"Al, turunkan!" perintah Naraya.
"Masih mau berbohong? Setelah ini mau kabur! Jangan harap!" Kalandra tak mau menurunkan Naraya, karena jelas dia tak akan membiarkan gadis itu pergi.
Beberapa pengunjung hotel dan karyawan melongo melihat Kalandra yang memanggul tubuh Naraya, membuat beberapa orang beranggapan negatif.
"Pak, maaf--" Seorang karyawan ingin bicara tapi langsung dipotong cepat oleh Kalandra.
"Jika pihak hotel merasa dirugikan, aku akan membayarnya!" Kalandra memiliki sifat dingin dan otoriter, membuat lawan bicaranya akan langsung menunduk.
"Al, aku tidak akan lari. Jadi turunkan aku," pinta Naraya lagi kini dengan nada pelan.
"Tidak akan!" kekeh Kalandra.
Naraya menelan saliva, hanya tak menyangka jika Kalandra yang dikenalnya dulu sudah berubah. Ia akhirnya hanya bisa pasrah saat dibawa ke kamar Kalandra. Naraya semakin terkejut saat melihat di mana lantai tempat tinggal saudara angkatnya itu, lantai dan kamar yang sama di mana kemarin dia terbangun.
"Ya Tuhan, jangan-jangan Al dan aku--" Naraya menutup mulut saat mengingat jika kamar Kalandra memang tempat dia sembunyi semalam.
Kalandra menurunkan dan mendudukkan Naraya di ranjang begitu sampai di kamar. Ia terus memberikan tatapan dingin yang membuat Naraya benar-benar tak nyaman dan menelan ludah berulangkali.
"Apa maksudmu berbohong? Apa kamu benar-benar tak mau bertemu dan mengakui jika kita bersaudara?" tanya Kalandra. Kedua tangan bertumpu pada kasur, membuatnya sedikit membungkuk dengan wajah yang begitu dekat dengan Naraya.
"Al, apa semalam kita?" Bukannya menjawab pertanyaan Kalandra, Naraya malah membahas masalah semalam.
"Jangan mengalihkan pembicaraan!" bentak Kalandra yang kesal.
Bahu Naraya sampai bergidik saat mendengar pemuda itu membentak. Sama seperti terakhir kali mereka bertemu lantas berpisah. Saat itu Naraya melihat kekecewaan dari tatapan Kalandra, hari ini gadis itu kembali melihat tatapan itu.
"Maaf," ucap Naraya penuh penyesalan.
"Hanya itu? Sepuluh tahun kamu menghilang, hanya kata itu yang kamu ucapkan?" Kalandra tersenyum getir, merasa kalau Naraya sangat kejam padanya.
"Maaf, Al." Naraya kembali meminta maaf.
Kalandra menundukkan kepala dan tertawa bodoh mendengar ucapan Naraya. Hanya tak habis pikir jika gadis itu dengan gampangnya meminta maaf. Ia kembali mendongak dan menatap Naraya, pancaran matanya tak bisa menyembunyikan jika ada rasa rindu, marah, dan kesal.
"Sepuluh tahun, Nira. Sepuluh tahun kamu tak memberi kabar, sepuluh tahun kamu melupakan janjimu. Sepuluh tahun kamu memberi harapan palsu padaku, membuatku setiap hari menunggu. Kenapa? Kenapa kamu tega? Jika memang ingin pergi, kenapa tidak pergi saja? Kenapa harus memberiku harapan untuk bisa kembali bertemu denganmu, hah?" Kalandra mencecar Naraya dengan banyak pertanyaan, bahkan tanpa sengaja membentak gadis itu begitu keras.
Bola mata hitam Naraya sedikit berkaca, kini kelopak matanya mulai menggenang, bahkan bulu-bulu mata mulai terlihat terkena tetesan air. Ia mengatupkan bibir, sedikit menunduk agar tak menangis.
"Maaf jika sudah mengecewakanmu, tapi aku benar-benar tak bisa kembali," lirih Naraya, sedikit memalingkan wajah tapi masih dengan menunduk.
Kalandra kesal karena hanya kata maaf yang terlontar dari bibir mungil gadis di hadapannya itu. Ia mengapit dagu Naraya, serta membuat gadis itu sedikit mendongak menatap padanya.
Naraya masih melihat tatapan penuh amarah di mata Kalandra. Pandangannya sedikit kabur karena air mata sudah menutup netranya.
"Kamu tidak ingin menjelaskan padaku? Aku ingin sebuah penjelasan, bukan permintaan maaf. Jika kamu hanya diam, maka jangan salahkan aku kalau menahanmu selamanya!" ancam Kalandra, menatap dua bola mata Naraya bergantian.
"Aku benar-benar tidak bisa kembali, Al. Aku yang ingin melupakan kalian." Naraya tiba-tiba menangis, memejamkan mata karena air mata mulai tumpah membasahi pipi.
Kalandra cukup terkejut melihat Naraya menangis, apalagi saat mendengar gadis itu berkata ingin melupakan dirinya. Namun, Kalandra sangat hafal dengan sifat gadis itu. Naraya takkan menangis jika memang dirinya benar. Kalandra menebak jika gadis itu berbohong padanya.
"Kamu ingin melupakanku? Oke, tapi sayangnya aku tak berniat melupakanmu. Aku menyukaimu sejak dulu, tapi kamu malah menghilang tak memberiku kabar, membuatku sakit hati, Nira." Kalandra akhirnya mengungkapkan perasaanya selama ini.
Naraya terkesiap dan langsung membuka mata. Tangisnya seketika berhenti dan kini menatap pada pemuda yang tak mengalihkan pandangan dari wajahnya meski hanya satu detik. Ia tak menyangka jika Kalandra menyukainya, apa itu rasa suka karena mereka pernah menjadi saudara, atau rasa suka antara seorang pria kepada wanita.
"Al," lirih Naraya dengan mata masih berkaca.
"Takkan aku biarkan kamu melupakanku, jika bisa aku akan melakukan hal yang takkan pernah bisa kamu lupakan. Hingga setiap waktu, detik, menit, dan hari, kamu akan selalu teringat padaku. Aku takkan melepasmu Anira, takkan lagi."
Naraya sangat terkejut dengan ucapan Kalandra, tak tahu maksud dari setiap kata yang terlontar dari bibir pemuda itu. Hingga Kalandra tiba-tiba menyentuhkan bibir mereka, memagut dan mengulum bibir mungil Naraya berulangkali.
"Aku akan mengikatmu, membelenggu hingga kamu takkan bisa lari lagi."
Naraya mendorong dada Kalandra, hingga pemuda itu melepas pagutan bibir mereka. Ia kehabisan napas karena Kalandra terus mengulum bibirnya tanpa jeda. "Al! Kenapa kamu jadi begini?" Naraya menatap Kalandra, hanya tak menyangka jika pemuda itu sekarang kasar dan terkesan begitu egois. Dada Naraya terlihat naik turun tak beraturan, tatapan memancarkan kekecewaan akan sikap pemuda itu. "Ini karena kamu! Siapa yang membohongi? Siapa yang berjanji akan kembali? Siapa yang melupakan begitu saja?" Kalandra kembali meluapkan emosi. Ia sampai memukul kasur tepat samping Naraya duduk. Naraya mencoba mengatur emosi, hingga dirinya menyadari jika semuanya memang salahnya. Ia sendiri tak ingin, tapi ada beberapa hal yang tak bisa dikatakan untuk menjelaskan. "Aku minta maaf, Al. Aku tahu jika salah, aku harap kamu mau mengerti," ucap Naraya membujuk, gadis itu berbicara dengan pelan
Nayla menatap seorang pemuda yang duduk berhadapan dengannya. Ia bersedekap dan memasang wajah tidak senang."Kenapa dia baik-baik saja?" tanya Nayla pada Prams—kekasihnya."Ah, jangan tanya dulu. Aku cukup pusing karena ulahnya," gerutu Prams yang tak langsung menanggapi pertanyaan Nayla."Apa susahnya, sih? Aku benar-benar muak melihat wajahnya yang sok polos! Kenapa Ibu sangat mempertahankannya? Kenapa dia tidak dibiarkan saja dulu?" Nayla menggerutu, selama ini dia memang sangat membenci Naraya.Nayla hanya merasa kasih sayang ibunya terbagi. Ia merasa kesal karena sering dibandingkan dengan Naraya."Tadi aku mencoba menjatuhkannya ke kolam, tapi sepertinya ada pengunjung yang menolong," ujar Prams.Saat Naraya tengah melamun, ternyata Prams dengan sengaja menyembunyikan wajah ketika berjalan, sebelum kemudian dengan sengaja menyenggol Naraya
Naraya benar-benar pusing menghadapi Kalandra. Pemuda itu sangat otoriter dan keras kepala, bertolak belakang dengan Kalandra saat masih SMA.Kini bukan hanya tak boleh bekerja, tapi bahkan manager hotel dipanggil ke kamar pemuda itu. Siapa sangka jika keluarga Kalandra memiliki beberapa saham atas hotel itu."Al, kamu tidak perlu melakukan ini," bisik Naraya merasa canggung. Ia sampai melirik dan tersenyum ke arah managernya, sebelum menatap Kalandra dengan mulut komat-kamit."Harus! Kalau aku bilang kamu tak boleh kerja. Ya, nggak kerja! Kalau kamu membantah, aku bertindak!" Kalandra lagi-lagi mengeluarkan sifat otoriternya.Naraya terkejut dengan mulut menganga. Benar-benar tak habis pikir dengan cara Kalandra bertindak."Mulai sekarang Anira, maksudku Naraya tak aku izinkan bekerja, apa pun alasannya. Jika kamu meminta dia bekerja, maka aku akan pastikan kamu pecat!" ancam Ka
Kalandra terlihat mondar-mandir di dekat pintu, tentu saja pemuda itu sedang cemas karena Naraya belum juga sampai di apartemen yang mereka sewa satu hari yang lalu. Ia khawatir jika gadis itu berbohong dan kabur lagi darinya."Awas saja kalau kamu berani kabur, aku akan mencarimu dan mengikatmu kalau perlu!" geram Kalandra. Pemuda itu benar-benar sudah terobsesi pada Naraya, hingga membuatnya bersikap posesif dan otoriter.Baru saja menggerutu, Kalandra menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, melihat Naraya yang baru saja datang."Kenapa baru datang?" tanya Kalandra yang tak sabaran ingin tahu alasan Naraya."Aku bangun kesiangan, Al," jawab gadis itu menatap Kalandra yang sudah memasang wajah kesal.Kalandra sedikit melihat ada tatapan berbeda dari Naraya, membuat pria itu akhirnya menurunkan ego."Aku lapar, sudah memesan makanan tapi menunggumu data
Naraya duduk di sebuah restoran, ini adalah pertama kalinya dia menjadi seorang pengunjung dan bukannya pelayan. Selama tinggal bersama Sofi, Naraya memang tak pernah lagi menginjakkan kaki di restoran bintang lima, selain saat dirinya bekerja.Naraya duduk seraya menikmati segelas jus dengan camilan. Ia sedang menunggu Kalandra yang menghadiri rapat, sebenarnya pemuda itu meminta Naraya ikut ke ruangan tempat rapat diadakan, tapi Naraya menolak dengan alasan akan bosan dan mengantuk. Ia berjanji takkan pergi dari restoran, serta menunggu pemuda itu selesai, hingga pada akhirnya Kalandra tak memaksanya ikut."Ra!" Suara Amanda terdengar dari kejauhan. Gadis manis sahabat karib Naraya itu melambaikan tangan, sebelum kemudian berjalan menghampiri meja Naraya.Naraya membalas lambaian tangan Amanda, lantas meminta temannya itu duduk begitu sampai."Tumben kamu ngajak ketemu di restoran bintang lima. Apa
Amanda pergi ke rumah sakit untuk bekerja setelah bicara dengan Naraya. Gadis itu sudah berganti seragam perawat dan kini berjalan ke tempat praktek ortopedi karena Amanda bekerja sebagai asisten di sana.“Man, katanya dokter ortopedi kita ganti, ya?” tanya salah satu teman Amanda yang mensejajari langkah teman Naraya itu.“Benar, katanya datang hari ini,” jawab Amanda. “Semoga kita tak mendapat dokter yang tua seperti sebelumnya,” seloroh Amanda yang diakhiri tawa kecil.Teman Amanda ikut tertawa, sebelum kemudian masuk ke ruang praktek ortopedi untuk menyiapkan perlengkapan praktek. Beberapa saat kemudian, kepala rumah sakit masuk dengan seorang dokter muda, Amanda dan temannya melongo melihat dokter yang masuk ke ruangan itu.“Apa yang bersama kepala rumah sakit adalah dokter kita?” tanya teman Amanda berbisik.“Aku harap b
Semua kenangan indah itu sirna, saat kerasnya hidup datang menghampiri. Dia harus berjuang untuk hidup dan menebus kesalahan, mengabdi hingga melupakan apa itu arti bahagia, hanya ada perjuangan dan kerja keras menemani, sampai tubuh pun tidak bisa merasakan apa itu kata nyaman.“Nira.”Suara itu masih terasa merdu saat didengar. Meski wajah itu tak semuda dulu, tapi Naraya masih mengenali senyum dan tatapan yang penuh kasih sayang dan cinta yang pernah ditujukan padanya.“Bibi Ivi.” Naraya melihat Evangeline—ibu Kalandra di panggilan video yang dilakukan pemuda itu. Bola matanya berkaca dengan kelopak mata yang sudah sedikit menggenang.“Mama sejak kemarin merengek ingin melihatnya. Apa sekarang senang?” tanya Kalandra yang berdiri di belakang Naraya dan sedikit membungkuk agar Evangeline bisa melihat dirinya.Evangeline mengangguk, sudah sangat bahagia bisa melihat Naraya meski tak bertatap langsung dan t
Hidup itu terasa berwarna saat ada orang-orang yang menyayangi serta memberi perhatian, terlebih saat ada yang mencintai setulus hati tanpa melihat siapa dirimu.“Besok aku akan datang siang, aku harap kamu tidak menungguku,” kata Naraya, saat merapikan pakaian milik Kalandra di lemari.Kalandra sedang mengecek beberapa dokumen, hingga menegakkan badan saat mendengar perkataan Naraya.“Kenapa tidak datang?” tanya Kalandra yang tentu saja merasa tak senang, menatap punggung Naraya yang sedang berada di depan lemari.Naraya menoleh, kemudian mengulas senyum. Ia menutup pintu lantas berjalan mendekat ke arah Kalandra dan duduk di samping pemuda itu. Naraya sudah bisa menebak jika Kalandra pasti tak senang jika dirinya tidak datang ke sana.“Besok jadwal ibu check up ke rumah sakit, aku akan menemaninya seperti biasa. Setelah selesai, aku akan sege
“Aku mau gendong bayinya.” Amanda yang baru saja datang, mengambil alih bayi yang berada di gendongan Nayla.“Dia tampan sekali,” ujar Amanda saat menggendong bayi itu.“Cantik, dia itu cewek.” Nayla meralat karena yang digendong Amanda adalah Abigail.Amanda terlihat bingung, bukankah Naraya bilang hamil anak kembar laki-laki, kenapa jadi perempuan.“Jadi, anak kembarnya Na itu sebenarnya cewek dan cowok.” Nayla kembali menjelaskan.“Wah … ternyata mereka sepasang,” gumam Amanda penuh pengaguman.Naraya sudah bisa duduk, Kalandra menemaninya dengan duduk di ranjang samping Naraya dan jemarin mereka saling bertautan.Ayres dikuasi Milea dan Evangeline karena bayi laki-laki itu sangat menggemaskan.“Man, kamu juga cepetan hamil ya, ga usah nunda-nunda apalagi pakai kontrasepsi. Mama ‘kan juga mau punya cucu seperti ini,” ucap Milea yang merasa iri karena Evangeline sudah mendahuluinya mendapatkan cucu, sedangkan dulu saja dia duluan yang mendapatkan anak.Wajah Amanda merona mendengar
“Aku mau gendong.” Nayla begitu bersemangat saat perawat mengantar bayi kembar Naraya ke ruang inap sang kakak.Naraya sudah dipindah ke ruang inap dan akan diobservasi karena kelelahan dan banyak kehilangan cairan tubuh.Naraya hanya tersenyum melihat sang adik yang sangat bersemangat. Tubuhnya masih lemah sehingga tidak mau berebut bayinya dengan Nayla atau Evangeline.Nayla menggendong satu bayi dan Evangeline menggendong bayi satunya, cukup adil karena mereka tidak perlu berebut dan menanti giliran untuk menggendong.“Akan kalian kasih nama siapa?” tanya Devan yang berdiri di samping Evangeline, telunjuk tampak menusuk pipi bayi laki-laki yang terlihat begitu menggemaskan.“Ayres Rajendra dan Abigail Rajendra,” jawab Kalandra. Dia sebenarnya menyiapkan dua nama laki-laki, karena bayi satunya perempuan, membuat Kalandra mencari nama dadakan.“Tunggu, kenapa Abigail? Itu nama cewek.” Protes Nayla sambil menimang bayi perempuan Naraya.“Yang kamu gendong itu perempuan, Nay.” Kalandra
“Kepala bayinya sudah terlihat, apa Ibu siap menyambut mereka?” tanya dokter yang sejak awal memang menangani kehamilan Naraya. Mengajak bicara agar Naraya tidak tegang karena harus berusaha mengeluarkan dua bayi.Naraya tidak mampu berkata-kata, perutnya benar-benar sudah terasa sakit hingga membuatnya hanya menganggukkan kepala.Kalandra setia berada di samping Naraya. Dia menggenggam telapak tangan istriya itu sambil terus menatap ke wajah sang istri. Dia bisa melihat bagaimana Naraya kesakitan bahkan menangis karena akan melahirkan, membuatnya benar-benar tidak tega hingga sesekali mengecup kening Naraya.“Kamu pasti bisa, kamu kuat demi anak kita,” bisik Kalandra memberi semangat.Naraya menggenggam erat telapak tangan Kalandra, sesekali terlihat mengatur napas karena kontraksi yang sudah tidak tertahankan.“Saat kontraksinya terasa kuat, Ibu bisa mulai mengejan,” ujar dokter memberikan aba-aba.Kening sudah bermanik di seluruh wajah Naraya, bahkan kulit wajah pun kini sudah beru
Naraya terlihat gelisah dan tidak bisa tidur malam itu. Pinggangnya terasa panas dan perutnya mulas berulang kali. Dia hendak bergerak ke kanan dan kiri, tapi kesusahan karena perut yang mengganjal.“Ra, kamu tidak bisa tidur lagi?” tanya Kalandra yang bisa merasakan pergerakan Naraya di atas tempat tidur.“Iya, Al. Pinggangku sakit,” ucap Naraya sambil meringis menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya.Kalandra meminta Naraya untuk berbaring dengan posisi miring menghadap ke arahnya, lalu dia mengusap-usap pinggang istrinya itu.“Bagaimana?” tanya Kalandra. Biasanya jika diusap seperti itu, Naraya akan merasa nyaman.“Masih sakit,” rengek Naraya.“Aku ingin bangun,” ucap Naraya berusaha bangun.Kalandra buru-buru bangun, kemudian membantu Naraya untuk duduk. Dia cemas karena tidak biasanya Naraya mengeluh sampai seperti itu.Naraya mengangsurkan kaki perlahan ke lantai, hingga saat kedua kaki menapak di lantai, Naraya merasakan sesuatu pecah dan kini di paha mengalir air sampai menet
“Aku juga awalnya malu, Man. Tapi kemudian aku berpikir, untuk apa malu, entah sekarang atau esok, aku tetap harus melakukannya, tidak mungkin mengecewakannya.”Ucapan Naraya terngiang di telinga, Amanda kini sedang di kamar mandi dan baru saja membersihkan diri setelah acara resepsi selesai sekitar empat jam yang lalu. Dia berada di kamar mandi kamar Kenan, terlihat bingung karena ini adalah malam pertama mereka di sana.“Bagaimana jika Kenan terlanjut tidak menginginkan karena aku menundanya beberapa kali?” Amanda bertanya-tanya sendiri karena bingung harus bagaimana.Kenan terlalu baik dengan menyetujui untuk menunda melakukan hubungan suami-istri, tapi Amanda sendiri tidak tahu apakah benar Kenan ikhlas atau hanya terpaksa.Amanda menoleh ke belakang di mana ada lingerie yang disiapkannya tapi belum dikenakan. Haruskah dia menggoda Kenan, agar suaminya itu tahu kalau dia sekarang sudah siap.“Baiklah, kamu wanita modern dan tidak takut akan hal itu, Man.” Amanda menyemangati diri
Hari itu Naraya hanya duduk menanti acara resepsi pernikahan Amanda dan Kenan dimulai. Dia tidak bisa membantu banyak hal karena kondisinya yang sudah hamil besar.Orang-orang berlalu-lalang menyiapkan diri untuk berangkat menuju rumah Kenan. Amanda sudah didandani begitu cantik dengan gaun yang tidak terlalu mewah tapi begitu indah.“Kita siap berangkat sekarang,” kata Kalandra saat menghampiri istrinya.Naraya mengangguk, kemudian berusaha berdiri meski agak kesusahan. Kalandra pun dengan sigap memegang pundak dan lengan Naraya, membantu istrinya itu berdiri dengan tegap.“Terima kasih,” ucap Naraya setelah sudah berdiri dengan benar.“Ra, apa kamu sakit?” tanya Kalandra karena wajah Naraya terlihat pucat. Kalandra takut jika istrinya kecapean.Naraya menangkup kedua pipi saat mendengar pertanyaan Kalandra, dia sudah menggunakan make up tipis, apa mungkin masih terlihat pucat.“Aku baik-baik saja, mungkin karena semalam kurang tidur akibat mereka terus menendang,” jawab Naraya sambi
Hari pernikahan Kenan dan Amanda pun tiba, mereka menikah tiga bulan setelah acara lamaran berlangsung. Mereka melakukan akad di rumah Amanda, tapi sepakat mengadakan pesta di rumah Kenan karena Milea yang meminta dan disetujui oleh keluarga Amanda.Naraya sendiri senang karena pesta diadakan di rumah Milea, sehingga dia tidak harus bepergian ke luar kota dalam kondisi hamil besar. Usia kandungan Naraya kini sudah memasuki usia delapan bulan, dan ukuran perutnya pun begitu besar karena bagi kembarnya.“Untung kalian menikah di sini, jadi aku tidak kerepotan pergi ke luar kota,” ucap Naraya saat mendatangi kamar Amanda.Amanda dan keluarganya diberi tempat di rumah Evangeline agar memudahkan mereka saat pergi ke rumah Kenan.Amanda langsung berlutut di depan Naraya yang sedang duduk, lantas mengusap-usap lembut permukaan perut temannya itu.“Aunty ‘kan baik, jadi ga mau nyusahin kalian,” ucap Amanda dengan tangan mengelus perut Naraya.Usai bicara demikian, terasa gerakan bergeser di p
Kalandra berbaring berbantal paha Naraya, dengan posisi miring dia menghadap ke perut sang istri dan terlihat sesekali menciumnya manja.“Apa mereka lapar atau menginginkan sesuatu?” tanya Kalandra sambil mengusap perut Naraya lagi.“Mereka sudah makan banyak tadi, jadi ga mau apa-apa lagi,” jawab Naraya sambil mengusap rambut suaminya.Kalandra kembali mencium perut Naraya, sebelum kemudian bangun dan mencium bibir istrinya itu.“Sekarang papinya yang menginginkan sesuatu,” ujar Kalandra dengan senyum menggoda.“Mau apa?” tanya Naraya dengan dahi berkerut halus.“Mau nengokin mereka,” jawab Kalandra tanpa basa-basi.Naraya terkesiap tapi kemudian terlihat malu karena ternyata suaminya meminta jatah. Kalandra memang tidak pernah meminta saat usia kandungannya masih di trimester pertama, itu karena larangan dari dokter agar kondisi jalan rahimnya tidak terbuka karena berhubungan intim. Namun, dokter mengizinkan jika berhubungan setelah masuk di trimester kedua.“Boleh, tapi jangan buat
Hari itu Naraya dan yang lainnya pergi untuk ikut dalam acara lamaran yang akan dilakukan Kenan. Setelah beberapa bulan berpacaran, akhirnya Kenan memantapkan hati untuk melamar Amanda.Semua orang singgah di hotel sebelum acara lamaran yang akan dilakukan esok hari, sedangkan Naraya meminta izin tinggal di rumah Amanda karena melepas rindu dengan temannya itu.“Perutmu besar sekali, Na? Bukankah kamu bilang baru lima bulan?” tanya Amanda keheranan.“Aku lupa bilang kalau mereka kembar,” ujar Naraya saat melihat temannya terheran-heran melihat perutnya yang besar.“Kembar?” Amanda seolah tidak percaya jika Naraya akan memiliki bayi kembar.Naraya mengangguk-angguk, sebelum kemudian berbisik, “Mereka laki-laki.”Amanda semakin tidak percaya karena Naraya bisa seberuntung itu. Dia menyentuh perut Naraya yang besar, penasaran sedang apa bayi kembar Naraya sekarang.Saat tangan Amanda sedang menyentuh dan mengusap lembut, tiba-tiba terasa gerakan dari dalam sana.“Mereka bergerak.” Amanda