Kalandra langsung naik ke lobi setelah memarkirkan mobil di basemen. Dia kini berada di lobi memperhatikan Naraya yang sedang bicara dengan Sofi di bangku depan lobi.“Jangan sampai kamu terbujuk untuk pulang, Ra. Ingat apa yang sudah mereka lakukan terhadapmu.”Kalandra bicara sendiri dan berharap Naraya satu pemikiran denganya. Kalandra tidak akan terima jika sampai Naraya kembali ke rumah orangtuanya.Di sisi lain. Sofi sangat terkejut saat mendengar penolakan Naraya. Ditatapnya putri yang berani menolak permintaannya. Sofi melihat tatapan Naraya sama seperti sepuluh tahun lalu saat gadis itu memberontak dan ingin kembali ke rumah Evangeline—wanita yang sudah merawat Naraya.“Kenapa? Kenapa kamu tidak mau pulang?” tanya Sofi mencoba mencari tahu. Dia tidak bisa seperti dulu, di mana menekan Naraya malah akan semakin membuat gadis itu menjauh darinya.“Aku butuh ketenangan dan waktuku sendiri, Bu. Aku tidak bisa jika terus tertekan,” jawab Naraya menyampaikan apa yang dirasakan.Kal
Kenan terlihat gelisah karena Naraya tidak menjawab panggilannya sejak pagi tadi, bahkan gadis itu tak menghubungi balik atau sekadar mengirim pesan.Saat Kenan sedang memikirkan tentang Naraya, ponselnya berdering dan membuat pemuda itu begitu bersemangat karena berpikir jika itu pasti Naraya. Namun, sayangnya yang menghubungi tak sesuai dengan yang diharapkan.Panggilan itu dari Angel—kakak Kenan yang beda ibu. Ayah Kenan menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal, kemudian menikah dengan Milea—ibu Kenan.“Halo.” Kenan menjawab panggilan itu dengan sedikit nada malas.“Heh … apakah sekarang kamu bosan menjadi dokter, hingga suaramu kini terdengar tak begitu bersemangat,” cibir Angel dari seberang panggilan.Kenan mencebik, kemudian memilih merebahkan tubuh ke atas ranjang. Dia berada di apartemen yang ditempatinya selama dinas di kota itu.“Apa kamu menghubungi hanya untuk mengejekku?” Kenan bicara dengan ponsel menempel di telinga dan tatapannya tertuju pada langit-langit kama
Tidak ada hari yang membahagiakan selain bersama dengan seseorang yang kita cintai dan inginkan. Segala kerinduan yang menumpuk di dada kini satu persatu terurai, bertemu dengan sang kasih yang selalu dinanti.Naraya duduk di tepian ranjang, menatap ponsel di mana banyak sekali pesan dan panggilan dari Kenan. Sejak pergi dengan Kalandra kemarin, Naraya memilih mematikan daya ponsel setelah Kenan berulang kali menghubungi. Dia hanya tak ingin Kalandra bertanya dan curiga.Naraya sudah membaca satu persatu pesan dari Kenan, hingga membalas dengan satu kalimat jika dirinya sibuk. Mungkin itu terkesan kejam bagi Kenan, tapi hanya ini yang bisa dilakukan Naraya sekarang.“Kamu sedang apa?” tanya Kalandra yang baru saja keluar dari kamar mandi.Naraya terkejut mendengar suara Kalandra, hingga langsung berdiri dan menatap kekasihnya itu.“Hanya baru saja menghapus beberapa pesan dan panggilan tak terjawab yang tidak penting,” jawab Naraya jujur meski tidak menyebutkan pesan dari siapa.Kalan
Kenan benar-benar tidak bisa tenang. Naraya tidak menghubunginya sama sekali, meski dirinya sudah mengirimkan banyak pesan.“Apa aku datangi saja tempat kerjanya atau rumah orangtuanya?”Kenan tiba-tiba ingin berbuat nekat dengan mencari Naraya. Dia tidak ingin jika sampai Naraya melupakan dirinya atau tidak peduli terhadapnya.“Baiklah, sepertinya itu ide terbaik.”Kenan berdiri dari duduk, lantas melepas jas putihnya hingga kini hanya mengenakan kemeja berwarna navy. Pemuda itu berjalan keluar dari ruangan, hingga bertemu dengan Amanda.“Anda mau ke mana, Dok?” tanya Amanda sambil memeluk stopmap berisi dokumen pasien.“Man, apa kamu tahu rumah Naraya?”**Naraya baru saja selesai makan, sedangkan Nayla memilih kembali ke kamarnya dan tidak peduli dengan sang kakak.“Nayla masih marah denganku,” ucap Naraya sambil menatap ke pintu kamar adiknya itu.Selama ini Naraya sudah mengalah, bahkan kamar pun dirinya mengalah untuk Nayla. Tidak hanya itu, Naraya harus mengubur keinginan berku
Pram baru saja turun dari bis untuk menemui Nayla, hingga pria itu melihat Naraya yang sedang bicara dengan Kenan.“Wah … kebetulan sekali,” gumam Pram sambil mengeluarkan ponsel.Nayla pernah berpesan jika Pram melihat Naraya bersama pria, maka diminta untuk mengambil foto Naraya.Pram pun tidak menyia-nyiakan kesempatan, dari jarak tidak terlalu jauh, Pram pun mulai mengambil gambar Naraya dan Kenan.Di sisi lain. Naraya kebingungan saat Kenan menanyakan ke mana dirinya kemarin.“Ak-aku hanya sedang sibuk,” kata Naraya.Kenan merasa Jika Naraya sedang menjaga jarak darinya, hingga kemudian menggenggam telapak tangan gadis itu.Naraya sangat terkejut dengan yang dilakukan Kenan, ditatapnya telapak tangan yang digenggam pemuda itu, sebelum kemudian beralih menatap wajah Kenan.“Ke.” Naraya menggerakkan telapak tangannya, tapi tidak berhasil karena Kenan menggenggamnya erat.“Kamu sedang menghindariku, Ra? Ada apa?” tanya Kenan memberanikan diri bertanya. Dia merasa aneh dengan sikap N
Kalandra hendak menghubungi Naraya, tapi saat melihat ada panggilan masuk di ponselnya, pemuda itu pun merekahkan senyum. Dia buru-buru menjawab panggilan itu. “Halo, Ma.” Kalandra senang mendapatkan panggilan dari Evangeline—ibunya. “Al, kamu sekarang berada di mana?” tanya Evangeline dari seberang panggilan. “Di kantor.” “Hm ….” Terdengar suara bergumam dari seberang panggilan, hingga kemudian panggilan itu berakhir. Kalandra merasa heran, hingga melihat pintu ruangannya terbuka. “Al!” Evangeline merekahkan senyum saat melihat putranya. Kalandra sangat terkejut, hingga kemudian berdiri dan langsung menyambut kedua orangtuanya itu. “Pa, Ma! Kenapa datang tidak mengabariku dulu?” tanya Kalandra yang tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. “Kami sengaja karena ingin memberi kejutan,” jawab Evangeline, lantas memeluk putranya untuk melepas rindu. “Di mana Anira?” tanya Devan. “Oh … dia masih di apartemen, tadi bilang ingin menyelesaikan pekerjaan rumah dulu,” jawab Kalandra
“Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Naraya saat dirinya dan Kenan berada di sebuah taman.Kenan mengajak Naraya pergi ke tempat itu agar bisa leluasa bicara. Dia kini memandang Naraya yang terus mengalihkan tatapan darinya.“Ra, kenapa sikapmu berbeda denganku? Kamu tahu sedekat apa kita dulu,” ucap Kenan. Dia hanya merasa kehilangan saat Naraya menjaga jarak darinya.Naraya akhirnya menatap Kenan, melihat kedua bola mata pemuda itu dan mencari arti dari pertanyaan Kenan.“Tidak ada yang berbeda, Ke. Mungkin karena kita sudah terlalu lama tidak bertemu,” ujar Naraya bingung dengan apa yang harus dijelaskan.“Aku pikir kamu akan senang jika kita bertemu lagi, tapi tampaknya tidak demikian,” ucap Kenan dengan sorot mata penuh kekecewaan.Naraya terkejut mendengar ucapan Kenan, dirinya menjadi tidak enak hati dan merasa bersalah.“Bukan seperti itu, Ke.” Naraya menurunkan panda
Naraya buru-buru melepas seat belt begitu mobil sampai di depan lobi. Dirinya terpaksa menerima tawaran Kenan yang ingin mengantar, agar lebih cepat sampai di apartemen.“Terima kasih,” ucap Naraya buru-buru, kemudian membuka pintu mobil.“Ra!” Kenan menahan pergelangan tangan Naraya.Naraya terkejut kemudian menoleh Kenan. Sikap Kenan membuatnya benar-benar gugup.“Jangan menghindar dariku, Ra. Kamu tahu aku tidak akan memaksa kehendakku kepadamu,” ucap Kenan, berharap Naraya tidak semakin menjauhinya karena ungkapan perasaannya tadi.Naraya mengulum bibir, kemudian menganggukkan kepala. “Aku tidak akan menghindar darimu,” ucapnya untuk melegakan hati Kenan.Kenan tersenyum, lantas melepas tangan Naraya. Gadis itu pun buru-buru keluar dari mobil, kemudian setengah berlari masuk ke apartemen.“Kenapa dia sangat terburu-buru? Siapa atasannya?” Kenan jadi penasaran.**Naraya masuk lift dan segera menekan tombol agar lift naik ke lantai tempat Kalandra berada. Dia mencoba mengatur napas