Naraya menatap Kalandra dengan rasa tak percaya.“Kamu tidak suka?” tanya Kalandra yang takut jika Naraya tidak senang diajak ke taman bermain.“Apa kamu bercanda? Tentu saja aku sangat senang,” jawab Naraya dengan senyum lebar di bibir, senyum lepas karena dirinya begitu bahagia.Naraya menarik tangan Kalandra, sudah tidak sabar ingin menjelajah dan mencoba berbagai jenis wahana yang ada di taman bermain itu.Kalandra senang melihat Naraya yang menyukai tempat itu, langkahnya mengikuti sang kekasih, dari belakang bisa melihat tawa yang begitu lepas tanpa b
Perasaan itu tumbuh subur setelah dijaga dengan sepenuh hati. Meski pertemuan itu terlambat, tapi ada tekad untuk terus mendapatkan hati yang telah terpatri.**Kenan duduk di ruang kerjanya, memandang ponsel dengan nama Anira terpampang di sana.“Apa aku menghubunginya saja?”Tidak mengetahui kabar Naraya membuat Kenan gelisah, hingga dia pun nekat menghubungi gadis itu.Lama Kenan hanya mendengar suara dering dari seberang panggilan, tapi tak juga panggilannya dijawab oleh Naraya.“Apa dia sibuk?” Kenan mengakhiri panggilan itu karena Naraya tak merespon.Hingga Kenan berpikir, haruskah dia menemui Naraya di apartemen tempat gadis itu bekerja.**Di sisi lain. Naraya lega karena Kenan berhenti menghubunginya, hingga kemudian memilih memasukkan kembali ponsel ke tas.“Apa dokter itu selalu menghubungimu?” tanya Kalandra penuh curiga.“Hm ….” Naraya sedang mengulum es krim saat Kalandra bertanya, membuat es krim sedikit menempel di ujung bibir karena secara impulsif menoleh Kalandra.
Kalandra langsung naik ke lobi setelah memarkirkan mobil di basemen. Dia kini berada di lobi memperhatikan Naraya yang sedang bicara dengan Sofi di bangku depan lobi.“Jangan sampai kamu terbujuk untuk pulang, Ra. Ingat apa yang sudah mereka lakukan terhadapmu.”Kalandra bicara sendiri dan berharap Naraya satu pemikiran denganya. Kalandra tidak akan terima jika sampai Naraya kembali ke rumah orangtuanya.Di sisi lain. Sofi sangat terkejut saat mendengar penolakan Naraya. Ditatapnya putri yang berani menolak permintaannya. Sofi melihat tatapan Naraya sama seperti sepuluh tahun lalu saat gadis itu memberontak dan ingin kembali ke rumah Evangeline—wanita yang sudah merawat Naraya.“Kenapa? Kenapa kamu tidak mau pulang?” tanya Sofi mencoba mencari tahu. Dia tidak bisa seperti dulu, di mana menekan Naraya malah akan semakin membuat gadis itu menjauh darinya.“Aku butuh ketenangan dan waktuku sendiri, Bu. Aku tidak bisa jika terus tertekan,” jawab Naraya menyampaikan apa yang dirasakan.Kal
Kenan terlihat gelisah karena Naraya tidak menjawab panggilannya sejak pagi tadi, bahkan gadis itu tak menghubungi balik atau sekadar mengirim pesan.Saat Kenan sedang memikirkan tentang Naraya, ponselnya berdering dan membuat pemuda itu begitu bersemangat karena berpikir jika itu pasti Naraya. Namun, sayangnya yang menghubungi tak sesuai dengan yang diharapkan.Panggilan itu dari Angel—kakak Kenan yang beda ibu. Ayah Kenan menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal, kemudian menikah dengan Milea—ibu Kenan.“Halo.” Kenan menjawab panggilan itu dengan sedikit nada malas.“Heh … apakah sekarang kamu bosan menjadi dokter, hingga suaramu kini terdengar tak begitu bersemangat,” cibir Angel dari seberang panggilan.Kenan mencebik, kemudian memilih merebahkan tubuh ke atas ranjang. Dia berada di apartemen yang ditempatinya selama dinas di kota itu.“Apa kamu menghubungi hanya untuk mengejekku?” Kenan bicara dengan ponsel menempel di telinga dan tatapannya tertuju pada langit-langit kama
Tidak ada hari yang membahagiakan selain bersama dengan seseorang yang kita cintai dan inginkan. Segala kerinduan yang menumpuk di dada kini satu persatu terurai, bertemu dengan sang kasih yang selalu dinanti.Naraya duduk di tepian ranjang, menatap ponsel di mana banyak sekali pesan dan panggilan dari Kenan. Sejak pergi dengan Kalandra kemarin, Naraya memilih mematikan daya ponsel setelah Kenan berulang kali menghubungi. Dia hanya tak ingin Kalandra bertanya dan curiga.Naraya sudah membaca satu persatu pesan dari Kenan, hingga membalas dengan satu kalimat jika dirinya sibuk. Mungkin itu terkesan kejam bagi Kenan, tapi hanya ini yang bisa dilakukan Naraya sekarang.“Kamu sedang apa?” tanya Kalandra yang baru saja keluar dari kamar mandi.Naraya terkejut mendengar suara Kalandra, hingga langsung berdiri dan menatap kekasihnya itu.“Hanya baru saja menghapus beberapa pesan dan panggilan tak terjawab yang tidak penting,” jawab Naraya jujur meski tidak menyebutkan pesan dari siapa.Kalan
Kenan benar-benar tidak bisa tenang. Naraya tidak menghubunginya sama sekali, meski dirinya sudah mengirimkan banyak pesan.“Apa aku datangi saja tempat kerjanya atau rumah orangtuanya?”Kenan tiba-tiba ingin berbuat nekat dengan mencari Naraya. Dia tidak ingin jika sampai Naraya melupakan dirinya atau tidak peduli terhadapnya.“Baiklah, sepertinya itu ide terbaik.”Kenan berdiri dari duduk, lantas melepas jas putihnya hingga kini hanya mengenakan kemeja berwarna navy. Pemuda itu berjalan keluar dari ruangan, hingga bertemu dengan Amanda.“Anda mau ke mana, Dok?” tanya Amanda sambil memeluk stopmap berisi dokumen pasien.“Man, apa kamu tahu rumah Naraya?”**Naraya baru saja selesai makan, sedangkan Nayla memilih kembali ke kamarnya dan tidak peduli dengan sang kakak.“Nayla masih marah denganku,” ucap Naraya sambil menatap ke pintu kamar adiknya itu.Selama ini Naraya sudah mengalah, bahkan kamar pun dirinya mengalah untuk Nayla. Tidak hanya itu, Naraya harus mengubur keinginan berku
Pram baru saja turun dari bis untuk menemui Nayla, hingga pria itu melihat Naraya yang sedang bicara dengan Kenan.“Wah … kebetulan sekali,” gumam Pram sambil mengeluarkan ponsel.Nayla pernah berpesan jika Pram melihat Naraya bersama pria, maka diminta untuk mengambil foto Naraya.Pram pun tidak menyia-nyiakan kesempatan, dari jarak tidak terlalu jauh, Pram pun mulai mengambil gambar Naraya dan Kenan.Di sisi lain. Naraya kebingungan saat Kenan menanyakan ke mana dirinya kemarin.“Ak-aku hanya sedang sibuk,” kata Naraya.Kenan merasa Jika Naraya sedang menjaga jarak darinya, hingga kemudian menggenggam telapak tangan gadis itu.Naraya sangat terkejut dengan yang dilakukan Kenan, ditatapnya telapak tangan yang digenggam pemuda itu, sebelum kemudian beralih menatap wajah Kenan.“Ke.” Naraya menggerakkan telapak tangannya, tapi tidak berhasil karena Kenan menggenggamnya erat.“Kamu sedang menghindariku, Ra? Ada apa?” tanya Kenan memberanikan diri bertanya. Dia merasa aneh dengan sikap N