Naraya terlihat makan dengan lahap, mengabaikan seseorang yang kini sedang duduk menatapnya.
"Ra, kamu nggak bisa makan pelan-pelan?" tanya Amanda—teman Naraya.
Naraya tak menjawab, masih sibuk makan karena perutnya benar-benar lapar. Juga karena dirinya tengah stres memikirkan apa yang terjadi semalam.
Amanda menggelengkan kepala melihat cara makan Naraya, tahu betul teman baiknya itu pasti akan seperti itu jika memang sedang dalam masalah.
"Apa ada masalah di rumah? Apa Nayla buat masalah lagi? Kamu tuh kerja punya duit, tapi kenapa kamu malah seperti tunawisma yang butuh sumbangan orang?" Amanda hanya tak habis pikir, Naraya bekerja siang malam, tapi untuk makan saja suka kekurangan, membuat Amanda terkadang merasa kesal dengan ibu dan adik temannya itu.
Naraya mengangkat mangkuk mie yang kini tinggal kuah saja, menyeruput kuah hingga tandas, merasa lega karena akhirnya bisa makan sampai kenyang, meski dirinya harus numpang makan di kos Amanda.
"Enak, kenyang pula. Makasih ya, Man," ucap Naraya dengan senyum lebar.
Amanda menggelengkan kepala, sungguh tak habis pikir dengan temannya itu.
"Kamu nggak mau cerita sama aku? Ada masalah apa, hm?" tanya Amanda lagi karena Naraya belum menjawab satu pun pertanyaannya.
Naraya menenggak segelas air putih, sebelum kemudian menatap pada Amanda yang sudah menanti dirinya bicara.
"Soal Ibu maupun Nayla, kamu sudah tahu bagaimana mereka. Aku pun sudah biasa dengan sikap kasar Nayla," ujar Naraya akhirnya mulai bicara.
"Terus? Kenapa kamu datang-datang minta makan, lantas makan seperti orang kesetanan?" tanya Amanda lagi.
Naraya terdengar berdeham, bingung harus mulai bicara dari mana. Selama ini Amandalah yang dijadikannya teman curhat jika ada masalah, hanya temannya itu yang tahu bagaimana susah dan penderitaan hidup gadis itu selama ini.
"Man, jika aku cerita, kamu bisa janji untuk tak mengatakan pada siapapun?" tanya Naraya sedikit takut, memastikan temannya itu tak membocorkan apa yang akan dibicarakan.
"Ya Tuhan, Ra. Kapan aku pernah ember soal hidupmu atau rahasiamu? Apa seperti itu pun kamu masih mempertanyakannya?" tanya Amanda yang merasa tak senang karena Naraya terkesan tak percaya padanya.
Naraya malah salah tingkah melihat reaksi Amanda, hingga berkata jika masalah ini benar-benar rahasia.
"Semalam aku dijebak, Man." Naraya bicara seraya menundukkan kepala, bahkan memainkan jemari yang ada di atas meja.
"Apa? Jebak bagaimana?" tanya Amanda membulatkan bola mata tak percaya dengan yang didengar.
Naraya menarik napas panjang, sebelum kemudian menghela dengan kasar.
"Semalam itu ...."
Semalam, sebelum Naraya masuk ke kamar Kalandra.
Naraya bekerja seperti biasa. Ia terlihat membawa nampan berisi makanan pesanan tamu hotel. Gadis itu diminta mengantar ke sebuah kamar yang ditunjuk. Tak ada firasat buruk atau perasaan curiga, gadis itu tetap melakukan pekerjaan sesuai dengan instruksi.
TOK! TOK! TOK!
Naraya mengetuk pintu kamar yang memesan makanan, hingga pintu terbuka dan seorang pria berumur tiga puluh empat tahunan terlihat tersenyum padanya.
"Kita ketemu lagi," ucap pria itu.
Naraya mengerutkan dahi, tamu hotel itu ternyata adalah mantan bosnya di klub malam.
"Ini pesanan Anda," ucap Naraya tetap bersikap sopan.
"Bisa bawakan masuk?" Pria itu membuka lebar pintu kamarnya.
Naraya terlihat ragu, itu karena pria itu pernah berbuat tak sopan padanya, membuat Naraya akhirnya memilih keluar dari pekerjaannya.
"Maaf, tapi pekerjaan saya masih banyak. Saya harap Anda bisa mengerti," tolak Naraya tetap mencoba bersikap tenang.
"Oh, kalau kamu tidak mau membawa masuk, terpaksa aku mengadu jika kamu tidak memberi pelayanan yang seharusnya," ancam pria itu.
Naraya tersentak, masih tak mengerti kenapa pria itu seolah ingin memojokkan dirinya.
"Terserah jika Anda ingin mengadu, tapi kewajiban saya hanya sampai di sini," ucap Naraya merasa curiga dengan permintaan pria itu.
Naraya memaksa memberikan nampan yang dibawa, tapi pria itu tampak tak senang dengan sikap Naraya. Sampai pria itu tiba-tiba menarik tangan gadis itu, membuat Naraya menjatuhkan nampan yang dibawa.
"Anda jangan kurang ajar!" sembur Naraya.
"Jangan sok jual mahal, Ra! Aku tahu kamu pasti juga sudah menjual tubuhmu saat di klub. Lantas kenapa sekarang pura-pura menolakku, hah? Sedangkan kamu bisa mendapat uang dariku." Pria itu mencoba menarik Naraya masuk, meskipun gadis itu terus memberontak.
"Dasar gila! Jangan memfitnah!" Naraya mengigit tangan pria itu, hendak kabur dan tak peduli lagi dengan pekerjaannya.
"Nara!" teriak pria itu yang tak mau melepas meski Naraya menggigit begitu kuat. "Prams!" Pria itu memanggil nama lain, membuat Naraya semakin panik.
"Prams?" Naraya kenal siapa pria yang dipanggil. Ia pun semakin mencoba membebaskan diri.
"Berikan obatnya!" perintah mantan bos Naraya, terus menarik gadis itu masuk dan menjauh dari pintu agar tak ada yang melihat.
Naraya semakin panik, apalagi ketika mendengar pria itu ingin memberinya obat. Ia menggigit lebih kuat, hingga pria itu memekik dan melepas tangannya. Namun, saat akan berlari, pria lain bernama Prams langsung menahannya dari belakang, hingga memasukkan sesuatu ke mulut Naraya.
Naraya hampir menangis, apalagi ketika merasakan obat yang dimasukkan ke mulut meluncur menuju kerongkongan hingga masuk ke tubuh.
"Tidak! Aku tidak akan biarkan mereka memperlakukanku seperti ini," batin Naraya.
Naraya menginjak kaki Prams sekuat tenaga yang dimiliki, membuat pria itu memekik.
"Jangan lepas, Prams!" Mantan bos Naraya hendak menggapai gadis itu, tapi Naraya langsung meraih vas dan memukulkan tepat di kepala pria itu.
"Sial! Naraya!" pekik mantan bos Naraya.
Naraya tak melewatkan kesempatan untuk kabur. Ia berlari sekuat kaki melangkah, tapi tubuhnya tiba-tiba merasa tak nyaman, bahkan rasa panas mulai menjalar di seluruh tubuh.
"Sial! Apa yang mereka berikan padaku?" Naraya mengeluh seraya terus mengusap dada.
"Dapatkan dia!"
Naraya mendengar suara mantan bosnya. Ia begitu panik dan berpikir untuk mencari bantuan atau sekedar tempat bersembunyi. Hingga Naraya melihat pintu kamar setengah terbuka, tanpa pikir panjang gadis itu masuk dan membuat sang pemilik kamar yang tak lain adalah Kalandra, terkejut dibuatnya.
"Ma-maaf, ta-pi sa-ya benar-benar min-ta tolong."
Naraya tak peduli dan tak tahu kamar siapa yang dijadikan tempat bersembunyi, bahkan gadis itu tak berpikir apakah pemilik kamar itu baik atau brengsek. Ia hanya berpikir agar tak dilecehkan oleh mantan bosnya, sedangkan Naraya sendiri tidak berpikir jika bisa saja pria yang dimintainya tolong mungkin saja lebih jahat dari pria tadi, serta malah memanfaatkan kondisinya yang sedang terpengaruh obat.
Naraya mengusap wajah setelah mengakhiri cerita, tampak jelas jika gadis itu sangat frustasi.
Amanda melongo tak percaya dengan cerita Naraya, hanya syok karena temannya itu mengalami hal buruk seperti itu.
"Ra, jangan katakan kamu sudah tidur dengan pria tak dikenal?" tanya Amanda dengan suara lirih, seakan tak memiliki tenaga untuk bicara.
"Entah, aku tidak tahu. Aku tidak ingat, Man." Naraya benar-benar frustasi. Ia sampai mengguyar rambut ke belakang.
Amanda semakin syok, bagaimana bisa temannya itu tak tahu apakah sudah tidur dengan seorang pria atau tidak.
"Kita ke dokter, kita cek apakah kamu masih perawan atau tidak!"
Amanda langsung berdiri, sebelum kemudian menarik tangan Naraya yang frustasi.
Di kota lain."Ke, Mama dengar Al sudah pulang. Apa kamu tidak ingin menemuinya dulu? Kenapa kamu malah ingin bekerja di luar kota?" tanya Milea—tante Kalandra, menatap sang putra yang bernama Kenan.Kenan dan Kalandra dulu tumbuh bersama sejak mereka bayi, karena keduanya lahir hanya berselang beberapa hari. Namun, beberapa tahun lalu hubungan Kenan dan Kalandra tiba-tiba berubah dan saling menjauh. Bahkan keduanya tak lagi bertegur sapa atau hanya bicara seperti biasa, hingga Kalandra tiba-tiba memutuskan melanjutkan studi ke luar negeri.Kenan—adik sepupu Kalandra, terdiam mendengar pertanyaan ibunya. Ia tersenyum getir dan memilih menghabiskan makanan yang tersaji di piring."Ke, sebenarnya ada masalah apa dengan kalian? Bukankah kalian dulu sangat dekat, bahkan banyak yang mengatakan kalian seperti saudara kembar, lantas kenapa sekarang jadi begini?" tanya Milea menyelidik, karena se
Amanda mengajak Naraya ke rumah sakit. Ia harus memastikan jika temannya itu masih perawan. Amanda adalah teman satu-satunya Naraya, yang selalu baik dan mendukung gadis itu."Man, ih ... nggak perlu periksa." Naraya mencoba mencegah Amanda yang terus menariknya masuk untuk mendaftar. Jujur saja Naraya malu kalau sampai ditanya-tanya soal kapan dirinya berhubungan intim dan dengan siapa."Apanya yang nggak perlu? Tentu perlu! Kamu nggak boleh bantah!" kekeh Amanda. "Aku tuh nggak bisa bayangin, Ra. Gimana kalau tiba-tiba kamu ada calon suami, terus mempertanyakan keperawananmu, aku ikut sedih kalau kamu tuh nggak diterima karena udah nggak perawan," ujar Amanda asal bicara karena cemas.Naraya menghela napas berat, bisa-bisanya temannya itu berpikir sampai disitu."Man, Manda, bentar!" Tiba-tiba Naraya meminta berhenti dan pura-pura menengok arloji yang dikenakan."Ada apa?" tany
Kalandra berjalan cepat menuju kolam renang. Saat sampai di sana, ia menatap Naraya yang sedang berjalan seraya melamun. Hingga Kalandra melihat seseorang berjalan cepat dan sengaja menyenggol Naraya, membuat gadis itu akhirnya tercebur ke kolam.Kalandra yang paham betul jika Naraya trauma dengan tenggelam, langsung melepas jas dan melompat ke air. Ia bisa melihat Naraya yang memejamkan mata dan semakin turun hingga ke dasar kolam. Kalandra pun meraih tangan Naraya, sebelum kemudian membawa gadis itu naik."Siapa dia?" Naraya bertanya-tanya dalam hati. Terkejut juga senang karena ada yang menolongnya.Kalandra membawa Naraya ke permukaan air dan membantu naik ke tepian kolam. Banyak orang yang menyaksikan Kalandra melompat untuk menolong Naraya.Naraya langsung terbatuk dengan posisi menunduk ketika sudah berada di tepian kolam. Gadis itu basah kuyup dan mencoba meraup udara sebanyak-banyaknya karen
"Al, turunkan!" perintah Naraya."Masih mau berbohong? Setelah ini mau kabur! Jangan harap!" Kalandra tak mau menurunkan Naraya, karena jelas dia tak akan membiarkan gadis itu pergi.Beberapa pengunjung hotel dan karyawan melongo melihat Kalandra yang memanggul tubuh Naraya, membuat beberapa orang beranggapan negatif."Pak, maaf--" Seorang karyawan ingin bicara tapi langsung dipotong cepat oleh Kalandra."Jika pihak hotel merasa dirugikan, aku akan membayarnya!" Kalandra memiliki sifat dingin dan otoriter, membuat lawan bicaranya akan langsung menunduk."Al, aku tidak akan lari. Jadi turunkan aku," pinta Naraya lagi kini dengan nada pelan."Tidak akan!" kekeh Kalandra.Naraya menelan saliva, hanya tak menyangka jika Kalandra yang dikenalnya dulu sudah berubah. Ia akhirnya hanya bisa pasrah saat dibawa ke kamar Kalandra. Naraya semakin ter
Naraya mendorong dada Kalandra, hingga pemuda itu melepas pagutan bibir mereka. Ia kehabisan napas karena Kalandra terus mengulum bibirnya tanpa jeda. "Al! Kenapa kamu jadi begini?" Naraya menatap Kalandra, hanya tak menyangka jika pemuda itu sekarang kasar dan terkesan begitu egois. Dada Naraya terlihat naik turun tak beraturan, tatapan memancarkan kekecewaan akan sikap pemuda itu. "Ini karena kamu! Siapa yang membohongi? Siapa yang berjanji akan kembali? Siapa yang melupakan begitu saja?" Kalandra kembali meluapkan emosi. Ia sampai memukul kasur tepat samping Naraya duduk. Naraya mencoba mengatur emosi, hingga dirinya menyadari jika semuanya memang salahnya. Ia sendiri tak ingin, tapi ada beberapa hal yang tak bisa dikatakan untuk menjelaskan. "Aku minta maaf, Al. Aku tahu jika salah, aku harap kamu mau mengerti," ucap Naraya membujuk, gadis itu berbicara dengan pelan
Nayla menatap seorang pemuda yang duduk berhadapan dengannya. Ia bersedekap dan memasang wajah tidak senang."Kenapa dia baik-baik saja?" tanya Nayla pada Prams—kekasihnya."Ah, jangan tanya dulu. Aku cukup pusing karena ulahnya," gerutu Prams yang tak langsung menanggapi pertanyaan Nayla."Apa susahnya, sih? Aku benar-benar muak melihat wajahnya yang sok polos! Kenapa Ibu sangat mempertahankannya? Kenapa dia tidak dibiarkan saja dulu?" Nayla menggerutu, selama ini dia memang sangat membenci Naraya.Nayla hanya merasa kasih sayang ibunya terbagi. Ia merasa kesal karena sering dibandingkan dengan Naraya."Tadi aku mencoba menjatuhkannya ke kolam, tapi sepertinya ada pengunjung yang menolong," ujar Prams.Saat Naraya tengah melamun, ternyata Prams dengan sengaja menyembunyikan wajah ketika berjalan, sebelum kemudian dengan sengaja menyenggol Naraya
Naraya benar-benar pusing menghadapi Kalandra. Pemuda itu sangat otoriter dan keras kepala, bertolak belakang dengan Kalandra saat masih SMA.Kini bukan hanya tak boleh bekerja, tapi bahkan manager hotel dipanggil ke kamar pemuda itu. Siapa sangka jika keluarga Kalandra memiliki beberapa saham atas hotel itu."Al, kamu tidak perlu melakukan ini," bisik Naraya merasa canggung. Ia sampai melirik dan tersenyum ke arah managernya, sebelum menatap Kalandra dengan mulut komat-kamit."Harus! Kalau aku bilang kamu tak boleh kerja. Ya, nggak kerja! Kalau kamu membantah, aku bertindak!" Kalandra lagi-lagi mengeluarkan sifat otoriternya.Naraya terkejut dengan mulut menganga. Benar-benar tak habis pikir dengan cara Kalandra bertindak."Mulai sekarang Anira, maksudku Naraya tak aku izinkan bekerja, apa pun alasannya. Jika kamu meminta dia bekerja, maka aku akan pastikan kamu pecat!" ancam Ka
Kalandra terlihat mondar-mandir di dekat pintu, tentu saja pemuda itu sedang cemas karena Naraya belum juga sampai di apartemen yang mereka sewa satu hari yang lalu. Ia khawatir jika gadis itu berbohong dan kabur lagi darinya."Awas saja kalau kamu berani kabur, aku akan mencarimu dan mengikatmu kalau perlu!" geram Kalandra. Pemuda itu benar-benar sudah terobsesi pada Naraya, hingga membuatnya bersikap posesif dan otoriter.Baru saja menggerutu, Kalandra menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, melihat Naraya yang baru saja datang."Kenapa baru datang?" tanya Kalandra yang tak sabaran ingin tahu alasan Naraya."Aku bangun kesiangan, Al," jawab gadis itu menatap Kalandra yang sudah memasang wajah kesal.Kalandra sedikit melihat ada tatapan berbeda dari Naraya, membuat pria itu akhirnya menurunkan ego."Aku lapar, sudah memesan makanan tapi menunggumu data