Sofi duduk di sofa, masih dengan memegang ponselnya. Tatapan wanita itu begitu tajam, terlihat banyak kebencian dan amarah di dalamnya. Sepuluh tahun membelenggu putri yang sejak awal dibuang, tapi berhasil diambilnya lagi dari keluarga yang merawat. Kini Sofi tidak akan membiarkan Kalandra mengambil Naraya lagi darinya.“Dia ingin mengambil Naraya, takkan semudah itu. Aku takkan membiarkannya membawa begitu saja Naraya, dia adalah anakku. Dia harus di sisiku dan mengurusku.”Sofi membenci keluarga Kalandra karena terus dipuji-puji oleh Naraya. Gadis itu begitu bersemangat saat menceritakan tentang kebaikan keluarga Kalandra yang sangat menyayangi dan tidak pernah membedakannya sama sekali. Hingga membuat rasa cemburu berkobar di hati Sofi, baginya keluarga Kalandra hanya memberi pengaruh buruk, sehingga putrinya selalu membanggakan mereka.**Sofi sedang menyiapkan sarapan di pagi hari. Nayla baru bangun setelah tidur nyenyak karena lelah dan marah semalam, sedikit merasa segar sebab
Sulur surya sudah merambat masuk dan menggoda insan yang masih tertidur lelap. Sinarnya melambai-lambai agar gadis yang masih terlelap dalam balutan selimut hangat itu bangun.Naraya mengerutkan hingga mencoba membuka kelopak mata. Dia mengucek mata dengan sedikit kasar karena rasanya begitu lengket sampai tak mau terbuka. Hingga melihat ke arah dinding kaca jika matahari sudah begitu tinggi dan menyorotkan sinarnya ke seluruh bumi.“Aku kesiangan.”Naraya bergegas bangun, menoleh ke sisi ranjang dan tak mendapati Kalandra di sana.“Apa dia sudah berangkat bekerja?” Naraya bertanya-tanya sendiri. “Kenapa dia juga tidak membangunkanku?” Naraya menggerutu karena tidak ada yang membangunkan.Gadis itu menyibakkan selimut yang menutupi kaki, kemudian turun dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar. Hingga terkejut ketika melihat siapa yang sedang berada di dapur.“Kamu sudah bangun, mau sarapan?”Kalandra memandang Naraya, pemuda itu berdiri sambil memakai celemek dengan satu tangan mem
Naraya memandang ponsel di mana ada belasan panggilan tak terjawab dari Sofi. Dia tidak melihat panggilan yang diterima karena jelas sudah dihapus oleh Kalandra.Naraya menghela napas kasar, kemudian memilih mengabaikan karena dirinya belum siap jika pulang dan bicara dengan Sofi, terlebih jika ada Nayla.“Ra, kamu belum siap?” Suara Kalandra terdengar dari luar kamar.“Aku sudah siap.” Naraya pun mencangklong tas kemudian berjalan keluar kamar.Kalandra memesankan pakaian untuk Naraya di pagi hari, sehingga kekasihnya itu memiliki pakaian untuk digunakan saat mereka pergi.“Kita mau pergi ke mana?” tanya Naraya karena Kalandra belum juga memberitahu ke mana mereka akan pergi hari ini.“Kamu ikut saja, yang penting kamu senang,” jawab Kalandra. Dia menautkan jemari mereka, mengajak Naraya menuju lift untuk turun ke basement.**Di rumah sakit. Kenan tampak bekerja di poliklinik melayani pasien. Pemuda itu bekerja dengan giat karena profesi yang diambil memang pilihannya sejak awal.Se
Bahagia itu sederhana, asal bisa bersama dengan orang yang dicintai, kemudian bisa tertawa bersama melepas lelah dengan canda, lantas saling menatap dan berkata, ‘Kita akan terus bersama.’**Kalandra mengajak Naraya pergi ke taman bermain, sungguh tempat yang tidak pernah dibayangkan oleh Naraya. Kalandra sendiri hanya berpikir jika tempat itu bisa membuat Naraya lebih rileks, melepas sedih dengan teriakan atau sekadar tawa.“Al.” Naraya menatap Kalandra dengan rasa tak percaya.“Kamu tidak suka?” tanya Kalandra yang takut jika Naraya tidak senang diajak ke taman bermain.“Apa kamu bercanda? Tentu saja aku sangat senang,” jawab Naraya dengan senyum lebar di bibir, senyum lepas karena dirinya begitu bahagia.Naraya menarik tangan Kalandra, sudah tidak sabar ingin menjelajah dan mencoba berbagai jenis wahana yang ada di taman bermain itu.Kalandra senang melihat Naraya yang menyukai tempat itu, langkahnya mengikuti sang kekasih, dari belakang bisa melihat tawa yang begitu lepas tanpa b
Perasaan itu tumbuh subur setelah dijaga dengan sepenuh hati. Meski pertemuan itu terlambat, tapi ada tekad untuk terus mendapatkan hati yang telah terpatri.**Kenan duduk di ruang kerjanya, memandang ponsel dengan nama Anira terpampang di sana.“Apa aku menghubunginya saja?”Tidak mengetahui kabar Naraya membuat Kenan gelisah, hingga dia pun nekat menghubungi gadis itu.Lama Kenan hanya mendengar suara dering dari seberang panggilan, tapi tak juga panggilannya dijawab oleh Naraya.“Apa dia sibuk?” Kenan mengakhiri panggilan itu karena Naraya tak merespon.Hingga Kenan berpikir, haruskah dia menemui Naraya di apartemen tempat gadis itu bekerja.**Di sisi lain. Naraya lega karena Kenan berhenti menghubunginya, hingga kemudian memilih memasukkan kembali ponsel ke tas.“Apa dokter itu selalu menghubungimu?” tanya Kalandra penuh curiga.“Hm ….” Naraya sedang mengulum es krim saat Kalandra bertanya, membuat es krim sedikit menempel di ujung bibir karena secara impulsif menoleh Kalandra.
Kalandra langsung naik ke lobi setelah memarkirkan mobil di basemen. Dia kini berada di lobi memperhatikan Naraya yang sedang bicara dengan Sofi di bangku depan lobi.“Jangan sampai kamu terbujuk untuk pulang, Ra. Ingat apa yang sudah mereka lakukan terhadapmu.”Kalandra bicara sendiri dan berharap Naraya satu pemikiran denganya. Kalandra tidak akan terima jika sampai Naraya kembali ke rumah orangtuanya.Di sisi lain. Sofi sangat terkejut saat mendengar penolakan Naraya. Ditatapnya putri yang berani menolak permintaannya. Sofi melihat tatapan Naraya sama seperti sepuluh tahun lalu saat gadis itu memberontak dan ingin kembali ke rumah Evangeline—wanita yang sudah merawat Naraya.“Kenapa? Kenapa kamu tidak mau pulang?” tanya Sofi mencoba mencari tahu. Dia tidak bisa seperti dulu, di mana menekan Naraya malah akan semakin membuat gadis itu menjauh darinya.“Aku butuh ketenangan dan waktuku sendiri, Bu. Aku tidak bisa jika terus tertekan,” jawab Naraya menyampaikan apa yang dirasakan.Kal
Kenan terlihat gelisah karena Naraya tidak menjawab panggilannya sejak pagi tadi, bahkan gadis itu tak menghubungi balik atau sekadar mengirim pesan.Saat Kenan sedang memikirkan tentang Naraya, ponselnya berdering dan membuat pemuda itu begitu bersemangat karena berpikir jika itu pasti Naraya. Namun, sayangnya yang menghubungi tak sesuai dengan yang diharapkan.Panggilan itu dari Angel—kakak Kenan yang beda ibu. Ayah Kenan menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal, kemudian menikah dengan Milea—ibu Kenan.“Halo.” Kenan menjawab panggilan itu dengan sedikit nada malas.“Heh … apakah sekarang kamu bosan menjadi dokter, hingga suaramu kini terdengar tak begitu bersemangat,” cibir Angel dari seberang panggilan.Kenan mencebik, kemudian memilih merebahkan tubuh ke atas ranjang. Dia berada di apartemen yang ditempatinya selama dinas di kota itu.“Apa kamu menghubungi hanya untuk mengejekku?” Kenan bicara dengan ponsel menempel di telinga dan tatapannya tertuju pada langit-langit kama
Tidak ada hari yang membahagiakan selain bersama dengan seseorang yang kita cintai dan inginkan. Segala kerinduan yang menumpuk di dada kini satu persatu terurai, bertemu dengan sang kasih yang selalu dinanti.Naraya duduk di tepian ranjang, menatap ponsel di mana banyak sekali pesan dan panggilan dari Kenan. Sejak pergi dengan Kalandra kemarin, Naraya memilih mematikan daya ponsel setelah Kenan berulang kali menghubungi. Dia hanya tak ingin Kalandra bertanya dan curiga.Naraya sudah membaca satu persatu pesan dari Kenan, hingga membalas dengan satu kalimat jika dirinya sibuk. Mungkin itu terkesan kejam bagi Kenan, tapi hanya ini yang bisa dilakukan Naraya sekarang.“Kamu sedang apa?” tanya Kalandra yang baru saja keluar dari kamar mandi.Naraya terkejut mendengar suara Kalandra, hingga langsung berdiri dan menatap kekasihnya itu.“Hanya baru saja menghapus beberapa pesan dan panggilan tak terjawab yang tidak penting,” jawab Naraya jujur meski tidak menyebutkan pesan dari siapa.Kalan