Selasa, pukul 20:32.
Seorang pemuda berkacamata hitam, memiliki tubuh tinggi dengan hidung mancung, terlihat berjalan menarik sebuah koper. Pemuda itu berjalan di sebuah lobi hotel menuju meja resepsionis.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya sang resepsionis.
"Ya, aku ingin menginap di sini kurang lebih satu minggu. Berikan kamar terbaik yang kalian miliki," jawab pemuda itu, bicara tanpa menatap pada resepsionis.
Resepsionis wanita itu termangu, menatap ketampanan pemuda yang berdiri di depan meja kerjanya.
Pemuda itu menatap sang resepsionis, karena tak kunjung menanyakan kartu identitas atau yang lainnya.
"Apa tidak ada kamar kosong?" tanya pemuda itu dengan wajah dingin, saat melihat resepsionis malah termangu.
Petugas hotel itu terkejut dan sadar dari lamunan, sedikit berdeham untuk mengurai kecanggungan.
"Ada, maaf karena saya tidak fokus." Resepsionis itu tersenyum manis dan hangat, tapi sayangnya hanya tatapan dingin yang didapat.
"Boleh saya lihat kartu identitas Anda?" tanya petugas wanita itu siap memasukkan data pemuda tadi.
Pemuda itu merogoh saku jaket, sebelum kemudian memberikan tanda pengenalnya.
"Tuan Kalandra Rajendra." Resepsionis itu memastikan, tapi dibalas sebuah gumaman kecil.
Kalandra Rajendra, pemuda yang hampir menginjak umur dua puluh enam tahun. Ia adalah seorang pengusaha yang mengelola bisnis keluarga. Kedatangannya di kota itu untuk mengecek perkembangan bisnis milik sang ayah—Devan Rajendra.
"Ini kunci kamarnya, lalu ini tanda pengenal Anda. Terima kasih, semoga hari Anda menyenangkan," ucap resepsionis sambil mengulurkan kunci dan tanda pengenal Kalandra.
Kalandra mengambil kunci kamar dan tanda pengenalnya, sebelum kemudian berjalan menuju lift untuk naik ke kamar yang akan ditempati.
"Wah, tampan sih iya, tapi dinginnya melebihi kutub utara," gumam resepsionis yang baru saja melayani Kalandra.
***
Kalandra sudah sampai di depan kamar tempatnya akan menginap. Ia pun membuka dan menarik koper masuk, hingga terkejut saat melihat seorang gadis berseragam pelayan hotel ikut masuk.
"Hei! Jangan kurang ajar!" bentak Kalandra yang kesal.
"Ma-maaf, ta-pi sa-ya benar-benar min-ta tolong." Gadis itu bicara dengan terbata, bahkan mengusap dada hingga leher bagian depan.
Kalandra sangat kesal, menyalakan lampu hingga bisa melihat wajah gadis itu. Pemuda itu syok melihat wajah gadis yang kini ada di hadapannya, gadis itu tampak tak baik karena wajahnya merah dengan mata sedikit terpejam. Namun, bukan itu yang membuat Kalandra terkejut, tapi wajah gadis itu mengingatkannya pada seseorang.
"Naraya?" Kalandra membaca nama yang tertera di pakaian gadis itu.
"To-long, jika An-da mengusir sa-ya, maka hi-dup saya akan berakhir," racau gadis yang ternyata adalah Naraya.
Kalandra tersentak mendengar ucapan gadis itu, hingga mendengar suara dua pria di luar, membuat Kalandra mengerti maksud Naraya. Ia pun mengunci kamarnya, menyembunyikan gadis itu dari pria yang berada di luar.
"Apakah dia--" Kalandra terus mengamati wajah Naraya, hingga mengulurkan tangan dan menyentuh leher gadis itu. Ia mencoba memastikan sesuatu.
Namun, Naraya sepertinya sedang terpengaruh obat, gadis itu tiba-tiba memeluk dan menyambar bibir Kalandra, membuat mereka kini berciuman.
Kalandra semakin terkejut, karena Naraya merangkul lehernya begitu kuat, bahkan gadis itu terus menyesap bibir. Ia berusaha melepas dan menjauhkan tubuh Naraya, hingga menatap jika gadis itu memang terpengaruh obat.
"Sial! Apa yang mereka lakukan padamu!" umpat Kalandra yang kesal.
"Panas," lirih Naraya masih terus mengusap dada.
Kalandra menggendong tubuh Naraya, lantas membawa masuk untuk menjauh dari pintu.
"Bertahanlah."
***
Hari berikutnya. Kalandra mulai menggerakkan tubuh, menggeser hingga menghadap sisi ranjang. Ia meraba ranjang sebelahnya, sebelum kemudian membuka kelopak mata lebar.
"Di mana dia?" Kalandra bangun dengan cepat ketika tak mendapati Naraya di sana.
Kalandra turun dari ranjang, mencari di kamar mandi dan sudah tak mendapati pakaian Naraya di sana.
"Ah, sial!" Kalandra mengguyar kasar rambut ke belakang.
"Aku pasti akan menemukanmu, aku tidak akan melepasmu, lagi!"
Naraya terlihat makan dengan lahap, mengabaikan seseorang yang kini sedang duduk menatapnya."Ra, kamu nggak bisa makan pelan-pelan?" tanya Amanda—teman Naraya.Naraya tak menjawab, masih sibuk makan karena perutnya benar-benar lapar. Juga karena dirinya tengah stres memikirkan apa yang terjadi semalam.Amanda menggelengkan kepala melihat cara makan Naraya, tahu betul teman baiknya itu pasti akan seperti itu jika memang sedang dalam masalah."Apa ada masalah di rumah? Apa Nayla buat masalah lagi? Kamu tuh kerja punya duit, tapi kenapa kamu malah seperti tunawisma yang butuh sumbangan orang?" Amanda hanya tak habis pikir, Naraya bekerja siang malam, tapi untuk makan saja suka kekurangan, membuat Amanda terkadang merasa kesal dengan ibu dan adik temannya itu.Naraya mengangkat mangkuk mie yang kini tinggal kuah saja, menyeruput kuah hingga tandas, merasa lega karena akhirnya
Di kota lain."Ke, Mama dengar Al sudah pulang. Apa kamu tidak ingin menemuinya dulu? Kenapa kamu malah ingin bekerja di luar kota?" tanya Milea—tante Kalandra, menatap sang putra yang bernama Kenan.Kenan dan Kalandra dulu tumbuh bersama sejak mereka bayi, karena keduanya lahir hanya berselang beberapa hari. Namun, beberapa tahun lalu hubungan Kenan dan Kalandra tiba-tiba berubah dan saling menjauh. Bahkan keduanya tak lagi bertegur sapa atau hanya bicara seperti biasa, hingga Kalandra tiba-tiba memutuskan melanjutkan studi ke luar negeri.Kenan—adik sepupu Kalandra, terdiam mendengar pertanyaan ibunya. Ia tersenyum getir dan memilih menghabiskan makanan yang tersaji di piring."Ke, sebenarnya ada masalah apa dengan kalian? Bukankah kalian dulu sangat dekat, bahkan banyak yang mengatakan kalian seperti saudara kembar, lantas kenapa sekarang jadi begini?" tanya Milea menyelidik, karena se
Amanda mengajak Naraya ke rumah sakit. Ia harus memastikan jika temannya itu masih perawan. Amanda adalah teman satu-satunya Naraya, yang selalu baik dan mendukung gadis itu."Man, ih ... nggak perlu periksa." Naraya mencoba mencegah Amanda yang terus menariknya masuk untuk mendaftar. Jujur saja Naraya malu kalau sampai ditanya-tanya soal kapan dirinya berhubungan intim dan dengan siapa."Apanya yang nggak perlu? Tentu perlu! Kamu nggak boleh bantah!" kekeh Amanda. "Aku tuh nggak bisa bayangin, Ra. Gimana kalau tiba-tiba kamu ada calon suami, terus mempertanyakan keperawananmu, aku ikut sedih kalau kamu tuh nggak diterima karena udah nggak perawan," ujar Amanda asal bicara karena cemas.Naraya menghela napas berat, bisa-bisanya temannya itu berpikir sampai disitu."Man, Manda, bentar!" Tiba-tiba Naraya meminta berhenti dan pura-pura menengok arloji yang dikenakan."Ada apa?" tany
Kalandra berjalan cepat menuju kolam renang. Saat sampai di sana, ia menatap Naraya yang sedang berjalan seraya melamun. Hingga Kalandra melihat seseorang berjalan cepat dan sengaja menyenggol Naraya, membuat gadis itu akhirnya tercebur ke kolam.Kalandra yang paham betul jika Naraya trauma dengan tenggelam, langsung melepas jas dan melompat ke air. Ia bisa melihat Naraya yang memejamkan mata dan semakin turun hingga ke dasar kolam. Kalandra pun meraih tangan Naraya, sebelum kemudian membawa gadis itu naik."Siapa dia?" Naraya bertanya-tanya dalam hati. Terkejut juga senang karena ada yang menolongnya.Kalandra membawa Naraya ke permukaan air dan membantu naik ke tepian kolam. Banyak orang yang menyaksikan Kalandra melompat untuk menolong Naraya.Naraya langsung terbatuk dengan posisi menunduk ketika sudah berada di tepian kolam. Gadis itu basah kuyup dan mencoba meraup udara sebanyak-banyaknya karen
"Al, turunkan!" perintah Naraya."Masih mau berbohong? Setelah ini mau kabur! Jangan harap!" Kalandra tak mau menurunkan Naraya, karena jelas dia tak akan membiarkan gadis itu pergi.Beberapa pengunjung hotel dan karyawan melongo melihat Kalandra yang memanggul tubuh Naraya, membuat beberapa orang beranggapan negatif."Pak, maaf--" Seorang karyawan ingin bicara tapi langsung dipotong cepat oleh Kalandra."Jika pihak hotel merasa dirugikan, aku akan membayarnya!" Kalandra memiliki sifat dingin dan otoriter, membuat lawan bicaranya akan langsung menunduk."Al, aku tidak akan lari. Jadi turunkan aku," pinta Naraya lagi kini dengan nada pelan."Tidak akan!" kekeh Kalandra.Naraya menelan saliva, hanya tak menyangka jika Kalandra yang dikenalnya dulu sudah berubah. Ia akhirnya hanya bisa pasrah saat dibawa ke kamar Kalandra. Naraya semakin ter
Naraya mendorong dada Kalandra, hingga pemuda itu melepas pagutan bibir mereka. Ia kehabisan napas karena Kalandra terus mengulum bibirnya tanpa jeda. "Al! Kenapa kamu jadi begini?" Naraya menatap Kalandra, hanya tak menyangka jika pemuda itu sekarang kasar dan terkesan begitu egois. Dada Naraya terlihat naik turun tak beraturan, tatapan memancarkan kekecewaan akan sikap pemuda itu. "Ini karena kamu! Siapa yang membohongi? Siapa yang berjanji akan kembali? Siapa yang melupakan begitu saja?" Kalandra kembali meluapkan emosi. Ia sampai memukul kasur tepat samping Naraya duduk. Naraya mencoba mengatur emosi, hingga dirinya menyadari jika semuanya memang salahnya. Ia sendiri tak ingin, tapi ada beberapa hal yang tak bisa dikatakan untuk menjelaskan. "Aku minta maaf, Al. Aku tahu jika salah, aku harap kamu mau mengerti," ucap Naraya membujuk, gadis itu berbicara dengan pelan
Nayla menatap seorang pemuda yang duduk berhadapan dengannya. Ia bersedekap dan memasang wajah tidak senang."Kenapa dia baik-baik saja?" tanya Nayla pada Prams—kekasihnya."Ah, jangan tanya dulu. Aku cukup pusing karena ulahnya," gerutu Prams yang tak langsung menanggapi pertanyaan Nayla."Apa susahnya, sih? Aku benar-benar muak melihat wajahnya yang sok polos! Kenapa Ibu sangat mempertahankannya? Kenapa dia tidak dibiarkan saja dulu?" Nayla menggerutu, selama ini dia memang sangat membenci Naraya.Nayla hanya merasa kasih sayang ibunya terbagi. Ia merasa kesal karena sering dibandingkan dengan Naraya."Tadi aku mencoba menjatuhkannya ke kolam, tapi sepertinya ada pengunjung yang menolong," ujar Prams.Saat Naraya tengah melamun, ternyata Prams dengan sengaja menyembunyikan wajah ketika berjalan, sebelum kemudian dengan sengaja menyenggol Naraya
Naraya benar-benar pusing menghadapi Kalandra. Pemuda itu sangat otoriter dan keras kepala, bertolak belakang dengan Kalandra saat masih SMA.Kini bukan hanya tak boleh bekerja, tapi bahkan manager hotel dipanggil ke kamar pemuda itu. Siapa sangka jika keluarga Kalandra memiliki beberapa saham atas hotel itu."Al, kamu tidak perlu melakukan ini," bisik Naraya merasa canggung. Ia sampai melirik dan tersenyum ke arah managernya, sebelum menatap Kalandra dengan mulut komat-kamit."Harus! Kalau aku bilang kamu tak boleh kerja. Ya, nggak kerja! Kalau kamu membantah, aku bertindak!" Kalandra lagi-lagi mengeluarkan sifat otoriternya.Naraya terkejut dengan mulut menganga. Benar-benar tak habis pikir dengan cara Kalandra bertindak."Mulai sekarang Anira, maksudku Naraya tak aku izinkan bekerja, apa pun alasannya. Jika kamu meminta dia bekerja, maka aku akan pastikan kamu pecat!" ancam Ka