Sulur surya sudah merambat masuk dan menggoda insan yang masih tertidur lelap. Sinarnya melambai-lambai agar gadis yang masih terlelap dalam balutan selimut hangat itu bangun.Naraya mengerutkan hingga mencoba membuka kelopak mata. Dia mengucek mata dengan sedikit kasar karena rasanya begitu lengket sampai tak mau terbuka. Hingga melihat ke arah dinding kaca jika matahari sudah begitu tinggi dan menyorotkan sinarnya ke seluruh bumi.“Aku kesiangan.”Naraya bergegas bangun, menoleh ke sisi ranjang dan tak mendapati Kalandra di sana.“Apa dia sudah berangkat bekerja?” Naraya bertanya-tanya sendiri. “Kenapa dia juga tidak membangunkanku?” Naraya menggerutu karena tidak ada yang membangunkan.Gadis itu menyibakkan selimut yang menutupi kaki, kemudian turun dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar. Hingga terkejut ketika melihat siapa yang sedang berada di dapur.“Kamu sudah bangun, mau sarapan?”Kalandra memandang Naraya, pemuda itu berdiri sambil memakai celemek dengan satu tangan mem
Naraya memandang ponsel di mana ada belasan panggilan tak terjawab dari Sofi. Dia tidak melihat panggilan yang diterima karena jelas sudah dihapus oleh Kalandra.Naraya menghela napas kasar, kemudian memilih mengabaikan karena dirinya belum siap jika pulang dan bicara dengan Sofi, terlebih jika ada Nayla.“Ra, kamu belum siap?” Suara Kalandra terdengar dari luar kamar.“Aku sudah siap.” Naraya pun mencangklong tas kemudian berjalan keluar kamar.Kalandra memesankan pakaian untuk Naraya di pagi hari, sehingga kekasihnya itu memiliki pakaian untuk digunakan saat mereka pergi.“Kita mau pergi ke mana?” tanya Naraya karena Kalandra belum juga memberitahu ke mana mereka akan pergi hari ini.“Kamu ikut saja, yang penting kamu senang,” jawab Kalandra. Dia menautkan jemari mereka, mengajak Naraya menuju lift untuk turun ke basement.**Di rumah sakit. Kenan tampak bekerja di poliklinik melayani pasien. Pemuda itu bekerja dengan giat karena profesi yang diambil memang pilihannya sejak awal.Se
Bahagia itu sederhana, asal bisa bersama dengan orang yang dicintai, kemudian bisa tertawa bersama melepas lelah dengan canda, lantas saling menatap dan berkata, ‘Kita akan terus bersama.’**Kalandra mengajak Naraya pergi ke taman bermain, sungguh tempat yang tidak pernah dibayangkan oleh Naraya. Kalandra sendiri hanya berpikir jika tempat itu bisa membuat Naraya lebih rileks, melepas sedih dengan teriakan atau sekadar tawa.“Al.” Naraya menatap Kalandra dengan rasa tak percaya.“Kamu tidak suka?” tanya Kalandra yang takut jika Naraya tidak senang diajak ke taman bermain.“Apa kamu bercanda? Tentu saja aku sangat senang,” jawab Naraya dengan senyum lebar di bibir, senyum lepas karena dirinya begitu bahagia.Naraya menarik tangan Kalandra, sudah tidak sabar ingin menjelajah dan mencoba berbagai jenis wahana yang ada di taman bermain itu.Kalandra senang melihat Naraya yang menyukai tempat itu, langkahnya mengikuti sang kekasih, dari belakang bisa melihat tawa yang begitu lepas tanpa b
Perasaan itu tumbuh subur setelah dijaga dengan sepenuh hati. Meski pertemuan itu terlambat, tapi ada tekad untuk terus mendapatkan hati yang telah terpatri.**Kenan duduk di ruang kerjanya, memandang ponsel dengan nama Anira terpampang di sana.“Apa aku menghubunginya saja?”Tidak mengetahui kabar Naraya membuat Kenan gelisah, hingga dia pun nekat menghubungi gadis itu.Lama Kenan hanya mendengar suara dering dari seberang panggilan, tapi tak juga panggilannya dijawab oleh Naraya.“Apa dia sibuk?” Kenan mengakhiri panggilan itu karena Naraya tak merespon.Hingga Kenan berpikir, haruskah dia menemui Naraya di apartemen tempat gadis itu bekerja.**Di sisi lain. Naraya lega karena Kenan berhenti menghubunginya, hingga kemudian memilih memasukkan kembali ponsel ke tas.“Apa dokter itu selalu menghubungimu?” tanya Kalandra penuh curiga.“Hm ….” Naraya sedang mengulum es krim saat Kalandra bertanya, membuat es krim sedikit menempel di ujung bibir karena secara impulsif menoleh Kalandra.
Kalandra langsung naik ke lobi setelah memarkirkan mobil di basemen. Dia kini berada di lobi memperhatikan Naraya yang sedang bicara dengan Sofi di bangku depan lobi.“Jangan sampai kamu terbujuk untuk pulang, Ra. Ingat apa yang sudah mereka lakukan terhadapmu.”Kalandra bicara sendiri dan berharap Naraya satu pemikiran denganya. Kalandra tidak akan terima jika sampai Naraya kembali ke rumah orangtuanya.Di sisi lain. Sofi sangat terkejut saat mendengar penolakan Naraya. Ditatapnya putri yang berani menolak permintaannya. Sofi melihat tatapan Naraya sama seperti sepuluh tahun lalu saat gadis itu memberontak dan ingin kembali ke rumah Evangeline—wanita yang sudah merawat Naraya.“Kenapa? Kenapa kamu tidak mau pulang?” tanya Sofi mencoba mencari tahu. Dia tidak bisa seperti dulu, di mana menekan Naraya malah akan semakin membuat gadis itu menjauh darinya.“Aku butuh ketenangan dan waktuku sendiri, Bu. Aku tidak bisa jika terus tertekan,” jawab Naraya menyampaikan apa yang dirasakan.Kal
Kenan terlihat gelisah karena Naraya tidak menjawab panggilannya sejak pagi tadi, bahkan gadis itu tak menghubungi balik atau sekadar mengirim pesan.Saat Kenan sedang memikirkan tentang Naraya, ponselnya berdering dan membuat pemuda itu begitu bersemangat karena berpikir jika itu pasti Naraya. Namun, sayangnya yang menghubungi tak sesuai dengan yang diharapkan.Panggilan itu dari Angel—kakak Kenan yang beda ibu. Ayah Kenan menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal, kemudian menikah dengan Milea—ibu Kenan.“Halo.” Kenan menjawab panggilan itu dengan sedikit nada malas.“Heh … apakah sekarang kamu bosan menjadi dokter, hingga suaramu kini terdengar tak begitu bersemangat,” cibir Angel dari seberang panggilan.Kenan mencebik, kemudian memilih merebahkan tubuh ke atas ranjang. Dia berada di apartemen yang ditempatinya selama dinas di kota itu.“Apa kamu menghubungi hanya untuk mengejekku?” Kenan bicara dengan ponsel menempel di telinga dan tatapannya tertuju pada langit-langit kama
Tidak ada hari yang membahagiakan selain bersama dengan seseorang yang kita cintai dan inginkan. Segala kerinduan yang menumpuk di dada kini satu persatu terurai, bertemu dengan sang kasih yang selalu dinanti.Naraya duduk di tepian ranjang, menatap ponsel di mana banyak sekali pesan dan panggilan dari Kenan. Sejak pergi dengan Kalandra kemarin, Naraya memilih mematikan daya ponsel setelah Kenan berulang kali menghubungi. Dia hanya tak ingin Kalandra bertanya dan curiga.Naraya sudah membaca satu persatu pesan dari Kenan, hingga membalas dengan satu kalimat jika dirinya sibuk. Mungkin itu terkesan kejam bagi Kenan, tapi hanya ini yang bisa dilakukan Naraya sekarang.“Kamu sedang apa?” tanya Kalandra yang baru saja keluar dari kamar mandi.Naraya terkejut mendengar suara Kalandra, hingga langsung berdiri dan menatap kekasihnya itu.“Hanya baru saja menghapus beberapa pesan dan panggilan tak terjawab yang tidak penting,” jawab Naraya jujur meski tidak menyebutkan pesan dari siapa.Kalan
Kenan benar-benar tidak bisa tenang. Naraya tidak menghubunginya sama sekali, meski dirinya sudah mengirimkan banyak pesan.“Apa aku datangi saja tempat kerjanya atau rumah orangtuanya?”Kenan tiba-tiba ingin berbuat nekat dengan mencari Naraya. Dia tidak ingin jika sampai Naraya melupakan dirinya atau tidak peduli terhadapnya.“Baiklah, sepertinya itu ide terbaik.”Kenan berdiri dari duduk, lantas melepas jas putihnya hingga kini hanya mengenakan kemeja berwarna navy. Pemuda itu berjalan keluar dari ruangan, hingga bertemu dengan Amanda.“Anda mau ke mana, Dok?” tanya Amanda sambil memeluk stopmap berisi dokumen pasien.“Man, apa kamu tahu rumah Naraya?”**Naraya baru saja selesai makan, sedangkan Nayla memilih kembali ke kamarnya dan tidak peduli dengan sang kakak.“Nayla masih marah denganku,” ucap Naraya sambil menatap ke pintu kamar adiknya itu.Selama ini Naraya sudah mengalah, bahkan kamar pun dirinya mengalah untuk Nayla. Tidak hanya itu, Naraya harus mengubur keinginan berku
“Aku mau gendong bayinya.” Amanda yang baru saja datang, mengambil alih bayi yang berada di gendongan Nayla.“Dia tampan sekali,” ujar Amanda saat menggendong bayi itu.“Cantik, dia itu cewek.” Nayla meralat karena yang digendong Amanda adalah Abigail.Amanda terlihat bingung, bukankah Naraya bilang hamil anak kembar laki-laki, kenapa jadi perempuan.“Jadi, anak kembarnya Na itu sebenarnya cewek dan cowok.” Nayla kembali menjelaskan.“Wah … ternyata mereka sepasang,” gumam Amanda penuh pengaguman.Naraya sudah bisa duduk, Kalandra menemaninya dengan duduk di ranjang samping Naraya dan jemarin mereka saling bertautan.Ayres dikuasi Milea dan Evangeline karena bayi laki-laki itu sangat menggemaskan.“Man, kamu juga cepetan hamil ya, ga usah nunda-nunda apalagi pakai kontrasepsi. Mama ‘kan juga mau punya cucu seperti ini,” ucap Milea yang merasa iri karena Evangeline sudah mendahuluinya mendapatkan cucu, sedangkan dulu saja dia duluan yang mendapatkan anak.Wajah Amanda merona mendengar
“Aku mau gendong.” Nayla begitu bersemangat saat perawat mengantar bayi kembar Naraya ke ruang inap sang kakak.Naraya sudah dipindah ke ruang inap dan akan diobservasi karena kelelahan dan banyak kehilangan cairan tubuh.Naraya hanya tersenyum melihat sang adik yang sangat bersemangat. Tubuhnya masih lemah sehingga tidak mau berebut bayinya dengan Nayla atau Evangeline.Nayla menggendong satu bayi dan Evangeline menggendong bayi satunya, cukup adil karena mereka tidak perlu berebut dan menanti giliran untuk menggendong.“Akan kalian kasih nama siapa?” tanya Devan yang berdiri di samping Evangeline, telunjuk tampak menusuk pipi bayi laki-laki yang terlihat begitu menggemaskan.“Ayres Rajendra dan Abigail Rajendra,” jawab Kalandra. Dia sebenarnya menyiapkan dua nama laki-laki, karena bayi satunya perempuan, membuat Kalandra mencari nama dadakan.“Tunggu, kenapa Abigail? Itu nama cewek.” Protes Nayla sambil menimang bayi perempuan Naraya.“Yang kamu gendong itu perempuan, Nay.” Kalandra
“Kepala bayinya sudah terlihat, apa Ibu siap menyambut mereka?” tanya dokter yang sejak awal memang menangani kehamilan Naraya. Mengajak bicara agar Naraya tidak tegang karena harus berusaha mengeluarkan dua bayi.Naraya tidak mampu berkata-kata, perutnya benar-benar sudah terasa sakit hingga membuatnya hanya menganggukkan kepala.Kalandra setia berada di samping Naraya. Dia menggenggam telapak tangan istriya itu sambil terus menatap ke wajah sang istri. Dia bisa melihat bagaimana Naraya kesakitan bahkan menangis karena akan melahirkan, membuatnya benar-benar tidak tega hingga sesekali mengecup kening Naraya.“Kamu pasti bisa, kamu kuat demi anak kita,” bisik Kalandra memberi semangat.Naraya menggenggam erat telapak tangan Kalandra, sesekali terlihat mengatur napas karena kontraksi yang sudah tidak tertahankan.“Saat kontraksinya terasa kuat, Ibu bisa mulai mengejan,” ujar dokter memberikan aba-aba.Kening sudah bermanik di seluruh wajah Naraya, bahkan kulit wajah pun kini sudah beru
Naraya terlihat gelisah dan tidak bisa tidur malam itu. Pinggangnya terasa panas dan perutnya mulas berulang kali. Dia hendak bergerak ke kanan dan kiri, tapi kesusahan karena perut yang mengganjal.“Ra, kamu tidak bisa tidur lagi?” tanya Kalandra yang bisa merasakan pergerakan Naraya di atas tempat tidur.“Iya, Al. Pinggangku sakit,” ucap Naraya sambil meringis menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya.Kalandra meminta Naraya untuk berbaring dengan posisi miring menghadap ke arahnya, lalu dia mengusap-usap pinggang istrinya itu.“Bagaimana?” tanya Kalandra. Biasanya jika diusap seperti itu, Naraya akan merasa nyaman.“Masih sakit,” rengek Naraya.“Aku ingin bangun,” ucap Naraya berusaha bangun.Kalandra buru-buru bangun, kemudian membantu Naraya untuk duduk. Dia cemas karena tidak biasanya Naraya mengeluh sampai seperti itu.Naraya mengangsurkan kaki perlahan ke lantai, hingga saat kedua kaki menapak di lantai, Naraya merasakan sesuatu pecah dan kini di paha mengalir air sampai menet
“Aku juga awalnya malu, Man. Tapi kemudian aku berpikir, untuk apa malu, entah sekarang atau esok, aku tetap harus melakukannya, tidak mungkin mengecewakannya.”Ucapan Naraya terngiang di telinga, Amanda kini sedang di kamar mandi dan baru saja membersihkan diri setelah acara resepsi selesai sekitar empat jam yang lalu. Dia berada di kamar mandi kamar Kenan, terlihat bingung karena ini adalah malam pertama mereka di sana.“Bagaimana jika Kenan terlanjut tidak menginginkan karena aku menundanya beberapa kali?” Amanda bertanya-tanya sendiri karena bingung harus bagaimana.Kenan terlalu baik dengan menyetujui untuk menunda melakukan hubungan suami-istri, tapi Amanda sendiri tidak tahu apakah benar Kenan ikhlas atau hanya terpaksa.Amanda menoleh ke belakang di mana ada lingerie yang disiapkannya tapi belum dikenakan. Haruskah dia menggoda Kenan, agar suaminya itu tahu kalau dia sekarang sudah siap.“Baiklah, kamu wanita modern dan tidak takut akan hal itu, Man.” Amanda menyemangati diri
Hari itu Naraya hanya duduk menanti acara resepsi pernikahan Amanda dan Kenan dimulai. Dia tidak bisa membantu banyak hal karena kondisinya yang sudah hamil besar.Orang-orang berlalu-lalang menyiapkan diri untuk berangkat menuju rumah Kenan. Amanda sudah didandani begitu cantik dengan gaun yang tidak terlalu mewah tapi begitu indah.“Kita siap berangkat sekarang,” kata Kalandra saat menghampiri istrinya.Naraya mengangguk, kemudian berusaha berdiri meski agak kesusahan. Kalandra pun dengan sigap memegang pundak dan lengan Naraya, membantu istrinya itu berdiri dengan tegap.“Terima kasih,” ucap Naraya setelah sudah berdiri dengan benar.“Ra, apa kamu sakit?” tanya Kalandra karena wajah Naraya terlihat pucat. Kalandra takut jika istrinya kecapean.Naraya menangkup kedua pipi saat mendengar pertanyaan Kalandra, dia sudah menggunakan make up tipis, apa mungkin masih terlihat pucat.“Aku baik-baik saja, mungkin karena semalam kurang tidur akibat mereka terus menendang,” jawab Naraya sambi
Hari pernikahan Kenan dan Amanda pun tiba, mereka menikah tiga bulan setelah acara lamaran berlangsung. Mereka melakukan akad di rumah Amanda, tapi sepakat mengadakan pesta di rumah Kenan karena Milea yang meminta dan disetujui oleh keluarga Amanda.Naraya sendiri senang karena pesta diadakan di rumah Milea, sehingga dia tidak harus bepergian ke luar kota dalam kondisi hamil besar. Usia kandungan Naraya kini sudah memasuki usia delapan bulan, dan ukuran perutnya pun begitu besar karena bagi kembarnya.“Untung kalian menikah di sini, jadi aku tidak kerepotan pergi ke luar kota,” ucap Naraya saat mendatangi kamar Amanda.Amanda dan keluarganya diberi tempat di rumah Evangeline agar memudahkan mereka saat pergi ke rumah Kenan.Amanda langsung berlutut di depan Naraya yang sedang duduk, lantas mengusap-usap lembut permukaan perut temannya itu.“Aunty ‘kan baik, jadi ga mau nyusahin kalian,” ucap Amanda dengan tangan mengelus perut Naraya.Usai bicara demikian, terasa gerakan bergeser di p
Kalandra berbaring berbantal paha Naraya, dengan posisi miring dia menghadap ke perut sang istri dan terlihat sesekali menciumnya manja.“Apa mereka lapar atau menginginkan sesuatu?” tanya Kalandra sambil mengusap perut Naraya lagi.“Mereka sudah makan banyak tadi, jadi ga mau apa-apa lagi,” jawab Naraya sambil mengusap rambut suaminya.Kalandra kembali mencium perut Naraya, sebelum kemudian bangun dan mencium bibir istrinya itu.“Sekarang papinya yang menginginkan sesuatu,” ujar Kalandra dengan senyum menggoda.“Mau apa?” tanya Naraya dengan dahi berkerut halus.“Mau nengokin mereka,” jawab Kalandra tanpa basa-basi.Naraya terkesiap tapi kemudian terlihat malu karena ternyata suaminya meminta jatah. Kalandra memang tidak pernah meminta saat usia kandungannya masih di trimester pertama, itu karena larangan dari dokter agar kondisi jalan rahimnya tidak terbuka karena berhubungan intim. Namun, dokter mengizinkan jika berhubungan setelah masuk di trimester kedua.“Boleh, tapi jangan buat
Hari itu Naraya dan yang lainnya pergi untuk ikut dalam acara lamaran yang akan dilakukan Kenan. Setelah beberapa bulan berpacaran, akhirnya Kenan memantapkan hati untuk melamar Amanda.Semua orang singgah di hotel sebelum acara lamaran yang akan dilakukan esok hari, sedangkan Naraya meminta izin tinggal di rumah Amanda karena melepas rindu dengan temannya itu.“Perutmu besar sekali, Na? Bukankah kamu bilang baru lima bulan?” tanya Amanda keheranan.“Aku lupa bilang kalau mereka kembar,” ujar Naraya saat melihat temannya terheran-heran melihat perutnya yang besar.“Kembar?” Amanda seolah tidak percaya jika Naraya akan memiliki bayi kembar.Naraya mengangguk-angguk, sebelum kemudian berbisik, “Mereka laki-laki.”Amanda semakin tidak percaya karena Naraya bisa seberuntung itu. Dia menyentuh perut Naraya yang besar, penasaran sedang apa bayi kembar Naraya sekarang.Saat tangan Amanda sedang menyentuh dan mengusap lembut, tiba-tiba terasa gerakan dari dalam sana.“Mereka bergerak.” Amanda