Naraya terlihat gelisah dan tidak bisa tidur malam itu. Pinggangnya terasa panas dan perutnya mulas berulang kali. Dia hendak bergerak ke kanan dan kiri, tapi kesusahan karena perut yang mengganjal.“Ra, kamu tidak bisa tidur lagi?” tanya Kalandra yang bisa merasakan pergerakan Naraya di atas tempat tidur.“Iya, Al. Pinggangku sakit,” ucap Naraya sambil meringis menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya.Kalandra meminta Naraya untuk berbaring dengan posisi miring menghadap ke arahnya, lalu dia mengusap-usap pinggang istrinya itu.“Bagaimana?” tanya Kalandra. Biasanya jika diusap seperti itu, Naraya akan merasa nyaman.“Masih sakit,” rengek Naraya.“Aku ingin bangun,” ucap Naraya berusaha bangun.Kalandra buru-buru bangun, kemudian membantu Naraya untuk duduk. Dia cemas karena tidak biasanya Naraya mengeluh sampai seperti itu.Naraya mengangsurkan kaki perlahan ke lantai, hingga saat kedua kaki menapak di lantai, Naraya merasakan sesuatu pecah dan kini di paha mengalir air sampai menet
“Kepala bayinya sudah terlihat, apa Ibu siap menyambut mereka?” tanya dokter yang sejak awal memang menangani kehamilan Naraya. Mengajak bicara agar Naraya tidak tegang karena harus berusaha mengeluarkan dua bayi.Naraya tidak mampu berkata-kata, perutnya benar-benar sudah terasa sakit hingga membuatnya hanya menganggukkan kepala.Kalandra setia berada di samping Naraya. Dia menggenggam telapak tangan istriya itu sambil terus menatap ke wajah sang istri. Dia bisa melihat bagaimana Naraya kesakitan bahkan menangis karena akan melahirkan, membuatnya benar-benar tidak tega hingga sesekali mengecup kening Naraya.“Kamu pasti bisa, kamu kuat demi anak kita,” bisik Kalandra memberi semangat.Naraya menggenggam erat telapak tangan Kalandra, sesekali terlihat mengatur napas karena kontraksi yang sudah tidak tertahankan.“Saat kontraksinya terasa kuat, Ibu bisa mulai mengejan,” ujar dokter memberikan aba-aba.Kening sudah bermanik di seluruh wajah Naraya, bahkan kulit wajah pun kini sudah beru
“Aku mau gendong.” Nayla begitu bersemangat saat perawat mengantar bayi kembar Naraya ke ruang inap sang kakak.Naraya sudah dipindah ke ruang inap dan akan diobservasi karena kelelahan dan banyak kehilangan cairan tubuh.Naraya hanya tersenyum melihat sang adik yang sangat bersemangat. Tubuhnya masih lemah sehingga tidak mau berebut bayinya dengan Nayla atau Evangeline.Nayla menggendong satu bayi dan Evangeline menggendong bayi satunya, cukup adil karena mereka tidak perlu berebut dan menanti giliran untuk menggendong.“Akan kalian kasih nama siapa?” tanya Devan yang berdiri di samping Evangeline, telunjuk tampak menusuk pipi bayi laki-laki yang terlihat begitu menggemaskan.“Ayres Rajendra dan Abigail Rajendra,” jawab Kalandra. Dia sebenarnya menyiapkan dua nama laki-laki, karena bayi satunya perempuan, membuat Kalandra mencari nama dadakan.“Tunggu, kenapa Abigail? Itu nama cewek.” Protes Nayla sambil menimang bayi perempuan Naraya.“Yang kamu gendong itu perempuan, Nay.” Kalandra
“Aku mau gendong bayinya.” Amanda yang baru saja datang, mengambil alih bayi yang berada di gendongan Nayla.“Dia tampan sekali,” ujar Amanda saat menggendong bayi itu.“Cantik, dia itu cewek.” Nayla meralat karena yang digendong Amanda adalah Abigail.Amanda terlihat bingung, bukankah Naraya bilang hamil anak kembar laki-laki, kenapa jadi perempuan.“Jadi, anak kembarnya Na itu sebenarnya cewek dan cowok.” Nayla kembali menjelaskan.“Wah … ternyata mereka sepasang,” gumam Amanda penuh pengaguman.Naraya sudah bisa duduk, Kalandra menemaninya dengan duduk di ranjang samping Naraya dan jemarin mereka saling bertautan.Ayres dikuasi Milea dan Evangeline karena bayi laki-laki itu sangat menggemaskan.“Man, kamu juga cepetan hamil ya, ga usah nunda-nunda apalagi pakai kontrasepsi. Mama ‘kan juga mau punya cucu seperti ini,” ucap Milea yang merasa iri karena Evangeline sudah mendahuluinya mendapatkan cucu, sedangkan dulu saja dia duluan yang mendapatkan anak.Wajah Amanda merona mendengar
"Jika dia tidak kembali, aku akan mencarinya meski ke ujung dunia sekalipun." *** Rabu, pukul 06:15 pagi. 'Malam tak selamanya kelam, siang tak selamanya terang. Pada kenyataannya semua hanya angan, saat nasib tak mau berpihak dan memisahkan hati yang hampir terikat.' Sulur surya merayap menembus jendela hingga menyilaukan mata, menggoda insan yang masih terlelap. Kelopak dengan bulu mata lentik itu bergerak, terganggu dengan sang surya yang seakan enggan membiarkannya tidur. Hingga pemilik bulu mata lentik itu membuka mata lebar, teringat dengan kejadian sebelum dirinya merasa jatuh dalam mimpi. "Tunggu! Di mana aku?" Seorang gadis berambut panjang dengan wajah manis dan bulu mata lentik itu bertanya-tanya dalam hati. Ia berbaring dengan posisi miring, tatapannya hanya melihat jendela yang tak tertutup gorden. Sampai ia menengok ke tubuh, di mana
Selasa, pukul 20:32.Seorang pemuda berkacamata hitam, memiliki tubuh tinggi dengan hidung mancung, terlihat berjalan menarik sebuah koper. Pemuda itu berjalan di sebuah lobi hotel menuju meja resepsionis."Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya sang resepsionis."Ya, aku ingin menginap di sini kurang lebih satu minggu. Berikan kamar terbaik yang kalian miliki," jawab pemuda itu, bicara tanpa menatap pada resepsionis.Resepsionis wanita itu termangu, menatap ketampanan pemuda yang berdiri di depan meja kerjanya.Pemuda itu menatap sang resepsionis, karena tak kunjung menanyakan kartu identitas atau yang lainnya."Apa tidak ada kamar kosong?" tanya pemuda itu dengan wajah dingin, saat melihat resepsionis malah termangu.Petugas hotel itu terkejut dan sadar dari lamunan, sedikit berdeham untuk mengurai kecanggungan."Ad
Naraya terlihat makan dengan lahap, mengabaikan seseorang yang kini sedang duduk menatapnya."Ra, kamu nggak bisa makan pelan-pelan?" tanya Amanda—teman Naraya.Naraya tak menjawab, masih sibuk makan karena perutnya benar-benar lapar. Juga karena dirinya tengah stres memikirkan apa yang terjadi semalam.Amanda menggelengkan kepala melihat cara makan Naraya, tahu betul teman baiknya itu pasti akan seperti itu jika memang sedang dalam masalah."Apa ada masalah di rumah? Apa Nayla buat masalah lagi? Kamu tuh kerja punya duit, tapi kenapa kamu malah seperti tunawisma yang butuh sumbangan orang?" Amanda hanya tak habis pikir, Naraya bekerja siang malam, tapi untuk makan saja suka kekurangan, membuat Amanda terkadang merasa kesal dengan ibu dan adik temannya itu.Naraya mengangkat mangkuk mie yang kini tinggal kuah saja, menyeruput kuah hingga tandas, merasa lega karena akhirnya
Di kota lain."Ke, Mama dengar Al sudah pulang. Apa kamu tidak ingin menemuinya dulu? Kenapa kamu malah ingin bekerja di luar kota?" tanya Milea—tante Kalandra, menatap sang putra yang bernama Kenan.Kenan dan Kalandra dulu tumbuh bersama sejak mereka bayi, karena keduanya lahir hanya berselang beberapa hari. Namun, beberapa tahun lalu hubungan Kenan dan Kalandra tiba-tiba berubah dan saling menjauh. Bahkan keduanya tak lagi bertegur sapa atau hanya bicara seperti biasa, hingga Kalandra tiba-tiba memutuskan melanjutkan studi ke luar negeri.Kenan—adik sepupu Kalandra, terdiam mendengar pertanyaan ibunya. Ia tersenyum getir dan memilih menghabiskan makanan yang tersaji di piring."Ke, sebenarnya ada masalah apa dengan kalian? Bukankah kalian dulu sangat dekat, bahkan banyak yang mengatakan kalian seperti saudara kembar, lantas kenapa sekarang jadi begini?" tanya Milea menyelidik, karena se